Semua tulisan dari Krismanuel Pasamboan

Krismanuel Pasamboan. Mahasiswa di Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara. Aktif sebagai pegiat Filsafat di Akademos.

Socrates: Cara Hidup Berfilsafat

 

Mari kita berimajinasi sejenak, bayangkan kamu hidup 2400 tahun yang lalu, dan tinggal di kota yang menjadi salah satu pusat peradaban dunia pada  masa itu. Tepatnya kota itu bernama Athena.

Saya tidak tahu bagaimana perasaanmu, bisa jadi terasa sangat menyenangkan bisa menyaksikan peradaban dunia yang luar bisa. Namun bisa jadi juga kamu akan merasa itu membosankan karena tak ada handphone, tak ada facebook, twitter, atau instagram yang menjadi tempatmu bisa berselancar sehari-hari.

Tapi satu hal yang pasti. Kamu akan bertemu dengan seseorang yang potongan badannya pendek, sedikit gemuk, mulutnya lebar, hidungnya pesek dan matanya menjorok keluar. Dia dijuluki gadfly of Athena atau lalatnya Atena, karena dia selalu muncul di mana saja, baik itu di pasar, di taman, dan tempat umum lainnya.

Dari ciri-cirinya tampak berbeda jauh dari sosok pemuda-pemuda Yunani yang kita kenal, yang umumnya bertubuh ideal dan terkenal menawan. Tapi jangan meremehkannya, pribahasa don’t judge a book by its cover mungkin sangat tepat baginya. Mari kita berkenalan sedikit dengannya,

Dia adalah orang yang akan sangat berengaruh di kemudian hari. Pikiran dan jalan hidupnya akan terus direnungkan hingga ribuan tahun sesudahnya. Kamu akan sering menjumpainya dalam buku-buku filsafat yang ditulis jauh sesudah kematiannya.

Bahkan saking besar pengaruhnya oleh A.N Whitehead akan menyebut bahwa karakter filsafat Eropa hanya catatan kaki dari Plato. Sedangkan pikiran-pikiran Plato banyak dipengaruhi oleh orang aneh yang berkeliaran di pasar dan di taman-taman itu. Dia sendiri adalah guru dan kakek guru dari dua filosof terbesar sepanjang masa yaitu Plato dan Aristoteles.

Nama orang itu adalah Socrates, sorang yang lahir di Athena pada tahun 470  S.M dan meninggal pada  tahun 399 S.M. Anak dari Sophroniskos seorang pembuat patung dan ibunya bernama Phaenarete adalah seorang bidan.

Dia sempat mengikuti jejak ayahnya membuat patung, tapi kemudian memilih untuk bekerja seperti ibunya sebagai seorang bidan, tapi bedanya dia bukan membantu orang lain melahirkan seorang anak, tapi membantu orang lain melahirkan pengetahuannya sendiri lewat dialog yang dilakukannya bersama siapapun yang dijumpainya.

Socrates tak pernah tampil untuk menggurui orang lain. Kesan yang ditampilkannya lebih seperti seorang yang selalu ingin belajar dari orang lain yang diajaknya bicara.

Dia tidak memberi kuliah pada layaknya sorang guru melainkan mengajak orang lain untuk berdialog.  Karena itu ilmunya disebut ilmu kebidanan atau maieutik. Dia memposisikan diri sebagai sesorang yang membatu orang lain untuk “melahirkan” pengetahannya sendiri.

Sebab baginya pengetahuan yang sejati datang dari dalam diri sendiri. Tidak ditanamkan oleh orang lain. Dia mendorong orang lain untuk menggunakan akalnya sendiri demi melahirkan pengetahuannya.

Pengetahuan itu sangat penting karena bagi Socrates budi adalah tahu. Dalam sepenggal kalimat itu, Socrates hendak mengatakan bahwa tuntutan terbesar dari pengetahuan adalah kewajiban untuk hidup berbudi.

Siapa yang mengetahui hukum haruslah bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Tidak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan pengetahuan. Karena budi adalah tahu maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik, itulah  inti dari ajaran etika Socrates.

Dia tak pernah menuliskan filosofinya. Socrates bukanlah seorang pengajar filsafat, tapi dia adalah orang yang hidup berfilsafat, atau lebih tepatnya menghidupi filsafanya. Filosofi Socrates bukan mengalir lewat tinta pena di atas kertas melainkan mengalir lewat setiap sendi dalam kehidupannya.

