Wacana daur ulang, kadang riuh kadang senyap. Daur ulang, biasanya bermisi mengontrol lonjakan jumlah barang tak terpakai. Lewat kreatifitas kerajinan tangan, sampah misalnya, sanggup bertransformasi dari barang tak layak konsumsi menjadi barang ekonomis. Jumlah sampah jadi berkurang. Sampah pun bisa jadi pangkal mata pencaharian.
Di dimensi lain, ternyata, tak hanya sampah atau benda saja bisa didaur ulang. Fauzan Al-Ayyubi, lewat seikat puisi, melahirkan buku bertitel Luka Daur Ulang (2016). Buku puisi menghimpun 70 puisi. Pejumpaan awal dengan buku bikin dahi pembaca mengernyit. Pembaca bertanya, bagaimana produk dari sebuah luka daur ulang?
Fauzan mengolah puisi dari luka; cinta, kenangan, permasalahan kota, dan perenungannya atas hidup. Tema-tema itu membentuk sebuah jejaring raksasa. Saling terhubung, lalu memadat, menyatu, dan berhilir pada sebuah buku kumpulan puisi.
Namun luka akan seperti sampah. Mengeluarkan aroma busuk. Mencemari lingkungan. Dan pada satu waktu, mampu menggoda munculnya sebuah bencana. Maka, luka pun perlu didaur ulang. Didekonstruksi. Agar tak jadi benalu. Tak mengganggu.
Saking semangatnya mendaur ulang, Fauzan bisa memproduksi 8 puisi dalam satu hari. Puisi berjudul “Menjadi Dua”, “Sekali Lagi”, “Bunuh Diri”, “Belanja”, “Si Cantik dan Pemuja Kecepatan”, “Buku dan Jalanan”, “Perang dan Agama”, “Taman, Senja dan Pemakaannya”, bertitimangsa 19 Februari 2016. Sungguh sebuah pencapaian luar biasa. Hanya orang berstamina prima bisa melakukannya. Barangkali, Fauzan tak ingin kehilangan momen. Ia mencatat lewat puisi, semua gambar dalam imajinya sehabis menyaksikan fenomena-fenomena ganjil.
Sebuah karya, susah untuk bisa betul-betul berjarak dari penulisnya, entah itu dari segi ciri khas memadu komposisi bentuk atau gagasan. Selalu ada ekspresi alter-ego penulis atau ciri khas di dalam karya ciptaanya. Hal itu bisa kita simak pada potongan puisi Fauzan: Bahwa kecantikan adalah perangkap kesombongan! Petikan puisi itu, setidaknya memuat dua kemungkinan mengapa si penulis mencatat demikian. Pertama, ia pernah naksir, dan ditolak mentah-mentah atau dicampakkan oleh seorang perempuan mengklaim dirinya cantik. Duh. Sehingga puisi itu lahir dari luka.
Dari kekesalan penulis dengan perempuan berpredikat cantik sekaligus sombong. Padahal cantik itu sementara. Tak kekal dan abadi. Kedua, Fauzan hendak mengkritik budaya konsumerisme pemuja iklan kecantikan. Banyak orang takut pada kulit keriput. Paranoid pada penuaan dini, gugup saat berat badan naik dan lemak menggelambir. Atau takut “tak tahan lama” saat memadu cinta dengan kekasih. Cantik tereduksi pada sekadar imaji perempuan banal dalam iklan-iklan kosmetik. Perempuan itu takut kehilangan stempel “cantik”. Namun, tak takut kehilangan akal sehat dan akhlak terpuji. Siapa perempuan dalam puisi itu, hanya Fauzan mengetahuinya.
Pastinya, perempuan cantik dan sombong itu, bukanlah Isma Aryani. Fauzan menulis 3 puisi ditujukan untuk Isma. Tentu saja Isma perempuan spesial. Karena dalam puisi Luka Daur Ulang, tak ada nama-nama lain, hanya Isma seorang. Puisi-puisi Fauzan tentang Isma, tak bermuatan kritik atau sindiran. Puisi bergelimang kata-kata cinta. Berlimpah pemujaan pada kekasih, amsal Qais si Majenun tatkala bersyair untuk pujaan hatinya, si Laila.
