Tanggal 14 di bulan Februari, apa yang terbesit dibenak kalian? Cokelat bunga, merah muda, hati dan cinta. Hari Valentine. Hari di mana toko-toko dibanjiri dengan diskon cokelat. Tanggal di mana setiap supermarket mengadakan acara cari pasangan, hotel-hotel memberikan diskon khusus. Dan di sekolah-sekolah, aksi “nyatakan cinta” meningkat tajam dibandingkan hari-hari biasanya. Secara kultural, hari ini memang dirayakan. Apalagi kalau tiba waktu malam, pesta-pesta bermunculan. Muda mudi terlihat keluyuran. Entah ada yang janjian hanya bertemu badan sampai berhubungan badan. Semua menspesialkan hari ini. Menyimbolkannya dengan kasih sayang kepada lawan jenis, atau sesama jenis jika dia LGBT garis keras. Pada intinya orang yang dianggap istimewa secara seksual.
Laiknya oposisi biner, selain muncul berbagai event dan perayaan, muncul juga berbagai penolakan, himbauan dan peringatan dari jauh-jauh hari. Mulai dari himbauan pak kepala sekolah yang hobi pakai kopiah, guru agama honorer, hingga ustadz-ustadzah dadakan. Kita akan diperingatkan untuk tidak ikut-ikutan merayakan valentine. Itu budaya barat, budaya kafir dan lain sebagainya. Kendati demikian, argumentasi seperti itu sangat temporal, tidak memberikan signifikansi apalagi edukasi bagi masyarakat menengah ke atas yang paling banyak merayakannya. Mereka yang telah mengenyam bangku pendidikan membutuhkan lebih dari sekadar pernyataan retoris religius, tapi juga rasionalisasi. Bagaimana implikasinya valentine pada bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan etika. Dan sayangnya, agama yang dalam hal ini paling getol mengagitasi dan mempropagandakan kontra valentine tidak berhasil melakukannya.
Jika kita berbicara implikasi dari valentine day, maka kita perlu menganalisis bukan malah membuat klaim prejudis apalagi sampai menakut-nakuti. Sebab menakut-nakuti bukanlah metode yang efektif untuk menghapus ekspansi budaya asing. Kita bisa disebut xenopobia karena selalu menolak yang datang dari luar tanpa ada alasan yang logis. Sebaiknya kita mulai kritis menanggapi dampak dari Valentine. Sebab valentine bukan hanya berbicara tentang cinta, tapi juga westernisasi dan neokolonialisme. Karena sifatnya yang hegemonik, maka yang dipengaruhinya adalah kultur dan intelektual. Dan karena ia tidak tercium bersifat koersif, maka kapitalisme pun ikut menunggangi. Coba perhatikan, siapa yang paling bersemangat mempersiapkan perayaan hari ini selain muda-mudi labil? Siapa yang memanfaatkan kelabilan mereka untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya? Yang memanfaatkan hormon testoteron untuk meningkatkan penjualan? Cokelat plus kondom. Bunga plus tester kehamilan. Tak mungkin ulahnya petani. Maka tepatlah apa yang diungkapkan Felix Guattari, “kapitalisme membangun dan menciptakan model-model hasrat, dan keberlangsungannya sangat bergantung pada keberhasilannya menanamkan model-model ini pada masa yang dieksploitasinya.”
Maka kita akan menolak valetin karena beberapa alasan, dan tentunya harus logis. Pertama, alasan ekonomi eksploitatif. Cokelat atau kakao, sering dijuluki “emas hitam”. Banyak dibudidayakan di Afrika Barat, Amerika Latin dan Asia. Dari 45 negara yang memproduksi kakao terdapat 7 negara yang bertanggung jawab untuk 90% produksi dunia dan merupakan negara-negara berkembang, seperti Pantai Gading (38%), Ghana (19%), Indonesia (13%), Brasil (5%), Nigeria (5%) Kamerun (5%) dan Ekuador (4%). Dengan tidak adanya industri khusus untuk mengelolah cokelat sendiri, beberapa negara penghasil cokelat melepaskannya pada korporasi negara-negara maju. Sebut saja beberapa merek terkenal, seperti Hershey, Mars Corporation, dan Mondelez yang menguasai hampir 70% pasar cokelat dunia. Ironisnya, cokelat-cokelat ini setelah diolah dan dikemas, dipasarkan ke negara-negara berkembang, termasuk negara penghasil cokelat.Dan hal ini semakin memuakkan dengan adanya sistem pasar bebas. Syukur saja di Indonesia masih ada Silver Queen merek cokelat anak bangsa yang dapat bersaing di pasaran.
