Semua tulisan dari M. Yunasri Ridhoh

Menyukai buku, kopi, dan petualangan. Ngamen di kampus, sekolah, beberapa bimbingan belajar serta forum diskusi dan pelatihan. Bisa dijumpai di IG: @ari_myunasri dan FB: M Yunasri Ridhoh

Trilogi Pancasila; Titik Tumpu, Titik Temu dan Titik Tuju

Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam persoalan lainnya. Inilah yang membuat beberapa kalangan kecewa bahkan sinis pada Pancasila.

Artikel ini tidak hendak mendebatkan kesahihan dan ketepatan waktu kelahiran Pancasila. Beragam versi tersebut bagi saya memiliki basis argumennya masing-masing yang sama kuatnya, baik versi 1 Juni maupun versi 18 Agustus. Biarkan lah itu terus menjadi diskursus publik yang akan terus saling memperkaya, yang pasti sebagai nilai, Pancasila jauh lebih tua dari kedua versi tersebut.

Artikel ini akan fokus mengeksplorasi konsep trilogi Pancasila yang Yudi Latif seringkali ungkapkan, yakni titik tumpu, titik temu dan titik tuju.

Pancasila sebagai Titik Tumpu

Setiap bangsa yang ingin bertahan apalagi berusia panjang mensyaratkan adanya suatu konsepsi bersama menyangkut nilai-nilai dan haluan dasar bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan. John Gardner (2011), seorang cencekiawan Amerika Serikat, mengungkapkan “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral untuk menopang peradabannya”. Disinilah Pancasila sebagai titik tumpu atau pijakan menemukan urgensi dan relevansinya.

Onghokham (2001) mengungkapkan bahwa dibandingkan sebagai ‘ideologi’, Pancasila lebih tepat disebut ‘dokumen politik’, semacam ‘kontrak sosial’, yang merupakan puncak dari kompromi, negosiasi dan persetujuan sesama warga tentang asas-asas atau tumpuan dalam berbangsa dan bernegara. Itu berarti dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat, Droit de l’homme di Perancis, dan Manifest der Kommunistischen di Uni Soviet.

Sebagai dasar atau titik tumpu maka dalam kehidupan berwarga dan bernegara setiap aktivitas, regulasi dan kebijakan mesti dilandaskan pada nilai-nilai kebajikan dan kebijaksanaan yang termuat dalam setiap sila; ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan.

Pancasila sebagai Titik Temu

Pancasila bagi warga NU disebut kalimatun sawa’ yang berarti titik temu atau kalimat persetujuan. Sementara bagi warga Muhammadiyah disebut dar al-‘ahdi yang berarti konsensus bersama dan dar al-syahadah yaitu tempat pembuktian atau kesaksian, serta dar al-salam yaitu menjadi negeri yang aman dan damai.

Adapun Cak Nur menyebut Pancasila sebagai common platform atau common denominator yang berarti titik persetujuan atau rumah bersama yang memungkinkan beragam identitas bertemu dan bekerjasama di dalamnya.

Beragam penyebutan tersebut bila ditelisik sebetulnya memiliki makna yang serupa yaitu persatuan atau titik temu. Konsep ini berimplikasi bahwa segalanya boleh saja berbeda, tapi dalam hal berindonesia segalanya menjadi satu. Kita boleh saja beda dalam iman, dalam suku, dalam politik, dalam bahasa dan lainnya, tapi kita bersaudara sebagai bangsa.

Bangsa sendiri dalam pandangan Benedict Anderson (1983) ialah komunitas-komunitas terbayang “Imagined Communities” yang berarti suatu kumpulan manusia yang sebetulnya dan senyatanya tidak pernah berjumpa tapi merasa bersatu. Perasaan tersebut didorong oleh adanya nasionalisme yang tumbuh di dalam hati dan pikiran mereka. Agak rumit memang, bagaimana bisa orang-orang yang tidak memiliki ikatan biologis bahkan sekadar berjumpa pun tidak, tapi merasa bersaudara atau setidaknya ingin bersatu, itulah keajaiban nasionalisme (sila ketiga Pancasila) mengikat yang berbeda menjadi kesatuan.

Pandangan Anderson tersebut menunjukkan bahwa setiap bangsa memerlukan konsepsi titik temu, disinilah Pancasila sebagai titik temu menemukan konteksnya. Konsepsi ini semakin menemukan konteksnya terutama melihat Indonesia yang memiliki tingkat keragaman penduduk yang sangat kompleks dan komplit.

Sebagaimana diketahui Indonesia adalah bangsa yang oleh Tuhan YME diberikan dua takdir utama sekaligus, yakni (1) takdir geografis, dan (2) takdir sosiologis. Takdir geografis membuat manusia Indonesia menjalani hidup di wilayah lebih dari 7 juta kilometer persegi (km²), dengan 75% diantaranya adalah wilayah perairan dengan garis pantainya terpanjang ke-2 di dunia (95,181 km) inilah alasan mengapa Indonesia disebut negeri bahari atau maritim. Diantara itu terdapat juga lebih dari 16.771 pulau dengan potensi serta kekayaan alam yang melimpah di dalamnya (BPS 2021).

