Semua tulisan dari Jusnawati

Penulis adalah pengelola forum “ngegosip buku”, Menyukai petualangan di arena-arena yang menantang, Berharap menjadi sosok As syifa di manapun dan dalam kondisi apapun.

Refleksi atas Eksistensi dan Peran Perempuan

Simone de Beauvoir pernah membilangkan, perempuan selama ini hanya diposisikan sebagai the other (yang lain). Mereka sulit untuk menjadi dirinya sendiri. Persoalan the other ini dimulai ketika perempuan mempercayai dirinya sebagai makhluk yang lemah, memiliki kapasitas rendah, makhluk yang terkonstruksi hanya untuk “diketahui”, bukan sebagai makhluk yang “mengetahui”, tidak bisa mandiri dan selalu bergantung pada laki-laki. Identitas perempuan terbentuk oleh perspektif orang lain, takluk pada nalar patriarki. Tragisnya, ketika eksistensi dan peran perempuan direduksi menjadi sebatas entitas materi atau fisik belaka.

Catatan panjang sejarah peran perempuan banyak dikisahkan. Mulai puncak peradaban Yunani, perempuan hanya dijadikan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa adalah bukti dan sisa pandangan tersebut. Sedangkan pada peradaban Romawi, perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Seorang ayah memilki kuasa menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Hal ini berlangsung hingga abad V Masehi.

Sedikit bergeser pada peradaban Hindu dan Cina, tercatat dunia kelam perempuan, di mana hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru pula berakhir pada abad XVII Masehi. Bahkan di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam, kelahiran anak perempuan tidaklah diharapkan. Kelahirannya adalah aib bagi keluarga, sehingga untuk melenyapkannya, perempuan bebas dikubur hidup-hidup.

Saat ini, problem tentang eksploitasi perempuan masih terus berlanjut. Meski dengan wajah yang berbeda. Fakta dalam keseharian kita telah banyak membuktikan. Perlakuan proses industri yang berkembang pesat dalam memosisikan perempuan, interaksi yang begitu cair di era digitalisasi, minimnya pengetahuan  perempuan atas dirinya dan fenomena sosialnya  serta skill  yang kurang mumpuni, menjadi dasar perempuan masih merupakan sasaran empuk dalam proses eksploitasi. Kepada siapapun ia membangun relasi dan dimanapun ia mempertaruhkan posisinya.

Pada pemilahan ruang publik dan domestik, perempuan dominan dianggap sang empu ranah domestik, digiring ke ranah publik untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pabrik dan industri yang tumbuh subur, diiringi dengan semangat kesetaraan. Belum lagi tuntutan biaya hidup yang semakin mencekik dan keinginan yang telah dikaburkan porsinya menjadi “seakan-akan” suatu kebutuhan. Alih-alih dengan alasan untuk mengeksplorasi potensi, malah justru terekspolitasi dalam kuasa sistem kapitalisme.

Menurut Yasraf, Hal ini adalah bagian dari strategi politik ekonomi yang dikembangkan oleh sistem kapitalisme. Partisipasi perempuan dalam dunia industri tidak hanya memberi keuntungan dari aspek tenaga, tetapi memanfaatkan tubuh perempuan sebagai komoditi. Misalnya perempuan pada dasarnya makhluk yang cantik dengan ragam variasi keotentikannya, didikte dengan satu konsep cantik; berkulit putih dan halus, memiliki tubuh langsing, berambut hitam dan lurus.

Di sisi lain, produk-produk kecantikan terus digalakkan agar memenuhi nalar standar defenisi cantik tersebut. Disambut dengan penciptaan mesin hasrat melalui lakon konsumsi. Belum lagi ketika tubuh yang cantik itu harus menjadi kendaraan dalam proses konsumsi, dijadikan alat tontonan dan memunculkan keterpesonaan.

Kesadaran atas jati diri dan eksistensi perempuan menjadi salah satu poin penting untuk keluar dari lingkaran problem tersebut. Menciptakan identitasnya dan membangun eksistensi dirinya dibawah pondasi pengetahuan. Sebagaimana Helena Cixous mengatakan, perempuan harus menuliskan kisahnya, berdasarkan perspektifnya sebagai perempuan dengan mendobrak cara berfikir maskulin. Perlakuan dan defenisi yang tidak memanusiakan perempuan, sudah seharusnya ditinggalkan.

Posisi kesederajatan antara laki-laki dan perempuan layak dan sudah seharusnya didapatkan. Perempuan sebagai makhluk yang bermartabat, memiliki peran strategis dan penting, baik dalam keluarga dan masyarakat, serta potensi kemanusiaan yang bernilai. Sehingga eksistensinya tidak hanya dipandang sebagai seonggokan daging pembawa hasrat dan perannya tidak direduksi hanya sebatas pada “dinding-dinding” domestik saja.

