Semua tulisan dari Mashuri Mashar

Lebih akrab disapa Nano. Konsultan kesehatan. Bertugas dan berdomisili di Bantaeng.

Gerak Empu atau Puan

Hari itu, saya sedang menikmati mentari tenggelam di Pantai Seruni, Bantaeng. Sinar lembayung di sore yang cerah seolah menyelimuti kota berjuluk Butta Toa. Sekonyong-konyong, telepon seluler di saku celana bergetar. Sengaja nada dering tidak saya aktifkan, karena ingin menikmati akhir pekan tanpa gangguan.

Dengan sedikit berat hati, tangan saya menggeruit kantung celana. Setelah saya periksa, ternyata sebuah pesan pendek masuk.

“Assalamu Alaikum, kanda. Perkenalkan, saya yunior ta sekaligus steering comittee latihan kader tingkat dua FKM UNHAS. Jadi begini, kak. Dalam beberapa hari kedepan kami akan mengadakan kegiatan pelatihan kader tingkat dua dalam lingkup universitas. Rencananya, kami mengundang kakak untuk menjadi pemateri dalam acara tersebut. Apakah kakak bersedia?”

Demikianlah isi pesan tersebut. Saya bertanya dalam hati, dari mana mereka dapat nomor saya? Kenapa harus saya? Dan masih banyak lagi. Satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban, saya harus memenuhi undangan tersebut.

Singkat cerita, saya bersedia menjadi pemateri dalam kegiatan tersebut. Saat tiba di lokasi kegiatan, beberapa adik tingkat menyambut. Setelah basa-basi, kemudian saya minta pertemuan dengan beberapa dari orang. Tepatnya untuk mereka yang jadi tim inti kegiatan tersebut. Tim pengarah dan pelaksana kegiatan.

Kami kemudian melakukan diskusi persiapan materi yang akan saya bawakan. Sebagai penyuka gulungan tembakau bercampur dengan cengkeh, di sela-sela diskusi, saya meminta ijin untuk menikmati sebatang. Sebenarnya tidak ada kewajiban untuk meminta izin, namun karena diantara mereka ada perempuan, saya memutuskan demikian. Meskipun mereka tidak keberatan, ada kejadian menarik.

“Iye, tidak apa-apa, kak. Saya juga perokok”, begitu seletuk satu-satunya perempuan di ruang itu. Sontak saya memandangnya lekat-lekat. Ini menarik, saya membatin.

Teringat seseorang di angkatan saya yang juga perempuan perokok. Satu doa saya kepada si adik ini, semoga keputusannya memiliki fondasi yang kuat, seperti keputusannya menikmati rokok di tempat umum.

Waktu berganti. Selang beberapa bulan kemudian, jagat media sosial kembali bergemuruh. Ihwal penetapan undang-undang tenaga kerja jadi penyebab. Di antara belantara pesan yang menghujam, sosok perempuan dengan tangan kanan menggenggam pengeras suara dan tangan kiri menunjuk langit sambil terselip sebatang rokok kemudian turut serta mencuat.

Ada banyak faktor yang membuat dia menyembul dan cenderung dominan. Di antaranya; karena dia perempuan dan sudut pengambilan gambar yang indah. Awalnya, saya hanya bergabung dengan banyak orang. Sebatas kagum saja padanya. Saya membayangkan, betapa banyak tembok harus dia runtuhkan untuk kemudian mencuat dan menjadi diri sendiri. Termasuk memutuskan untuk berpenampilan tidak seperti perempuan kebanyakan. Lengkap dengan rokok di tangan.

Seiring berjalan waktu, sosok perempuan ini kemudian jadi sorotan. Media jadi penentu. Karena sekarang sinaran perhatian sudah menyelimuti, segala soal tentangnya kemudian jadi menarik. Salah satunya dari mana dia berasal.

Inilah yang membuat saya tersadar. Dia adalah orang yang sama dengan sosok perempuan di beberapa waktu silam menyahuti permohonan izin saya mengudut. Ternyata doa saya dikabulkan. Minimal dia membuktikan meraih kemerdekaan individu tidak sebatas membaca, diskusi, dan kontemplasi. Turun ke jalan dan bersuara dengan menjadi diri sendiri merupakan bentuk aktualnya. Menjadi merdeka adalah sebuah kata kunci.