Suasana geografis dan kekayaan alam Indonesia dengan sangat baik digambarkan oleh John Crawfurd (1820) dalam Haedar Nasir (2019) sebagai sebuah wilayah kepulauan yang memiliki bentangan alam yang subur, nyaman, indah, kayaraya, dan tidak ektrem seperti jazirah Arabia. Dalam gambaran Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887), kepulauan Indonesia seumpama untaian “Zamrud di Khatulistiwa” (The Emerald of Equator), yang di dalamnya menurut Koes Ploes “tongkat dan batu pun jadi tanaman”. Kedua metafora itu menggambarkan Indonesia sebagaimana dalam ungkapan Jawa kuno disebut gemah ripah loh jinawi.

Adapun takdir sosiologisnya, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (2022), jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022, yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia. Kenyataan lainnya ialah manusia Indonesia menjalani hidup dalam suasana yang super majemuk. Dimana terdapat beragam suku, bahasa, agama, kebudayaan, kepercayaan, adat istiadat, dls. Data BPS (2021) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih  1.300 suku bangsa, 668 bahasa daerah, memiliki 431.465 kelompok ormas, 6 agama resmi + 184 aliran kepercayaan dan masih banyak lapis keragaman lainnya.

Pancasila sebagai Titik Tuju

Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya masing-masing sesuai dengan kondisi, tantangan dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Indonesia pun demikian, memiliki tujuan yang menjadi alamat yang hendak dituju dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adapun titik tuju tersebut memuat common good, sebuah kebaikan bersama yang dicita-ciptakan.

Ernest Renan, seorang filosof sekaligus sejarawan asal Prancis memiliki pendapat bahwa sebuah bangsa tidak hanya terbentuk dari kesamaan-kesamaan seperti masa lalu atau identitas-identitas primordial lainnya. Tapi juga mensyaratkan adanya kehendak untuk bersatu serta cita-cita yang sama. Bagi Renan, bangsa terjadi karena adanya keinginan untuk hidup bersama dengan perasaan setia kawan yang agung untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Renan menyebutnya sebagai “Le désir d’etre ensemble”.

Bagi bangsa Indonesia tujuan bersama tersebut ialah kelima sila Pancasila itu sendiri, yang secara terperinci dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpa darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pancasila sebagai titik tuju memang seringkali dianggap sangat abstrak, sehingga dipersepsi sebagai sesuatu yang “impossible” bahkan ‘utopia”. Tidak salah sebetulnya persepsi itu, tapi juga tidak benar seluruhnya. Bagi saya “tujuan bersama” memang tidak perlu detail atau rigid. Regulasi, kebijakan, program, outcome lah yang akan mendetailkannya. Disinilah diperlukan apa yang disebut “tujuan antara”, sebuah tujuan yang dapat diukur secara saitifik, misalnya indeks kesejahteraan, indeks kebahagiaan, indeks pembangunan manusia, indeks korupsi, indeks demokrasi, indeks kualitas lingkungan hidup, indeks kebebasan, indeks pemberdayaan gender, indeks toleransi, dan beragam indikator atau “tujuan antara” lainnya yang bisa diukur.

***

Sebagai bentuk refleksi, dalam perayaan hari lahir Pancasila—meskipun sejatinya tak ada yang perlu dirayakan—saya melihat bahwa pada ketiga titik inilah Pancasila perlu diaktifkan, ditransmisi, ditransformasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tingkat individual, sosial, nasional dan global.

Sumber gambar: https://kumparan.com

Demokrasi Paling Agung itu Menyejahterakan Rakyat

Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”.

Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah dan sarat makna, juga mengandung keberpihakan. Karena itu saya selalu mengingatnya. Hingga kini, ketika di kelas dan berdiskusi dengan mahasiswa, saya seringkali mengutipnya.

Beberapa hari yang lalu misalnya, di kelas “Sistem Politik Indonesia” saat sedang membahas dinamika demokrasi, beberapa mahasiswa dengan kritis dan setengah pesimis memproblematisir demokrasi yang baginya tidak kunjung matang, malah kian elitis dan hanya memberi karpet merah kepada kaum kaya dan berkuasa. Argumen itu menarik bagi saya, meskipun tidak baru tapi rasanya sangat aktual dan faktual. Karena itu saya tidak membantahnya, bahkan dengan agak masygul saya menyetujuinya, kenyataannya memang demikian.

