Semua tulisan dari Jusnawati

Penulis adalah pengelola forum “ngegosip buku”, Menyukai petualangan di arena-arena yang menantang, Berharap menjadi sosok As syifa di manapun dan dalam kondisi apapun.

Membaca Rabiah Al-Adawiah

Sejumput Kisah Hidup Rabiah Al-Adawiah

Siapakah yang tak mengenal Rabiah Al-Adawiah? Perempuan yang melalui pemikiran dan lakonnya, memberikan sumbangsih atas pemikiran baru dalam dunia tasawuf atau kehidupan para sufi. Muhammad Atiyah Khamis dalam bukunya Penyair Wanita Sufi; Rabiah Al-Adawiah, mengulas panjang kisah Rabiah. Sosok yang dikenal sebagai seorang pemuka sufi abad kedua hijriyah. Lahir di Basrah tahun 95 H/713-714 M, pendapat lain mengatakan tahun 99 H/717 M. Ayahnya bernama Ismail yang dikenal sebagai muslim yang sabar, bertaqwa, dan Al abid (banyak ibadahnya), oleh masyarakat kala itu. Mereka hidup di kota Basrah, Iraq sebagai golongan fakir, di bawah bayang-bayang kemewahan, hiruk pikuk kehidupan keduniawian, dan tempat-tempat hiburan yang senantiasa ramai dikunjungi orang-orang bersama lakon perempuan-perempuan pelacur. Di tahun permulaan abad kedua hijriah itu pula, Basrah menjadi salah satu kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan yang paling berkembang, dan menjadi pusat perhatian para ahli filsafat, alim ulama, dan cendikiawan dari berbagai negeri Islam.

Rabiah lahir di tengah kondisi keluarga dan sosial di sekitarnya yang memprihatinkan. Tangisnya memecah keheningan malam tanpa alat penerangan yang bisa menemani proses kelahirannya, dan sehelai kain yang dimiliki untuk membungkus tubuh kecilnya. Orangtuanya bersedih hati akan peristiwa tersebut, tetapi ayahnya tetap membesarkan hatinya dan berusaha ikhlas. Rabiah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan yang saleh dan penuh zuhud. Ayahnya berpulang ke rahmatullah, yang kemudian disusul oleh ibunya, di kala ia masih kecil. Sepeninggal kedua orangtuanya, Rabiah mengarungi lautan dan gejolak hidup sendiri. Di antara ketiga saudara perempuannya, Rabiahlah yang melanjutkan perjuangan ayahnya untuk membantu pencarian nafkah bagi dirinya dan kakaknya. Perahu kecil, adalah salah satu harta yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Melalui perahu itulah, Rabiah bekerja seharian penuh menyeberangkan orang dari tepi sungai Dajlah yang satu ke tepi lain. Sedangkan saudara-saudara perempuan Rabiah bekerja di rumah, menenun kain atau memintal benang.

Kehidupan Rabiah dan saudara-saudaranya semakin dihimpit kesulitan, tatkala Basrah menjadi kota yang dipenuhi pertentangan antara satu aliran dengan aliran lainnya, kerusuhan antar penduduk pun sulit dielakkan. Sejak itu pula, kota Basrah mengalami berbagai bencana alam, seperti kekeringan akibat kemarau panjang. Kemiskinan pun tak luput semakin melanda kota tersebut. Kondisi yang demikian mengakibatkan Rabiah kehilangan pekerjaannya. Ia dan saudara-saudaranya pun terpaksa meninggalkan gubuk reot yang selama ini ditempatinnya dan berkelana ke berbagai daerah. Di tengah pengembaraan itu, Rabiah terpisah dengan saudaranya, tinggallah Rabiah sebatang kara melanjutkan kehidupannya.

Penderitaan demi penderitaan ia alami, ia kemudian jatuh di tangan para penyamun dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang sangat murah, yaitu dengan harga 6 dirham. Rabiah diperlakukan secara tak berperikemanusiaan oleh tuannya. Ia menggeluti siang harinya untuk “banting tulang”, melakukan berbagai macam pekerjaan yang dibebankan tuannya kepadanya. Pada malam harinya, ia mengisi waktunya beribadah kepada Allah swt.