Bicara menjadi merdeka untuk perempuan, saya teringat kutipan sejarah seorang raja perempuan Bone. Sultan perempuan yang bergelar Besse Kajuara (1845-1857) jadi pemantik perlawanan Belanda. Berawal dari ketidakpuasan atas kesewenang-wenangan penjajah ketika itu, dia memerintahkan untuk membalik semua bendera Belanda pada moda transportasi. Saat itu berlaku kewajiban mengibarkan bendera Belanda pada perahu yang keluar masuk di sungai Tallo.

Dengan indah Patrick Patanasi menceritakan kembali kisah ini lewat buku Pemberontak Tak (Selalu) Salah: Seratus Pembangkangan di Nusantara (I-Boekoe, 2017). Sultan Bone ke XXVIII ini memang sangat fenomenal. Semangat ingin lepas dari penjajahan jadi sebab untuk mengobarkan semangat perlawanan pada Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL). Nyala api perlawanan dalam diri sudah sejak lama. Adalah sang suami La Panrerengi atau Arumpugik sultan Bone XXVII sumber penular utama niat untuk lepas dari cengkraman penjajah. Pernah suatu ketika, Besse Kajuara mengusir DR. B.F.Matthes–ahli kitab Belanda– dari Bone saat sedang mempelajari bahasa Bugis dan Makassar.

Mungkin sepak terjang dari Besse Kajuara terlalu terburu-buru untuk disandingkan dengan sosok mahasiswi FKM UNHAS Angkatan 2016. Namun begitu, benang merah antara keduanya adalah semangat berjuang untuk kemaslahatan orang banyak. Catatan penting dari semuanya tentu saja adalah kedua perempuan ini telah selesai dengan diri sendiri. Setidaknya ini bisa jadi alas berfikir ketika melihat semua aspek yang menyelimuti dalam bergerak.

Gerak perempuan dalam lintasan sejarah manusia memang selalu menarik. Bukan apa-apa, saat mereka memutuskan untuk masuk ke sebuah palagan (dalam arti apapun), sangat besar kemungkinan sesuatu yang salah tengah terjadi. Aksi kamisan dan semen kaki petani Kendeng, bukankah didominasi oleh perempuan?

Namun begitu, perempuan menggarit bisa juga menyebabkan sesuatu yang salah terjadi. Contohnya, gerak tangan si Puan untuk mematikan penangkap suara dari rekan sejawat dewan perwakilan pada senin silam.

Apakah ini berhubungan dengan kata perempuan secara etimologi dalam kitab Sangsakerta?

Entahlah.

 

Antara Kelakar dan Dorongan Ekonomi

Berkelakar adalah salah satu contoh tindakan jamak kebanyakan orang. Tujuannya untuk menghibur. Sekaligus menjadi tanda kehangatan antara dua orang atau lebih saat melakukannya. Kata yang akarnya adalah kelakar memang sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kelakar yang merupakan sebuah kata kerja, makin kesini mengalami perkembangan. Bukan dalam aspek etimologi, tetapi dalam bentuk penerapannya. Salah satu bentuk pengembangannya yang kita kenal sekarang ini ialah kata prank. Adalah mereka para pemengaruh lewat saluran media sosial jadi corong kata prank tersebar luas. Segala aksi mereka dengan tujuan menghibur tersebar luas. Meskipun landasan utamanya adalah sebuah kebohongan.

Istilah prank sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Samuel Johnson lewat A Dictionary of the English Language (1755). Kamus yang sangat berpengaruh dalam perbendaharaan kata di Inggris ini membikin Oxford English Dictionary menjadikannya dasar tersusun seratus tujuh puluh tiga tahun setelahnya.

Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Johnson lewat kamus besutannya, kata ini mengalami perenggangan makna. Jika di awal menurut “kamus Johnson”, prank bermakna (sebuah) trik yang menggelikan, saat ini tidak itu saja. Kata prank bisa bermakna bentuk aktivitas yang seolah benar ternyata bohong. Intinya, prank memancing sebuah kelucuan. Meskipun memiliki nadi kondisi bohong. Untuk itu, sinonimnya dalam bahasa Indonesia juga banyak. Bisa sama dengan kata “kelakar”, atau “acting bohong”.

