Mari kita berimajinasi sejenak, bayangkan kamu hidup 2400 tahun yang lalu, dan tinggal di kota yang menjadi salah satu pusat peradaban dunia pada masa itu. Tepatnya kota itu bernama Athena.
Saya tidak tahu bagaimana perasaanmu, bisa jadi terasa sangat menyenangkan bisa menyaksikan peradaban dunia yang luar bisa. Namun bisa jadi juga kamu akan merasa itu membosankan karena tak ada handphone, tak ada facebook, twitter, atau instagram yang menjadi tempatmu bisa berselancar sehari-hari.
Tapi satu hal yang pasti. Kamu akan bertemu dengan seseorang yang potongan badannya pendek, sedikit gemuk, mulutnya lebar, hidungnya pesek dan matanya menjorok keluar. Dia dijuluki gadfly of Athena atau lalatnya Atena, karena dia selalu muncul di mana saja, baik itu di pasar, di taman, dan tempat umum lainnya.
Dari ciri-cirinya tampak berbeda jauh dari sosok pemuda-pemuda Yunani yang kita kenal, yang umumnya bertubuh ideal dan terkenal menawan. Tapi jangan meremehkannya, pribahasa don’t judge a book by its cover mungkin sangat tepat baginya. Mari kita berkenalan sedikit dengannya,
Dia adalah orang yang akan sangat berengaruh di kemudian hari. Pikiran dan jalan hidupnya akan terus direnungkan hingga ribuan tahun sesudahnya. Kamu akan sering menjumpainya dalam buku-buku filsafat yang ditulis jauh sesudah kematiannya.
Bahkan saking besar pengaruhnya oleh A.N Whitehead akan menyebut bahwa karakter filsafat Eropa hanya catatan kaki dari Plato. Sedangkan pikiran-pikiran Plato banyak dipengaruhi oleh orang aneh yang berkeliaran di pasar dan di taman-taman itu. Dia sendiri adalah guru dan kakek guru dari dua filosof terbesar sepanjang masa yaitu Plato dan Aristoteles.
Nama orang itu adalah Socrates, sorang yang lahir di Athena pada tahun 470 S.M dan meninggal pada tahun 399 S.M. Anak dari Sophroniskos seorang pembuat patung dan ibunya bernama Phaenarete adalah seorang bidan.
Dia sempat mengikuti jejak ayahnya membuat patung, tapi kemudian memilih untuk bekerja seperti ibunya sebagai seorang bidan, tapi bedanya dia bukan membantu orang lain melahirkan seorang anak, tapi membantu orang lain melahirkan pengetahuannya sendiri lewat dialog yang dilakukannya bersama siapapun yang dijumpainya.
Socrates tak pernah tampil untuk menggurui orang lain. Kesan yang ditampilkannya lebih seperti seorang yang selalu ingin belajar dari orang lain yang diajaknya bicara.
Dia tidak memberi kuliah pada layaknya sorang guru melainkan mengajak orang lain untuk berdialog. Karena itu ilmunya disebut ilmu kebidanan atau maieutik. Dia memposisikan diri sebagai sesorang yang membatu orang lain untuk “melahirkan” pengetahannya sendiri.
Sebab baginya pengetahuan yang sejati datang dari dalam diri sendiri. Tidak ditanamkan oleh orang lain. Dia mendorong orang lain untuk menggunakan akalnya sendiri demi melahirkan pengetahuannya.
Pengetahuan itu sangat penting karena bagi Socrates budi adalah tahu. Dalam sepenggal kalimat itu, Socrates hendak mengatakan bahwa tuntutan terbesar dari pengetahuan adalah kewajiban untuk hidup berbudi.
Siapa yang mengetahui hukum haruslah bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Tidak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan pengetahuan. Karena budi adalah tahu maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik, itulah inti dari ajaran etika Socrates.
Dia tak pernah menuliskan filosofinya. Socrates bukanlah seorang pengajar filsafat, tapi dia adalah orang yang hidup berfilsafat, atau lebih tepatnya menghidupi filsafanya. Filosofi Socrates bukan mengalir lewat tinta pena di atas kertas melainkan mengalir lewat setiap sendi dalam kehidupannya.