Hingga pada suatu malam, ketika Rabiah sedang berdoa tiba-tiba tuannya terjaga dari tidurnya karena mendengar suara orang berdoa dengan penuh khusyuk. Diam-diam tuannya mengamati Rabiah dari celah pintu kamar Rabiah, dan mendapati bahwa suara orang berdoa itu adalah suara Rabiah yang sedang melakukan shalat malam. Ketika Rabiah berdoa dan melakukan shalat malamnya itu pula, tiba-tiba tuannya melihat lentera berayun-ayun di atas kepala Rabiah, tanpa tali yang menahannya. Cahaya lentera itu memancar ke seluruh kamar, sehingga menimbulkan ketakutan di hati majikannya.

Ketika fajar menyingsing, pedagang itu memanggil Rabiah dan membebaskannya. Setelah mendapatkan kebebasannya, Rabiah berkelana di padang pasir, mengunjungi masjid-masjid, menghadiri pusat-pusat pengajian. Cerita lain juga mengisahkan bahwa, setelah Rabiah memperoleh kemerdekaannya, Rabiah mencari nafkah dengan bermain musik, karena ia amat pandai bermain suling. Namun, Rabiah hanya bermain suling untuk jangka waktu tertentu saja. Setelah itu, ia mengasingkan diri dari khalayak ramai untuk beribadah kepada Allah swt.

Ia wafat ketika berumur 80 tahun dengan kondisi yang masih perawan. Pilihannya untuk tidak menikah ini kerap menjadi hal yang kontroversial jika dipersandingkan dengan kecintaannya terhadap Tuhan. Bukankah Nabi Muhammad saw sebagai kekasih Allah swt, menganjurkan ummatnya untuk menikah? Apakah tindakan Rabiah ini dapat dikatakan sebagai ajaran cinta yang menyesatkan atau menyalahkan sunnah? Wallahu a’lam, tapi setidaknya melalui ulasan Muhammad Atiyah Khamis dalam bukunya Penyair Wanita Sufi; Rabiah Al-Adawiah, ada setitik cahaya yang membawa kita untuk berfikir sedikit bijaksana, bahwa pilihan Rabiah untuk tidak menikah adalah karena keinginannya untuk meneguhkan prinsip keadilan baik bagi dirinya maupun orang yang kelak bersamanya. Sebagaimana dikisahkan bahwa Ia pernah dilamar oleh Abdul Wahid bin Zeyd, Muhammad bin Sulayman al-Hashimi, Malik bin Dinar, dan Tsabit Al Banani. Ketika ia dilamar, ia mengajukan persyaratan akan menikahi pria yang bisa menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dengan memberikannya jawaban atas ketiga pertanyaan yang ia ajukan.

Pertama, terkait kondisi keberimanan dan kesucian Rabiah kelak jika ia meninggal dunia dan datang menghadap Tuhan. Kedua, penerimaan kitab amalannya apakah dengan tangan kanan. Ketiga, golongan ketika hari berbangkit tiba, di golongan manakah Rabiah antara golongan yang ke surga atau neraka. Tetapi tak seorang pun dari mereka yang mampu memberikan jawaban, sedangkan ketiga masalah itu pula yang meliputi pikiran dan hati Rabiah. Sehingga ia menyadari dengan menerima tangan seorang pria dalam ikatan perkawinan, hanya akan membuat Rabiah tidak adil terhadap suami atau anak-anaknya, karena ketidaksanggupannya memberikan perhatian kepada mereka, karena hatinya tidak cukup memperhatikan kepentingan mereka. Atau hal itu menyebabkan kesengsaraan pada dirinya sendiri, karena ia tidak dapat mencurahkan seluruh hatinya pada Allah swt. Dengan demikian Rabiah tidak ingin berlaku tidak adil, baik kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri. Dan karena sikap tidak adil menyebabkan kegelapan yang menutup hubungan antara manusia dengan Allah swt.

