Ideologi, politik dan seksualitas kerap melatari penyensoran dan penghancuran buku-buku. Kita mendapati sejarah pembakaran kitab-kitab hadits termasuk mushaf Al-Quran di masa kekhalifaan Ustman, lalu kita mengetahui tragedi pembakaran buku, dokumen-dokumen karya dan koleksi Tan Malaka, di kaki gunung Wilis, oleh lusinanTentara Angkatan Darat yang menagkap dan membunuhnya pada 1949.
Lalu, Desember 2009 Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pembredelan terhadap lima buah buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila. Kelima buku tersebut dilarang beredar di Indonesia.
Kelima buku itu adalah Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.
Padahal buku, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, terpilih sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007.
Menurut Robert Cribb dalam Australian National University, buku tersebut ditulis dengan sangat baik dan mengasyikkan, “Inilah upaya ilmiah pertama dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa untuk mengkaji secara serius bukti-bukti yang berkenaan dengan teka-teki paling penting dalam sejarah Indonesia, kudeta 30 September 1965. (Robert Cribb, Australian National University).
Buku dikotakpandorakan atas dasar kepentingan politik, menjaga dominasi Cendana di bawah sistem Orba dan melanggengkan status quo.
Jauh pada abad ke 20, sekitar tahun 1909 buku pertama John Henry Mackay, dibakar akibat ambiguitas seksual tokohnya. Edisi berikutnya 1913 dihancurkan oleh Nazi.
Tahun 1949, Menteri Pendidikan Venezuela, Augusto Mijares, memerintahkan pembakaran Memorias karya Jean Baptiste, karena alusinasi seksualnya pada kehidupan Simon Bolivar. Dan Maret 1997, para pustakawan Hertford School memerintahkan penghancuran 30 ribu buku sumbangan karena isu-isu homoseksual.
Bahkan novel remaja berseri yg sangat populer Karya J.K Rowling, Harry Potter, dibakar ratusan kopi oleh sekelompok kaum beragama, di Alamogordo, New Mexico, atas seruan pemimpin gereja Christ Community, Jack Brock, dengan alasan buku itu bisa mendorog anak muda, belajar sihir dan ilmu hitam.
Novel itu dibakar bersama beberapa karya Stphen King.
Itu gambaran, betapa buku adalah serangan melawan impunitas, dogmatisme, manipulasi dan disinformasi Dan Itu jugalah sebabnya para penguasa tiran menghancurkan buku, sebab buku adalah parit-parit ingatan dan ingatan adalah dasar bagi lahirnya perlawanan.
Buku demikian menakutkan bagi yang gemar memenjara ingatan, karena itu kita (harus) melakukan gerakan suka buku sebagai gerakan perlawanan dan penyelamatan ingatan.
Seperti kata sastrawan abad ke 20 dari Argentina, Jorje Luis Borges, “buku adalah perpanajngan ingatan dan imajinasi”. Kepingan kunci dari warisan budaya yang memiliki kemampuan menggugah, afirmasi, memperkuat dan menstimulasi identitas suatu kelompok masyarakat. Ketika suatu bangsa hendak mengusai bangsa lain, maka yang pertama yang akan dilakukan adalah menghapus jejak-jejak ingatan dalam rangka membentuk ulang identitasnya.
Dan jejak-jejak ingatan itu mengabadi, meruang dan mewaktu dalam buku, maka buku harus dihancurkan bukan saja sebagai objek fisik semata, melainkan sebagai tautan ingatan dan poros identitas seseorang atau kelompok masyarakat sebab tak ada identitas tanpa ingatan.
Lihat misalnya, invasi Amerika Serikat ke Bagdad Mei 2003 silam, yang tidak saja melumat nyawa manusia. Lebih dari itu telah menghancurkan peradaban lewat pembakaran buku dan perusakan museum-musem
Dalam penelitian Fernando Baez (doktor bidang ilmu perpustakaan) pada 12 April 2003 terjadi penjarahan Museum Arkeologi Bagdad. Tiga puluh koleksi yang tak ternilai harganya hilang, lebih dari empat belas ribu koleksi kecil dicuri dan ruang-ruang pamernya dihancurkan. Lalu pada 14 April, sejuta buku di Perpustakaan Nasional dibakar bersama arsip nasional dengan lebih dari sepuluh juta entri dari zaman Utsmaniyah dan Republik.
