Sejumput Kisah Hidup Rabiah Al-Adawiah
Siapakah yang tak mengenal Rabiah Al-Adawiah? Perempuan yang melalui pemikiran dan lakonnya, memberikan sumbangsih atas pemikiran baru dalam dunia tasawuf atau kehidupan para sufi. Muhammad Atiyah Khamis dalam bukunya Penyair Wanita Sufi; Rabiah Al-Adawiah, mengulas panjang kisah Rabiah. Sosok yang dikenal sebagai seorang pemuka sufi abad kedua hijriyah. Lahir di Basrah tahun 95 H/713-714 M, pendapat lain mengatakan tahun 99 H/717 M. Ayahnya bernama Ismail yang dikenal sebagai muslim yang sabar, bertaqwa, dan Al abid (banyak ibadahnya), oleh masyarakat kala itu. Mereka hidup di kota Basrah, Iraq sebagai golongan fakir, di bawah bayang-bayang kemewahan, hiruk pikuk kehidupan keduniawian, dan tempat-tempat hiburan yang senantiasa ramai dikunjungi orang-orang bersama lakon perempuan-perempuan pelacur. Di tahun permulaan abad kedua hijriah itu pula, Basrah menjadi salah satu kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan yang paling berkembang, dan menjadi pusat perhatian para ahli filsafat, alim ulama, dan cendikiawan dari berbagai negeri Islam.
Rabiah lahir di tengah kondisi keluarga dan sosial di sekitarnya yang memprihatinkan. Tangisnya memecah keheningan malam tanpa alat penerangan yang bisa menemani proses kelahirannya, dan sehelai kain yang dimiliki untuk membungkus tubuh kecilnya. Orangtuanya bersedih hati akan peristiwa tersebut, tetapi ayahnya tetap membesarkan hatinya dan berusaha ikhlas. Rabiah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan yang saleh dan penuh zuhud. Ayahnya berpulang ke rahmatullah, yang kemudian disusul oleh ibunya, di kala ia masih kecil. Sepeninggal kedua orangtuanya, Rabiah mengarungi lautan dan gejolak hidup sendiri. Di antara ketiga saudara perempuannya, Rabiahlah yang melanjutkan perjuangan ayahnya untuk membantu pencarian nafkah bagi dirinya dan kakaknya. Perahu kecil, adalah salah satu harta yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Melalui perahu itulah, Rabiah bekerja seharian penuh menyeberangkan orang dari tepi sungai Dajlah yang satu ke tepi lain. Sedangkan saudara-saudara perempuan Rabiah bekerja di rumah, menenun kain atau memintal benang.
Kehidupan Rabiah dan saudara-saudaranya semakin dihimpit kesulitan, tatkala Basrah menjadi kota yang dipenuhi pertentangan antara satu aliran dengan aliran lainnya, kerusuhan antar penduduk pun sulit dielakkan. Sejak itu pula, kota Basrah mengalami berbagai bencana alam, seperti kekeringan akibat kemarau panjang. Kemiskinan pun tak luput semakin melanda kota tersebut. Kondisi yang demikian mengakibatkan Rabiah kehilangan pekerjaannya. Ia dan saudara-saudaranya pun terpaksa meninggalkan gubuk reot yang selama ini ditempatinnya dan berkelana ke berbagai daerah. Di tengah pengembaraan itu, Rabiah terpisah dengan saudaranya, tinggallah Rabiah sebatang kara melanjutkan kehidupannya.
Penderitaan demi penderitaan ia alami, ia kemudian jatuh di tangan para penyamun dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang sangat murah, yaitu dengan harga 6 dirham. Rabiah diperlakukan secara tak berperikemanusiaan oleh tuannya. Ia menggeluti siang harinya untuk “banting tulang”, melakukan berbagai macam pekerjaan yang dibebankan tuannya kepadanya. Pada malam harinya, ia mengisi waktunya beribadah kepada Allah swt.
Hingga pada suatu malam, ketika Rabiah sedang berdoa tiba-tiba tuannya terjaga dari tidurnya karena mendengar suara orang berdoa dengan penuh khusyuk. Diam-diam tuannya mengamati Rabiah dari celah pintu kamar Rabiah, dan mendapati bahwa suara orang berdoa itu adalah suara Rabiah yang sedang melakukan shalat malam. Ketika Rabiah berdoa dan melakukan shalat malamnya itu pula, tiba-tiba tuannya melihat lentera berayun-ayun di atas kepala Rabiah, tanpa tali yang menahannya. Cahaya lentera itu memancar ke seluruh kamar, sehingga menimbulkan ketakutan di hati majikannya.
