Semua tulisan dari Jasman Al Mandary

Pustakawan di Lentera Manakkara.

Buku: Mendasari Perlawanan, Menjaga Parit-Parit Ingatan

Ideologi, politik dan seksualitas kerap melatari penyensoran dan penghancuran buku-buku. Kita mendapati sejarah pembakaran kitab-kitab hadits termasuk mushaf Al-Quran di masa kekhalifaan Ustman, lalu kita mengetahui tragedi pembakaran buku, dokumen-dokumen karya dan koleksi Tan Malaka, di kaki gunung Wilis, oleh lusinanTentara Angkatan Darat yang menagkap dan membunuhnya pada 1949.

Lalu, Desember 2009 Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pembredelan terhadap lima buah buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila. Kelima buku tersebut dilarang beredar di Indonesia.

Kelima buku itu adalah Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.

Padahal buku, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, terpilih sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007.

Menurut Robert Cribb dalam Australian National University, buku tersebut ditulis dengan sangat baik dan mengasyikkan, “Inilah upaya ilmiah pertama dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa untuk mengkaji secara serius bukti-bukti yang berkenaan dengan teka-teki paling penting dalam sejarah Indonesia, kudeta 30 September 1965. (Robert Cribb, Australian National University).

Buku dikotakpandorakan atas dasar kepentingan politik, menjaga dominasi Cendana di bawah sistem Orba dan melanggengkan status quo.

Jauh pada abad ke 20, sekitar tahun 1909 buku pertama John Henry Mackay, dibakar akibat ambiguitas seksual tokohnya. Edisi berikutnya 1913 dihancurkan oleh Nazi.

Tahun 1949, Menteri Pendidikan Venezuela, Augusto Mijares, memerintahkan pembakaran Memorias karya Jean Baptiste, karena alusinasi seksualnya pada kehidupan Simon Bolivar. Dan Maret 1997, para pustakawan Hertford School memerintahkan penghancuran 30 ribu buku sumbangan karena isu-isu homoseksual.

Bahkan novel remaja berseri yg sangat populer Karya J.K Rowling, Harry Potter, dibakar ratusan kopi oleh sekelompok kaum beragama, di Alamogordo, New Mexico, atas seruan pemimpin gereja Christ Community, Jack Brock, dengan alasan buku itu bisa mendorog anak muda, belajar sihir dan ilmu hitam.

Novel itu dibakar bersama beberapa karya Stphen King.

Itu gambaran, betapa buku adalah serangan melawan impunitas, dogmatisme, manipulasi dan disinformasi Dan Itu jugalah sebabnya para penguasa tiran menghancurkan buku, sebab buku adalah parit-parit ingatan dan ingatan adalah dasar bagi lahirnya perlawanan.

Buku demikian menakutkan bagi yang gemar memenjara ingatan, karena itu kita (harus) melakukan gerakan suka buku sebagai gerakan perlawanan dan penyelamatan ingatan.

Seperti kata sastrawan abad ke 20 dari Argentina, Jorje Luis Borges, “buku adalah perpanajngan ingatan dan imajinasi”. Kepingan kunci dari warisan budaya yang memiliki kemampuan menggugah, afirmasi, memperkuat dan menstimulasi identitas suatu kelompok masyarakat. Ketika suatu bangsa hendak mengusai bangsa lain, maka yang pertama yang akan dilakukan adalah menghapus jejak-jejak ingatan dalam rangka membentuk ulang identitasnya.

Dan jejak-jejak ingatan itu mengabadi, meruang dan mewaktu dalam buku, maka buku harus dihancurkan bukan saja sebagai objek fisik semata, melainkan sebagai tautan ingatan dan poros identitas seseorang atau kelompok masyarakat sebab tak ada identitas tanpa ingatan.

Lihat misalnya, invasi Amerika Serikat ke Bagdad Mei 2003 silam, yang tidak saja melumat nyawa manusia. Lebih dari itu telah menghancurkan peradaban lewat pembakaran buku dan perusakan museum-musem

Dalam penelitian Fernando Baez (doktor bidang ilmu perpustakaan) pada 12 April 2003 terjadi penjarahan Museum Arkeologi Bagdad. Tiga puluh koleksi yang tak ternilai harganya hilang, lebih dari empat belas ribu koleksi kecil dicuri dan ruang-ruang pamernya dihancurkan. Lalu pada 14 April, sejuta buku di Perpustakaan Nasional dibakar bersama arsip nasional dengan lebih dari sepuluh juta entri dari zaman Utsmaniyah dan Republik.

