Hari itu, saya sedang menikmati mentari tenggelam di Pantai Seruni, Bantaeng. Sinar lembayung di sore yang cerah seolah menyelimuti kota berjuluk Butta Toa. Sekonyong-konyong, telepon seluler di saku celana bergetar. Sengaja nada dering tidak saya aktifkan, karena ingin menikmati akhir pekan tanpa gangguan.
Dengan sedikit berat hati, tangan saya menggeruit kantung celana. Setelah saya periksa, ternyata sebuah pesan pendek masuk.
“Assalamu Alaikum, kanda. Perkenalkan, saya yunior ta sekaligus steering comittee latihan kader tingkat dua FKM UNHAS. Jadi begini, kak. Dalam beberapa hari kedepan kami akan mengadakan kegiatan pelatihan kader tingkat dua dalam lingkup universitas. Rencananya, kami mengundang kakak untuk menjadi pemateri dalam acara tersebut. Apakah kakak bersedia?”
Demikianlah isi pesan tersebut. Saya bertanya dalam hati, dari mana mereka dapat nomor saya? Kenapa harus saya? Dan masih banyak lagi. Satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban, saya harus memenuhi undangan tersebut.
Singkat cerita, saya bersedia menjadi pemateri dalam kegiatan tersebut. Saat tiba di lokasi kegiatan, beberapa adik tingkat menyambut. Setelah basa-basi, kemudian saya minta pertemuan dengan beberapa dari orang. Tepatnya untuk mereka yang jadi tim inti kegiatan tersebut. Tim pengarah dan pelaksana kegiatan.
Kami kemudian melakukan diskusi persiapan materi yang akan saya bawakan. Sebagai penyuka gulungan tembakau bercampur dengan cengkeh, di sela-sela diskusi, saya meminta ijin untuk menikmati sebatang. Sebenarnya tidak ada kewajiban untuk meminta izin, namun karena diantara mereka ada perempuan, saya memutuskan demikian. Meskipun mereka tidak keberatan, ada kejadian menarik.
“Iye, tidak apa-apa, kak. Saya juga perokok”, begitu seletuk satu-satunya perempuan di ruang itu. Sontak saya memandangnya lekat-lekat. Ini menarik, saya membatin.
Teringat seseorang di angkatan saya yang juga perempuan perokok. Satu doa saya kepada si adik ini, semoga keputusannya memiliki fondasi yang kuat, seperti keputusannya menikmati rokok di tempat umum.
Waktu berganti. Selang beberapa bulan kemudian, jagat media sosial kembali bergemuruh. Ihwal penetapan undang-undang tenaga kerja jadi penyebab. Di antara belantara pesan yang menghujam, sosok perempuan dengan tangan kanan menggenggam pengeras suara dan tangan kiri menunjuk langit sambil terselip sebatang rokok kemudian turut serta mencuat.
Ada banyak faktor yang membuat dia menyembul dan cenderung dominan. Di antaranya; karena dia perempuan dan sudut pengambilan gambar yang indah. Awalnya, saya hanya bergabung dengan banyak orang. Sebatas kagum saja padanya. Saya membayangkan, betapa banyak tembok harus dia runtuhkan untuk kemudian mencuat dan menjadi diri sendiri. Termasuk memutuskan untuk berpenampilan tidak seperti perempuan kebanyakan. Lengkap dengan rokok di tangan.
Seiring berjalan waktu, sosok perempuan ini kemudian jadi sorotan. Media jadi penentu. Karena sekarang sinaran perhatian sudah menyelimuti, segala soal tentangnya kemudian jadi menarik. Salah satunya dari mana dia berasal.
Inilah yang membuat saya tersadar. Dia adalah orang yang sama dengan sosok perempuan di beberapa waktu silam menyahuti permohonan izin saya mengudut. Ternyata doa saya dikabulkan. Minimal dia membuktikan meraih kemerdekaan individu tidak sebatas membaca, diskusi, dan kontemplasi. Turun ke jalan dan bersuara dengan menjadi diri sendiri merupakan bentuk aktualnya. Menjadi merdeka adalah sebuah kata kunci.
Bicara menjadi merdeka untuk perempuan, saya teringat kutipan sejarah seorang raja perempuan Bone. Sultan perempuan yang bergelar Besse Kajuara (1845-1857) jadi pemantik perlawanan Belanda. Berawal dari ketidakpuasan atas kesewenang-wenangan penjajah ketika itu, dia memerintahkan untuk membalik semua bendera Belanda pada moda transportasi. Saat itu berlaku kewajiban mengibarkan bendera Belanda pada perahu yang keluar masuk di sungai Tallo.
Dengan indah Patrick Patanasi menceritakan kembali kisah ini lewat buku Pemberontak Tak (Selalu) Salah: Seratus Pembangkangan di Nusantara (I-Boekoe, 2017). Sultan Bone ke XXVIII ini memang sangat fenomenal. Semangat ingin lepas dari penjajahan jadi sebab untuk mengobarkan semangat perlawanan pada Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL). Nyala api perlawanan dalam diri sudah sejak lama. Adalah sang suami La Panrerengi atau Arumpugik sultan Bone XXVII sumber penular utama niat untuk lepas dari cengkraman penjajah. Pernah suatu ketika, Besse Kajuara mengusir DR. B.F.Matthes–ahli kitab Belanda– dari Bone saat sedang mempelajari bahasa Bugis dan Makassar.
Mungkin sepak terjang dari Besse Kajuara terlalu terburu-buru untuk disandingkan dengan sosok mahasiswi FKM UNHAS Angkatan 2016. Namun begitu, benang merah antara keduanya adalah semangat berjuang untuk kemaslahatan orang banyak. Catatan penting dari semuanya tentu saja adalah kedua perempuan ini telah selesai dengan diri sendiri. Setidaknya ini bisa jadi alas berfikir ketika melihat semua aspek yang menyelimuti dalam bergerak.
Gerak perempuan dalam lintasan sejarah manusia memang selalu menarik. Bukan apa-apa, saat mereka memutuskan untuk masuk ke sebuah palagan (dalam arti apapun), sangat besar kemungkinan sesuatu yang salah tengah terjadi. Aksi kamisan dan semen kaki petani Kendeng, bukankah didominasi oleh perempuan?
Namun begitu, perempuan menggarit bisa juga menyebabkan sesuatu yang salah terjadi. Contohnya, gerak tangan si Puan untuk mematikan penangkap suara dari rekan sejawat dewan perwakilan pada senin silam.
Apakah ini berhubungan dengan kata perempuan secara etimologi dalam kitab Sangsakerta?
Entahlah.
Lebih akrab disapa Nano. Konsultan kesehatan. Bertugas dan berdomisili di Bantaeng.