Data dari sejumlah lembaga kredibel seperti Freedom House, The Economist Intelligence Unit (EIU), dan para peneliti demokrasi seperti Vedi Hadis, Edwar Aspinal, Jeffry Winters, dan beberapa lainnya secara telanjang mengungkapkan bahwa demokrasi indonesia sedang mengalami regresi atau kemunduran. Bila di dua dekade sebelumnya hanya mengalami stagnasi maka di dekade ketiga pasca reformasi justru mengalami kemunduran. Akibatnya menurut riset EIU indeks demokrasi Indonesia saat ini berstatus demokrasi cacat (flawed democracy).

Kemunduran itu datang dari dua arah; atas dan bawah. Dari atas berupa represi negara misalnya kriminalisasi, rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal, dll. Sementara yang datang dari bawah berupa polarisasi sipil, intoleransi, persekusi terhadap minoritas, doxing, peretasan, hoax, ujaran kebencian, dll. Di sini kita mesti adil melihat bahwa kemunduran tersebut tidak hanya disebabkan oleh pemerintah, tetapi juga dipengaruhi oleh warga sipil itu sendiri.

***

Anggapan bahwa demokrasi semata soal pemilu saja juga berkontribusi memundurkan demokrasi. Karenanya anggapan ini perlu ditinjau kembali. Sebab soal demokrasi bukanlah soal pemilu semata. Demokrasi tidak cukup diukur hanya dari sirkulasi dan distribusi kekuasaan melalui pemilu, namun seberapa mampu pemimpin yang terpilih melalui pemilu tersebut dapat menghasilkan kesejahteraan. Kalau demokrasi diukur hanya dari pemilu, maka Jerman pada masa Hitler itu sangat lah demokratis, sebab Hitler terpilih melalui pemilihan umum. Di sinilah ungkapan Profesor Cecep Darmawan menemukan relevansinya.

Untuk itu mari melihat beberapa variabel penting. Variabel pertama adalah tentang pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan, penelitian Adam Przeworski, Michael E. Alvarez, Jose Antonio Cheibub, dan Fernando Limongi menunjukkan bahwa ada korelasi antara pendapatan per kapita dan lamanya demokrasi bertahan. Demokrasi akan bertahan lebih lama (setidaknya 100 tahun) jika pendapatan per kapita berada pada kisaran 4000 hingga 6000 dolar per tahun. Variabel ini semakin penting mengingat saat ini Indonesia didapuk sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi keempat di dunia. Laporan tahunan “Global Wealth Report” dari Credit Suisse menyebutkan ketidakmerataan ekonomi Indonesia mencapai 49,3 persen. Itu artinya hampir setengah aset negara dikuasai satu persen kelompok terkaya nasional.

Variabel kedua adalah masalah pemerataan pembangunan. Karena pertumbuhan yang tidak disertai dengan pemerataan akan menghasilkan “kesenjangan”. Di sinilah diperlukan upaya serius untuk mengurangi kesenjangan, terutama kesenjangan antar wilayah. Bila tidak, benih disintegrasi yang didahului kekerasan dan diskriminasi akan terjadi. Variabel ketiga adalah pembentukan masyarakat ekonomi yang terlembaga (economic society), artinya perlu dibentuk institusi dan regulasi yang dapat memfasilitasi hubungan antara negara, masyarakat dan pasar secara adil dan bebas. Disini negara harus berupaya untuk menghambat monopoli dan akumulasi sumber daya ekonomi yang tidak adil, serta mendorong iklim ekonomi yang menyejahterakan secara merata.

Variabel keempat adalah pembentukan masyarakat sipil yang partisipatif, cerdas dan otonom. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi sukarela masyarakat dalam mengorganisasi diri, misalnya mengawasi, memberikan masukan, dan mengkritik jalannya pemerintahan. Namun partisipasi tersebut mesti partisipasi yang bermakna dan berdampak, karena itu masyarakat sipil mesti terdidik (cerdas) dan otonom (bebas). Pada bagian ini akses dan kualitas pendidikan akan sangat menentukan.

Variabel terakhir ialah reformasi partai politik, berupa transformasi budaya parpol, dari budaya “figur-sentris” ke budaya “platform ideologi-sentris”. Kita tidak bisa pungkiri bahwa pengidentifikasian publik terhadap partai saat ini adalah pengidentifikasian ke elitnya, bukan pengidentifikasian ke platform atau bentuk usulan kebijakan. Selain itu parpol harus bisa meretas wabah korupsi yang menjangkiti para elitenya, kenapa demikian? karena ini akan berpengaruh terhadap persepsi publik pada prestasi parpol, semakin banyak elite parpol yang terkena kasus korupsi, maka semakin lemah pula identifikasi masyarakat pada partai politik. Partai politik juga perlu ditransformasi agar lebih akuntabel dan transparan dalam penggunaan anggaran.

