Semua tulisan dari Mario Pr

Lahir di Bitung, Sulawesi Utara 11 Juni 1994. Mahasiswa Aqidah dan Filsafat IAIN Surakarta.

Logika Aku Cinta Kamu Bukan Valentine

Tanggal 14 di bulan Februari, apa yang terbesit dibenak kalian? Cokelat bunga, merah muda, hati dan cinta. Hari Valentine. Hari di mana toko-toko dibanjiri dengan diskon cokelat. Tanggal di mana setiap supermarket mengadakan acara cari pasangan, hotel-hotel memberikan diskon khusus. Dan di sekolah-sekolah, aksi “nyatakan cinta” meningkat tajam dibandingkan hari-hari biasanya. Secara kultural, hari ini memang dirayakan. Apalagi kalau tiba waktu malam, pesta-pesta bermunculan. Muda mudi terlihat keluyuran. Entah ada yang janjian hanya bertemu badan sampai berhubungan badan. Semua menspesialkan hari ini. Menyimbolkannya dengan kasih sayang kepada lawan jenis, atau sesama jenis jika dia LGBT garis keras. Pada intinya orang yang dianggap istimewa secara seksual.

Laiknya oposisi biner, selain muncul berbagai event dan perayaan, muncul juga berbagai penolakan, himbauan dan peringatan dari jauh-jauh hari. Mulai dari himbauan pak kepala sekolah yang hobi pakai kopiah, guru agama honorer, hingga ustadz-ustadzah dadakan. Kita akan diperingatkan untuk tidak ikut-ikutan merayakan valentine. Itu budaya barat, budaya kafir dan lain sebagainya. Kendati demikian, argumentasi seperti itu sangat temporal, tidak memberikan signifikansi apalagi edukasi bagi masyarakat menengah ke atas yang paling banyak merayakannya. Mereka yang telah mengenyam bangku pendidikan membutuhkan lebih dari sekadar pernyataan retoris religius, tapi juga rasionalisasi. Bagaimana implikasinya valentine pada bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan etika. Dan sayangnya, agama yang dalam hal ini paling getol mengagitasi dan mempropagandakan kontra valentine tidak berhasil melakukannya.

Jika kita berbicara implikasi dari valentine day, maka kita perlu menganalisis bukan malah membuat klaim prejudis apalagi sampai menakut-nakuti. Sebab menakut-nakuti bukanlah metode yang efektif untuk menghapus ekspansi budaya asing. Kita bisa disebut xenopobia karena selalu menolak yang datang dari luar tanpa ada alasan yang logis. Sebaiknya kita mulai kritis menanggapi dampak dari Valentine. Sebab valentine bukan hanya berbicara tentang cinta, tapi juga westernisasi dan neokolonialisme. Karena sifatnya yang hegemonik, maka yang dipengaruhinya adalah kultur dan intelektual. Dan karena ia tidak tercium bersifat koersif, maka kapitalisme pun ikut menunggangi. Coba perhatikan, siapa yang paling bersemangat mempersiapkan perayaan hari ini selain muda-mudi labil? Siapa yang memanfaatkan kelabilan mereka untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya? Yang memanfaatkan hormon testoteron untuk meningkatkan penjualan? Cokelat plus kondom. Bunga plus tester kehamilan. Tak mungkin ulahnya petani. Maka tepatlah apa yang diungkapkan Felix Guattari, “kapitalisme membangun dan menciptakan model-model hasrat, dan keberlangsungannya sangat bergantung pada keberhasilannya menanamkan model-model ini pada masa yang dieksploitasinya.”

Maka kita akan menolak valetin karena beberapa alasan, dan tentunya harus logis. Pertama, alasan ekonomi eksploitatif. Cokelat atau kakao, sering dijuluki “emas hitam”. Banyak dibudidayakan di Afrika Barat, Amerika Latin dan Asia. Dari 45 negara yang memproduksi kakao terdapat 7 negara yang bertanggung jawab untuk 90% produksi dunia dan merupakan negara-negara berkembang, seperti Pantai Gading (38%), Ghana (19%), Indonesia (13%), Brasil (5%), Nigeria (5%) Kamerun (5%) dan Ekuador (4%). Dengan tidak adanya industri khusus untuk mengelolah cokelat sendiri, beberapa negara penghasil cokelat melepaskannya pada korporasi negara-negara maju. Sebut saja beberapa merek terkenal, seperti Hershey, Mars Corporation, dan Mondelez yang menguasai hampir 70% pasar cokelat dunia. Ironisnya, cokelat-cokelat ini setelah diolah dan dikemas, dipasarkan ke negara-negara berkembang, termasuk negara penghasil cokelat.Dan hal ini semakin memuakkan dengan adanya sistem pasar bebas. Syukur saja di Indonesia masih ada Silver Queen merek cokelat anak bangsa yang dapat bersaing di pasaran.