Ketika fajar menyingsing, pedagang itu memanggil Rabiah dan membebaskannya. Setelah mendapatkan kebebasannya, Rabiah berkelana di padang pasir, mengunjungi masjid-masjid, menghadiri pusat-pusat pengajian. Cerita lain juga mengisahkan bahwa, setelah Rabiah memperoleh kemerdekaannya, Rabiah mencari nafkah dengan bermain musik, karena ia amat pandai bermain suling. Namun, Rabiah hanya bermain suling untuk jangka waktu tertentu saja. Setelah itu, ia mengasingkan diri dari khalayak ramai untuk beribadah kepada Allah swt.
Ia wafat ketika berumur 80 tahun dengan kondisi yang masih perawan. Pilihannya untuk tidak menikah ini kerap menjadi hal yang kontroversial jika dipersandingkan dengan kecintaannya terhadap Tuhan. Bukankah Nabi Muhammad saw sebagai kekasih Allah swt, menganjurkan ummatnya untuk menikah? Apakah tindakan Rabiah ini dapat dikatakan sebagai ajaran cinta yang menyesatkan atau menyalahkan sunnah? Wallahu a’lam, tapi setidaknya melalui ulasan Muhammad Atiyah Khamis dalam bukunya Penyair Wanita Sufi; Rabiah Al-Adawiah, ada setitik cahaya yang membawa kita untuk berfikir sedikit bijaksana, bahwa pilihan Rabiah untuk tidak menikah adalah karena keinginannya untuk meneguhkan prinsip keadilan baik bagi dirinya maupun orang yang kelak bersamanya. Sebagaimana dikisahkan bahwa Ia pernah dilamar oleh Abdul Wahid bin Zeyd, Muhammad bin Sulayman al-Hashimi, Malik bin Dinar, dan Tsabit Al Banani. Ketika ia dilamar, ia mengajukan persyaratan akan menikahi pria yang bisa menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dengan memberikannya jawaban atas ketiga pertanyaan yang ia ajukan.
Pertama, terkait kondisi keberimanan dan kesucian Rabiah kelak jika ia meninggal dunia dan datang menghadap Tuhan. Kedua, penerimaan kitab amalannya apakah dengan tangan kanan. Ketiga, golongan ketika hari berbangkit tiba, di golongan manakah Rabiah antara golongan yang ke surga atau neraka. Tetapi tak seorang pun dari mereka yang mampu memberikan jawaban, sedangkan ketiga masalah itu pula yang meliputi pikiran dan hati Rabiah. Sehingga ia menyadari dengan menerima tangan seorang pria dalam ikatan perkawinan, hanya akan membuat Rabiah tidak adil terhadap suami atau anak-anaknya, karena ketidaksanggupannya memberikan perhatian kepada mereka, karena hatinya tidak cukup memperhatikan kepentingan mereka. Atau hal itu menyebabkan kesengsaraan pada dirinya sendiri, karena ia tidak dapat mencurahkan seluruh hatinya pada Allah swt. Dengan demikian Rabiah tidak ingin berlaku tidak adil, baik kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri. Dan karena sikap tidak adil menyebabkan kegelapan yang menutup hubungan antara manusia dengan Allah swt.
Mahabbah dan Perjalanan Spiritual Rabiah
Rabiah dikenal sebagai sufi perempuan yang pertama memperkenalkan konsep mahabbah dalam bidang tasawuf. Bahkan menurut Margaret Smith, Rabiah dinilai sebagai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah. Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan para sufi kala itu. Mahabbah dapat diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai Tuhan masuk ke dalam diri yang dicintai. Dalam dunia sufi, mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Dengan demikian, orang yang telah mencapai tingkat mahabbah, seluruh jiwanya terisi oleh kasih sayang dan cinta kepada Allah swt. Sehingga, kadang-kadang tampak tidak ada lagi perasaan cinta yang dapat disalurkan kepada yang lain, seperti yang tampak pada Rabiah Al Adawiah. Hal tersebut dapat dilihat melalui syair-syairnya sebagai berikut:
Tuhanku
Kalau aku mengabdiMu karena takut akan nerakaMu
Maka bakarlah aku di neraka jahannam
Dan kalau aku mengabdiMu karena inginkan surgaMu
Maka tampiklah aku dari surga itu
Adapun kalau aku mengabdimu karena cintaku padaMu
Maka janganlah tampik aku, Tuhanku dari melihat keindahan wajahMu.