Semua batasan di atas semakin terpelihara sejak ulah pemengaruh demi menarik perhatian para pengguna media sosial daring. Ujung-ujungnya angka kunjungan dan motif ekonomi dari dunia digital menjadi latar. Demikianlah salah satu dampak dari revolusi industri 4.0 belakangan ini. Lapangan kerja bisa tercipta bukan saja di dunia nyata, tetapi dunia maya bisa jadi tempat menghasilkan pundi-pundi uang.

Berbicara soal prank atau (ber)kelakar, tahukah anda jika Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah jadi korban prank warganya sendiri. Kejadiannya antara tahun 80-90 an. Karena ulah seorang ibu/perempuan, mulai dari tingkat presiden hingga rukun tetangga (RT) jadi korban prank. Latar kejadiannya paska tragedy Bintaro. Tabrakan dua kereta dengan rute berlawanan ini menyebabkan 136 jiwa meregang nyawa. Jumlah korban luka-luka juga tidak jauh berbeda jumlahnya.

Di antara ratapan tangis para keluarga korban tersebut muncul ide dari Rohimah yang nama sebenarnya Saadah untuk kelakar atau prank. Seperti yang dikisahkan secara ciamik oleh Daniel Dhakidae (DD) dalam esai biografi “Rohimah dan Teater Hati Nurani” (Menerjang Badai Kekuasaan, Kompas 2015), semua dilatari oleh motif ekonomi.

Yang menarik dari cerita ini, terungkap dua hal menurut DD. Pertama, dorongan Rohimah melakukan prank, karena ingin keluar dari lingkaran kemiskinan yang melilit. Makanya, meskipun latar pendidikan hanya Sekolah Pendidikan Guru Agama, dia mampu membuat publik terpesona dengan teater “hati nurani” (meminjam istilah DD) monolog. Tidak tanggung-tanggung, selain melaporkan diri sebagai istri dari salah satu korban tragedy Bintaro, dia juga mengakui anaknya telah tiada karena kebakaran pabrik konveksi di Angke, Jakarta Barat.

Bahkan, media-media besar dibuat terkesima dengan aksinya. Sontak namanya masuk dalam penerima santunan (uang duka) pemerintah sebesar satu juta rupiah. Bayangkan saja, angka tersebut pada tahun 1987. Saat ini senilai dengan Seratusan juta rupiah. Sekaligus membuka tabir alasan apa yang mendorong Rohimah melakukan prank trersebut.

Hal kedua yang terungkap dari aksi prank Rohimah adalah borok wajah orde baru ketika itu. Saat negara ketika sibuk dengan jargon “pembangunan” di tempat lain justru lalai pada salah satu bentuk infrastruktur transportasi massal. Termasuk juga akibat aksi prank ini, buruknya administrasi bangsa ini ketika itu jadi terkuak. Inilah yang membikin Rohimah melihat peluang untuk melakukan prank. Jika meminjam bahasa DD, adalah bentuk lain dari sebuah perlawanan.

Dua hal di atas membuka mata banyak pihak ketika itu. Bahwa aksi wanita yang bernama asli Saadah ini dikategorikan sebagai tindak kriminal. Secara pribadi, saya bersepakat dengan bahasa DD pada esai ini. Negara seharusnya berbenah saat mengetahui aksi yang dilakukan oleh Rohimah adalah prank. Karena dengan menjeratnya dalam kerangka hukum, justru tidak menyelesaikan masalah sebenarnya. Di antaranya, jurang pemisah si kaya dan si miskin serta buruknya sistem pencatatan dalam segala aspek.

Demikianlah sebuah prank terbesar yang pernah dilakukan di Indonesia. Terutama untuk generasi milenial, aksi pemengaruh lewat akun media sosial hari ini belum bisa dibilang setara dengan prank  Rohimah pada 33 tahun silam.


Sumber gambar: http://www.p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/jangan-lupa-tertawa-dalam-kondisi-sesulit-apapun

Siapa Influencer Pertama Indonesia?

 

Apa yang anda lakukan saat lowong? Tentu saja banyak jawaban yang bisa diberikan. Dahulu, waktu luang diisi dengan menyalurkan hobi atau bakat, sekarang juga demikian. Perbedaannya pada bentuk dari keduanya. Bisa jadi, saat lalu, penyaluran hobi atau bakat jadi pilihan untuk sekedar berpuas diri. Saat bisa menambah penghasilan, dianggap sebagai bonus dan bukan tujuan.