Bagi Socrates filosofi bukan tentang isi, bukan tentang hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma melainkan fungsi yang dihidupi. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkanya. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir yang sejati.

Socrates hidup besamaan dengan kaum sofis. Jika kau masih mebayangkan berada di Athena, mungkin kaupun akan menjumpai mereka atau setidaknya pernah mendengar tentang mereka.

Orang-orang yang merasa pandai dan bijaksana, yang mengajarkan pengetahuan untuk mendapatkan uang, mereka merasa tahu segala hal dan mengajarkannya,  sofistik  sendiri berasal dari kata Sophos yang berarti pandai dan cerdik.

Kaum sofis mengajarakan “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak dapat dicapai”. Bagi  mereka setiap prinsip dapat dibenarkan lewat retorika dan persetujuan orang banyak.  Bukankah pada masa ini begitu banyak orang demikian kita jumpai yang begitu merasa pandai, tahu banyak hal dan tampil menjadi guru bagi orang lain bahkan bahkan menjadi hakim bagi sesamanya.

Socrates menolak pandangan itu dia mengganggap hal itu melemahkan rasa tanggung jawab, karenanya dia hidup untuk memperbaiki pandangan masyarakat yang sudah dirusak oleh ajaran para sofis itu. Socrates mengatakan hanya satu hal yang saya tahu, yaitu saya tidak tau apa-apa, dan dia bukan orang yang suka mencari keuntungan.

Seperti yang ditulis oleh Plato dalam Phaideon, beberapa saat setelah dia meminum racun cemara Socrates berkata pada Crito muridnya “Crito, Aku berutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarnya kembali” menjelang akhir hayatnya dia tetap memikirkan hak orang lain.

Socrates sering berjalan-jalan di pasar tanpa membeli apa-apa, selain untuk mencari orang untuk berdialog, dia juga berkata dia masuk pasar hanya ingin melihat-lihat bahwa betapa banyak barang-barang yang dia tidak butuhkan dijual di pasar itu.

Socrates ingin mengatakan bahwa barang-barang duniawi itu sebenarnya tidaklah begitu penting dalam hidup. Bukankah sedikit berbanding terbalik  dengan zaman ini bahwa begitu mudahnya kita tergiur untuk membeli barang-barang yang  ada di pasar, mall, atau tempat perbelanjaan lainnya padahal barang-barang yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan.

Socrates disebut sebagai sala-satu martir dalam dunia ilmu pengetahuan  yang begitu teguh memperjuangkan ilmu dan pengetahuannya dan setia pada kebenaran yang diyakininya hingga akhir hayatnya.

Dia meninggal karena dihukum mati dengan tuduhan proliferasi paham atheisme, dan menginsinuasi kamu mudah Athena dengan pengaruh buruk. Dia dihukum dengan cara meminum racun cemara.

Sebenarnya dia bisa saja menghindari hukuman itu dan meninggalkan Athena, tapi dia lebih memilih untuk setia dengan keyakinnya memilih untuk menjalankan putusan pengadilan. Meninggal dunia dalam kesetiannya pada pengetahuan.

“Nenek moyang” para filosof itu sampai akhir hanyatnya dikenal karena keluhuran budinya, jujur, adil dan baik. Sedemikian adilnya sehingga tidak pernah berlaku zalim pada orang lain. Begitu pandai menguasai dirinya sehingga tak pernah memuaskan hawa nafsunya dengan merugikan kepentingan umum. Dan tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk. Begitulah dia menghidupi filsafatnya.

Setelah selesai dengan imajinasimu dan membayangkan sosok Socrates dengan sebagian dari kebijaksanaanya. Kembalilah keduniamu hari ini. Dan mulailah menghidupi pengetahuanmu. Menjadikan filsafat sebagai pedoman untuk hidup bijaksana bukan sekadar tumpukan teori-teori yang rumit.

 


Sumber gambar: https://web.facebook.com/kafesokratesS/?ref=page_internal&_rdc=1&_rdr

Alegori Gua Plato dan Dominasi Media Sebagai Sumber Informasi

Upaya untuk mencari kebenaran yang sebenar-benarnya di balik semua informasi yang diterima dan diyakini secara umum adalah hakikat lahirnya filsafat di panggung ilmu pengetahuan.