Lalu, sebuah bom meledakkan Perpustakaan Nasional Bosnia di Sarajevo. Perpustakaan yang dibuka pada tahun 1896 itu, dibombardir tembakan artileri pada 25 Agustus 1992. Sebanyak 1,5 juta jilid buku dan lebih dari seratur ribu manuskrip musnah. Padahal lazimnya, gedung-gedung hanyalah korban sampingan dari sebuah perang, maka kasus Sarajevo memperlihatkan status istimewa perpustakan dan buku sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang merekatkan masyarakat.

Perpustakaan adalah simbol karena itu dianggap berbahaya. Bibliosida terus dilancarkan untuk membasmi ingatan yang dianggap mengandung ancaman terhadap ingatan lain. Kata Jhon Milton, yang dihancurkan dari sebuah buku adalah rasionalitas yang dihadirkannya.

Dalam fenomena penghacuran buku, nampak jelas bahwa pelakunya merasa tak cukup hanya sekedar mengasingkan, memenjarakan bahkan membunuh penulis. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, yang bukan saja diasingkan melainkan karya-karyanya dikotakpandorakan. Dilarang beredar dan hendak dihapus dalam ingatan kolektif masyarakat. Siapa saja yang membacanya (kala itu) maka bersiaplah menyusul ke pengasingan atau mangkat secara tidak wajar. Demikian surat kabar yang ajeg memunculkan tulisan-tulisan yang dianggap bisa memantik api perlawanan rayat, mereka dibreidel dan jurnalisnya ditankapi seperti penjahat.

Karena itu, sekali lagi, penting untuk memahami bahwa penghacuran ingatan adalah alasan yang sebenarnya penghancuran buku.

Orang Romawi punya istilah damnatio memoriae, suatu proses di mana senat Roma menjatuhkan hukuman atas ingatan terhadap orang-orang yang digolongkan tercela. Antara lain, nama mereka dihapus dari semua inskripsi, buku dan monumen agar dilupakan oleh generasi mendatang. Maka barang siapa yang merusak atau menghancurkan buku, maka ia telah mengulangi skema klasik tersebut.

Filsuf dan noveli asal Italia, Umberto Eco, mengklasifikasikan tiga bentuk bibliosida yakni bibliosida fundamentalis, bibliosida pengabaian dan bibliosida prakmatik atau kepentingan. Yang fundamentalis tidak membenci buku sebagai objek, mereka takut akan isinya dan tidak ingin orang lain membacanya.  Bibliosida pengabaian, seperti yang banyak dilakukan di beberapa perpustakaan yakni dengan tidak merawat. Salah satu cara menghancurkan buku adalah dengan membiarkannya tetap berada di rak dipenuhi debu dan dimakan rayap. Dan bibliosida kepentingan adalah merusak buku-buku untuk dijual secara terpisah-pisah karena bisa mendatangkan laba lebih besar.

Pada akhirnya kita mesti membuat keputusan untuk diri kita sendiri, akankah kita menjadi penyelamat atau menjadi satu di antara penghancur ingatan. Instrument untuk mengkur itu tergambar pada cara memperlakukan buku.

Pada akhirnya, penulis hendak mengulang kata-kata seorang pustakawan ulung, Fernando Baez; Rasanya mustahil kita pernah mendengar ada computer atau mobil yang dikeramatkan. Tetapi kita tahu adanya buku-buku yang dianggap keramat. Bagi banyak  kelompok masyarakat selain menjadi monument mnemonic, buku ada juga yang menjadi manifestasi ilahi.

Hal tersebut dapat dilihat pada orang Ibrani, membangun dalam sinagoga sebuah ruang bernama genizah, dari yang akarnya berarti ‘menyembunyikan’. Ruang itu memang untuk menyimpan manuskrip-manuskrip atau salinan ayat atau teks-teks suci. Ngeri oleh kemungkinan dihancurkan. Mereka membangun ruang fantastik dalam sejarah dunia untuk mengubur buku-buku dan salah satu tempat penting macam itu adalah Genizah Kairo, yang berisi ribuan tulisan dalam aksara Ibrani.

