Semua tulisan dari Junaid Judda

Lahir di Bantaeng. Selain bertani, aktif di Pemuda Baru Indonesia dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria.

Hutan Sebagai Penyambung Hidup

Apakah jadinya…? Jika hutan tak lagi ada…? Berubah menjadi tambang Tuan Kota.  (lirik lagu; Iksan Skuter)

Kerimbunan hutan di sebuah desa, telah memberi banyak cerita bagi masyarakat di sekitarnya. Cerita itu menjadi warisan dari generasi ke generasi, akan pentingnya hutan. Selain menceritakan manfaat keberadaan hutan terhadap masyarakat di sekitarnya, juga selalu dibumbuhi dengan cerita mitosnya.

Hutan kecil itu terletak sekitar 5 Km dari pusat Kota Bantaeng, tepatnya di desa Mamampang, Kecamatan Eremerasa, Kabupaten Bantaeng. Luas hutan tersebut sekitar delapan hektar. Yang berkontribusi terhadap penghidupan masyarakat. Hutan tersebut diberi nama hutan Arakeke, memiliki fungsi lindung atau hutan lindung. Sedangkan masyarakat di sekitar hutan, memberi nama sebagai hutan adat. Hutan itu berbatasan dengan sawah di bagian selatan, sungai di bagian barat, kampung Parope dan kebun di bagian utara, dan bagian timur berbatasan dengan kampung Arakeke, atau berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tangnga.

Ada semacam mitos, diyakini oleh sebagian masyarakat bahwa di kawasan tersebut  terdapat penghuni dan bisa saja menampakkan dirinya, jika iya menghendakinya. Bagi masyarakat di sekitar hutan, selalu menyampaikan cerita mitos saat membahas soal hutan. Cerita itu seperti hembusan  angin pada ranting-ranting yang menggoyangkan dedaunannya. Mitos ini tak ada maksud dan tujuannya untuk menjadikannya sebagai sesembahan. hanya saja sebagai cerita untuk mengsakralkan hutan.

Daun hijau yang rindang. Percikan air  mengikuti irama angin. Nyanyian makhluk bernyawa mengiringi di setiap langkah. Tumpukan batu tersusun rapi menyimpan cerita yang tersembunyi. Sesajen di atas tumpukan batu memberi suasana dalam kesunyian. Bau kemenyan memberi aroma misterius yang diiringi doa-doa untuk penciptanya. Kuburan tua tampak di depan yang berasal dari cerita rakyat yang misterius itu. Kuburan itu seperti hikayat dalam cerita.

Cerita-cerita mitos dan ritual syukuran tersebut adalah salah satu cara masyarakat mengsakralkan dan menjaga kawasan Hutan. Di sisi lain, masyarakat yang memiliki kesadaran akan pentingnya kawasan hutan terhadap keberlangsungan hidupnya, mereka juga menjaganya dari eksploitasi, perambahan, dan pembangunan yang tidak ekologis.

Sesajen sebagai pelengkap dalam sunyinya suasana. Sesajen bukanlah sebatas kemenyan dan bara api yang membawa aroma harum bersama asapnya, tapi lebih dari itu. Sesajen yang dijadikan persembahan untuk ritual, berupa hasil pertanian dan ternak para petani. Yang dipersembahkan untuk para tamu yang hadir dan diiringi doa-doa suci, sebagai tanda terima kasih kepada sang pemberi berkah.

Menurut masyarakat di sekitar hutan, sangat bermanfaaat dalam kehidupannya. Karena keberadaannya selalu memberi penjagaan bagi sumber penghidupan, terutama bagi masyarakat yang bergelut dengan tanah (petani). Cerita itu bukan karena horornya, tapi hikmah di baliknya. Terlepas orang menganggapnya itu adalah bidah atau musyrik. Sebenarnya, cerita-Cerita mitos masyarakat adalah cara untuk menjaga dan mempertahankan sumber kehidupan mereka, dalam hal ini hutan. Apalagi sebagai petani, sangat bergantung kepada hutan yang memiliki potensi air dan lainnya.

Masyarakat yang ada di sekitarnya, tidak bermaksud  menakut-nakuti bagi setiap orang yang menjajaki kesejukan hutan tersebut. Namun, di balik itu ada pesan agar setiap orang yang mengambil keuntungan dari hutan kecil itu, ikut ambil andil dalam menjaga keberlanjutan hutan.