Sejarah mencatat banyak perempuan yang telah menjalankan peran strategis secara bermartabat. Pada konteks lokal, tentang kepemimpinan dan perjuangan perempuan dalam dunia politik dibuktikan oleh peran To  Manurung Bainea, Raja perempuan pertama yang melakukan kontrak politik di Gowa dengan Sembilan laki-laki di kerajaan Gowa pada tahun 1320-1345.

Selain itu, ada juga tokoh perempuan yang dikenal dengan nama I Fatimah Daeng Takontu, yang merupakan putri dari Sultan Hasanuddin. I Fatimah Daeng Takontu sebagai representasi perempuan pejuang di bidang sosial dan politik. Ia memimpin pasukan Bainea dalam suatu peristiwa peperangan melawan penjajahan, dan mendapat gelar sebagai “Garuda dari Timur” oleh Belanda.

Sejarah islam juga mencatat perempuan-perempuan teladan yang jarang terdengar, diantaranya adalah sayyidah Nafisah dan Syuhda. Sayyidah Nafisah adalah cucu Rasulullah SAW dari keturunan al-Hasan as. Ia dikenal sebagai ulama yang mengajarkan pengetahuannya dalam khutbah-khutbah, dan kelas-kelas umum.

Bahkan Syafi’i yang kelak menjadi salah satu mazhab hukum ahlusunnah, pernah menghadiri ceramah-ceramahnya secara regular, membahas beragam persoalan teologi dan hukum bersamanya, serta mengambil bagian dalam kehidupan spritualnya. Syuhda, selain dikenal sebagai penulis, dia mengajar sejumlah besar pelajar pria dan perempuan di Universitas Bagdad dalam beragam cabang teologi dan merupakan ulama penting di masanya. Dan banyak tokoh lainnya yang dapat dijadikan role model dalam kehidupan perempuan.

Pada konteks kehidupan hari ini, perempuan harus terus menyuarakan kebenaran dan berani bicara terkait apa yang dihadapinya keseimbangan hidup dapat tercipta. Najwa Shihab dalam narasinya mengatakan “Kebenaran yang kita ketahui tidak hanya penting untuk disuarakan ke publik tetapi berharap bisa bermuara menjadi tindakan kolektif bagi perempuan yang memiliki kepedulian yang sama”.

Demikian pula dalam kalimat bijak Oprah Winfrey “you get in live but you have to ask for,” Yang kamu dapat dalam hidup, adalah sesuatu yang berani kamu minta. Keberanian mengungkapkan apa yang kamu mau dan anggap penting, itu yang akan kamu dapatkan dalam hidup.

Happy International Women’s Day…

Sumber gambar: https://news.yale.edu/

Mereka yang tidak Tercatat Sejarah Kepahlawanannya

Pahlawan selalu diidentikkan dengan orang-orang yang memiliki semangat juang yang tinggi. Mereka rela mengorbankan segala hal yang mereka miliki, bahkan nyawa sekalipun. Demi memperjuangkan kepentingan orang lain dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Dari Sulawesi Selatan misalnya, sebagaimana yang dilansir Bicara Id, ada Opu Daeng Risadju, pahlawan perempuan dari Palopo. Arung Palakka, Pahlawan yang berasal dari Bone. Kemudian Syekh Yusuf Tajul Khalwati, pahlawan sekaligus tokoh mitologi yang berasal dari Gowa, dan La Maddukkelleng sebagai pahlawan yang berasal dari Wajo. Mereka berjuang dengan cara masing-masing, melawan penjajahan Belanda untuk memerdekakan diri dari segala tindakan tak berprikemanusiaan.

Masa kiwari, pahlawan juga bisa disematkan kepada orang yang kaya prestasi. Orang-orang yang mengharumkan nama bangsa dengan cara perdamaian di atas visi dan misi cinta kasih. Banyak pahlawan semisal Gusdur, yang dikenal sebagai bapak pluralisme di Indonesia, Mahatma Gandhi sebagai sosok yang gencar dengan gerakan ahimsanya (non kekerasan), dan bunda Teresa yang dikenal sebagai sosok Misionari cinta kasih dari India. Mereka berperang  bukan dengan bedil dan angkatan senjata lainnya, tetapi dengan menyuarakan pesan cinta kasih tanpa pilih kasih, serta kepedulian terhadap kaum lemah.

Pada konteks yang berbeda, penulis juga dapat dikatakan sebagai pahlawan. Seorang penulis adalah pahlawan bagi ide-ide, gagasan, dan suara hatinya. Melalui tulisan yang menjadi buah penanya, ia menuangkan ide dan gagasan yang memenuhi batok kepalanya dan menyuarakan hal-hal yang dirasakannya. Segala hal yang diamati dan dirasakan oleh penulis, baik kondisi masyarakatnya, pengalaman pribadi, maupun imajinasi kreatif yang tumbuh seketika dalam kepalanya akan menjadi modal dasar dalam pertempuran.