Mahabbah dan Perjalanan Spiritual Rabiah

Rabiah dikenal sebagai sufi perempuan yang pertama memperkenalkan konsep mahabbah dalam bidang tasawuf. Bahkan menurut Margaret Smith, Rabiah dinilai sebagai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah. Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan para sufi kala itu. Mahabbah dapat diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai Tuhan masuk ke dalam diri yang dicintai. Dalam dunia sufi, mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Dengan demikian, orang yang telah mencapai tingkat mahabbah, seluruh jiwanya terisi oleh kasih sayang dan cinta kepada Allah swt. Sehingga, kadang-kadang tampak tidak ada lagi perasaan cinta yang dapat disalurkan kepada yang lain, seperti yang tampak pada Rabiah Al Adawiah. Hal tersebut dapat dilihat melalui syair-syairnya sebagai berikut:

Tuhanku

Kalau aku mengabdiMu karena takut akan nerakaMu

Maka bakarlah aku di neraka jahannam

Dan kalau aku mengabdiMu karena inginkan surgaMu

Maka tampiklah aku dari surga itu

Adapun kalau aku mengabdimu karena cintaku padaMu

Maka janganlah tampik aku, Tuhanku dari melihat keindahan wajahMu.

 

Kedalaman dan pencapaian cinta Rabiah juga digambarkan dalam syair selanjutnya, yang dituliskan Dr. M. Fudoli Zaini dalam bukunya; Sepintas Sastra Sufi, Tokoh dan Pemikirannya

 

Antara pecinta dan Kekasihnya

Tak ada antara

Ia bicara dari rindu

Ia mendamba dari rasa

 

***

Dalam hadirNya engkau baur

Dalam adaNya engkau lebur

Dalam tetapNya engkau Kabur

 

Demikian melalui syair-syairnya, Rabiah dalam dunia sufi dikenal sebagai pelopor ajaran pengabdian kepada Allah swt, bukan atas dasar ketakutan tetapi karena kecintaan. Sebagaimana yang dilansir dalam sebuah artikel bahwa Muhammad Mahdi al-Ashifi menuturkan, Ja`far Shadiq (w. 765 H) membagi tiga bentuk pengabdi kepada Allah. Pertama, yang menyembah Allah karena takut, sebagai ibadahnya hamba sahaya. Kedua, untuk mengharapkan imbalan, seperti pedagang. Ketiga, disebabkan rasa cinta. Di antara ketiga bentuk tersebut, upaya pencarian ridha Allah dan penyembahan kepada-Nya karena didasari rasa cinta (mahabbah/hubb), disebutkannya sebagai ibadah tingkat tertinggi.

Perjalanan spiritual yang dilakukan oleh Rabiah berangkat dari kerja keras Rabiah dengan melakukan penggemblengan jiwa dan watak. Dan Rabiah mengawalinya dengan kehidupan zuhud. Zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta benda, dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah swt. Demikian pulalah yang dilakukan Rabiah, ia menjalankan kehidupan zuhud dengan menjadikan dunia sebagai ladang beramal, untuk bekal di akhirat dengan penuh kehati-hatian. Sebagaimana ia mengatur tempat tinggalnya dengan membuat sebuah tempat gantungan baju, tingginya kira-kira dua hasta untuk menggantungkan kain kafannya. Kain itu selalu tampak di depan matanya, supaya ia selalu ingat dan merenung hakikat kehidupan yang sedang dihadapinya.

Di sisi lain, Rabiah juga berdialog dan melayani orang-orang yang datang bertanya kepadanya perihal kehidupan dan masalah yang mereka hadapi. Hal tersebut dapat dilihat melalui dialognya dengan seorang ahli filsafat. Di mana dialog tersebut berkaitan dengan salah satu pertanyaan, bagaimana ia memanfaatkan dunia? Ia lalu menjawab “Dengan bekerja dan beramal demi hidup abadi di akhirat”. Setidaknya melalui pernyataan ini, kita dapat menilai bahwa Rabiah tidak serta merta mengabaikan kondisi dunia, melalui sikap dan tindakannya.

Rabiah bagaikan seorang wanita yang sedang mengalami alam rohani yang amat luas untuk mencari ampunan dan ridha Allah swt. Betapa pun penderitaan terus menerus datang menghampirinya, tak lalu mengubah komitmennya untuk selalu meluangkan waktu bermunajat pada Tuhannya. Ia menapaki jalan derita yang kemudian mengantarkannya hingga mencapai tingkatan ridha, dan meraih tingkat mahabbah atau disebut dengan istilah Hub al-Ilahi.