Kedua, perayaan libido. Mengapa cokelat merepresentasikan cinta dalam valentine? Bukankah pada dasarnya cokelat itu pahit dan berbanding balik dengan cinta yang manis? Lantas apa yang sama antara cinta dan cokelat? Jawabannya tentu setelah kita mengkonsumsinya. Cokelat yang telah dimakan dan dicerna memiliki efek afrodisiak, karena cokelat banyak mengandung zat PEA (Phenylethylamine). Zat ini berfungsi untuk meningkatkan libido dalam bercinta. Bisa dikatakan memperkasakan pejantan dan melemahkan betina. Silahkan tanya ke dokter kelamin tentang viagra alami, mereka pasti akan merekomendasikan cokelat. Bagi para pasangan yang lemah, lesu, dan lunglai untuk memulai pertempuran padahal sudah dipanasi dari luar, bisa coba mengkonsumsi cokelat dulu biar bisa dipanaskan dari dalam.
Memang akan muncul banyak sanggahan. Seperti “saya kan makan cokelat bukan untuk seks”. “Saya kan kasih hadiah dia cokelat hanya sebagai simbol saja, lagian anak-anak juga lebih banyak yang suka cokelat dari pada orang dewasa”. Memang cokelat hanyalah salah satu unsur seksual yang ada pada perayaan valentinee, sisanya masih ada simbol hati dan malaikat. Simbol hati misalnya, ternyata diambil dari bentuk buah shilpium yang digunakan sebagai alat kontrasepsi atau pil KB-lah saat ini di zaman Romawi kuno dahulu. Demikian juga dengan gambar malaikat cinta atau cupid, ia adalah dewi Aprodhite, dewi seks, cinta dan kesuburan. Ada apa lagi? warna merah muda? Mengapa warna yang disebut pink itu dominan di perayaan valentinee? Apakah itu lambang darah perawan yang tertumpah di seprei putih dan berusaha dicuci? Ah kalau itu namanya cocokologi. Bukan argumentasi logis yang disertakan loh, itu ide kalian saja.
Bayangkan suatu perayaan tanpa diketahui maknanya ternyata berisi hal-hal bersifat seksual. Di negara kita, seks itu tabu bahkan bisa sampai sembilu. Nampak sedikit saja lekuk puting susu bisa dituding ahli neraka, apalagi sampai bertebaran simbol-simbol seksual seperti itu. Padahal lekuk puting susu itu ya punyanya bapak-bapak kuli bangunan juga. Di beberapa negara lain, di mana seks termanifestasi dalam budaya dan agama, seks menjadi profan. Sebut saja festival Kanamara Matsuri di Jepang, sebuah festival Shinto kuno yang menghormati kesuburan dan penis. Dalam festival ini kita akan melihat berbagai pernak-pernik berbentuk kelamin yang diarak keliling kota.
Tapi tunggu, intinya kita harus tegaskan di sini, ini tentang dia atau valentine sebenarnya? Jika kalian menyatakan cinta hanya pada saat valentine saja, maka logikanya kalian hanya mencintai valentine. Kalian memperalat dia hanya untuk merayakan valentine, bukan benar-benar mencintainya. Momen? Ah, momen itu mitos, yang ada hanya eksploitasi. Kalian mengeksploitasi dia di saat valentine kan? Kalian ajak dia ketemuan di tempat gelap. Dibawakan bunga biar terkesima. Lalu sedikit gombal-gambul “aku padamu, untuk itu”. Lalu dihadiahkanlah cokelat dan terangsang. Dipegang tangannya erat-erat, lalu berciuman. Karena sudah tak tahan kalian pun pergi pesan kamar. “Kondom dan tester sudah disiapkan kan? Bonus dari cokelat dan bunga tadi loh”. Maka yang tersisa adalah penyesalan. Dia dicumbui bukan pada waktunya, tanpa ikatan, demi cinta valentine yang ingin dibuktikan. Aborsi dan nikah dini pun menanti. Kemudian kejadian ini berulang setiap tahunnya.
sumber gambar: www.npr.org
Lahir di Bitung, Sulawesi Utara 11 Juni 1994. Mahasiswa Aqidah dan Filsafat IAIN Surakarta.