Sebuah pertempuran, tidak hanya memerlukan modal dasar untuk mencapai hasil yang maksimal tetapi harus ditopang oleh strategi yang baik. Dunia kepenulisan pun memerlukan strategi dalam mengolah ide, gagasan, dan suara hatinya untuk melahirkan tulisan yang berkualitas. sebagaimana Ayu Utami menerangkan dalam sebuah bukunya yang berjudul Menulis dan Berfikir Kreatif. Strategi pengolahan ide bagi Utami memiliki tiga tahap; tahap orientasi, menimbang ide, dan penentuan struktur dasar narasi.

Tahap orientasi merupakan titik awal,  yakni penulis memikirkan dan menentukan titik awal, “dari mana memulai sesuatu?” Tahap orientasi ini terbagi dua yaitu orientasi eksterior dan orientasi interior. Orientasi eksterior adalah peninjauan ke luar. Pada posisi ini, seorang penulis memetakan diri dalam hubungannya dengan dunia di luar dirinya, sedangkan orientasi interior adalah usaha penulis memahami cara pikiran bekerja, yang tidak terlihat dari luar. Pada posisi ini, penulis harus memetakan mentalnya dengan menggunakan kompas batin.

Kompas batin atau kompas perjalanan kreatif  disebutkan Utami sebagai poros-poros penghayatan, yang harus dimiliki dan dikenali oleh penulis dalam menciptakan karyanya. Poros-poros tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi; kiri-kanan, atas-bawah, dan abstrak. Melalui poros-poros tersebut, penulis hendaknya berada di tengah poros. Sehingga penulis mampu memposisikan keberadaannya dan mengatur keseimbangan muatan tulisannya.

Tahap kedua adalah menimbang ide. Pada tahap ini, penulis dianjurkan untuk meninjau beberapa hal; tingkat keabstrakan maupun kekonkritan tulisan, menilai tingkat urgensi serta kebaruan suatu ide, menuliskan dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami pembaca, menciptakan struktur logis yang penuh kejutan, dan menemukan struktur cerita. Hal tersebut penting untuk melahirkan tulisan yang berbobot.

Adapun tahap ketiga adalah menciptakan struktur dasar narasi. Pada tahap ini, diperlukan dialektika antara kebebasan dengan struktur. Kebebasan penulis dalam memunculkan ide dengan struktur yang harus dibangun dalam menghidupkan ide tersebut. Struktur itu dikenal dalam tiga bagian yaitu awal, tengah, dan akhir. Istilah lain dalam dunia kepenulisan dikenal dengan tahap pengenalan, klimaks, dan resolusi.

Perjuangan seorang penulis tidak hanya sampai di situ. Bersama buku, penulis mengembangkan dan menguatkan idenya. Di hadapan pena dan laptop pula penulis meneguhkan tekadnya, duduk berjam-jam, mengedit, mengusik kebosanan, menumbuhkan  semangat, merenung, bertemankan sepi, dan bahkan jungkir balik menemukan pupuk untuk menyehatkan tulisannya. Hingga akhirnya, penulis akan kembali meninjau dengan kesadaran penuh pada tujuan penciptaan karyanya.

Seorang penulis melewati proses panjang nan berliku ini. Mereka melahirkan karya-karya besar yang berpengaruh dan menggerakkan hingga mengubah kehidupan manusia, tatanan masyarakat dan lain-lain. Demikian Sang buah pena menyapa segenap pembacanya, berdialog dengan melintasi ruang dan waktu, tempat di mana penulisnya berada. sebagaimana sabda Sang Sastrawan Seno Gumira Ajidarma “Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, dan suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.” Melalui tulisan, seorang penulis bicara tentang hal-hal yang dibungkam, berkata tentang kesenjangan das sein dan das sollen, serta menyentuh banyak orang dengan melintasi zaman, dan mengangkat nilai-nilai kemanusiaan ke permukaan.

Itulah kala penulis dan buah penanya menjadi pahlawan. Pahlawan yang tak ternarasikan dalam sejarah kepahlawanan negeri.

 


sumber gambar: tribunnews.com

Waktu Senggang Perempuan di Bawah Telunjuk Kapitalisme

 

Rentang sejarah kehidupan manusia yang panjang, ada gerak perubahan yang menjadi keniscayaan dalam semesta kehidupan. Hal tersebut tak menampik timbulnya pembelahan atas waktu yakni waktu senggang dan bekerja, yang mewarnai ragam corak kehidupan manusia, terutama makhluk yang bergelar perempuan. Peristiwa ini telah diulas dengan apik oleh salah seorang Intelektual di Makassar, Muhammad Ridha dalam bukunya “Sosiologi Waktu Senggang: Eksploitasi & Komodifikasi Perempuan di Mall”.