Asa di Jinjingan

Anak itu hadir bersama tanda waktu yang sedang resah di Mamuju. Tanah Manurung dirundung murung oleh tiupan musim yang bonsai. Di ambang gelap  ia menjadi kisah.

***

Ia meniti tanggul yang memanjang seratus meter di depan rumah adat. Tanggul yang tak pernah sepi di senja hari, oleh muda mudi. Ada yang menggandeng pacar, ada pula yang merenungi sapaan angin dan ombak yang tak henti menampar tepi tanggul.

Pada sudut lain, gadis belia tertunduk tanpa ekspresi menatap kosong ke Pulau Karampuang yang beku, jauh dilepasan pantai Manakarra. Mungkin sedang patah hati. Ada juga yang sibuk bersolek, bergaya bak model tabloid dewasa Korea dan seorang karibnya bersiap merapatkan mata ke camera DSLR.

Senja itu, gerimis turun mengabarkan dingin. Namun, tak membendung hasrat binal pasangan muda untuk mencumbui deru ombak yang meringkuk dan tak putus menagih pantai yang dirampas tanggul. Tanggul yang memisahkan laut dan istana kerajaan Mamuju, zaman dulu (katanya).

Seorang anak melintas menjinjing box plastik, di tanganya terayun pula botol bekas air mineral berisi cairan orange. Namanya,  Andri, jelas dia tidak sedang cuci mata. Juga tidak sedang berpacaran. Dia baru berusia 12 tahun. Lagi pula dia datang seorang diri menenteng keranjang plastik berisi pastel dan botol bekas air mineral berisi cairan warna.

Kehadiran Andri di senja hari, menjadi epik yang mewedarkan air mata. Tatkala ia berkisah tentang keluarganya yang menanti di gubuk jalan Pengayoman Mamuju dan hari-harinya yang terus berjalan mengelilingi kota, dari pagi hingga petang, bahkan tanpa alas kaki melawan deru panas aspal.

Pastel yang dijajakan itu juga bukan miliknya. Itu milik orang lain, Andri hanya diberi upah. Seratus potong pastel terjual habis, Andi kebagian Rp 20 ribu. Tapi kalau tidak, kisaran upahnya juga turun.

Ayahnya seorang penggayuh becak dan sudah mangkat ketika Andri menginjak usia sembilan tahun. Dialah yang mengambil peran ayahnya, menghidupi ibu dan dua orang adiknya.

Senja itu ia mengisahkan jika upahnya menjual pastel tandas pada beras seliter dan tempe atau tahu, sepulang ke rumah.

“Saya mau nabung supaya bisa sekolahkan adek,” kata Andri.

Tetapi, lanjut dia, apa yang mau ditabung. Untuk makan sehari-hari saja susah.

“Apakah Andri tidak sekolah,” tanya Saya.

“Sudah berhenti. Waktu ayah masih hidup, saya sekolah. Naik kelas dua SD, ayah meninggal karena kecelakaan ditabrak lari. Ibu tidak punya kerjaan, jadi saya berhenti dan menjadi penjual pastel,” jawab Andri.

Saya tak tahu cara seketika menolong Andri, apa yang datang menyapa dalam hidupnya adalah kilasan perjuangan yang melampaui batas-batas rigiditas konstruksi kuasa yang dipancangkan dalam pidato para pejabat, meski pada kenyataannya Andri, tetap meranggas dalam cobaan hidup yang keras.

Bukankah seharusnya anak seusia Andri sibuk dengan aktivitas belajar dan bersekolah?

Tetapi di tanggul yang berjarak puluhan meter dari gedung DPRD Mamuju ini, semua jadi lain. Bangunan hotel berbintang yang nampak megah, sangat kontras dengan kehidupannya. Dia hanya terus berjalan tanpa alas kaki, menyusuri selasar rumah adat hingga ke jalan raya, menawarkan pastel pada orang-orang yang dijumpainya, meski terkadang menuai bentak dan usir tanpa belas kasih.

Kisah Andri bisa menjadi renungan, bahwa bukan sesuatu anyar sesungguhnya ketika seorang anak kecil hadir menjadi tamsil mewartakan pesan moral dan ketidakadilan di sekeliling kita.