Berbeda dengan sekarang. Salah satu bentuk paling populer dalam mengisi waktu luang saat ini, adalah “bercengkerama” dengan ponsel pintar. Sebabnya, benda kecil berukuran antara empat hingga lima inci ini telah dimiliki hampir setiap orang. Bahkan, tidak memandang umur dan latar belakang ekonomi sekalipun. Makanya, alat komunikasi jenis ini lebih cepat mengalami evolusi dibanding (ibunya) “temuan” Alexander Graham Bell.

Perlu diakui, sejak benda ini hadir pertama kali–28 tahun silam–telah berpindah tempat dari (kebutuhan) tersier ke primer. Apalagi, tiga dasawarsa sebelum embrio ponsel pintar besutan IBM lahir, menusia menciptakan mekanisme penomoran terintegrasi dan perhitungan (dalam bahasa asli disingkat ENIAC). Metamorfosa ENIAC ini kemudian menjadi komputer yang kita kenal sekarang.

ENIAC inilah yang jadi penyebab utama pendeknya waktu evolusi alat komunikasi jenis ini. Sekarang kita menyebutnya telepon seluler pintar (ponsel pintar). Di saat bersamaan kehadiran ponsel pintar di tengah-kita ternyata jadi pelumas untuk lahirnya varian baru dari tempat interaksi antar manusia. Jika dulu manusia hanya mengenal dunia materi dan non-materi (ghaib, bagi yang percaya), sekarang bertambah. Dunia maya, sebutannya hari ini.

Sejurus dengan itu, aktivitas manusia dalam mengisi waktu luang mau tidak mau turut serta beradaptasi. Berselancar lewat ponsel pintar jadi pilihan baru. Akibat dari “adaptasi” tersebut dan ditambah fakta bahwa ponsel pintar menyuguhkan (jenis)”candu” baru bagi manusia, kebiasaan bercengkrama kemudian lahir.

Ada sebuah fakta menarik terkait hal di atas. Perkawinan alat komunikasi dan komputer ternyata berpengaruh ke semua bidang. Salah satunya pekerjaan manusia. Sekarang ini lahir model baru pekerjaan bernama: Pemengaruh (Influencer). Jika merujuk pada definisi bahasa aslinya, pemengaruh adalah orang yang menginspirasi atau mengarahkan untuk melakukan sesuatu. Sebutan ini terkenal di jagat dalam jejaring (daring). Tidak tanggung-tanggung, jenis pekerjaan ini bagi generasi yang lahir di awal abad  ke-21 dianggap paling menjanjikan. Jika tidak percaya, coba tanyakan pada mereka yang lahir di penghujung tahun 90-an. Jangan harap profesi dokter, polisi atau tentara, bahkan pilot masih menempati urutan teratas cita-cita mereka.

Profesi pemengaruh telah menyebar rata di seluruh dunia (nyata). Termasuk juga di Indonesia. Terutama sejak 2018, ada banyak sosok pemengaruh yang dikenal hingga sekarang. Bahkan kemasyhuran mereka mampu menggeser penyandang gelar artis yang sesak memenuhi televisi dan panggung-hiburan belakangan ini. Meskipun dari segi umur, mereka masih sangat muda. Belasan tahun hingga dua puluhan tahun.

Berbicara soal profesi tersebut di Indonesia; tahukah anda pemengaruh pertama di Republik ini? Jika pembaca yang budiman menyebut nama-nama artis daring saat ini, jawaban anda sekalian: salah.

Sebelum saya lanjut menjelaskan, ada baiknya kita urai lebih dulu sejarah pemengaruh secara global. Adalah paruh akhir abad ke-18 menjadi penanda pekerjaan ini pertama kali dilakoni oleh manusia. Namanya Josiah Wedgwood (JW). Anak bungsu dari pasangan Thomas Wedgwood  dan Mary Wedgwood ini lahir pada 12 July 1730 di Burslem, Staffordshire, Inggris. Sebenarnya dia bukan pemengaruh murni.