Josef Pieper dalam Ridha, mengemukakan pemanfaatan waktu senggang yang berbeda dalam kurun waktu tertentu. Di mana waktu senggang pra industri tepatnya di era Yunani klasik, dimanfaatkan untuk produktifitas pemikiran dengan berfikir mendalam dan radikal tehadap makna filosofis dan hakiki kehidupan manusia, berlangsungnya aktivitas berdiskusi, berimajinasi soal-soal terdalam kemanusiaan. Sehingga pemanfaatan waktu senggang melahirkan banyak buah pemikiran yang cemerlang di zaman tersebut seperti Anaxigoras, Parmanedes, Plato, Sockrates, Aristoteles dan lain-lain. Tak luput juga karya-karya dari beberapa filosof perempuan yang lahir di masa itu, yang saat ini jarang disabdakan, seperti Theano yang merupakan istri Pytagoras, Diotima dari Mantinea yang diakui Plato sebagai mentor Socrates, Aspasia dari Miletus sang politikus, Hypatia dari Alexandria sebagai ahli matematika dan fisuf neo-platonis.

Pasca industri, waktu bekerja belangsung padat, pemanfaatan waktu senggang mengalami pergeseran aktivitas. Sebagaimana yang dibahasakan Ridha, waktu senggang tidak lagi bermakna kontemplatif, tetapi pada makna simbolik konsumsi. Lebih jauh diungkapkan di era industrial lahir masyarakat konsumen, di mana praktek waktu senggang sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dengan kerja secara jelas, yakni keduanya bisa dilakukan bersamaan dalam satu kesempatan. Waktu senggang seperti halnya waktu kerja yang dinilai sebagai aktivitas ekonomi di mana waktu senggang ini dimanfaatkan oleh industri dalam proses penjualan komoditasnya.

Pada era ini pula, gaung kebebasan bagi perempuan bergema. Perempuan menemukan momentum kebebasan dirinya untuk mengaktualisasikan diri secara terbuka di ranah publik, setelah melewati proses diskriminasi yang cukup lama. Pendiskriminasian perempuan dalam analisa penulis, telah lahir dari konstruksi sosial yang telah tertanam sejak berabad-abad, perempuan didefenisikan di bawah kekuasaaan dan kepentingan laki-laki. Sebagaimana Plato dan Rene Descartes  dalam Arivia mengungkapkan bahwa perempuan adalah makhluk yang irasional, tidak mampu dalam ilmu pengetahuan. Selain itu, Thomas Aquinas, Aristoteles, Francis Bacon mengatakan bahwa perempuan layaknya berada di dunia domestik dan berfungsi sebagai makhluk bereproduksi daripada mereka berkecimpung di dunia publik sebagai makhluk yang produktif. Pada masa Arab jahilia, perempuan juga dimaknai sebagai aib besar bagi keluarga, liang kubur menjadi rumah yang nyaring akan tangisan bayi perempuan. Jika hidupnya dipertahankan, ia hanya sebatas pelayan laki-laki.

Setelah kehadiran Rasulullah saw, melalui kehadiran buah hatinya Fatimah Az Zahrah, barulah perempuan mendapatkan tempat dalam struktur masyarakat jahilia kala itu. Fatimah Az Zahrah menjadi tonggak istimewa diakuinya eksistensi  dan hak-hak kemanusiaan perempuan. Meski demikian, kepentingan dan kekuasaan laki-laki tetap langgeng seiring dengan gerak zaman. Sejarah yang menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh kaum perempuan juga digambarkan Frederick Engels dalam bukunya, “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara” tentang ruang gerak perempuan yang direduksi seiring dengan perubahan dalam organisasi keluarga. Fase awal, perempuan dan laki-laki tidak memiliki ikatan dengan perempuan  dan perempuan bebas menentukan hidupnya.

Fase kedua, terjadi seleksi alam, populasi perempuan lebih sedikit daripada laki-laki sehingga banyak laki-laki yang memutuskan untuk tidak ingin melepaskan pasangannya. Sejak itu, diberlakukan aturan mengenai pasangan tetap. Pada masa ini perempuan dianggap sebagai asset. Engels mengasumsikan bahwa masyarakat ketika itu adalah masyarakat matrilineal (garis keturunan ibu) dan juga masyarakat matriarkhal (perempuan mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik). Fase ketiga, perkembangan dan perubahan terus terjadi, aktivitas memproduksi alat-alat material rumah tangga dianggap tidak memadai lagi, aktivitas perburuan binatang kemudian menjadi mata pencaharian yang penting untuk kelangsungan hidup. Di sini pergeseran kekuasaan mulai terlihat berubah, pembagian kerja dibentuk, perempuan terkungkung di dalam pekerjaan rumah dan dianggap tidak lebih penting dari aktivitas laki-laki. Hal ini disebabkan, hasil perburuan tidak hanya untuk makan tetapi dapat dipertukarkan dengan barang lain. Sehingga hasil produksi laki-laki semakin dihargai. Atas dasar itu, laki-laki kemudian menempati posisi yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat.  Sampai pada akhirnya, laki-laki menggeser garis matrilineal menjadi garis patrilineal dan mengokohkan budaya patriarkhal. Engels mengatakan pada saat itulah terjadi “kekalahan sejarah terbesar bagi mereka yang berjenis kelamin perempuan”.