Pada kelima variabel itulah kita perlu mengarahkan perhatian dan perbaikan. Dengan begitu pesimisme pada demokrasi dapat dipulihkan kembali. Pada akhirnya sesuai dengan judul artikel ini, demokrasi mensyaratkan kesejahteraan, sebab pada masyarakat yang tidak sejahtera, demokrasi akan mudah dibajak, politik transaksional akan semakin marak. Demikian juga pada masyarakat yang tidak terdidik, politik kebencian juga tidak akan bisa dihilangkan.

Yang Tak Wajar Diantara Kita

“pamer harta memang hal yang tak baik, dari sudut pandang apapun, tapi dalam perspektif penegakan hukum bukan disitu pokok persoalannya. Pemerintah semestinya fokus pada ketakwajaran harta kekayaan pejabat dan pegawainya, bukan pada sikap pamernya”


Akhir-akhir ini istilah “tak wajar” banyak kita jumpai di jagat media, misalnya saja dalam tajuk yang tayang di detik.com berjudul “964 Pegawai Kemenkeu Diduga Punya Harta Kekayaan Tak Wajar“. Atau di harian Media Indonesia “Sri Mulyani Jamin Investigasi Harta Tak Wajar Milik 69 Pegawai Kemenkeu Selesai dalam Sepekan“. Kemudian di harian Republika dengan tajuk “Kemenkeu Periksa 69 Pegawai Kemenkeu Berharta tak Wajar”.

Barisan tajuk di harian nasional tersebut menunjukkan ada yang tak wajar dari kata “tak wajar” itu sendiri. Meskipun kosakata tersebut bukanlah sesuatu yang baru, tetapi penggunaannya intens dipakai belakangan ini, terutama setelah kasus Mario Dandy viral dan merembes ke mana-mana.

Tulisan pendek ini hendak memproblematisir “ketakwajaran” tersebut dalam dua hal. Pertama, “tak wajar” nya jumlah kekayaan sebagian pejabat dan pegawai di pemerintahan, yang kedua “tak wajar” nya gaji puluhan ribu tenaga honorer guru di ribuan sekolah. Keduanya sama-sama “tak wajar”, tapi ketakwajarannya memiliki pretensi yang sangat berbeda.

Kekayaan “Tak Wajar” Para Pejabat
Tak wajar yang pertama merujuk pada jumlah kekayaan sejumlah pejabat dan pegawai Kemenkeu terutama di Ditjen Pajak dan Bea Cukai yang dianggap melampaui kewajaran, misalnya saja milik Rafael Alun Trisambodo, Eko Darmanto, hingga terbaru Andhi Pramono. Nama-nama tersebut diduga memiliki harta kekayaan yang tak wajar. Belakangan ketakwajaran tersebut viral dan menjadi sorotan publik.

Setelahnya secara beramai-ramai kementerian—Kemenhub, Kemenpan RB, Kemen BUMN, dls.— mengeluarkan himbauan agar pegawai dan pejabatnya tidak pamer kekayaan dan bergaya hidup hedon. Bahkan Presiden Jokowi pun turut mengeluarkan himbauan khusus agar aparat birokrasi tidak pamer harta di media sosial (baca harian kompas.com).

Sekilas himbauan itu tampak tak ada masalah, tapi bila melihatnya dari sudutpandang tata kelola publik, akan tampak sesuatu yang tidak nyambung. Ibarat pameo “lain gatal, lain pula yang digaruk”. Betul bahwa pamer harta itu adalah hal yang tak baik, dari sudut pandang apapun, tapi dari perspektif penegakan hukum bukan disitu pokok persoalannya. Pemerintah semestinya berfokus pada ketakwajaran harta kekayaan pejabat dan pegawainya, bukan pada sikap pamernya. Soal sikap pamer biarlah para agamawan, budayawan, dan cerdikcendekia yang mengurusinya.

Tapi sekalipun pemerintah mesti mengurusinya, janganlah sampai pemerintah melupakan pokok persoalannya, yakni kekayaan yang tak wajar. Sistem pembuktian terbalik bisa menjadi solusi, para pejabat yang kekayaannya tak wajar, harus membuktikan bahwa kekayaannya didapatkan dari dan dengan cara yang legal.

Sistem pembuktian terbalik bisa menjadi solusi, para pejabat yang kekayaannya tak wajar, harus membuktikan bahwa kekayaannya didapatkan dari dan dengan cara yang legal

Sebetulnya menjadi kaya atau memiliki aset yang banyak bukanlah masalah, setiap orang berhak memilikinya, tetapi sebagai pejabat publik hendaklah dalam batas-batas kewajaran—sumbernya wajar, jumlahnya wajar dan penggunaannya wajar—. Adalah sangat arif bila pejabat publik kekayaannya tidak bertambah, baik berpuluh apalagi beratus kali lipat ketika menjabat.