Hal yang mendorongnya hingga menjadi seorang pemengaruh adalah kondisi dunia saat itu. Ketika gelombang revolusi industri 1.0 (1760-1820) sudah tidak terbendung dan menyebar hingga ke pelosok Eropa termasuk Inggris, pilihan untuk jadi pemengaruh tidak terhindarkan. Meskipun profesi ini dilakoninya secara tidak sadar, ternyata perusahaan penghasil tembikar miliknya mampu menumbangkan pemain besar perkakas rumah tangga dari China (porselin).

Hanya butuh waktu beberapa bulan untuk membalikkan anggapan porselin dengan cap Negeri Tirai Bambu adalah yang terbaik. Berbekal pendalaman ilmu pemasarannya dan rekan bisnis (Thomas Bentley), konsumen tembikar di Eropa dan Inggris pada khususnya beralih pada penjenamaan milik mereka. Sekaligus, kakek dari Charles Darwin (penemu teori Evolusi) ini adalah penerap pertama kali istilah-istilah dalam pemasaran yang kita kenal hingga saat ini. Di antaranya: “garansi uang kembali”, “gratis ongkos kirim”, “beli satu dapat satu (gratis)”, dan “rancangan produk dalam gambar (brosur)”.

Inilah jadi peneguh di kemudian hari, dirinya mendapat gelar “pemengaruh pertama di dunia”.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Sebenarnya, profesi pemengaruh tidak muncul pada awal abad  ke-21. Pekerjaan ini sudah ada sejak seabad silam. Pelakonnya pun bukan orang sembarangan. Sosok yang pertama kali mempromosikan oleh Pramoedya Ananta Toer. Bahkan, cerita tentang pemengaruh pertama ini telah berbentuk film.

Iya, betul. Pemengaruh pertama Republik ini adalah Tirto Adhi Soerjo (TAS).

Jika hari ini, indikator seseorang dikatakan layak disebut pemengaruh sebatas jumlah pengikut pada akun sosial media daring miliknya, berbeda dengan TAS. Dengan bermodalkan pengetahuan yang mumpuni dan kemampuan menulis paripurna, tidak hanya seribu sampai puluhan ribu, angka ratusan hingga jutaan orang bisa dikatakan sebagai pengikut setia lelaki kelahiran Blora (1880). Mereka tergabung dalam banyak bentuk. Mulai dari pelanggan koran Medan Priaji sampai anggota dari Serikat Dagang Islam (SDI).

Terlebih lagi, para pengikutnya adalah tokoh sentral era pergerakan Indonesia kala itu. Sebut saja: Hadji Soemanhudi. Siapa yang tidak kenal dengan pemuka agama ini? Kebesaran nama TAS membikin dia dan Rekso Remikso (organisasi bentukannya) bergabung ke SDI. Kelak, Hadji kelahiran Surakarta ini ditunjuk oleh TAS untuk menahkodai SDI hingga tahun 1914.

Kiprah pemengaruh dari TAS dimulai sejak kepulangannya dari vakansi di kepulauan Maluku. Bersama putri Raja Ternate kala itu dan dilatari kegelisahan pada nasib bangsanya, anak Bupati Bojonegoro ini terdorong untuk berbuat sesuatu. Langkah pertema yang dia lakukan menjadi wartawan dan penulis lepas pada koran terbitan asing di Indonesia. Kemampuan menulisnya memang telah diasah sejak masih terdaftar di STOVIA. Selain itu, kebiasaannya mencatat semua kejadian dalam buku kecil miliknya, membuat bahan tulisannya tidak pernah habis. Dia juga pelumat buku yang rakus.

Tidak puas dengan apa yang dilakukan, membikin dia semakin gelisah. Untuk itu, dia kemudian menggagas sebuah organisasi pergerakan kebangsaan murni pribumi. Dipilihnya nama  ”Sarejkat Priatji”. Organisasi yang resmi terbentuk 1906 ini dimotori oleh beberapa orang penting kala itu. TAS sadar betul, menyebarluaskan gagasan tanpa diikuti dengan menggerakkan kaum pribumi, tentu akan jadi sia-sia.