Pengukuhan atas identitas dan posisi perempuan dalam rentang sejarahnya yang cukup panjang ini, telah berhasil menanamkan nilai ruang yang telah dijeniskelaminkan, bahwa perempuanlah yang menjadi pemangku ranah domestik, meski gaung kebebasan tentang aktualisasi diri telah digencarkan oleh para feminisme di era industri. Ibarat gayung yang bersambut dengan wajah sistem kapitalisme yang tumbuh subur pada era ini. Peran dan kebutuhan pemangku domestik, disambut baik oleh sistem kapitalisme dengan menyediakan tempat yang nyaman dan ragam kemudahan bagi perempuan dalam mendapatkan segala kebutuhan domestik. Prinsip efisiensi dan efektifitas ini telah mendukung langkah-langkah strategis perempuan dalam melakukan aktivitas konsumsi.

Selain sebagai pelaku konsumsi, perempuan juga menjadi sasaran empuk kapitalis untuk menjadi objek pelaris. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya “Dunia yang Dilipat” melihat keterpautan antara perempuan dan ekonomi politik tubuh. Adalah hal yang kontradiksi, perempuan yang menyatakan telah mendapatkan kebebasannya berekspresi di ranah publik atau kegiatan-kegiatan industri, namun terperangkap dalam tata tertib atau pendisiplinan tubuh melalui etiket sistem kapitalis. Di mana Yasraf mengemukakan bahwa sejarah tubuh perempuan di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Fungsi tubuh digeser dari fungsi organis biologis atau reproduktif ke arah fungsi ekonomi politik, khususnya fungsi tanda. Tubuh perempuan dimuati dengan modal simbolik ketimbang sekedar modal biologis.

Keterlibatan perempuan di ranah industri menghadirkan dua sisi yang memiliki garis impit, antara eksplorasi dan eksploitasi. Mekanisme eksploitasi tubuh perempuan agar berfungsi dan berpotensi sebagai tanda, selain di pusat-pusat perbelanjaan juga digunakan dalam media massa, sebagaimana Raditya mengungkapkan yakni nilai tanda tubuh sebagai komoditi media. Hal tersebut dapat dilihat melalui berbagai aspek. Pertama, tampilan tubuh (body apprearance), di mana tubuh ditertibkan melalui tampilan yang menekankan aspek umur, yang secara visual tubuh perempuan memiliki nilai sensualitas yang relatif tinggi. Kedua, perilaku, aspek ini menentukan relasi tanda tubuh (body sign). Dilihat dari ekspresi tubuh dengan berbagai gaya (menantang, merayu, menggoda dan lain-lain). Ketiga, Aktifitas tubuh yang menjadi penanda bagi posisi sosialnya. Diantaranya sentuhan, apakah sebatang tubuh itu pasif, aktif, lemah, dan berkuasa.

Pada posisi ini, perempuan yang tadinya telah mendapatkan kemerdekaan untuk berekspresi di ranah publik, baik dalam menikmati waktu senggangnya maupun bekerja, kembali masuk ke perangkap ketertindasan model baru, yakni melalui penjajahan atas tubuh. Bagian ini pula yang menjadi sorotan feminisme postkolonialisme, yang menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang maupun mentalitas perempuan. Melalui sistem kapitalisme, terjadi kolonialisasi terhadap tubuh perempuan, hingga perempuan tidak memiliki kuasa lagi terhadap tubuhnya.

 

Referensi:

Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan

Engels, Frederick. 2004. Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Kalyanamitra

Raditya, Ardhie. 2014. Sosiologi Tubuh. Yogyakarta: Kaukaba

Ridha, Muhammad. 2012. Sosiologi Waktu Senggang; Ekslpoitasi dan Komodifikasi Perempuan di Mall.Yogyakarta: Resistbook.

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung; Matahari.

 


 

Calabai dan Muara Bissu

Calabai adalah sisi lain dari “wajah masyarakat”. Ia merupakan identitas yang dilekatkan kepada laki-laki maupun perempuan yang memiliki perilaku, sikap, yang berbeda dan tidak sejalan dengan wujud fisiknya sebagai perempuan atau laki-laki pada umumnya. Pun sebagaimana teori gender mengkonstruksikan kedua jenis kelamin ini. Calabai melabrak konstruksi tersebut. Sosok Calabai, sebagaimana Pepi Al-Bayquni telah mengemasnya dengan begitu apik dalam sebuah novelnya yang berjudul Calabai; Perempuan dalam Tubuh Lelaki, atau dalam kalimatnya yang lebih menohok, jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki. Novel tersebut dengan detail menggambarkan lika liku kehidupan para calabai, terkhusus kepada mereka yang berada di kampung Segeri, Pangkep Sulawesi Selatan.