Andri adalah episode yang nyata tergurat pada jalur pendusta keadilan yang mulai lupa jalan pulang ke kampung akhirat.

***

Pada lekukan gedung yang angkuh dan lalu-lalang manusia, mata Andri tetap jatuh pada satu titik menangkap kerlip waktu pada keranjang plastik dan pada wajah awan yang goyah dalam pantulan ketimpangan.

Seketika saya sadari, Andri telah menjadi pejuang literasi, menulis tanpa aksara, “kami ada, kami juga manusia yang sedang menanti keadilan”.

Hingga bertahun setelah pertemuan itu, Andri masih sering melintas di tepi jalan raya menjinjing keranjang plastik berisi pastel

sumber gambar: antaranews.com

Anakronisme Sejarah: Bapak yang Terlupakan

Dentuman diskusi didedahkan di sebuah warung kopi, Jl. Wr Monginsidi Mamuju. Panitia menugasi mengulas referensi seputar pemikiran Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka

***

Saya memulai dengan ulasan bahwa, Tan Malaka adalah orang pertama yang  menulis secara utuh konsep Republik Indonesia. Oleh Moehammad Yamin digelari bapak Republik, sedang Sukarno, menyebutnya seorang yang mahir dalam revolusi. Tetapi ia dilupakan begitu saja. Namanya tak pernah muncul dalam sejarah arus utama, kecuali dengan embel-embel pekai, pemberontak, kominis tak bertuhan dan sederet hal-hal buruk lainnya.

Tak sekedar dilupakan, Tan Malaka, juga berakhir tragis di ujung senapan tentara angkatan darat Negara Republik yang didirikannya. Orde baru (Orba) melabur hitam perannya dalam sejarah perjuangan pergerakan rakyat Indonesia, melawan penjajah.

Namun, harus diakui di mata anak muda, terutama yang melek sejarah, Tan Malaka mempunyai daya tarik yang tak biasa. Karena itu, momentum hari Sumpah Pemuda dijadikan sebagai ajang untuk menelaah kembali pemikiran Tan Malaka dalam konteks kekinian.

Diskusi menghadirkan lima orang narasumber, empat orang di antaranya adalah aktivis KNPI yang digadang-gadang akan “berseteru” dalam kongres memerebutkan kursi ketua. Penulis seorang yang bukan dari KNPI. Dengan melihat peserta dari banyak kampus yang mayoritas bukan orang KNPI, penulis berarti wakil dari mayoritas peserta (simpulan pribadi).

Pejabat utama organisasi pemuda yang lahir dari kelompok Cipayung, 23 Juli 1973 binaan Golkar itu, juga tampak hadir dari kabupaten hingga provinsi. Penulis yang dalam undangan disebut sebagai penggerak literasi, harus memerbaiki posisi duduk. Sepertinya akan terjadi perang gagasan dan malulah sang penyuka literasi jika sampai tak bisa bertahan (pikiran sendiri).

Diskusi lebih banyak mengulas gerilya Tan Malaka dari satu tempat ke tempat lain, termasuk perannya ketika menjadi guru pada sekolah yang didirikan Sarekat Islam (SI), ketika itu dipimpin Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Seseorang menyela di tengah kerumunan peserta, “Jika diskusi terbuka ini dihelat di masa Orba, para pelaku suda pasti digiring ke jeruji besi.”

Memang, di masa Orba, menggali pemikiran dan langkah-langkah politik Tan Malaka, nyaris sama dengan membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan dalam senyap dan berbisik. Sosok mereka adalah wajah dari pekai yang merupakan musuh abadi Orba.

Sebenarnya, Tan, memang pernah menjadi ketua pekai, 1921, menggantikan Semaun. Namun, pada 1926, Tan, keluar dari pekai dan 1927 bersama kawan-kawan seperjuangannya, memproklamirkan Partai Republik Indonesia (PARI), di Bangkok.

Sejak saat itu, dalam perjalanan hidupnya, Tan berseberangan dengan pekai hingga pada 7 November 1948, Tan mendirikan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak); setahun sebelum kematiannya.