Kedua, perayaan libido. Mengapa cokelat merepresentasikan cinta dalam valentine? Bukankah pada dasarnya cokelat itu pahit dan berbanding balik dengan cinta yang manis? Lantas apa yang sama antara cinta dan cokelat? Jawabannya tentu setelah kita mengkonsumsinya. Cokelat yang telah dimakan dan dicerna memiliki efek afrodisiak, karena cokelat banyak mengandung zat PEA (Phenylethylamine). Zat ini berfungsi untuk meningkatkan libido dalam bercinta. Bisa dikatakan memperkasakan pejantan dan melemahkan betina. Silahkan tanya ke dokter kelamin tentang viagra alami, mereka pasti akan merekomendasikan cokelat. Bagi para pasangan yang lemah, lesu, dan lunglai untuk memulai pertempuran padahal sudah dipanasi dari luar, bisa coba mengkonsumsi cokelat dulu biar bisa dipanaskan dari dalam.

Memang akan muncul banyak sanggahan. Seperti “saya kan makan cokelat bukan untuk seks”. “Saya kan kasih hadiah dia cokelat hanya sebagai simbol saja, lagian anak-anak juga lebih banyak yang suka cokelat dari pada orang dewasa”. Memang cokelat hanyalah salah satu unsur seksual yang ada pada perayaan valentinee, sisanya masih ada simbol hati dan malaikat. Simbol hati misalnya, ternyata diambil dari bentuk buah shilpium yang digunakan sebagai alat kontrasepsi atau pil KB-lah saat ini di zaman Romawi kuno dahulu. Demikian juga dengan gambar malaikat cinta atau cupid, ia adalah dewi Aprodhite, dewi seks, cinta dan kesuburan. Ada apa lagi? warna merah muda? Mengapa warna yang disebut pink itu dominan di perayaan valentinee? Apakah itu lambang darah perawan yang tertumpah di seprei putih dan berusaha dicuci? Ah kalau itu namanya cocokologi. Bukan argumentasi logis yang disertakan loh, itu ide kalian saja.

Bayangkan suatu perayaan tanpa diketahui maknanya ternyata berisi hal-hal bersifat seksual. Di negara kita, seks itu tabu bahkan bisa sampai sembilu. Nampak sedikit saja lekuk puting susu bisa dituding ahli neraka, apalagi sampai bertebaran simbol-simbol seksual seperti itu. Padahal lekuk puting susu itu ya punyanya bapak-bapak kuli bangunan juga. Di beberapa negara lain, di mana seks termanifestasi dalam budaya dan agama, seks menjadi profan. Sebut saja festival Kanamara Matsuri di Jepang, sebuah festival Shinto kuno yang menghormati kesuburan dan penis. Dalam festival ini kita akan melihat berbagai pernak-pernik berbentuk kelamin yang diarak keliling kota.

Tapi tunggu, intinya kita harus tegaskan di sini, ini tentang dia atau valentine sebenarnya? Jika kalian menyatakan cinta hanya pada saat valentine saja, maka logikanya kalian hanya mencintai valentine. Kalian memperalat dia hanya untuk merayakan valentine, bukan benar-benar mencintainya. Momen? Ah, momen itu mitos, yang ada hanya eksploitasi. Kalian mengeksploitasi dia di saat valentine kan? Kalian ajak dia ketemuan di tempat gelap. Dibawakan bunga biar terkesima. Lalu sedikit gombal-gambul “aku padamu, untuk itu”. Lalu dihadiahkanlah cokelat dan terangsang. Dipegang tangannya erat-erat, lalu berciuman. Karena sudah tak tahan kalian pun pergi pesan kamar. “Kondom dan tester sudah disiapkan kan? Bonus dari cokelat dan bunga tadi loh”. Maka yang tersisa adalah penyesalan. Dia dicumbui bukan pada waktunya, tanpa ikatan, demi cinta valentine yang ingin dibuktikan. Aborsi dan nikah dini pun menanti. Kemudian kejadian ini berulang setiap tahunnya.


sumber gambar: www.npr.org

Memproduksi Tukang Teologi

Ilustrasi: kalatida.com

Mustahil mencari bursa kerja pada pelataran job fair yang mencantumkan pekerjaan menjadi tukang teologi. Pekerjaan dalam aggapan kebanyakan orang berhubungan dengan Tuhan itu tak layak membuka stand recruitment untuk berbagai lulusan.Perusahaan mana yang akan mencari? Karena tak ada perusahaan yang bekerja pada bidang konstruksi teologi. Itupun kalau ada mau digaji dengan apa? Sebab pekerjaan teologi berhubungan dengan Tuhan sebagai transenden tertinggi, maka sudah pasti gajinya tak bisa diukur dengan sekeping dua ikat kertas.