Sebagai identitas kedirian, calabai bisa merujuk secara personal maupun kelompok, di mana kehadirannya tidak jarang menimbulkan asap bumerang bagi penganut agama Islam tertentu. Betapa tidak, kehadiran mereka kerap dipahami sebagai orang yang melanggar fitrah ciptaan Tuhan, yang hanya menciptakan dua jenis kelamin yakni lelaki dan perempuan, dengan sifat dan ciri khas yang berbeda. Lalu, bagaimana mungkin kehadiran seseorang di luar dari jalur ini bisa ada dan diterima? Setidaknya pertanyaan inilah yang menjadi awal pro dan kontra penerimaan atas eksistensi calabai. Hal ini juga menjadi bagian penting yang disinggung Pepi dalam alur cerita novelnya, di mana Kiyai Kusen dihadirkan sebagai sosok tokoh Islam dalam novel tersebut. Kiyai Kusen memberikan penjelasan berbeda dari apa yang selama ini didapatkan oleh para calabai, melalui ceramah agama tentang diri mereka yang kerap menimbulkan angkara murka.

Melalui Kiyai Kusen, para calabai mendapatkan angin segar dan ceramah meneduhkan. Sebuah penjelasan yang akan membuka cakrawala berfikir para pembaca, melalui metode dialog yang produktif dan argumentasi rasional. Dalam dialog tersebut tidak ada kesan penghakiman secara sepihak, tapi justru tuntunan yang mencerahkan dengan meletakkan pandangan Islam yang ramah, yang mampu mendialogkan situasi dengan sifat merangkul. Demikian, Kiyai Kusen menjadi representasi tokoh Islam yang bijaksana dan mencerahkan, dengan meletakkan persoalan calabai dari sudut pandang yang berbeda. Output yang diperoleh pun berupa respon positif dalam menanggapi eksistensi calabai.  Pada perbincangan calabai ini, agama dihadirkan melalui pandangan yang terbelah. Maka benarlah analisa sang sosiolog kontemporer, Robert K.Merton melalui analisa fungsionalnya tentang agama. Merton mengemukakan agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, dan di lain sisi agama memiliki konsekuensi disintegratif.

Calabai dalam pandangan sebagian penganut agama Islam, di satu sisi menganggapkannya sebagai makhluk yang dilaknat Tuhan, sehingga kehadirannya hanya akan mendatangkan musibah. Pandangan ini memiliki kecenderungan dalam penarikan kesimpulan yang tergesa-gesa, dengan menyandarkan dalil-dalil penafsiran ayat al-quran dan hadis secara tekstual. Jika ditilik pandangan ini memiliki konsekuensi disintegratif. Di sisi lain, sebagian penganut agama Islam pula memandang calabai melalui penelaahan yang lebih mendalam akan seluk beluknya, dan tidak hanya menyandarkan penelaahan secara tekstual pada tafsiran ayat-ayat al-quran dan hadis. Sehingga pandangan berbeda pun timbul terkait keberadaan calabai. Melalui pandangan ini kran kemungkinan diberikannya apresiasi dan penghargaan akan eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan terbuka lebar, bagi calabai yang pada dasarnya sejak lahir telah diberikan kecenderungan naluri atau jiwa yang berbeda dari manusia pada umumnya. Karena pada dasarnya kecenderungan naluri dan kejiwaan yang dibawa sejak lahir adalah di luar dari kehendak mereka. Pandangan ini, memiliki tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam menarik kesimpulan serta penelusuran yang mendalam terhadap kehadiran calabai. Pada posisi ini, pandangan penganut agama Islam tentang kehadiran calabai sangat potensial menciptakan kohesi suatu masyarakat.

Kehati-hatian dan penelusuran mendalam tersebut ditunjukkan dalam penjelasan Kiyai Kusen. Kiyai Kusen tidak hanya menyandarkan sudut pandangnya pada dalil-dalil penafsiran agama dan kekuatan penalarannya, tetapi juga mengawalinya dengan meluruskan pemahaman kita terlebih dahulu tentang calabai itu sendiri. Kiyai Kusen dalam dialognya membagi dua calabai atau waria, yakni ada yang dikenal banci tulen dan banci bikin-bikinan, sebagaimana Pepi pada alur cerita, sebelum tokoh Kiyai Kusen dihadirkan dalam novelnya, juga dengan terang mengungkapkan tiga tingkatan calabai, pertama disebut Calabai Tungkena Lino, mereka adalah laki-laki yang sejak kecil bersifat perempuan, tapi tidak genit. Kedua, Paccalabai, yakni Calabai yang genit. Ketiga, Calabai Kedo-Kedo, yakni lelaki tulen yang meniru-niru sifat perempuan. Berdasarkan pembagian ini, dapat dilihat kategori atau tingkatan calabai mana yang tidak dikehendaki agama Islam. Sehingga penghakiman dan pandangan yang menggeneralisir kehadiran calabai dapat dikatakan sebagai pemikiran yang keliru.