Testamen politik Soekarno kepada Tan, berupa surat wasiat yang berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Wasiat itu berbunyi “Jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka”. Meski pada akhirnya Soekarno, sendiri yang membakar testamen tersebut.

Olehnya, patut ditelisik secara kritis bahwa setelah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada Tahun 63 oleh Soekarno, lalu kemudian pada rezin Soeharto, Tan, dihilangkan dari daftar pahlawan nasional. Itu tidak terlepas dari anggapan, Tan, sebagai pekai.

Peristiwa 26-27 dan 48-65

Dalam historiografi nasional yang resmi dan dominan sejak masa Orba, di situ diulas pemberontakan pekai pada akhir tahun 1926 sampai awal 1927 dan peristiwa Madiun 1948 serta gerakan 30 September 1965.

Dalam nalar struktur naratif historiografi resmi, hal itu bisa dipahami dengan mudah, bahwa yang dihadapi pekai pada 1948 dan 1965 adalah pemerintah Republik Indonesia, maka apa yang dilakukan pekai itu secara gampang bisa dilabeli sebagai tindakan makar sehingga layak dipandang sebagai musuh bangsa.

Tetapi, yang dilakukan pekai pada 1926-1927, itu berbeda sebab yang ditantang pekai ketika itu adalah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam wacana sejarah resmi yang nasionalistis, atau nasionalisme anti kolonial, siapa pun yang pernah melawan atau memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda dan apa pun motifnya, akan dilabeli sebagai pahlawan.

Rumitnya, melabeli para tokoh pekai dalam pemberontakan 1926-1927 sebagai pahlawan, jelas akan mengurangi bahkan membalik gambaran tentang mereka sebagai pengkhianat.

Sebaliknya, menyamaratakan apa yang pekai lakukan pada 1926-1927 dengan apa yang mereka lakukan pada 1948 dan 1965, jelas merupakan suatu bentuk anakronisme sejarah.

Harus digarisbawahi, bahwa Tan, sama sekali tidak terlibat dalam pristiwa Madiun 1948. Lebih-lebih gerakan 30 September 1965, sebab Tan telah wafat, di tahun 1949. Bahkan partai Murba yang didirikannya dalam berbagai peristiwa selalu berseberangan dengan partai kominis.

Yang dilakukan Tan pada tahun 1948 adalah menentang diplomasi dengan penjajah Belanda. Prinsipnya begitu teguh untuk tidak berdiploasi dengan kaum penjajah, demi cita-cita utamanya yakni kemerdekaan Indonesia seratur persen.

Maka meski dengan konsekuensi diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika dan Jepang, di 11 Negara, Tan, tetap menolak perundingan dengan kaum penjajah.

Menurutnya, jika bangsa Indonesia telah merdeka seratus persen sejak proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk itu, perundingan baru bisa dilakukan jika Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Penulis berkesimpulan, bahwa kebodohan rezim Orba-lah yang menghapus nama Tan, dari pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah dan juga kebodohan Orba yang menuduh Tan, terlibat dalam beberapa kali pemberontakan.

Seluruh referensi sejarah baik, teks sejarah keluaran pusat sejarah TNI AD dan teks sejarah terbitan lembaga sejarah pekai, menyebutkan bahwa Tan, menolak pemberontakan pekai 1926-1927 dan Tan, sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948.

Melalui diskusi pada malam yang memertautkan gagasan para aktivis pemuda dan mahasiswa dari berbagai kampus, penulis mengultuskan semangat Tan Malaka, sebagai spirit perjuangan pemuda Indonesia.

Karena itu, semangat perjuangan Tan, harus selalu dieja, jika tidak maka dua tiga generasi mendatang akan segera melupakan sosoknya yang heroik.

Walhasil, diskusi itu menyimpulkan bahwa Tan Malaka meninggalkan sesuatu yang masih sangat relevan dengan kondisi kekinian, sesuatu yang masih harus dipelajari terus menerus.

Jika Yesus wafat meninggalkan Injil dan Muhammad Rasulullah Saw wafat meninggalkan al-Quran, maka Tan Malaka wafat meninggalkan Madilog (materialisme dialektika dan logika), sebuah pisau analisis untuk mebedah persoalan kebangsaan dan kemanusiaan


sumber gambar

Para Penggenggam Arit

Sekelompok manusia berarak menuju sebidang tanah di kaki bukit, turun dari rumah dengan sarung terikat di pinggang. Mereka menggenggam arit, separuhnya lagi berjalan sambil memikul cangkul dengan kaki ringkih telanjang.