Berangkat dari sebuah cerita mitos yang ditulis oleh Plato pada bagian awal bab tujuh buku Republik, saya mencoba memodifikasi kembali cerita itu menyesuaikan keadaan dengan zaman sekarang.

Bayangkan sekelompok tahanan hidup dalam gua bawah tanah. Mereka semua sudah berada di sana sejak kecil. Kaki dan tangan mereka telah dirantai sehingga tidak bisa bergerak sama sekali. Mereka hanya bisa melihat ke arah depan menatap dinding gua di hadapan mereka.

Di belakang mereka terdapat api yang menyala dari kejauhan, di antara nyala api dan para tahanan itu terdapat jalan, dan  sebuah tembok rendah dibangun menyusuri jalan itu.

Media-media melintas di sepanjang jalan itu, membawa berita yang menjadi informasi bagi para tahanan. Berita-berita dari media tersebut ditampilkan di belakang dinding gua, bagaikan layar yang dimiliki oleh para pemain wayang golek yang dibentangkan di hadapan para tahanan.

Semua tahanan itu menyimak dan membaca semua bayang-bayang berita yang ada di hadapan mereka. Mereka beranggapan bahwa semua berita yang mereka terima adalah realitas yang sesungguhnya.

Dan di saat mereka berbicara satu sama lain, mereka akan mengutip semua informasi yang mereka peroleh dari dinding gua tersebut. Tidak ada upaya untuk mencari kemungkinan lain dari semua informasi yang sudah mereka terima. Seolah-olah media beserta berita-beritanya adalah satu-satunya sumber mencari kebenaran.

Plato mengatakan, “Bagi mereka kebenaran secara harafiah bukan apa-apa selain bayangan dari citra.” Bayangan dari citra itu sepenuhnya membentuk opini mereka bahkan saat media-media itu menampilkan kebohongan oleh para tahanan dalam gua tetap akan menganggap itu kebenaran.

Sementara orang luar akan memiliki gagasan yang lengkap tentang semua situasi yang terjadi, tetapi bagi para tahanan itu, mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di belakang mereka, dan tidak punya pengalaman dengan dunia luar untuk melihat bagaimana media mengelola setiap berita, melihat pengaruh korporasi media massa, atau bahkan intervensi penguasa dalam pemberitaan.

Andaikan seorang tahanan berhasil membebaskan diri dari rantai dan keluar dari gua tersebut. Ketika dia memutarkan lehernya ke kanan-kiri dan mulai berjalan serta melihat ke arah cahaya, maka dia akan mengalami penderitaan yang sangat hebat. Dan saat cahaya menyilaukan matanya dia tidak akan bisa melihat berbagai keadaan yang terjadi sebagaimana dahulu dia bisa melihat dengan jelas semua bayang-bayang di dinding gua.

Ketika orang lain mengatakan padanya bahwa berita yang dahulu dilihatnya dalam gua hanyalah  bayangan, dan sekarang yang ada di depannya adalah keadaan yang sesungguhnya. Dia akan beranggapan bahwa bayang-bayang berita yang dahulu dilihatnya lebih benar dibandingkan apa yang sekarang diperhadapkan padanya.

Perlahan-lahan tahanan yang bebas itu akhirnya berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan di luar gua. Dan dia menyadari keadaan yang sesunggunya serta melihat bahwa tidak semua berita yang ditampilkan itu adalah kebenaran yang sebenar-benarnya, karena saat itu matanya telah terbuka dan melihat realitas yang sesungguhnya.

Kemudian dia juga menyadari bahwa terdapat kolaborasi antara elite kekuasaan dan elite bisnis yang mempunyai power sangat besar dan sewaktu-waktu dapat mengendalikan jalannya pemberitaan.  Mereka dapat mengatur agar informasi yang ditampilkan di dinding gua tidak merugikan pihak mereka. Dia juga menyadari terdapat kepentingan-kepentingan tertentu yang tersembunyi dalam setiap berita yang dahulu diterima di dalam gua.

Dari data-data statistik, semua yang disebut fakta, bahkan pendapat orang-orang yang katanya ahli, tidak semua sesuai dengan realitas yang ada di hadapannya.