Berangkat dari pemahaman ketiga tingkatan calabai ini, Calabai Tungkena Lino dan Paccalabai dikatakan adalah calabai yang potensial menjadi bissu, dan yang paling potensial adalah Calabai Tunkena Lino. Bissu bermakna bersih, ia tidak memiliki nafsu yang berkobar-kobar untuk bersetubuh. Bissu melampaui jenis kelamin. Sebelum calabai ini menjadi bissu, mereka harus melewati beberapa tahap ujian, termasuk bagaimana mereka mengendalikan gairah birahi dan mendapatkan tanda-tanda dari Dewata. Bissu adalah penutur spiritual, pemangku ritual, dan terdapat bissu tertentu yang mendapatkan hidayah dalam kemampuan berbahasa Torilangi, bahasa yang diyakini sebagai bahasa Dewata. Pada zaman kerajaan mereka diberikan tugas penting dan posisi yang terhormat. Mereka diamanahkan untuk menjalankan acara adat di Bola Arajang, menjaga benda-benda pusaka kerajaan, dan pelaksana ritual Mappalili dalam kahidupan masyarakat bertani.

Hiruk pikuk kehidupan calabai hingga menemukan muara kehidupan bissu, terang diuraikan dalam novel Pepi. Mereka yang harus berhadapan dengan dua “wajah masyarakat” sebagai ruang tapak tilasnya. Sebagaimana yang dikatakan Bordieu, masyarakat sebagai ruang (spasial) yang berisi perbedaan-perbedaan dan di dalamnya terdapat berbagai hubungan sosial dominatif yang tersembunyi. Calabai adalah salah satu identitas yang menjadi aktor dalam hubungan sosial dominatif tersebut, dan mengambil bagian di arena diskriminatif.

Syahdan, bagaimana kita menyikapi perbedaan ini, bukankah dari beragam perbedaan yang mereka miliki, kita memiliki satu kesamaan hakiki dari segi kemanusiaan yang tidak bisa disangkal? Wallua’lam bissawab.

 

*Terbit sebelumnya di Harian Radar Makassar

 


sumber gambar: institup.com

Anne dan Getaran untuk Anak Bangsa

Nama Anne di Indonesia ini mungkin sudah banyak, tapi Anne dalam tulisan saya ini bukanlah Anne sebagaimana Anne yang biasa kita temui di tengah jalan, mal, pasar dan sekolah, tapi kemungkinan terdekatnya, sosoknya adalah imajinasi kita dan bagian dari diri kita yang terejawantahkan sebagai Anne. Saya pun tidak tahu seberapa banyak orang yang telah mengenal, berakrab-akrab dengannya, bahkan berasyik masyuk mengikuti perjalanan hidup dan sepak terjangnya. Sosok yang bagi saya agak misterius saat awal saya mencoba mengenalnya lebih dekat. Dialah Anne yang termaktub dalam Anne of Green Gables.

Anne of Green Gables disabdakan Lucy M.Montgomery sebagai novel yang mengangkat nilai-nilai kasih sayang, persahabatan, dan imajinasi. Anne dinobatkan sebagai aktor utama yang mengendalikan alur perjalanan Anne of Green Gables.Usianya yang masih sangat muda dengan pemikiran yang brilian dan karakter yang unik,  menjadi teka-teki bagi pembaca yang melahap kisahnya. Usianya yang masih sekitar 11 tahun dan pertemuan dengan orangtua angkatnya, menjadi awal kemekaran bunga-bunga kehidupannya yang memancar indah, walau sesekali harus diterpa badai.

Bagaimana tidak? Dia harus mengalami pertarungan batinnya, antara kegembiraannya menemukan orangtua yang mengangkatnya sebagai anak, dan memiliki rumah sendiri, dengan awal kehadirannya yang diam-diam tidak diinginkan oleh orangtua angkatnya, hanya karena keberadaan dirinya di rumah tersebut adalah hasil kesalahan. Anne menggantikan sosok anak lelaki dari panti asuhan yang menjadi awal pengharapan orantua angkatnya.

Anne dengan karakternya yang banyak bicara, memiliki pertanyaan ibarat “mata air”, semangat yang bergejolak, rasa penasaran yang membumbung pada hal-hal baru, dan imajinasi yang luas, awalnya menjadi kecemasan ibu angkatnya. Tapi siapa sangka, hanya dengan hitungan bulan, Anne bisa menarik simpati, dan memenangkan hati orangtua angkatnya. Pertanyaan-pertanyaan yang sering keluar dari bibirnya terkadang menjadi bom bagi dirinya sendiri, tetapi diam-diam kecerewetannya menjadi buah kerinduan orangtuanya.