Menjadi pejabat publik, sebenarnya dan sewajarnya adalah pengabdian-pelayanan, artinya kerelaan berkorban. Karena itu seharusnya seorang pejabat publik ketika memilih mengambil tugas tersebut, maka ia harus rela hidup sederhana, bahkan hidup menderita kata Agus Salim. Aneh rasanya bila seorang pelayan-pengabdi, justru kekayaannya membengkak ketika sedang menduduki jabatan publik. Bila ingin kayaraya, dan tak ingin berkorban, mestinya tak usah jadi pejabat publik, menjadi pebisnis barangkali lebih cocok.

Belajar dari Hatta dan Soekarno
Mari sejenak menengok ke masalalu, Hatta suatu ketika mengeluarkan kebijakan senering (pemotongan nilai uang) dari Rp.100 menjadi Rp.1, istrinya Ibu Rahmi sempat keberatan. Pasalnya, tabungannya jadi berkurang, padahal dia sudah menabung untuk beli mesin jahit yang sangat diidamkannya. Hatta setengah merayu mengatakan kepada Rahmi bahwa “kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan usaha pribadi dan keluarga. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan banyak orang. Kita bisa nabung lagi” kata Bung Hatta menenangkan istrinya.

Sikap yang serupa juga ditunjukkan oleh Sukarno. Ketika akhirnya harus meninggalkan istana pada 1967. Ia mengingatkan kepada anaknya “Mas Guruh, bapak sudah tidak boleh tinggal di istana ini lagi. Kamu bereskan barang-barangmu, jangan kamu ambil apapun, termasuk lukisan atau hal lain. Itu punya negara!” kata Bung Karno yang lantas menyampaikan hal serupa kepada para ajudannya. Saat akhirnya meninggalkan istana, Bung Karno pun hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam. Dengan menumpang VW kodok, ia minta diantarkan ke rumah Fatmawati di bilangan Sriwijaya, Kebayoran.

Kisah-kisah tersebut adalah teladan yang hidup, bukan dongeng apalagi mitos, mereka nyata, mereka mewariskan pelajaran berharga bahwa jabatan publik adalah tugas pelayanan dan pengabdian, bukan wahana menumpuk harta dan pamer kuasa.

Gaji “Tak Wajar” Guru Honorer
Bila ketakwajaran sebelumnya karena melampaui batas, yang kedua ini sebaliknya justru karena di bawah batas kewajaran. Demikianlah adanya, para honorer utamanya guru yang jumlahnya lebih dari 1 juta orang diupah secara tak wajar. Mari memulainya dengan membaca tajuk di detik.com pada juni 2020 “Miris! Gaji Guru Honorer Lebih Kecil dari Upah ART”. Kemudian tajuk di okezone.com pada mei 2022 berjudul “Cerita Guru Honorer Pernah Digaji Rp25.000 per Bulan“, bahkan yang lebih menyedihkan tajuk di halaman depan kompas.com maret 2023 Gaji Belum Dibayar, Guru Honor Jual Ginjal di Media Sosial“.

Padahal berdasarkan Pasal 14 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Namun pasal ini seringkali di anak tirikan.

Dua ketakwajaran di atas menampilkan kenyataan yang kontras, ibarat langit dan bumi. Padahal guru seringkali dielu-elukan dalam pidato para pejabat, disebut sebagai pahlawan, sebagai tulang punggung kemajuan bangsa bahkan suluh peradaban. Namun nasibnya seringkali menyedihkan, tidak lebih baik dari ART di negeri tetangga.

Inilah setumpuk ketakwajaran, yang boleh jadi menyerupai fenomena gunung es, sebagian barangkali telah tampak, tapi bagian terbesarnya boleh jadi belum terlihat. Ketakwajaran ini memerlukan hadirnya pemerintah, sebab memang itulah tugas pemerintah. Kealpaan pemerintah justru akan memperpanjang barisan ketidakwajaran, yang bila dibiarkan terus-menerus pada waktunya nanti akan melahirkan ketidakpercayaan. Publik akan beramai-ramai menyatakan mosi tidak percaya kepada negara. Dan itulah seburuk-buruk pemerintahan, berdiri di atas ketakwajaran dan ketidakpercayaan.

Anggi, Imaji, dan Wajah Pendidikan

Kalau boleh jujur, sudah sejak lama saya menyenangi segala hal ikhwal seputar pendidikan—baik pendidikan sebagai diskursus, maupun pendidikan dalam arti kebijakan dan praktik kebudayaan. Mungkin sudah lebih dari 10 tahun saya tertarik dengannya. Sayangnya, saya tidak menggelutinya secara dalam dan serius. Karenanya, hingga sekarang saya merasa tidak begitu piawai apalagi expert dalam mengomentari banyak hal mengenai pendidikan.

Oleh karenanya, tulisan pendek ini rasanya tidak tepat untuk disebut resensi, barangkali lebih sebagai ajakan kepada majelis pembaca untuk mau berbagi wawasan, kegelisahan, dan refleksi mengenai pendidikan. Serta yang tidak kalah penting, yaitu ajakan untuk membaca buku bertajuk Imajinasi, Problematika, dan Kompleksitas: Wajah Pendidikan Indonesia anggitan dari Bung Anggi Afriansyah.