Pagi itu cuaca cerah, petani di perbatasan Seko dan Kalumpang itu, akan memanen padi setelah tiga bulanan menunggu. Pada hamparan sawah mereka padi-padi itu tertunduk sempurna, menguning dengan bulir yang padat meski ditanam di musim tak tentu.

Demikianlah adanya padi di kaki Bukit Sandapang. Orang-orang sekitar memang tak pernah berpatokan pada musim hujan atau kemarau saat hendak menanam. Lebih-lebih tak mau terjebak dalam rumus para penyuluh pemerintah yang mereka anggap tak memahami konsep pertanian secara baik. Mereka lebih teguh memegang tradisi purba dengan berpatokan pada batu pare. Batu dalam bahasa Kalumpang berarti sebuah batu, sedangkan pare berarti padi.

Batu Pare, adalah sebuah batu besar dengan permukaan datar yang dahulu terletak di tengah kampung Kalumpang. Batu tersebut ditemukan melalui mimpi oleh Tobara (sebutan untuk kepala adat Kalumpang) bernama Kondo Biro. Konon di atas batu itu, Kondo Biro, menemukan tiga orang anak yang lalu menjelma menjadi tiga bulir padi dan saban tahun tumbuh secara misterius di atas batu pare.

Sampai saat ini, setiap tahunnya tiga bulir padi tersebut tumbuh dan menghasilkan tiga tangkai padi. Warga Kalumpang menjadikan itu sebagai penanda. Jika padi di atas batu itu subur, maka hasil pertanian mereka akan subur demikian juga jika hampa atau dimakan hama. Kini tempat itu dikenal dengan nama Desa Batu Pare, di pedalaman sungai Karama.

Dan pagi itu penduduk desa warisan Kondo Biro, tengah bersuka cita. Wajah-wajah mereka semringah menegadah ke langit, tanaman pangan mereka menghadirkan sejuk di hati. Bagaimana pun itulah benteng terakhir pertahanan keluarga untuk memenuhi asupan konsumsi rumah tangga. Sementara tanaman kakao sudah lama tak bisa diharapkan sejak tersentuh program gerakan nasional (GerNas). Seringkali memang apa yang subur di tangan masyarakat akan meranggas jika disentuh program-program pemerintah yang konyol.

Di saat-saat ketika padi menguning itulah kekerabatan tertaut rapat.  Warga desa ramai-ramai mengeroyok petak-petak sawah secara bergiliran dari satu empu ke empu yang lain. Yang memiliki sawah lebih luas, biasanya memanggil kerabat yang tinggal di kampung sebelah untuk massoppong (memanen padi sawah dengan memotong dibagian pertengahan batang, menggunakan arit).  Nanti, sang kerabat bakal kebagian beras.

Karena tradisi massoppong itulah sehingga warga sekitar berkarib dengan arit, demikian akrabnya bahkan memotong bambu yang jamak memakai parang, pun, mereka lebih sering memakai arit.

Untunglah mereka hidup di era terbuka, ketika pemerintahan menganut sistem demokrasi walaupun setengah hati. Setidaknya, mereka tak lantas diciduk, dimatikan atau setidak-tidaknya dipenjara tanpa proses pengadilan.

Di masa jauh ketika Orba masih bercokol, arit adalah penanda seseorang itu kominis atau setidak-tidaknya simpatisan pekai. Memiliki arit berarti bersiap menyusul ke lubang buaya, dimiskinkan, dibantai tanpa rasa bersalah. Sementara para pembantainya diapuk sebagai penyelamat. Singkat kata, darahnya dihalalkan dan nyawanya jadi incaran. Para pembantainya mendapat pahala karena dianggap menyelamatkan umat dari pengaruh kaum-kaum tak bertuhan.

Semua demi menyokong asumsi bahwa kominis cukup massif di tanah pertiwi dan jenderal angkatan darat yang berhasil membasminya adalah sosok yang layak menyandang sebutan founding fathers yang memiliki hak atas sebahagian atau seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, sepanjang waktu yang dia inginkan dan bahkan boleh diwariskan pada generasinya.