Kalimat yang sering diutarakan adalah kalimat yang melampui bahasa umurnya. Kerap pula bahasanya dikatakan sebagai bahasa canggih bagi teman-temannya, bahkan oleh orang yang lebih dewasa dari dirinya. Kata apa, mengapa, kapan, dan bagaimana selalu menjadi makhkota dalam ucapan yang keluar dari mulutnya. Imajinasinya yang luas melabrak batas-batas kebiasaan orang di sekitarnya, berbincang dengan tumbuh-tumbuhan, hewan, air yang mengalir, dan benda mati di sekelilingnya membawa ia berselancar dengan riang tanpa batas.

Tapi bukankah ini suatu cara untuk menjalin kedekatan dengan alam? Tepatnya berdialog dengan alam, yang saat ini kerap diabaikan oleh orang dewasa dan orang-orang yang menggelari dirinya sebagai orang modern, di tengah pertumbuhan industri yang sangat pesat. Alam ditaklukkan dengan sedemikan rupa di bawah kekuasaan manusia.

Tapi Anne, sang gadis kecil Green Gables tidak hidup dalam lingkaran pemikiran manusia modern itu, mampu berdialog dengan alam di sekitarnya dengan penuh penghayatan. Ia begitu hidup dengan keragaman imajinasinya yang terus mengalir. Kegemarannya membaca buku, kesenangannya membantu, sikap tulus dan ketekunanya, serta kasih sayangnya, tidak hanya tercurah kepada orantuanya, tetapi kepada sahabat, rekan sekolahnya, dan orang-orang berjasa di sekitarnya, membuat ia menjadi anak yang dikagumi dan dihormati.

Hal yang dilakoni oleh Anne adalah hal yang saat ini jarang diperankan oleh anak era kiwari. Bahkan mungkin sebagian generasi digital saat ini menganggapnya sebagai peran yang aneh dan jauh dari kesan modern. Mereka begitu sesak diserbu perangkat digital. Orangtua, teman sebaya, dan orang-orang di sekitarnya selalu dilengkapi dengan gadget, akhirnya anak-anak pun tumbuh sebagai penikmat bahkan pecandu gadget.

Bagaimana tidak? Gadget begitu sangat memesona melalui kemudahannya dalam banyak hal, keseruannya melalui audio visual dan pengunaannya yang mudah, hanya gerakan jemari dan pandangan fokus tertuju pada layar gadget, maka di sanalah kesenangan dan kepuasan mereka temukan.

Ada hal menarik dan penting untuk diketahui melalui pertumbuhan anak di era modern ini, era di mana anak dilengkapi dengan kecanggihan teknologi. Salah satu analisa Yee-Jin Shin, seorang psikiater dan praktisi pendidikan anak terkemuka di Korea, yang mencengangkan bahwa kehadiran perangkat digital sangat potensial menyebabkan anak menjadi matang semu, mengalami gangguan kejiwaan, tidak bisa mengontrol emosi, dan terlihat antisosial.

Mereka tumbuh dengan jiwa yang hampa, yang mengenal kepuasaan sesaat bukan kebahagiaan. Hal yang sangat mengerikan bukan? Hal ini benar-benar menjadi tantangan berat bagi orang tua modern untuk mengendalikan kehadiran gadget di rumah dan di tangan buah hati, bukan justru sebaliknya. Beruntunglah Anne yang tidak berada di lingkungan demikian.

Lingkungan Anne adalah lingkungan yang begitu mengapresiasi keindahan dan kelestarian alam, lingkungan dengan didikan orangtua yang tidak serba instan, yang mengajarinya keterampilan, dan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan potensi yang dimilikinya. Kebijaksanaan orangtua angkatnya di antara detik-detik waktu yang berdetak, akhirnya mampu mendidik Anne untuk perlahan beradaptasi, mengelola kecerewetannya pada hal yang posistif dan mengenali karakternya serta memahami keadaan orang lain, sehingga ia tumbuh dengan sikap kepedulian sosial yang tinggi. Anne, sosok yang awalnya tidak diinginkan menjadi sosok yang begitu sangat disayangi dan dikagumi. Tidak hanya bagi orangtuanya, tetapi juga orang-orang di lingkungan sekitarnya.

Demikian, novel ini sangat memikat hati saya. saya merasa kesepian ketika buku keduanya ini selesai saya baca dan buku selanjutnya belum berada di tangan saya. Akhirnya dengan penuh pengharapan dan penantian, waktu sedang menagajari saya bersabar untuk melamar satu seri sebelumnya dan 6 seri berikutnya. Novel berkualitas yang tak akan membuat anda rugi untuk memilikinya.