Kedalaman dan pencapaian cinta Rabiah juga digambarkan dalam syair selanjutnya, yang dituliskan Dr. M. Fudoli Zaini dalam bukunya; Sepintas Sastra Sufi, Tokoh dan Pemikirannya
Antara pecinta dan Kekasihnya
Tak ada antara
Ia bicara dari rindu
Ia mendamba dari rasa
***
Dalam hadirNya engkau baur
Dalam adaNya engkau lebur
Dalam tetapNya engkau Kabur
Demikian melalui syair-syairnya, Rabiah dalam dunia sufi dikenal sebagai pelopor ajaran pengabdian kepada Allah swt, bukan atas dasar ketakutan tetapi karena kecintaan. Sebagaimana yang dilansir dalam sebuah artikel bahwa Muhammad Mahdi al-Ashifi menuturkan, Ja`far Shadiq (w. 765 H) membagi tiga bentuk pengabdi kepada Allah. Pertama, yang menyembah Allah karena takut, sebagai ibadahnya hamba sahaya. Kedua, untuk mengharapkan imbalan, seperti pedagang. Ketiga, disebabkan rasa cinta. Di antara ketiga bentuk tersebut, upaya pencarian ridha Allah dan penyembahan kepada-Nya karena didasari rasa cinta (mahabbah/hubb), disebutkannya sebagai ibadah tingkat tertinggi.
Perjalanan spiritual yang dilakukan oleh Rabiah berangkat dari kerja keras Rabiah dengan melakukan penggemblengan jiwa dan watak. Dan Rabiah mengawalinya dengan kehidupan zuhud. Zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta benda, dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah swt. Demikian pulalah yang dilakukan Rabiah, ia menjalankan kehidupan zuhud dengan menjadikan dunia sebagai ladang beramal, untuk bekal di akhirat dengan penuh kehati-hatian. Sebagaimana ia mengatur tempat tinggalnya dengan membuat sebuah tempat gantungan baju, tingginya kira-kira dua hasta untuk menggantungkan kain kafannya. Kain itu selalu tampak di depan matanya, supaya ia selalu ingat dan merenung hakikat kehidupan yang sedang dihadapinya.
Di sisi lain, Rabiah juga berdialog dan melayani orang-orang yang datang bertanya kepadanya perihal kehidupan dan masalah yang mereka hadapi. Hal tersebut dapat dilihat melalui dialognya dengan seorang ahli filsafat. Di mana dialog tersebut berkaitan dengan salah satu pertanyaan, bagaimana ia memanfaatkan dunia? Ia lalu menjawab “Dengan bekerja dan beramal demi hidup abadi di akhirat”. Setidaknya melalui pernyataan ini, kita dapat menilai bahwa Rabiah tidak serta merta mengabaikan kondisi dunia, melalui sikap dan tindakannya.
Rabiah bagaikan seorang wanita yang sedang mengalami alam rohani yang amat luas untuk mencari ampunan dan ridha Allah swt. Betapa pun penderitaan terus menerus datang menghampirinya, tak lalu mengubah komitmennya untuk selalu meluangkan waktu bermunajat pada Tuhannya. Ia menapaki jalan derita yang kemudian mengantarkannya hingga mencapai tingkatan ridha, dan meraih tingkat mahabbah atau disebut dengan istilah Hub al-Ilahi.
Meskipun Rabiah telah meninggal, pemikiran dan sikap keteladanannya akan terus hidup, mengalir bersama tinta dan pena yang menggoreskan perjalanan hidupannya. Dialah salah salah satu sosok perempuan teladan di zamannya yang mencerminkan kehidupan sederhana, memiliki kematangan berfikir, menghidupkan ruang-ruang kontemplasi bagi dirinya, tangguh atas penderitaan, dan guru yang mendidik rohani menapaki jalan cinta yang agung.
Ilustrasi: http://mighzal.com/2016/10/
Penulis adalah pengelola forum “ngegosip buku”, Menyukai petualangan di arena-arena yang menantang, Berharap menjadi sosok As syifa di manapun dan dalam kondisi apapun.