Di hutan itu, terdapat sumber mata air yang merupakan sumber utama bagi petani dan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat sekitarnya. Di dalam kawasan hutan tersebut terdapat empat mata air. Dan, ada dua mata air yang berada di luar kawasan hutan tersebut yaitu; mata air Pasoso’, dan  mata air Talowe.  Di antaranya memiliki volume air yang cukup besar, memberikan berkah kepada petani, peternak, dan masyarakat di sekitarnya.

Selain dimanfaatkan sebagai irigasi dan air bersih, juga menambah debit air Sungai Kariu. Mata air yang berada di sekitar kawasan hutan atau mata air Talowe dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Ulugalung, sedangkan mata air Pasoso’, juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitanya, sebagai air bersih dan untuk ternak, serta sebagian mengalir ke sungai.

Namun, potensi batu gunung yang ada didalam kawasan hutan, selalu menjadi incaran bagi penambang galian C, sebagai bahan bagunan. Hampir seluruh wilayah kawan hutan, terdapat batu gunung yang sangat mudah ditambang. Pada tahun 90-an dan 2013 batu yang berada didalam kawasan hutan, diambil oleh salah penambang Galian C, tapi bisa halangi oleh masyarakat, untuk dijadikan bahan pembanunan inffrastruktur jalan dan bangunan lainnya. Msyarakat disekitar kawasan hutan tersebut berhasil menggagalkan ekspolitasi tesebut.

Tahun 2012,  potensi air yang ada di dalam kawasan hutan, juga ingin dikelolah oleh perusahaan air kemasan. Perusahan air kemasan tersebut telah membeli lahan di sekitar kawasan hutan, yang akan dijadikan sebagai lokasi pabrik/Industri air kemasan. Namun, perusahan air kemasan tersebut gagal membangun usahanya, karena semua masyarakat di desa tersebut, terutama pemanfaat langsung menolak pembangunan perusahan air kemasan, dengan cara menduduki lokasi lahan yang sudah dibeli dan mengusir pemilik perusahan pada saat itu. Alasan masyarakat menolak perusahan tersebut, karena akan mengurangi debit air untuk kebutuhan pertaniannya dan kebutuhan sehari-harinya.

Sedangkan pada tahun 2019, Pemerintah Desa Mamampang, merencanakan pembangunan kolam renang di dalam kawasan hutan tersebut. Namun, sebagian masyarakat Desa Mamampang kembali melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan kolam renang di dalam kawasan hutan. Kolam renang tersebut akan di bangun dengan menggunakan anggaran desa dan pembangunan dimulai akhir tahun 2019.

Ketika penolakan terjadi, ada bebarapa cara yang lakukan oleh masyarakat.  Pertama, perwakilan masyarakat yang menolak pembangunan tersebut, melakukan audiens dengan kepala UPTD KPH Jeneberang II yang beralamat di Jalan Elang, Kec. Bantaeng, Keb. Bantaeng, tapi tidak ada titik terang. Sekitar satu minggu kemudian, perwakilan masyarakat kembali melakukan audiens di kantor DPRD Kab. Bantaeng, yang juga dihadiri oleh Ketua DPRD, Anggota DPRD, Dinas Pariwisata, Kepala UPTD KPH Jeneberang, media, dan NGO/LSM, serta perwakilan Camat Eremerasa. Sayangnya, Kepala Desa Mamampang tidak hadir, padahal juga diundang oleh DPRD. Dari audiens tesebut, semua instansi terkait yang hadir pada saat itu, sepakat agar Kepala Desa Mmamampang tidak melanjutkan pemangunan tersebut.

Dari beberapa penjelasan tersebut, ancaman terkait kerusakan kawasan hutan, tidak datang dari masyarakat kecil. Namun, berasal dari program pembangunan yang hanya berdasar atas nafsu semata, tanpa melihat dari dampak ekologisnya.