Tentang Penulis

Anggi—penulis buku ini—adalah peneliti muda di sebuah lembaga penelitian terkemuka Indonesia, yakni LIPI (BRIN saat ini). Di lembaga itu, Anggi dikenal sebagai salahsatu esais paling produktif pada tema pendidikan. Jauh sebelumnya, Anggi pernah melakoni profesi sebagai pengajar, baik di sekolah, bimbingan belajar, maupun di perguruan tinggi. Aliran nasib lah yang kemudian membawanya menjadi peneliti di lembaga ‘plat merah’ tersebut.

Seperti diakui dalam pengantar bukunya, Anggi menggeluti topik pendidikan secara serius didorong oleh setidaknya dua alasan elementer (hal.viii-ix), yakni pertama, alasan personal, Anggi memang tumbuh dalam ekosistem keluarga pendidik. Ibu dan bapaknya adalah guru. Langsung atau tidak, situasi itu membentuk dan mempengaruhi Anggi.

Lalu, setelah tamat SMA, Anggi kemudian melanjutkan studinya ke kampus LPTK, yakni Universitas Negeri Jakarta (eks IKIP). Disana Ia memilih prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Begitu meraih gelar sarjana, Anggi lalu melanjutkan studi magisternya di Sosiologi UI, sembari nyambi menjadi guru, tentor dan asisten dosen. Bila melihat rute perjalanan dan pergulatan Anggi, memang sedikit banyak berkait kelindan dengan pendididikan. Tidak heran Ia menjadi sangat akrab dengan tema pendidikan.

Kemudian kedua, yakni alasan subtansial. Sebagai generasi muda terdidik, Anggi tentu saja mengalami gejolak, dilema, kegelisahan, dan akhirnya terpanggil untuk menggelutinya. Bagaimana tidak, Anggi menyaksikannya sendiri, bahkan dari jarak yang cukup dekat mengenai situasi dan problem kebangsaan kita, seperti kekerasan, intoleransi, diskriminasi, terorisme, politik kebencian, pengabaian nilai karakter, marginalisasi kelompok minoritas, kesenjangan sosial dan banyak lagi. Kondisi ini membuatnya kian terpanggil untuk masuk lebih dalam dan menggelutinya secara lebih intim lalu menuliskannya. Pendidikan kemudian Ia pilih sebagai lokus dan fokusnya. Ia melihat pendidikan adalah pintu masuk sekaligus pintu keluar dari problematika tersebut.

Perihal Buku

Buku ini saya terima (disertai tandatangan penulisnya) pada Februari 2022, tepatnya 22-02-2022. Tanggal cantik bukan? tapi bukan perkara tanggal cantik itu yang akan saya babarkan disini. Melainkan insight yang saya temukan setelah membacanya. Oiya, kalau boleh, izinkan saya berterima kasih lebih dulu kepada penerbit Pojok Cerpen & Tanda Baca karena menghadiahi saya buku tersebut, setelah ikut nimbrung dalam Bedah Buku yang digawangi oleh P2G dan Tanda Baca (Rabu, 19 Januari 2022).

Buku ini merupakan debut perdana Anggi secara solo. Sebab bukunya yang lain, Ia tulis dan terbitkan bersama kawan-kawannya. Karena itu, boleh dibilang inilah buku perdananya. Buku ini merupakan himpunan artikel pendek Anggi yang berserak dan tersebar di banyak media, baik nasional maupun lokal, cetak ataupun daring, yang ia terbitkan pada medio 2015-2019, misalnya di Harian Republika, Harian Media Indonesia, Koran Sindo, Koran Kompas, Koran Jakarta, detiknews, NU Online, Jawa Pos, Radar Tasikmalaya, dll.

Sesuai judulnya, keseluruhan artikel dalam buku ini menganalisis pendidikan dengan segala kompleksitas dan problematikanya. Tidak lupa, Anggi juga menarasikan imajinasinya tentang pendidikan yang humanis, yang egaliter, yang memerdekakan. Begitu juga imajinasinya tentang Indonesia yang lebih maju dan lebih makmur. Melalui artikel-artikelnya tersebut, Anggi berusaha menyajikan fakta bahwa pendidikan kita memang sedang tidak baik-baik saja, di beberapa bagian memang masih sangat buruk. Karenanya, melalui bukunya Anggi mengajak kita untuk menjadi bagian dari ikhtiar mengurai kekusutan dan silangsengkarut problematika pendidikan kita.