Dan ketika tahanan bebas itu mengingat akan tahanan-tahanan lain yang masih ada dalam gua dan menyaksikan semua berita bayangan di hadapan mereka. Tergeraklah rasa belas kasihan dalam dirinya.

Dia memutuskan untuk kembali ke dalam gua tersebut dan menceritakan pada mereka tentang keadaan yang sebenarnya yang dilihatnya dan membebaskan mereka dari dalam gua itu. Ketika dia turun kembali ke dalam gua, dia menjumpai mereka masih dalam keadaan seperti semula.

Dia mulai menceritakan semua yang dilihatnya, menceritakan realitas yang sesungguhnya. Namun tak ada satu pun dari tahanan-tahanan itu yang percaya akan ceritanya, mereka lebih menyakini semua berita yang mereka lihat di dinding gua. Saat tahanan yang bebas itu terus berusaha untuk menyakinkan mereka para tahanan lain itu pun akhirnya marah kemudian memukuli dan membunuhnya.

Mungkin anda akan berpikir sama seperti Glaucon (tokoh yang berdiskusi dengan Socrates tentang cerita gua Plato), bahwa itu gambaran aneh dan narapidana yang aneh.

Tapi sadar atau tidak, cerita itu seperti cerita kita sendiri, anda dan saya adalah narapidana dalam gua tersebut. Yang senantiasa diperhadapkan pada bayangan berita dari media massa. Kita semualah yang dimaksud Plato mendasarkan kebenaran pada bayangan dari citra.

Lalu, mungkin ada yang bertanya, Apa yang salah dengan itu? Ada yang salah jika menerima berita dari media massa?”

Berangkat dari pertanyaan itu saya mencoba menghubungkannya dengan pemikiran Noam Chomsky dan Edward Herman.

Pengaruh Media Massa dalam Membangun Opini Publik

Media dapat digunakan sebagai alat untuk mengarahkan opini masyarakat. Media dapat merekayasa berita dan informasi yang kemudian disajikan pada masyarakat untuk kepentingan pihak tertentu. Demikian salah satu pelajaran penting yang Noam Chomsky dan Edward Herman terangkan dalam bukunya tentang Manufacturing Concent.

Chomsky dan Herman mengatakan :

Bentuk media dominan adalah bisnis yang benar-benar besar; mereka dikontrol oleh orang-orang yang sangat kaya atau oleh para manajer yang patuh terhadap batasan tajam yang diberikan oleh pemilik dan kekuatan-kekuatan yang berorientasi pada keuntungan pasar lainnya; mereka saling bertautan satu dengan yang lain; serta memiliki kepentingan bersama dengan korporasi besar lainnya, bank dan pemerintah. Hal ini merupakan filter pertama yang sangat kuat yang mempengaruhi pilihan-pilihan berita.” (Manufacturing Concent, hal. 14)

Entah disadari atau tidak, pada masa ini dunia dikuasi oleh media massa. Media adalah alat paling efektif untuk membangun semua opini yang beredar di masyarakat. Kendati demikian, sangat penting untuk kita memahami bahwa dibalik media-media massa terdapat kepentingan dari dua elite besar, yaitu elite penguasa dan elite bisnis atau pengusaha.

Dikarenakan sedemikian besar pengaruh media dalam membangun opini publik maka kritisisme dari mayarakat sebagai pihak yang mengkomsumsi berita yang beredar, menganalisa, dan mencari kemungkinan lain atau second opinion adalah suatu hal yang wajib dan mutlak dilakukan dari pada menerima semua berita secara mentah-mentah.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa semua berita dan informasi dari media hari ini adalah kebohongan, namun saya bermaksud untuk membangun pikiran kritis terhadap dominasi media sebagi sumber informasi.

Juga tulisan ini dapat dijadikan refleksi bagi media massa hari ini untuk menjadi sumber informasi, kontrol terhadapat penguasa, dan bebas dari interfensi kalangan tertentu.


Sumber gambar: https:https://allisonfilice.com/Noam-Chomsky

Ajarkan Filsafat Sejak Sekolah Dasar

Bangsa Indonesia hari ini diperhadapakan pada sistuasi yang darurat. Tapi bukan akibat ekonomi yang memburuk, atau karena penyebaran wabah Covid-19 yang kian meningkat.