Kenapa masyarakat menjaga hutan itu, dari tangan-tangan yang memiliki nafsu untuk merusakan hutan lewat pebangunan dan bentuk lainnya? Karena masyarakat sangat bergantung kepada hutan kecil tersebut, atas penghidupannya. Air yang bersumber dari hutan kecil tersebut mengairi  lahan pertanian seluas 74 Hektar, (Sumber Data Digitasi Peta) yang berada di Desa Mamampang.

Jika luasan sawah tersebut bisa menghasilkan rata-rata 6 ton gabah per hektar, maka ada sekitar 282 ton gabah dari jumlah total. Kalau setahun ditanami 2 kali musim padi,  maka ada sekitar 564 ton pertahunnya, belum lagi satu musim untuk tananam jagung. Sedangkan ada sekitar 200 rumah/sekitar 600 jiwa, yang memanfaatkan sebagai air bersih di dua dusun, yaitu Dusun Arakeke dan Dusun Ulugalung, belum masuk ternak petani. Selain itu, petani di dua desa tetangga, juga mendapatkan manfaat untuk memenuhi kebutuhan irigasi di lahan persawahannya, terutama pada musim kemarau. Dan, keberadaan hutan tersebut, dengan potensi air yang cukup membuat petani bisa mengelola sawahnya tiga kali setahun. Selain air, hutan tersebut berkontribusi untuk menjaga kebersihan udara dengan melepaskan oksingen (O2) setiap hari.

Cerita mitos dan cerita lainnya adalah cara mereka menjaga kelestarian hutan, dari tangan-tangan serakah, terutama dari ekploitasi, perambah, dan monopoli terhadap sumber daya yang dimiliki kawasan hutan. Tentu dengan Keberadaan kawasan Hutan Arakeke tersebut, menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menjaga kelestariannya. Keberadaan hutan itu, tidak hanya berkontribusi terhadap ketersediaan pangan, pun juga menjaga keseimbangan ekologi di dalamnya. Kawasan hutan yang luasnya sangat sedikit, tapi memberi arti penting terhadap keberlanjutan penghidupan bagi semua makhluk, terutama manusia.

Sumber gambar: https://www.bidiknasional-online.com/2019/06/hutan-arakeke-perlu-di-lindungi-dan.html

 

 

Perempuan Adat Ammatoa Kajang

Ja’bajinong seorang perempuan adat kajang berusia 45 tahun. Berkulit kuning langsat dan masih berperawakan muda. Dia ibu dari enam anak. Aktivitas sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga. Dalam adat Kajang,  Ja’bajinong seorang Angronta, atau lebih dikenal dengan Angrota Baku Atowayya.

Ja’bajinong tinggal dalam rumah berbahan kayu bitti, pohon bambu, dan atap yang terbuat dari daun sagu. Rumahnya menghadap di mana matahari terbenam. Dapurnya terletak di ruang tamu, yang mengandung nilai filosofi tersendiri.

Di sekitar  rumah Ja’bajinong banyak ditumbuhi kayu bitti, pohon bambu, dan ada juga sedikit tanaman langsat sehingga suasananya sangat sejuk. Jika menuju rumah Ja’bajinong, seseorang harus menyusuri jalan yang beralas batu kerikil yang tersusun rapi dan sebagian jalan tanah. Jarak dari pintu gerbang sekitar 700 m. Sepanjang jalan masih terasa sejuk karena masih banyak tanaman kayu-kayuan. Rumahnya terletak tidak jauh dari rumah Ammatoa,  di dusun Benteng, Desa Tanah Towa, Kec. Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Angrota Baku Atowayya perempuan penting dalam masyarakat adat Kajang. Dalam struktur adat Kajang, Angronta dibagi dua yaitu Angronta Baku Atowayya dan Angronta Baku Alolowa. Angronta memiliki tugas yaitu menyiapkan kebutuhan acara ritual adat, memfasilitasi proses pemilihan Ammatoa secara alam, melantik Ammatoa. Selain itu Angronta juga menjadi “pejabat antar waktu” pada saat Ammatoa meninggal sampai ada Ammatoa baru.

Peran perempuan dalam masyarakat adat Kajang sangat dibutuhkan baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan ritual adat. Angronta Baku Atowayya (Ja’bajinong) diangkat menjadi Angronta setelah Angronta sebelumnya meninggal. Pengangkatan Angrota ditunjuk langsung oleh Ammatoa. Dalam pengangkatan Angronta memiliki syarat yaitu memiliki garis keturunan, sudah menikah, perempuan, taat dan patuh pada pasang ri Kajang, Mengetahui dan memahami acara adat Ammatoa seperti Pangandro, Andingingi dan acara adat lainnya dan mau tinggal di Rambang Sempang.