Buku setebal xii + 283 halaman ini memuat 52 artikel yang dikelompokkan dalam enam tajuk utama, yaitu (1) Wajah Pendidikan di Indonesia, memuat 8 artikel; (2) Problematika pendidikan di Indonesia, berisi 11 artikel; (3) Relevansi Ajaran Ki Hajar Dewantara dalam Konteks Kiwari, memuat 8 artikel; (4) Sekolah: Penguatan Dialog, Pancasila, Anti Kekerasan, berisi 12 artikel; (5) Menguatkan Siswa Membaca, berisi 6 judul artikel; serta yang terakhir (6) Pergulatan Pendidikan di Pesantren, memuat 7 artikel.

Sekalipun buku ini cukup tebal, tapi jangan terintimidasi karenanya. Sependek pengalaman saya membacanya, tulisan-tulisan yang ada di dalamnya sangat mengalir. Kita juga terbantu karena bisa memilah dan memilih topik yang ingin kita baca lebih dulu. Kesimpulan saya, Anggi memang sangat terampil menguraikan pikiran-pikirannya secara kritis dan reflektif. Tidak hanya itu, Anggi juga sangat piawai dalam memetakan situasi pendidikan kita kiwari dalam sudut pandang yang khas dan beragam, serta kemasan yang menarik dan menantang untuk dibaca.

Tak heran jika ia bisa menulis gagasannya secara lintas topik, misalnya dari masalah kebijakan pendidikan yang sangat normatif. Lalu berpindah ke isu minat baca siswa, kekerasan, politik kebencian, pendidikan kebangsaan, pendidikan di pesantren yang kesemuanya sangat sosiologis. Kemudian bergeser ke topik pendidikan yang dialogis, pendidikan yang egaliter, pendidikan yang memerdekakan, Pancasila di ruang kelas, dan masih banyak lagi yang kesemuanya sangat ideologis.

Lalu mengajak kita perlahan-lahan masuk pada gagasan-gagasan besar nama-nama seperti Ki Hadjar Dewantara, Driyarkara, Tan Malaka, Soekarno, Pram, Tilaar, Gus Dur, Roem, Quraish Shihab, Haryatmoko, Yudi Latif, dll. begitu juga dengan filosof dan pedagog kenamaan seperti Illich, Harari, Giroux, Freire, Mandela, Habermas, Gardner, Tom Nichols, Bikhu dan masih banyak lagi, diuraikan secara filosofis.

Sebelum menutupnya, saya ingin mengutip sepotong kalimat dalam salahsatu artikel di buku tersebut, yang berjudul “Membaca Sebagai Tugas Ilahiyah” disitu Anggi menulis ‘..membaca dapat membuka cakrawala, meningkatkan imajinasi, dan keluasan pandangan seseorang…’ saya kira itu benar adanya. Karenanya mari membaca, membaca apa saja—teks, konteks dan peristiwa—tentu saja termasuk buku ini.

Akhirnya sebagai penutup saya mengajak kepada hadirin pembaca, untuk bersama-sama menyelami buku Bung Anggi ini, dan lebih jauh dari itu ikut menjadi bagian dari usaha panjang mengembalikan pendidikan pada relnya yang semula, yaitu pendidikan yang memerdekakan—merdeka dari ketidaktahuan, ketertinggalan, kemiskinan, ketidakberdayaan, dan ketidakberadaban. Demikianlah, saya tidak akan menyimpulkan apa-apa, sebab seperti yang saya sampaikan di awal, tulisan ini lebih sebagai ajakan untuk membacanya semata, bukan untuk mereviewnya.

Terakhir, selamat kepada Bung Anggi atas debut buku terbarunya. Terimakasih atas analisis dan sajian gagasannya yang apik dan menggugah. 

Tentang buku:

Judul: Imajinasi, Problematika, Kompleksitas: Wajah Pendidikan Indonesia

Penulis: Anggi Afriansyah

Penerbit: Pojok Cerpen & Tanda Baca

Tahun Terbit: Desember 2021

Halaman: xii + 283 hlm.

Kategori: Non Fiksi

Novia dan Darurat Kekerasan Seksual

Kemarin, 4 desember 2021, media sosial–belakangan media massa juga–diramaikan oleh kisah seorang gadis bernama Novia Widyasari Rahayu. Tagar #SaveNoviaWidyasari dan #JusticeForNovia meluber di laman media sosial kita. Novia adalah seorang mahasiswi tingkat akhir pada sebuah kampus ternama di Kota Malang. Ia adalah korban dari seorang polisi bernama Randy Hari Bagus Sasongko, yang dikabarkan putra dari pejabat DPRD di kotanya.

Tragisnya, gadis itu mengakhiri hidupnya di atas pusara ayahnya. Gadis itu memilih, ahh rasanya kata ‘memilih’ ini seolah-olah pelaku tak bersalah. Kata ‘terpaksa’ jauh lebih tepat. Bahkan mungkin juga bukan terpaksa, tapi ‘dipaksa’ mengakhiri hidupnya.

Siapa pun yang membaca kisahnya, hatinya pasti akan terluka dan marah. Mungkin di dasar hatinya juga akan mengatakan ‘gadis itu bukan bunuh diri, tapi dibunuh’.