Melainkan, bangsa ini darurat akibat hilangnya budaya untuk berpikir kritis, rasional dan jernih. Penyebabnya adalah mereka tidak diajar sejak dini bagaimana harus berpikir demikian.

Membicarakan pendidikan di Indonesia akan selalu mengundang rasa keperihatinan. Sejauh pengalaman dan pengamatan saya, pendidikan di Indonesia masih jauh dari hakikat kata pendidikan itu sendiri, sebab yang didorong bukanlah upaya untuk berpikir kritis dan rasional melainkan panggung penyebaran ajaran yang bersifat dogmatisme.

Kepatuhan buta dan hafalan adalah metode pengajaran yang utama. Sejak sekolah dasar, dogmatisme nilai akademik sebagai tolak ukur seluru proses pendidikan dan formalisme agama yang juga diajarkan  secara dogmatis adalah “warna” pendidikan di Indonesia

Karena itu tidak mengherankan ketika para siswa beranjak besar semua persoalan kemudian akan dilihat dari kacamata agama. Semua isu baik itu politik, social, budaya, bahkan di tengah  pandemi Covid-19 semuanya ditarik ke dalam wacana perspektif keagamaan

Berpikir kritis dianggap sesat, kereativitas dinilai sebagai pemberotakan, dan mempertanyakan suatu konsep yang sudah menjadi tradisi dianggap sebagai suatu pembangkangan.

Belum lagi fundamentalisme ekonomi yang menghiasi dunia pendidikan Indonesia hari ini, kerja dan mencari uang adalah segala-galanya dan sekolah serta kampus dijadikan sebagai tempat pelatihan mental tenaga kerja.

Dengan sistem pendidikan seperti itu nyaris tidak mungkin pendidikan kita akan melahirkan para ideolog, filsuf, dan pemikir besar.

Seperi harapan Kofifa Indar Parawansa yang menjadi headline di Liputan6 “Genreasi bangsa ini membutuhkan sosok, seperti ideolog, filsuf, dan pemikir besar“ namun harapan itu sebatas angan-angan utopis jika dunia pendidikan terus dibiarkan berada dalam situasi demikian.

Menurut saya dibutuhkan suatu perubahan yang mendasar untuk mengubah dan memperbaharui tatanan pendidikan Indonesia saat ini, sebelum bangsa ini semakin tertinggal jauh, dan terus terpuruk dalam keterbelakangan. Pembaharuan itu dapat diawali dengan perubahan pendidikan di tingkat filsafat.

Filsafat adalah pendidikan yang harus diajarkan sejak dini untuk setiap generasi bangsa Indonesia. Mendorong mereka untuk berani mengemukanan pendapat, berpikir kritis dan rasional, memandang dunia dengan ”kaca mata” akal yang jernih tampa embel-embel dogmatisme keagamaan dan lain sebagainya.

Hadirnya filsafat di bangku sekolah dasar akan mendorong mereka keluar dari ketidakdewasaan dalam berpikir. Menjadikan mereka manusia yang tercerahkan sejak dini. Manusia tercerahkan artinya berani memakai akal dan pikiran sendiri.

Seperti definisi yang dijelaskan oleh Kant bahwa “Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang disebabkannya sendiri. Ketidakdewasaaan adalah ketidakmampuan untuk memakai nalar tampa bimbingan orang lain ketidakdewasaan itu salahnya sendiri apabila penyebabnya bukanlah kekurangmampuan untuk bernalar, melainkan kekurangan tekat dan keberanian untuk memakai nalarnya sendiri tampa bimbingan orang lain.

Sepere aude! atauBeranilah memakai nalarmu sendiri” – semboyan masa pencerahan — itulah yang harus didorong oleh sistem pendidikan di Indonesia. Dengan memperkenalkan dan mengajarkan filsafat sejak dari sekolah dasar pola pikir anak-anak akan terbentuk semakin “tajam”, kritis, dan terbuka dalam melihat semua persoalan. Seiring perkembangan mereka akan terlati untuk berpikir secara logis dan membangun argumentasi diatas pikiran yang rasional.

Angaran pendidikan yang semakin besar setiap tahunnya hanya digunakan untuk membangun dan memperbaiki gedung-gedung sekolah, bukannya memperbaiki dan membangun pikiran para siswa. Sehingga para siswa belajar dalam gedung mewah tapi tumbuh dengan pola pikir yang usang.