Meskipun Rabiah telah meninggal, pemikiran dan sikap keteladanannya akan terus hidup, mengalir bersama tinta dan pena yang menggoreskan perjalanan hidupannya. Dialah salah salah satu sosok perempuan teladan di zamannya yang mencerminkan kehidupan sederhana, memiliki kematangan berfikir, menghidupkan ruang-ruang kontemplasi bagi dirinya, tangguh atas penderitaan, dan guru yang mendidik rohani menapaki jalan cinta yang agung.

Ilustrasi: http://mighzal.com/2016/10/

Pesta Demokrasi dan Teror Politik Masyarakat Desa

Demokrasi, sebagaimana khalayak ramai memahaminya secara umum adalah praktik politik dari rakyat dan untuk rakyat. Pemahaman ideal ini tidak bisa dimungkiri ibarat “masih jauh api dari panggangnya”. Karena realitas perjalanannya kerap ditemukan kecacatan. Sehingga, berjalan tumpang tindih dan secara halus menciptakan penindasan bagi golongan rakyat tertentu. Acap kali hal ini ditemukan dalam proses pemilihan umum, di mana masyarakat sama-sama menghendaki proses tersebut melahirkan sosok pemimpin yang mampu mengayomi dan menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya.

Kecacatan pesta demokrasi sebagaimana yang dikemukakan penulis di atas, tidak hanya ditemukan di level-level nasional maupun kota, tetapi geliatnya sudah merasuk hingga ke tataran grassroot. Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan pemilihan umum di tingkat desa. Pada level ini, masyarakat dikenal masih memiliki simpul kekeluargaan yang erat dan ikatan solidaritas yang kuat. Pada dasarnya simpul kekeluargaan dan ikatan solidaritas yang tinggi, adalah modal besar untuk mewujudkan praktik politik yang sesungguhnya. Karena, mungkin tak berlebihan jika kiranya dikatakan bahwa, pada masyarakat desalah akar falsafah hidup masyarakat beranak pinak, hidup kental dan diwariskan secara turun temurun. Sebagaimana falsafah hidup masyarakat bugis yang dikenal Sipakatau’, Sipakalebbi’, dan Sipakainge’. Di sisi lain , pada arena politik, simpul kekeluargaan dan ikatan solidaritas ini bisa dijadikan bumerang, dan “medan liar” untuk menodai tindakan ideal politik.

Mengapa demikian? Karena ada hal mendasar yang mendorong tindakan manusia. Menurut Thomas Hobbes, hal mendasar, naluriah, dan fundamental tersebut dipilahnya menjadi dua yang bermukim dalam diri manusia, yakni hasrat (desire) dan kuasa (power). Sebagaimana yang dikemukakan Ito Prajna dalam tulisannya Indonesia Modern Terjebak dalam Politik Hasrat dan Politik Uang-Sebuah Perspektif Filsafat. Antara Hasrat dan kuasa, keduanya bisa mendorong manusia untuk melakukan gerak atau tindakan destruktif dan konstruktif. Tindakan destruktif dilahirkan dari benih hasrat untuk menguasai, hasrat untuk dipuja, hasrat untuk terkenal dan lain-lain. Sedangkan tindakan konstruktif bisa dilahirkan dari hasrat untuk menciptakan tatanan sosial yang adil, sehat, dan transparan melalui kekuasaan yang diampunya.

Bukan hal yang tidak mungkin, tindakan destruktif yang mendominasi medan pergerakan politik dalam pemilihan-pemilihan umum di desa, mengalahkan kekuatan falsafah masyarakat desa yang sudah tumbuh kuat, dan menjadi pegangan dalam bertindak. Simpul kekeluargaan dan ikatan solidaritas yang tinggi dimanfaatkan dalam permainan politik. Sehingga, suara politik menjadi tumbal atas permainan politik uang, termasuk tebusan atas bantuan teknis yang saban hari diberikan sebelum pemilihan, dan ancaman memutuskan tali persaudaraan, menjadi pemandangan dan suara sumbang yang dikumdangkan. Melalui tindakan tersebut, penindasan sejatinya telah dilakukan, meski tidak menggunakan kekerasan fisik, tetapi secara halus tindakan tak bermoral tersebut, dilakukan secara halus melalui tekanan psikologis individu. Pada saat itu pula, pemasungan hak kemerdekaan dan kebebasan seseorang, untuk mengemukakan pendapat atau dalam hal ini memberikan hak suara pun terjadi.