Pemilihan Angronta tidak dipengaruhi dari segi umur, juga tergantung kemampuan dalam melaksanakan pasang dan mengetahui semua acara yang dilaksanakan oleh Ammatoa. Dari segi umur Angronta Baku Atowaya lebih muda dari Baku Alolowa.

Dalam acara adat misalnya, Angronta dan  perempauan adat lainnya disibukkan dengan menyiapkan kebutuhan acara ritual adat Kajang, seperti daun siri, buah pinang, kelapa, beras, ayam dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan tersebut dikumpulkan dari masyarakat. Kecuali beras disiapkan langsung oleh Ammatoa dan Anggronta. Salah satu acara adat ritual adat Kajang berupa Pangandro dan Andingingi dilaksanakan di kawasan hutan. Pangandro bertujuan untuk meminta hujan sedangkan Andingingi dilaksnakan pada saat pergantian musim sebagi acara tolak bala atau untuk terhindar dari jenis penyakit. Acara tersebut dilaksanakan dalam kawasan hutan agar memiliki suasana yang khusyuk.

Sedangkan aktivitas perempuan dalam rumah adalah  menenun, mewarnai sarung, mengangkat air bersih dari sumur ke rumah, dan menyediakan makanan untuk anak dan suaminya, mengambil kayu bakar baik di kebun maupun di pinngir hutan. Namun tidak hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, Angronta juga terlibat juga dalam pertanian seperti menanam jagung, memanen, menjemur hasil pertanian, membawa ke penggilingan gabah, dan menjual hasil pertanian. Sedangkan laki-laki bekerja membajak sawah. Uniknya penanaman padi, tidak dilakukan oleh perempuan akan tetapi dilakukan oleh laki-laki. Begitupun hasil pertaniann kaum laki-laki yang membawa ke rumahnya.

Di sisi lain, Angronta juga memiliki hak dalam pengambilan keputusan dan selalu dilibatkan dalam a’borong (Musyawarah adat). Selain itu Angronta juga sering dimintai saran (patangara), baik dalam rapat pelanggaran adat atau acara ritual adat. Begitupun dengan Angronta,  selalu meminta masukan (patangara) dari Ammatoa di setiap persiapan kegiatan adat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan acara adat. Setiap pelaksanaan musyawarah adat (a’borong) di rumah Ammatoa, terlebih dahulu dikoordinasikan ke Angronta baik Ammatoa sendiri atau perwakilan Ammatoa. Dari hasil koordinasi tersebut Angronta Baku Atowayya menyampaikan juga ke Angronta Baku Alolowa. Koordinasi Ammatowa dan Angronta biasa dilaksanakan setiap bulan atau tergantung kegiatan adat yang akan dilaksanakan setiap bulannya.

Peran perempuan dalam rumah tangga masyarakat adat kajang sangat dibutuhkan  terutama dalam pengambilan keputusan. Mengambil keputusan dengan cara saling memberi masukkan antara suami dan istri (passitangara). Perempuan juga memiliki hak dalam menentukan jodoh anaknya, benih atau bibit yang akan ditanam. Sedangkan dalam penentuan penjualan hasil pertanian sepenuh ditentukan oleh perempuan. Di sisi lain banyak juga perempuan yang bekerja sebagai kuli bangunan. Mereka tidak hanya di kampungnya saja menjadi kuli bangunan, akan tetapi mereka juga keluar kota. Dan di tangan perempuan tercipta sarung dan passapu serta mewarnainya dengan warna hitam yang berasal dari tanaman tarung (tarum), sebagai ciri khas orang Kajang.

Perempuan dalam masyarakat adat Kajang tidak hanya menjadi ibu rumah tangga semata. Akan tetapi perempuan  memiliki peran yang sangat penting dalam struktur adat Kajang, apa lagi dalam pengambilan keputusan, baik dalam adat maupun dalam rumah tangga.

 


sumber gambar: educationtechnologysmart.wordpress.com