Bagi Socrates filosofi bukan tentang isi, bukan tentang hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma melainkan fungsi yang dihidupi. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkanya. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir yang sejati.
Socrates hidup besamaan dengan kaum sofis. Jika kau masih mebayangkan berada di Athena, mungkin kaupun akan menjumpai mereka atau setidaknya pernah mendengar tentang mereka.
Orang-orang yang merasa pandai dan bijaksana, yang mengajarkan pengetahuan untuk mendapatkan uang, mereka merasa tahu segala hal dan mengajarkannya, sofistik sendiri berasal dari kata Sophos yang berarti pandai dan cerdik.
Kaum sofis mengajarakan “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak dapat dicapai”. Bagi mereka setiap prinsip dapat dibenarkan lewat retorika dan persetujuan orang banyak. Bukankah pada masa ini begitu banyak orang demikian kita jumpai yang begitu merasa pandai, tahu banyak hal dan tampil menjadi guru bagi orang lain bahkan bahkan menjadi hakim bagi sesamanya.
Socrates menolak pandangan itu dia mengganggap hal itu melemahkan rasa tanggung jawab, karenanya dia hidup untuk memperbaiki pandangan masyarakat yang sudah dirusak oleh ajaran para sofis itu. Socrates mengatakan hanya satu hal yang saya tahu, yaitu saya tidak tau apa-apa, dan dia bukan orang yang suka mencari keuntungan.
Seperti yang ditulis oleh Plato dalam Phaideon, beberapa saat setelah dia meminum racun cemara Socrates berkata pada Crito muridnya “Crito, Aku berutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarnya kembali” menjelang akhir hayatnya dia tetap memikirkan hak orang lain.
Socrates sering berjalan-jalan di pasar tanpa membeli apa-apa, selain untuk mencari orang untuk berdialog, dia juga berkata dia masuk pasar hanya ingin melihat-lihat bahwa betapa banyak barang-barang yang dia tidak butuhkan dijual di pasar itu.
Socrates ingin mengatakan bahwa barang-barang duniawi itu sebenarnya tidaklah begitu penting dalam hidup. Bukankah sedikit berbanding terbalik dengan zaman ini bahwa begitu mudahnya kita tergiur untuk membeli barang-barang yang ada di pasar, mall, atau tempat perbelanjaan lainnya padahal barang-barang yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan.
Socrates disebut sebagai sala-satu martir dalam dunia ilmu pengetahuan yang begitu teguh memperjuangkan ilmu dan pengetahuannya dan setia pada kebenaran yang diyakininya hingga akhir hayatnya.
Dia meninggal karena dihukum mati dengan tuduhan proliferasi paham atheisme, dan menginsinuasi kamu mudah Athena dengan pengaruh buruk. Dia dihukum dengan cara meminum racun cemara.
Sebenarnya dia bisa saja menghindari hukuman itu dan meninggalkan Athena, tapi dia lebih memilih untuk setia dengan keyakinnya memilih untuk menjalankan putusan pengadilan. Meninggal dunia dalam kesetiannya pada pengetahuan.
“Nenek moyang” para filosof itu sampai akhir hanyatnya dikenal karena keluhuran budinya, jujur, adil dan baik. Sedemikian adilnya sehingga tidak pernah berlaku zalim pada orang lain. Begitu pandai menguasai dirinya sehingga tak pernah memuaskan hawa nafsunya dengan merugikan kepentingan umum. Dan tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk. Begitulah dia menghidupi filsafatnya.
Setelah selesai dengan imajinasimu dan membayangkan sosok Socrates dengan sebagian dari kebijaksanaanya. Kembalilah keduniamu hari ini. Dan mulailah menghidupi pengetahuanmu. Menjadikan filsafat sebagai pedoman untuk hidup bijaksana bukan sekadar tumpukan teori-teori yang rumit.
Sumber gambar: https://web.facebook.com/kafesokratesS/?ref=page_internal&_rdc=1&_rdr
Krismanuel Pasamboan. Mahasiswa di Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara. Aktif sebagai pegiat Filsafat di Akademos.