Padahal dari seberang sana, ada penyaksi yang mengatakan pemerintah kala itu kerap mengirim arit, cangkul dan bibit pada petani di desa-desa yang jauh dari pusat. Sebulan kemudian, dikirimkan sepasukan tentara angkatan darat untuk menangkapi mereka dengan tuduhan pekai. Mereka dianggap berkomplot dengan kominis melalui giat yang disebut Turba (Turun Kebawah). Mereka dituduh sebagai tempat di mana pekai pernah melakukan Turba.

Dalam sebuah perbincagan ringan dengan salah seorang Tobara, ia menyebutkan, Kalumpang adalah salah dua daerah yang kerap dituding sebagai tempat persembunyian sebagian tahanan politik dan pengasingan narapidana politik yang tertuduh sebagai pekai, di gugusan Celebes, ini.

Bahwa areal persawahan di kaki bukit itu telah ada sejak zaman Hindia Belanda. Hingga 73 tahun Indonesia merdeka, tak banyak yang berubah. Infrastruktur jalan masih setapak, sistem pertanian masih dengan cara-cara purba tanpa sentuhan teknologi. Sawah dibajak dengan cangkul dan dipanen dengan arit.

Padahal itu penyanggah utama kebutuhan beras warga Kalumpang. Masih terlalu sempit, sehingga antara panen, warga masih tetap membeli beras. Sebenarnya, potensi persawahan sangat luas, bisa sampai ratusan hektar. Kesuburan tanahnya juga tak diragukan. Penduduk sebanyak 1.110 jiwa juga adalah pembajak tangguh.

Tetapi begitulah, seluruh keterbelakangan itu tak kering dari tudingan-tudingan, masih kerap dikait-kaitkan dengan isu masa lampau, tentang tapol, tentang napol dan para tokoh yang dicap sebagai pembelot.


sumber gambar: youtube.com

Pergulatan Tanpa Henti

Sejenak memanggul renung selepas malam menggelinding dan hujan menempias di balik pucuk pohon yang tumbuh di halaman. Mozaik hening mengisah ngilu serta setumpuk pertanyaan di kepala dan juga harapan yang timpah-penimpah.

Gemuruh di luar kian menjadi. Arakan hujan menggedor atap rumahku. Namun, mataku tetap lena pada banjaran aksara, hendak mengemasi cerita tentang padi dan sawah di kaki Bukit Sandapang dan sekelompok manusia penggenggam arit, di pedalam Bagian Barat Sulawesi.

Tetapi tiba-tiba aku melenguh, mengingat jiwa-jiwa yang runtuh dihajar banjir, pagi kemarin. Dalam hati kecilku ada doa semoga huja malam ini tak lagi berbuah banjir.

Seketika kutingalkan bukit Sandapang, kuhadirkan kembali seraut wajah di balik reruntuhan tembok dihimpit mobil sedan. Istrinya mencubiti tubuhnya yang ambruk, sambil berteriak memelas iba pada sosok yang lalu lalang. Tetapi, siapa yang peduli, para tentangga juga tengah kelimpungan mencari bantuan sambil memunguti sisah hartanya yang mengapung.

Cukup lama wanita berwajah kelam itu menuntun suaminya agar mengusai diri. Dia seperti hendak mengutuk waktu yang tak kunjung memulihkan kesadaran suaminya. Tetapi hingga para medis datang dan membawa suaminya ke rumah sakit, kesadaran itu tak kunjung tandang.

Esok, ketika matahari rebah di ufuk barat, kabar duka datang. Suaminya telah meregang nyawa di salah satu ruang perawatan rumah sakit di bagian Selatan Sulawesi. Ternyata rumah sakit di pusat pemerintahan bagian Barat Sulawesi, tak mampu menangani lelaki yang datang dari reruntuhan itu. Hanya memasangkan infus lalu merujuknya ke luar kota.

Pemerintah nampaknya kurang serius pada hal-hal elementer berbau kebutuhan manusia. Barangkali perlu membaca filsafat manusia untuk memahami hakikat kebutuhan manusia, atau menelaah psikologi humanistik sekedar memahami lima hirarki kebutuhan manusia ala Abraham Harold Maslow.