Tindakan-tindakan destruktif ini, setidaknya dapat dikategorikan sebagai bagian dari teror politik. Baudrilard, sebagaimana yang dituliskan Fajlurrahman Jurdi dalam artikelnya Mahasiswa dan Mesin-Mesin Anti Demokrasi mengemukakan bahwa, teror menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari politik, ketika politik itu dikendalikan oleh hawa nafsu atau hasrat (desire). Demikianlah, masyarakat desa dalam pemilihan-pemilihan umum, sangat potensial menjadi audiens politik yang berada di bawah bayang-bayang teror. Kondisi masyarakat yang demikian sedang berada dalam arus perpolitikan, sebagaimana yang dikemukakan Baudrillard sebagai masyarakat transpolitik. Di mana di dalamnya terjadi pengaburan atas batas politik dengan teror, politikus dengan penjahat, demokrasi dengan tindak kekerasan.

Tindakan-tindakan yang mencederai sistem perpolitikan ini, sebaiknya menemukan obat agar menutup lukanya yang kian menganga. Pengobatan yang dilakukan tentunya harus menyentuh masyarakat akar rumput dan melalui pemahaman politik yang bersih dan sehat. Sehubungan dengan pemahaman politik, menarik kiranya menilik gagasan politik Hannah Arendt dalam bukunya yang berjudul Politik Otentik. Melalui gagasannya, Arendt memaknai politik yang mengafirmasi keberagaman dan tentunya mengakui perbedaan. Sehingga secara mendalam, politik dalam kaca mata Arendt adalah usaha manusia mengelola kehidupannya, tanpa sikap diskriminatif dan intimidatif. Sehingga meniscayakan hadirnya ruang terbuka bagi semua individu untuk mengajukan kesetaraannya.

Penjelasan politik Arendt, juga diiringi dengan pemahaman atas pemilahan antara ruang publik dan ruang privat. Di mana bagi Arendt, politik hanya dapat diberlangsungkan dalam ruang publik. Mengapa? Karena ruang publik adalah ruang yang memberikan kebebasan untuk berekspresi, ruang bersama, dan ruang di mana kepentingan bersama diperjuangkan dan ditegakkan. Sedangkan ruang privat adalah ruang di mana penguasaan bisa dilakukan tanpa keterlibatan yang lain, sehingga menolak kolektivisme, dan menutup kran terwujudnya kepentingan bersama.

Kondisi perpolitikan masyarakat desa yang menciderai aktivitas ideal politik, dimungkinkan karena ketidaktelitian atas ruang di mana politik tersebut diberlangsungkan. Dan dicampuradukkannya antara aktivitas publik dan privat. Setidaknya melalui pemikiran Arendt, kita mampu bercermin, pentingnya menarik garis pemisah yang tegas antara aktivitas politik dan aktivitas privat yang tentunya melibatkan hubungan kekeluargaan.

Syahdan, dibalik hitam putih pesta demokrasi, pemahaman atas praktik politik sangat bernilai penting, agar prosesnya dijalankan oleh masyarakat yang sadar atas tindakan politiknya, dan melahirkan sosok pemimpin yang mempunyai kesadaran akan kelahirannya, dari siapa dan untuk apa?

Ilustrasi: http://suika-eman.deviantart.com/art/Democracy-Wallpaper-349068984

Menggosipkan Buku

Kampus adalah medan perang, yakni memerangi kebodohan untuk mewujudkan mahasiswa yang cemerlang, dan generasi yang memiliki ciri intelektualitas tinggi. Jika sebagai prajurit di medan laga peperangan anggota militer, senjata yang digunakan adalah pistol, senapan, dan senjata api lainnya, untuk menegakkan keamanan rakyat, maka sudah selayaknya seorang mahasiswa menjadikan buku, pena, dan laptop sebagai senjata untuk berlaga di “medan perangnya” yang bernama kampus.