Pendidikan filsafat untuk anak-anak di tingkat dasar telah dipraktekkan di Eropa dan Amerika. Di Jerman dikenal suatu program bernama “Kinder Philosophieren”´atau anak-anak berfilasafat. Oleh karena itu tentu kita tidak perlu heran melihat mereka tumbuh dengan pengetahuan dan kecerdasan yang luar biasa. Namun itu bukan karena mereka terlahir demikian namun karena mereka telah terdidik untuk berpikir secara kritis, rasional dan jernih sejak dini lewat pengajaran filsafat.

Penelitian yang dilakukan Maughen Gregory memperlihatkan bahwa pemahaman gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak usia dini dapat meningkatkan kemapuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan dengan orang lain (social), kemampuan menghadapi kegagalan (psikologis) dan kemapuan berpikir terbuka (ilmia).

Pada dasarnya anak-anak adalah filsuf alamiah, artinya mereka menjadi filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, mereka mempunyai intuisi filosofis yang secara alami ada dalam diri mereka. Itulah yang coba diajarkan Jostein Gaarder dalam bagian awal buku Dunia Sophie. Oleh karena telah dibekali dengan bakat alamiah tersebut maka hal perlu ditopang oleh sistem pendidikan.

Mungkin anda akan berpikir bahwa filsafat terlalu kompleks untuk diajarkan pada anak-anak, mereka belum memiliki kemapuan berpikir yang cukup untuk mengembangkan pendapat dan membangun penjelasan yang seringkali bersifat abstrak.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zeitler menemukan, bahwa anak-anak memiliki kemampuan untuk mengajukan pendapat dan berpikir kritis, memiliki rasa tanggung jawab yang amat besar dan berpijak pada rasa keingintahuan, mengajukan kemungkinan jawaban, dan mengelaborasi jawaban tersebut dalam kemungkinan yang lebih jauh.

Penggambaran penelitian Zeitler tersebut menunjukan bahwa anak-anak sudah memiliki kemampuan yang mencukupi untuk berpikir secara filosofis. Mulai dari kemapuan bertanya dan berpikir kritis yang menjadi kemampuan sangat penting dalam proses berfilsafat, rasa tanggung jawab yang akan sangat berguna untuk menggali pemahaman tentang suatu hal. Dan rasa ingin tahu yang menjadi hakikat dasar untuk berpikir filosofis.

Zeitler juga menguraikan bahwa proyek filsafat untuk anak adalah pembentukan cara berpikir. Proyek ini tidak mengajarkan anak-anak tentang apa yang harus dipikirkan, melainkan metode berpikir, sehingga mereka bisa sampai pada kesimpulan yang terbuka, kritis dan masuk akal.

Penerapan pendidikan filsafat untuk anak-anak juga dapat ditempuh dengan menggunakan metode Socrates. Seperti yang saya tulis beberapa waktu yang lalu Socrates tidak pernah tampil untuk menjadi guru bagi orang lain melainkan Socrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang orang lain untuk berpikir. Mendorong mereka untuk berpikir mandiri, dan menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Menurut saya akan sangat tepat metode Socrates itu diterapkan untuk anak-anak di sekolah dasar.

Di tengah krisisnya masyarakat Indonesia dari pemikiran kritis, rasional dan jernih, menurut saya solusi yang dapat ditempuh adalah dengan mengajarkan filsafat kepada anak-anak sejak di sekolah dasar. Menghasilkan para ideolog, filsuf dan pemikir besar seperti harapan mantan menteri sosial yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur Kofifa Indar Parawansa tidak akan jatuh dari langit, melainkan melewati proses panjang lewat pendidikan yang bermutu.

Filsafat adalah bagian penting dari pendidikan hidup “lebensbildung” setiap orang termasuk anak-anak. Dengan kemampuan bernalar kritis serta reflektif, filsafat membentuk cara berpikir, mengajarkan orang untuk membuat keputusan dengan bijak dengan pertimbangan-pertimbangan yang tepat. Namun kemampuan itu tidak akan datang begitu saja melainkan harus dilatih sejak dini, dan secara terus menerus diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah pentingnya kenapa filsafat harus diajarkan sejak sekolah dasar.


Sumber gambar: Google