Gadis itu dirundung kesedihan dan duka yang bertubi-tubi. Kisahnya begitu pilu dan getir. Mungkin kita pun tak sanggup bila berada di situasinya. Membaca kisahnya saja rasanya sangat menyayat hati (baca kisahnya di akun quora, Aulia Dinarmara Putri Rahayu).

Gadis itu adalah korban dari kekasih yang brengsek, calon mertua yang bajingan, paman yang egois dan penegak hukum yang bobrok. Bagaimana tidak, kekasih dan orang tuanya tak mau bertanggungjawab, ia malah dipaksa untuk aborsi. Sialnya, gadis itu sudah pernah melaporkannya ke kepolisian, tapi ditampik dan tidak ditindaklanjuti. Barangkali korbannya mesti meninggal dulu dan viral lalu kemudian ditindaklanjuti.

Ya, beban gadis itu sungguh berat, dan ia melalui-menghadapinya sendirian, ia sakit, hancur dan menjerit. Beruntung ada ibunya, menguatkannya sesekali. Sehingga beberapa kali rencana bunuh dirinya ia urungkan. Tapi pada akhirnya ibunya pun tak kuasa menahannya. Ia wafat setelah berusaha dan berjuang untuk bertahan. Tapi ia tak sanggup lagi.

Sungguh bajingan orang-orang itu, belum genap 100 hari ayahnya meninggal, ia harus dipaksa lagi untuk kehilangan, kali ini janinnya, si calon buah hati yang amat dicintainya, namanya pun telah ia persiapkan–Aulia Dinarmara Putri Rahayu. nama yang manis.

Kini Novia telah pergi. Pergi bersama cita-citanya. Di akunnya ia menceritakan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Ia punya pengalaman pahit tentang sekolah. Dulu, ia melihat teman-temannya yang tidak mampu membayar SPP dikeluarkan dari kelas. Ia juga melihat teman-temannya yang agak bandel dan kurang pintar di mata pelajaran tertentu dipermalukan dan dihukum.

Pengalaman itu sangat melukai hatinya. Sejak saat itulah ia mulai merawat cita-citanya menjadi seorang guru–guru yang humanis.

Kini ia telah pergi, dan kisahnya menjadi pelajaran berharga bagi banyak orang. Ia telah menjadi guru–guru dalam arti yang sesungguhnya. Semoga jalannya terang dan lapang.


Kisah Novia ibarat gundukan gunung es di samudra. Di bawah gundukan itu, masih ada banyak kasus lain yang belum terungkap. Memang berat menjadi korban, karena itu ada banyak yang tak sanggup melewatinya, atau setidaknya berani speak up.

Betul bahwa ada yang mampu melewatinya, tapi tidak jarang pula yang tak sanggup, mereka terpaksa mundur dan berjatuhan, Novia adalah salahsatunya.

Sekalipun ada yang sanggup melewatinya, ia pasti akan berhadapan dengan barisan masyarakat yang sok moralis, yang akan menghakiminya sebagai perempuan tak benar, perempuan murahan, perempuan gampangan dan semacamnya. Anak yang lahir kelak pun akan mendapat hujatan dan celaan yang sama. Duh Tuhan sebrengsek inikah hidup.

Novia mungkin bukan yang pertama. Tapi kalau kita tidak serius bertindak, bisa jadi Novia juga bukan yang terakhir. Akan selalu ada Novia selanjutnya.

Ini adalah momentum untuk berbenah. Secara kultural masyarakat kita memang mesti dididik. Agar lebih menghargai tubuh dan menghargai siapa pun. Juga agar lebih ramah dan empatik terhadap korban. Pameo yang menyebut ‘jaga anak perempuanmu’, mungkin sudah waktunya untuk direvisi menjadi ‘didik anak lelakimu’. Atau lebih maju lagi, agar tidak bias gender, mungkin lebih tepat menyebut ‘jaga dan didiklah anak-anakmu’.

Secara legal-struktural ini juga adalah momentum. Momentum menggalang dukungan untuk menuntut negara. Negara tidak boleh diam. Kita menuntut, jangan hanya menindak pelakunya saja, tapi negara juga mesti berbenah. Bereskan infrastruktur dan sistem negara ini agar tak ada lagi korban. Sekalipun ada, setiap korban bisa dengan mudah dan aman untuk mengakses bantuan dan perlindungan.

Kita harus berterusterang, negara kita memang darurat kekerasan seksual. Karena darurat itulah, maka dibutuhkan tindakan extraordinary, perlu langkah cepat dan serius. Pengesahan RUU PKS adalah salahsatu dari beberapa solusinya. Haruskah kita nabung kasus dan jumlah korban dulu lalu kemudian disahkan ? sudah cukup. Sahkan segera !

Rest in power, Novia.

Ilustrasi: dnaindia.com