Kita tilik puisi Fauzan: Aku tak punya hari esok jika bukan untuk melengkunkan senyummu./ Sebab sungguh mati, kesedihanmu seperti melihat ratu tanpa mahkota/ dan/ Kau tahu, mahkota itu senyummu./ Aku tak ingin hilang dari wajahmu. Fauzan betul-betul tenggelam dalam kubangan cinta saat menulis tentang kisahnya dengan Isma, meski sedang terluka. Ia hilang kesadaran. Fana dalam istilah sufistik. Hidup mati Fauzan bergantung pada senyum manis di wajah kekasih.
Tetapi, seperti halnya Qais, ekspresi kecintaan Fauzan pada Isma mendapat percik-percik kendala. Tak mengalir lancar. Ada pesan tak sampai. Akhirnya, cinta berjalan terbata-bata. Tak tuntas. Keraguan menjadikan cinta runtuh berkeping-keping. Atau kau tak pernah tau tentangku?/ :menunggumu, ragu Fauzan. Keraguan bukan menu baik bagi pertalian dua sejoli. Cinta pun usai. Menyisakan kenangan, luka, dan nelangsa.
Puisi atau Berita
Puisi-puisi Fauzan lahir dari mendaur ulang kesedihan akibat peliknya pengalaman hidup. Namun, luka ketika didaur ulang, tetaplah berwujud sebuah luka. Barangkali puisi luka, bukan puisi bahagia. Fauzan hanya berputar-putar dengan lukanya sendiri. Ia tak menunjukkan perlawanan. Ia malah menikmati dan semakin pasrah dalam lubang rasa sakit tak terperi. Fauzan –umpama seseorang dalam lagu “Butiran Debu”- terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.
Buku Luka Daur Ulang merupakan rekonstruksi atas suatu kejadian, lalu hasilnya dipahat dalam puisi. Tak ada tawaran untuk sebuah kemungkinan lain. Puisi jadi cermin realitas. Kita menemukan pembenaran itu dalam kata pengantar buku, “Puisi adalah salah satu cara untuk mengabadikan kejadian yang tak sempat terekam”. Puisi jadi mirip dengan berita-berita surat kabar.
Sebenarnya, saya cukup teganggu, ketika Fauzan mengkritik percepatan. Kritik hanya berlaku untuk orang lain, tapi kebal pada dirinya sendiri. Bukankah ia juga melakukan percepatan tatkala menulis 8 puisi dalam satu hari? Saya, sebelumnya tak pernah menemukan seorang penyair bisa menulis 8 puisi dalam satu hari. Bahkan, untuk 1 puisi, beberapa penyair, kadang butuh berhari-hari untuk mengedit dan mencari kepaduan komposisi puitik.
Puisi Fauzan terkesan ditulis dengan terburu-buru. Pada akhirnya puisi jadi semacam catatan jurnalistik. Banyak berkutat pada kulit luar, lupa menyentuh jantung kedalaman bahasa. Puisi lebih menyerupai kalimat-kalimat koran. Bermandikan fakta, namun susah dijumpai metafora. Dan dengan begitu, mungkin, Fauzan perlu mendaur ulang (luka) puisinya agar bisa utuh berwujud “puisi”.
Judul : Luka Daur Ulang
Penulis : Fauzan Al-Ayyubi
Penerbit : SIGn
Cetak : Pertama, 2016
Tebal : xiv + 112 hlm
ISBN : 978 602 72706 2 6
Mahasiswa FKM UNHAS. Anggota LISAN Cab. Makassar. Pernah didapuk sebagai wakil presiden BEM FKM Unhas periode 2015-2016. Mulai berjuang menyelesaikan tugas akhir.