Namun, apakah pekerjaan seperti itu ada? Tentu saja ada, teologi sudah lama muncul semenjak manusia bertuhan. Tradisi kebertuhanan ini telah mengakar seiring dengan eksistensi manusia. Adapun ketika theos menjadi logos menyatu dalam teologi, adalah semenjak theos berada di dalam diri pemuka agama seperti syaman atau pandita, yang dalam berbagai kebudayaan berbeda penyebutannya. Tetapi tentang ketukangan teologi, hal ini baru disandarkan pada akhir milenium sesaat setelah memasuki era posmodernisme. Pada milenial ini, pengetahuan tentang keberadaan yang infiniti hanya menjadi komodifikasi yang terlepas dari sampul kesakralan dan orisinalitas. Semua kini bernilai ekonomi-kapitalistik, ilmu yang dapat dipelajari lantas dijual itulah ilmu yang akan dicari. Menghilangkan unsur komodifikasi di dalamnya, hanya akan menjadikan suatu ilmu itu tersingkir dan punah.

Akhirnya jika teologi tak ingin sirna dari sisi agama, ia harus memperbaharui diri. Menyesuaikan dengan keinginan pasar dan memangkas kredo-kredo yang sekiranya bertentangan dengan logika komoditas. Agama sampai hari ini tetap bertahan diterpa kehidupan eksodus modern yang membawa serta arus sekulerisme. Analisa Huxley ternyata meleset, sehingga ia harus kembali memperbaiki teorinya tentang agama yang akan tersingkir di masa mendatang. Maka kita dapati banyak teologi yang sarat dengan muatan developmentalisme, suatu upaya pembaharuan teologi yang berafiliasi dengan pandangan dunia. Ada teologi pembangunan, teologi antroposentris hingga ekoteologi yang kesemuanya hendak membenarkan pandangan dunia ideal manusia dan bukan Tuhan. Selama Tuhan tak bergeming, kredo bisa dirumuskan kapanpun sesuai kebutuhan zaman.

Mahasiswa yang mengenyam ilmu di fakultas teologi pun jika tak hanya segelintir orang pasti orang-orang buangan. Segelintir orang yang berada di kelas-kelas pada kampus swasta hanya diisi oleh 2-3 kepala. Betapa mahasiswa itu harus berjibaku dengan perkuliahan yang serba kultural hingga tak jarang sesuka hati dosen memperlakukan pengajarannya. Demikian pula dengan orang-orang yang mendaftar di kampus negeri tapi tidak diterima pada fakultas pilihan yang banyak peminatnya, secara otomatis oleh manajemen kampus akan dialihkan ke fakultas yang minim peminatnya, dan sudah tentu itu teologi. Manajemen distributif ini sudah lama tercium sebagai upaya komodifikasi kampus. Kampus tak mau tau apakah pendaftar itu berminat mempelajarinya atau tidak. Sepengatahuan kampus, pendaftar itu hanya ingin kuliah entah apapun jurusannya, karena kampus sudah bisa membaca, bahwa pasar hari ini menyediakan tempat sedikit lebih nyaman bagi buruh dengan kertas ijazah strata.

Maka masuklah segerombolan mahasiswa dengan tujuan pragmatis itu, beserta karakter hedonis dan impian mereka yang serba materialistis memenuhi kelas teologi. Ba, bi, bu, ba, cuap-cuap mereka tentang makanan, fashion dan pacar memenuhi dalam perbincangan esoterisme dan emanasi. Tak jarang lelucon jorok pun terlontar dari mulut-mulut yang tidak fasih mengeja nama Friedrich Wilhem Nietzsche. Para calon yang kelak menyandang gelar teolog atau filosof itu tak labih dari lakon sirkus. Nilai menjadi tumpuan dalam kuliah, tak ada nilai tak ada belajar. Dengan picik, ingin saja dirinya diredusir ke dalam angka-angka tanpa makna tersebut. Jangan tanyakan aktivisme membaca apalagi menulis kepada mereka, tugas yang sebenarnya ditujukan untuk itu sekarang bisa dicopy-paste dari kanjeng google. Terlebih lagi akses yang tersedia dibalik layar 6×3 smartphone berfitur 4G. Ujian jika tidak menyontek bisa matur ke google selama pengawas bukan sekelas KPU. Ruang kuliah tidak lagi tempat hingar bingar pertaruhan gagasan beradu, tapi hanya menjadi tempat kesunyian menderu. Jika sudah seperti ini, -universitas seperti apakah- yang akan memproduksi, -filosof teolog seperti apakah- itu?