Lalu, sebuah bom meledakkan Perpustakaan Nasional Bosnia di Sarajevo. Perpustakaan yang dibuka pada tahun 1896 itu, dibombardir tembakan artileri pada 25 Agustus 1992. Sebanyak 1,5 juta jilid buku dan lebih dari seratur ribu manuskrip musnah. Padahal lazimnya, gedung-gedung hanyalah korban sampingan dari sebuah perang, maka kasus Sarajevo memperlihatkan status istimewa perpustakan dan buku sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang merekatkan masyarakat.
Perpustakaan adalah simbol karena itu dianggap berbahaya. Bibliosida terus dilancarkan untuk membasmi ingatan yang dianggap mengandung ancaman terhadap ingatan lain. Kata Jhon Milton, yang dihancurkan dari sebuah buku adalah rasionalitas yang dihadirkannya.
Dalam fenomena penghacuran buku, nampak jelas bahwa pelakunya merasa tak cukup hanya sekedar mengasingkan, memenjarakan bahkan membunuh penulis. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, yang bukan saja diasingkan melainkan karya-karyanya dikotakpandorakan. Dilarang beredar dan hendak dihapus dalam ingatan kolektif masyarakat. Siapa saja yang membacanya (kala itu) maka bersiaplah menyusul ke pengasingan atau mangkat secara tidak wajar. Demikian surat kabar yang ajeg memunculkan tulisan-tulisan yang dianggap bisa memantik api perlawanan rayat, mereka dibreidel dan jurnalisnya ditankapi seperti penjahat.
Karena itu, sekali lagi, penting untuk memahami bahwa penghacuran ingatan adalah alasan yang sebenarnya penghancuran buku.
Orang Romawi punya istilah damnatio memoriae, suatu proses di mana senat Roma menjatuhkan hukuman atas ingatan terhadap orang-orang yang digolongkan tercela. Antara lain, nama mereka dihapus dari semua inskripsi, buku dan monumen agar dilupakan oleh generasi mendatang. Maka barang siapa yang merusak atau menghancurkan buku, maka ia telah mengulangi skema klasik tersebut.
Filsuf dan noveli asal Italia, Umberto Eco, mengklasifikasikan tiga bentuk bibliosida yakni bibliosida fundamentalis, bibliosida pengabaian dan bibliosida prakmatik atau kepentingan. Yang fundamentalis tidak membenci buku sebagai objek, mereka takut akan isinya dan tidak ingin orang lain membacanya. Bibliosida pengabaian, seperti yang banyak dilakukan di beberapa perpustakaan yakni dengan tidak merawat. Salah satu cara menghancurkan buku adalah dengan membiarkannya tetap berada di rak dipenuhi debu dan dimakan rayap. Dan bibliosida kepentingan adalah merusak buku-buku untuk dijual secara terpisah-pisah karena bisa mendatangkan laba lebih besar.
Pada akhirnya kita mesti membuat keputusan untuk diri kita sendiri, akankah kita menjadi penyelamat atau menjadi satu di antara penghancur ingatan. Instrument untuk mengkur itu tergambar pada cara memperlakukan buku.
Pada akhirnya, penulis hendak mengulang kata-kata seorang pustakawan ulung, Fernando Baez; Rasanya mustahil kita pernah mendengar ada computer atau mobil yang dikeramatkan. Tetapi kita tahu adanya buku-buku yang dianggap keramat. Bagi banyak kelompok masyarakat selain menjadi monument mnemonic, buku ada juga yang menjadi manifestasi ilahi.
Hal tersebut dapat dilihat pada orang Ibrani, membangun dalam sinagoga sebuah ruang bernama genizah, dari yang akarnya berarti ‘menyembunyikan’. Ruang itu memang untuk menyimpan manuskrip-manuskrip atau salinan ayat atau teks-teks suci. Ngeri oleh kemungkinan dihancurkan. Mereka membangun ruang fantastik dalam sejarah dunia untuk mengubur buku-buku dan salah satu tempat penting macam itu adalah Genizah Kairo, yang berisi ribuan tulisan dalam aksara Ibrani.
Pustakawan di Lentera Manakkara.