Komitmen yang kuat tentu sangat diperlukan dalam suatu pertempuran untuk memperoleh hasil yang baik. Demikian pula bagi seorang mahasiswa dalam membatinkan komitmennya, untuk selalu mendekatkan bahkan mencintai “alat tempurnya”. Hal tersebut tentu sangat diharapkan agar generasi yang dicita-citakan, bisa terwujud melalui cetakan-cetakan kampus. Mengingat hal itu, turut andil dalam menanamkan komitmen, tentulah tidak hanya sekadar memperkenalkan melalui nasehat dan imbauan lisan, tetapi ikut serta melakukan aktivitas-aktivitas yang mengarah pada komitmen yang akan dibangun.

Salah satu forum yang mendukung pada peneguhan komitmen itu adalah forum bedah buku, yang sudah beberapa pekan hadir di tengah-tengah mahasiswa. Forum ini biasa juga dikenal dengan istilah yang lebih gaul ala generasi kekinian, sebagai ajang pertemuan “Ngegosip Buku”. Di mana tokoh penggeraknya adalah Muchniart AZ dan saya sendiri. Forum tersebut rutin dilaksanakan satu kali dalam sepekan, tepatnya pada pukul 13.00-15.00 wita. Adapun hari dan tempat pelaksanaannya sampai detik ini cukup fleksibel atau berdasarkan kesepakatan setiap pertemuan. Hal tersebut kami putuskan agar forum ini bisa melakukan penyesuaian, dengan jadwal perkuliahan dan tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh mahasiswa dari beberapa kampus.

Selaku pengelola forum ini, sehari sebelum jadwal pertemuan dilaksanakan, saya terlebih dahulu akan mengingatkan teman-teman, dengan menginformasikannya melalui akun saya di media sosial. Pengamatan saya selama pertemuan ini diadakan, beberapa wajah baru bermunculan dan menunjukkan semangatnya untuk belajar. Tampaklah pesona kebahagiaan di wajah kami dengan melihat respon positif dari adik-adik mahasiswa.

14344115_1327485310597700_6026070192256458139_n

Pertemuan Ngegosip Buku yang kami selenggarakan pada dasarnya adalah titik balik dari pencitraan atau makna gosip, yang selama ini nyaring terdengar sebagai hal yang negatif, dan mayoritas dilakukan oleh kaum perempuan, bahwa di era perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan yang tumbuh pesat, buku menjadi objek yang sangat seksi untuk diperbincangkan, dan perempuan harus tampil sebagai subjek yang terampil dalam memposisikan diri, serta turut andil di dalamnya. Sehingga dalam pertemuan Ngegosip Buku yang diselenggarakan, mahasiswa perempuan menjadi prioritas.

Forum yang masih terbilang seumuran jangung ini, kami lakukan dengan desain yang sangat sederhana dan santai. Di mana setiap pertemuan akan membedah satu buku yang “bernafaskan” feminitas, sebagaimana beberapa buku yang telah menjadi bahan gosip di forum tersebut, yakni Marriage With Heart, Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, Feminisme untuk Pemula, dan Perempuan di Titik Nol. Beberapa buku yang telah dibedah ini mengangkat cerita seputar kehidupan tentang perempuan, mulai dari kehidupan privat hingga ruang publik, yang tidak jarang diteropong dari sudut pandang budaya, agama, sejarah dan pesan-pesan hikmah yang diangkat dari kisah tokoh klasik.

Sebagai tantangan dari pertemuan Ngegosip Buku, setiap peserta akan mendapatkan giliran membedah buku yang disepakati, termasuk saya dan kak Muchniart. Para pembedah pun wajib menuliskan hasil diskusi atau pertemuan Ngegosip Buku, dan menyebarluaskannya di media sosial, sebagai bentuk penyebaran virus-virus ngegosip positif dalam skala yang lebih luas. Tentunya hal ini juga diniatkan, media sosial menjadi “tabung jejak”, Dalam upaya meningkatkan kualitas mahasiswa melalui gerakan literasi. Langkah yang ditempuh dalam pertemuan ini memang cukup sederhana, tetapi tidak menutup kemungkinan perjalanan ke depannya akan mengalami perkembangan, dan perubahan untuk efisiensi dan efektivitas forum pembelajaran selanjutnya.