Kredensial Para Tukang Cendekia

Dalam Cendekiawan dan Kekuasaan (2003) Daniel Dhakidae mengambil ilustrasi dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan untuk mengambarkan fenomena tukang dan kecendekiawanan. Diceritakan ketika tamat dari Fakultas Teknik, Si Doel tidak mengatakan “aku jadi cendekiawan” atau “aku jadi budayawan” atau “aku jadi ilmuan”. Malah ayahnya, “Babe” yang diperankan oleh Benyamin Suaeb, dengan begitu gembiranya sehingga berlari keliling kampung sambil berteriak-teriak di tengah kegirangan ibu dan saudara-saudaranya, mewartakan bahwa anaknya si Doel “jadi tukang insinyur”. Daniel Dhakidae kemudian menjelaskan ada dua hal yang menarik dalam sepenggal tayangan itu. Pertama, pemakaian kata tukang yang penuh dengan penekanan makna. Kedua, gabungan dua hal yang begitu menggemparkan, tukang dan insinyur: tukang yang rendah, sempit-pandang dan kasar, insinyur yang tinggi, cerdik dan cendekia.

Menggabungkan kedua perkara yang berbeda, tukang dan insinyur menurut Dhakidae sama halnya menggabungkan modal dan birokrasi. Lebih lanjut Dhakidae menguraikan bahwa pertukangan secara tidak langsung bukan hanya berhubungan dengan modal akan tetapi kekayaan. Namun karena formasi sosial berjalan sedemikian rupa sehingga pertukangan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan untuk menghasilkan kekayaan. Hingga saat itulah tukang, pertukangan dan ketukangan mulai dihubungkan dengan keuntungan dan akumulasi modal. Sedangkan insinyur adalah suatu produk birokrasi akademia yang kalau tidak dengan sendirinya maka dirancang untuk berhubungan dengan kapital. Dengan suatu jalan baru, keduanya, tukang dan insinyur bertemu ketika akumulasi keuntungan masuk ke dalam peta, bersama ke-efektif-an akumulasi pengetahuan dan kelak kekuasaan. Sehingga tukang insinyur telah menjadi makhluk lain yaitu “alat” itu sendiri dan bukan semata-mata “memperalat” suatu benda.

Sudah tak mengherankan lagi jika kondisi dunia akademik detik ini banyak melahirkan para tukang dibandingkan cendekiawan. Sebab pandangan dunia yang digunakan adalah pasar, percepatan kapitalisme yang tak dapat dibendung menyeret serta kaum inteligensia ke tengah pusaran komodifikasi yang mematikan, sehingga kredensial menjadi vital kedudukannya. Surat kepercayaan dari lembaga pendidikan, kredensi atau yang disebut ijazah,dahulu merupakan suatu tanda ketersambungan atau sanad dari guru ke murid sebagai keabsahan ilmu yang dituntutnya. Menurut Raghib As-sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia (2012), ijazah adalah ketetapan untuk para pengajar bahwa muridnya mempunyai kapasitas untuk mengajar di komunitas sendiri, pada bagian ilmu tertentu dari aneka macam ilmu. Di dalam ijazah, terdapat pengakuan pertanggungjawaban ilmiah serta tradisi orisinalitas yang menjadi pijakan ketika didapuk sebagai cendekiawan.

Akan tetapi pada perjalanannya, kini kredensial mengalami peyorasi fungsi. Dari fungsi otentifikasi ke fungsi pragmatis. Ada upaya pengerdilan akademik. Karena produksi cendekiawan adalah berkoheren dengan jasa, maka sedalam apapun ilmu yang dimiliki, ia tak ubahnya seperti kulkas yang harus mempunyai standar fungsi, ke-alat-an-guna dan kesiapan pakai kapanpun, berdasarkan kredensi yang sudah diperoleh. Karena itu tak ada pertanyaan yang lebih sarkas digunakan lembaga kerja daripada “apakah seseorang itu sudah siap pakai?” Lembaga pendidikan, birokrasi akademik, cendekiawan dan arus kapitalisme berkelindan membentuk suatu paradoks di dalam dunia pendidikan yang harus dipecahkan. Karena proses hibridasi sudah terjalin, menyebabkan terbentuknya determinasi hingga dependensi pada dunia kampus yang tak lebih dari sekadar kehendak untuk bekerja.