Dan di dalam hujan yang lebat, kisah itu mengabil ruang dalam tutur batinku. Pikiranku tertuju pada tiga orang anaknya yang masih sangat kecil, menyaksikan bapaknya yang mangkat seketika.

Betapa tak padu kata pepatah bahwa seseorang yang berani melewati hujan badai akan berpeluang besar menyaksikan indahnya pelangi. Itu tak berlaku bagi ayah dari tiga anak itu. Betapa ia berani melewati hujan badai dan menerobos banjir. Namun, pada akhirnya tak berkesempatan menyaksikan indahnya pelangi -entah di alam lain-.

Dia adalah sosok bernasib nahas dari antara 3.315 jiwa. Drama ini akan terus berulang mengesah haru biru dari mulut-mulut yang memberang. Membaur rintih, lantaran tak mampu membendung nafsu menggagahi alam. Hebatnya lagi, sebab para pejantan alam tak pernah ikut menelan duka.

Mereka baru akan muncul ketika langit memancarkan indah pelangi, biduk yang nyaris karam kembali ke muara dengan gemulai menawan dan para pengguna seragam keki ngaceng, menenteng payung sekedar mengusir sangka untuk tak disebut khianat.

Mereka tak membiarkan noda menggenang bercak biru dan ambigu dan tak bisa membayangkan jika namanya tak menemu jalan pulang, ke kampung nurani khalayak.

Karena itu meraka datang, ngeceng meski berpayung. Hendak memberi ruang lapang pada cakrawala sang korban, menyibak getir walau sekedar omong kosong. Seolah-olah mengatakan -aku ikut merasakan apa yang kalian rasakan, juga sakit atas apa yang kalian derita. Meminjam bait terakhir puisi “Satu” karya Sutardji Calzoum Bachri “yang tertusuk padamu berdarah padaku”. Tetapi sekali lagi, itu hanya omong kosong.

Ketika hari-hari lindap dalam segala sibuk dan hiruk pikuk, semua akan menjadi lupa. Ambisi kembali memainkan peran tanpa peduli akan akibat yang diterakan, juga tidak mau tahu segores luka di hati yang dalam. Baginya, luka bukanlah hal penting untuk dipikirkan sebab telah terjatuh dalam kubang hasrat dan memiliki memori yang pendek, mereka mudah lupa. Seperti yang ditulis Afifah Afra “Aku tersenyum menang, tak ada lagi pembangkangan karena aku sudah punya status, punya identitas, sebuah harga diri. Aku puas”.

Terpenting kemudian, nantinya bisa ngaceng lagi jika musibah menyapu jalan raya. Para penjaga hasrat akan bergerak di atas pick up berisi kardus-kardus mieintan dan popok bayi, juga pakaian bekas yang menahun dalam gudang.

Tetapi, itu lumrah saja sesungguhnya sebab di dalam risalah filosofis yang disebut postmodernisme, hadir pula sesuatu yang disebut masyarakat konsumtif, sebuah ruang identifikasi yang imaginer tentang diri. Tidak sekedar mengakumulasi benda atau barang material, melainkan halusinasi tentang citra diri dan makna simbolik.

Ketika fajar menyingsing di ufuk timur, mesin-mesin bertenaga raksasa kembali menderu menggerayangi sungai, menggagahi pepohonan dan mencungkil bebukitan untuk dipindahkan ke laut. Sebuah penegasan akan kepemilikan dan penguasaan dan saat sakramen pertemuan ombak dan muara membuncah, abrasi dan banjir terjadi lagi. Terus berulang disusul korban-korbannya.

Demikian itulah hasrat, sebuah pergulatan tanpa henti yang menghadirkan eskapisme hingga manusia bermain-main dengan ambisi tanpa batas. Pemuasan hasrat buas atas tubuh, dalam filsafat sosial disebut hedonisme. Namun, sebaiknya para pemerkosa alam melakukan sakramen taubat sebagai pengakuan, agar tak lebih lama bergumul dalam kemunafikan menyembunyikan noda hitam diri.

Kutundukan kepala, kuresapi suara hujan yang menggedor kian keras. Rasa khawatir masih bersarang di dada, membayangkan orang-orang yang lena dan banjir menjemputnya di kamar tidur. (**)