Hal lain penting yang menjadi harapan kami, serangkaian aktivitas dalam pertemuan Ngegosip Buku ini, menjadi tahap pengenalan wacana tentang perempuan, sekaligus bagian dari agenda gerakan literasi yang membumi dalam dunia mahasiswa. Sehingga, segala persoalan dan wacana terkait perempuan, akan menjadi target kajian utama, mulai dari hal yang mendasar sebagai pemenuhan kebutuhan peserta.

Melalui medan ini pula, kami dapat terus belajar bersama untuk melatih diri secara terbuka berpendapat, dan berargumentasi berdasarkan referensi yang jelas. Terkhusus bagi mahasiswa, proses ini dapat menjadi pembelajaran bagi mereka, untuk menjalankan fungsi kemahasiswaannya sejak dini sebagai agent of change, dengan bekal mencintai buku dan menjadi pengusung gerakan literasi. Bukan hal yang tidak mungkin, di balik aktivitas yang sangat sederhana ini, akan memberi sumbangsih untuk menutup “kran” mahasiswa yang lahir dari produk-produk instan, melalui prosesnya yang step by step.

Demikianlah kami mengukuhkan harapan besar ini dalam perjalanan panjang pertemuan sederhana, berkumpul di saat terik matahari terang memancar, dan kembali ke peraduan masing-masing di kala matahari mulai mengatupkan kelopak cahayanya.

Bulan yang Mendung dan Puisi-Puisi Lainnya

Bulan yang Mendung

 Di balik awan yang berarak kehitaman

Wajah langit sendu menawan

Cahayamu sirna di bawah rintik hujan

Begitulah dikau yang larut dalam airmata kesedihan

 

Tetesan itu jatuh menanti rembulan

Diiringi gelegar guntur yang saling silih menyilih

Kita masih melangkah walau tertatih-tatih

Demi cinta yang merekah kita takkan letih

 

Bulanku…

Dikala duka menerungku

Mereka mencaci dan berlalu dengan angkuh

Itulah kala asa dan semangat dipupuk dengan kukuh

 

Jalan pulang…

Jalan yang masih panjang

Beranjaklah bulanku, menemui cahaya terangmu yang benderang

[Makassar, 11 Oktober 2016]

 

Luka

Goresan tajam di padang gersang

Tombak dan pedang menancap garang

Terlukislah dikau di atas lembaran sejarah yang terbentang

 

Apakah teralamatkan sudah dirimu yang malang???

Tidak…!

Tidak sama sekali

Engkaulah sang pemenang

Yang menggelorakan titisan juang

Yang mewarisi makhkota

Yang menggelindingkan picik tahta

 

Sungguh…

Kekejaman menebas tanpa batas

Menembus hingga ke ruas-ruas

Demikian pula pena yang dikebiri di atas kertas

 

Kini

Lukamu menyejarah

Menganga dalam ingatan utuh yang menyatu

[Makassar, 11 Oktober 2016]

 

 

Aksara

Siapakah engkau di antara deretan yang membisu?

Pelepas dahaga para pencari ilmu

 

Siapakah engkau dalam keheningan malam?

Pelipur lara bagi jiwa yang kelam

 

Siapakah engkau di tengah gulita kekuasaan yang merajalela?

Jalan terang yang menyibak tirai rahasia

 

Siapakah engkau di antara kesemrawutan hidup yang malang?

Penawar bagi keserakahan yang tunggang langgang

 

Siapakah engkau di altar suci para pemangku kitab?

Penyejuk sukma, pemantik gelora pada keyakinan yang tetap

 

Siapakah engkau bagi pikiran gelisah penuh tanya?

Deretan huruf yang mengantongi makna

Di ujung setiap jari dan setiap lidah para pengucap

[Makassar, 12 Oktober 2016]