Teolog Bertukang dan Teologi Tukang

Jika dunia akademisi tempat para peneliti, ilmuwan dan sosiolog berada sudah sedemikian krisis, bagaimana dengan para teolog dan filosof yang disinyalir takkan mungkin terpengaruh dengan dromologi zaman? Jawabannya ada dua, pertama, berafiliasi dengan pasar. Jika hendak terjun ke dalam arus ini maka harus mendiseminasikan paradigma pasar, sistem distributif komoditas dan logika konsumtif. Para teolog tak mungkin berkonfrontir melakukan segregasi dan berada pada kubu yang berlawanan. Jikalaupun tetap menghendaki, maka akan masuk pada jawaban kedua, yaitu memarginal atau menjadi eksklusif. Yaitu lingkaran minoritas yang terdiri dari segelintir orang yang memiliki tekad, tujuan dan sungguh-sungguh disiapkan untuk memperbaharui dunia atau setidaknya merekonstruksinya. Dengan berani mendongkakkan kepala vas a vis berhadapan dengan kapitalisme global guna menyelamatkan manusia dari kemerosotan hidup.

Teologi yang sesuai dengan permintaan pasar memang cenderung inklusif bahkan sampai pada aras yang paling fundamental adalah liberal. Memilih mengakomodir kepentingan manusia di atas kepentingan Tuhan, merelativiskan kredo dengan historisitas dan mendekonstruksi epistem teologi dengan jalan interpretatif. Intinya adalah agama harus ditundukkan, patuh pada tirani positivistik yang memusatkan manusia sebagai titik episentrum dunia. Hanya dengan begitu teologi akan dibutuhkan. Jika di Barat agama telah sampai pada tapal batasnya dan mulai ditinggalkan, maka di Timur, meninggalkan agama sama halnya dengan siap ditinggalkan karena teologi parsial yang berasal dari adat istiadat keluarga. Alternatifnya adalah mengakomodasi dengan jalan ditundukkan di bawah roda kapitalisme. Tampak teologi seperti ini inklusif dan sesuai dengan zaman, namun semua itu hanyalah ilusi. Teologi seperti itu hanya akan membunuh Tuhan secara perlahan-lahan dari dalam teologi.

Apakah hari ini para tukang, seniman, buruh, guru dan berbagai profesi lainnya tidak membutuhkan teologi lagi? Apakah cukup dengan teologi artifisial rekaan pasar? Ataukah sudah cukup dengan teologi parsial sebagai identitas timur menjadi pegangan? Tentu saja para tukang harus berteologi. Namun teologi yang lepas dari produksi-produksi pasar, terutama yang dibuat oleh para tukang teologi dengat sangat tendensius. Sebab jika teologi sebagai aspek fundamental dalam manusia mampu dikreasi sedemikian rupa bagaimana dengan moral, hukum, dan identitas? Apakah kapitalisme benar-benar telah memenangkan peperangan? Semua itu akibat pola pikir yang serba bipolar-dikotomis.

Tukang hanya dimaknai sebagai seorang yang memiliki keahlian mengubah sesuatu mempergunakan alat. Ia seakan terlepas dari spiritualitas. Seperti yang diungkapkan oleh Amin Abdullah dalam Islamic Studies di Perguruan Tinggi (2012), ilmu-ilmu umum yang terpisah dan berjalan sendiri sedang terjangkiti krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan serta penuh dengan bias-bias kepentingan. Seakan spiritualitas harus dienyahkan dari dalam diri tukang, karena dianggap akan mengganggu kestabilan objektivikasi. Semakin spiritual seseorang, semakin naif. Demikianlah persoalan yang perlu dipecahkan bukan dengan mengubah konteks teologinya melainkan mengaktualisasikannya. Sampai di mana kira-kira teologi akan mempengaruhi pencapaian peradaban manusia, bukan sebaliknya, sampai di mana teologi akan menyusul peradaban manusia.

Para tukang teologi ini terlahir dari sistem pendidikan paradoks. Mereka dibekali kemahiran berteologi untuk menghasilkan kekayaan, dilatih berfilsafat untuk menjinakan Tuhan. Menawarkan keliling kota kredo-kredo palsu atas nama kebebasan manusia namun terjebak dalam nafsu kebendaan. Maka semenjak awal sudahilah keinginan bekerja dengan jalan kuliah, apalagi pada jurusan teologi. Mulailah bekerja, mulailah berwirausaha. Biarkan mekanisme pasar yang akan mengajari apa itu bisnis dan kesuksesan. Sebab teolog adalah mereka dengan kehidupan pribadi yang asketis dan kehidupan sosial yang filantropis. Sudikah para tukang teolog itu menjalaninya?