Jika para pemengaruh hari ini memulai dengan menentukan konten dan kelompok sasaran, TAS beserta lima orang pendiri Sarejkat Prijaji juga melakukan hal yang sama. Lewat visi dan misi organisasi, ternyata mampu menarik tujuh ratus anggota dalam waktu singkat. Bayangkan saja, saat di Indonesia angka melek huruf masih sangat terbatas  dan itu pun hanya kaum bangsawan saja, Sarejkat Prijatji mampu menarik dengan cepat perhatian tujuh ratus orang. Iya, tujuh ratus orang.

Bahkan, tidak puas dengan popularitas dari organisasi besutannya dan atas dorongan para pendiri “Sarejkat Prijaji” keputusan menerbitkan koran juga ditetapkan. Itu pun, sebagai pembeda dengan media cetak kebanyakan pada masa itu, kata kunci dari koran ini adalah “100% Pribumi dan permasalahannya”. Mulai dari penerbit, isi berita, hingga pelaksana harian. Nama koran pribumi pertama ini adalah “Medan Prijaji”. Sekadar informasi, pada waktu itu, media pemberita hanya milik warga asing. Pribumi hanya jadi pekerja. Kehadiran Medan Prijaji menjadi bahan bakar baru pada gerbong panjang menuju stasiun kemerdekaan Republik Indonesia.

Bukti terakhir bahwa TAS merupakan seorang pemengaruh sejati adalah ungkapan khas. Sejak mengepalai koran pertama yang “dimainkan” oleh pribumi, TAS memperkenakan sebutan baru lewat jargon koran miliknya. “Membela Kaoem Terprentah”, demikian tertulis disetiap edisi  halaman depan Medan Prijaji. Saking seriusnya dengan istilah kaum terprentah tersebut, TAS membuka cakupannya untuk setiap orang yang pada masa itu sedang dalam kondisi susah karena penjajahan adalah “kaoem terprentah”. Jika TAS hidup saat ini, istilah “kaoem terprentah” bisa dikatakan bentuk penjenamaan diri (personal branding) beliau.

Setelah Medan Prijaji berjalan dan diterima oleh khalayak, sebenarnya masih banyak lagi upaya yang dilakukan oleh TAS dalam menyebarluaskan gagasannya. Bahkan dibentuk pula koran yang khusus untuk kaum perempuan pada waktu itu. Sekaligus ini menjadi koran pertama (untuk dan dari) perempuan yang diisi oleh pribumi murni semuanya.

Seperti halnya JW, menjadi pemengaruh ternyata tidak disadari oleh TAS. Persamaan keduanya terletak pada latar belakang hingga jadi pemengaruh. Mereka menyebarkan virus perlawanan pada dominasi. Bedanya, JW “melawan” dominasi porselin China di Eropa, sedangkan TAS menjadi pelopor bangsa ini keluar dari penjajahan.

Coba bandingkan dengan generasi pemengaruh hari ini.

 

Sumber gambar: Suara.com

 

 

 

Melawan Tak (Selalu) Salah

 

“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)

Beberapa hari lalu, publik  kembali resah. Ihwal pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditengah kegelisahan menghadapi Pandemi. Mencongol reaksi banyak pihak jadi tidak terhindarkan.

Mulai dari analisis jitu para pakar hingga aksi massa melengkapi respon  tadi. Tidak ketinggalan, warga daring (dalam jejaring) juga mengambil peran. Untuk soal bentuk, tentu saja banyak ragamnya. Seminar daring hingga menggalang orang-orang ke salah satu titik tertentu (demonstrasi) salah satu dan salah duanya. Satu tujuan, menggagalkan RUU HIP disahkan.

Konon, rancangan undang-undang tersebut jika disahkan bisa berdampak buruk pada dasar negara kita. Pancasila. Tidak tanggung-tanggung, ideologi dedemit palu-arit ikut dikaitkan. Bahkan, wacana pemakzulan Presiden kembali mendapat ruang. Seolah hantu masa lalu dan sosok Presiden (Jokowi) jadi penghalang terwujudnya Indonesia  Gemah Ripah Loh Jenawi. Terkait dua hal tadi bisa jadi penanda kelompok mana yang memainkannya, bukan?

Ferguso dan kawan-kawannya.

Perlu diakui, kesungguhan kelompok ini dalam memainkan isu hantu palu-arit dan pemakzulan cukup efektif untuk memancing rasa ingin tahu khalayak akan masa lalu. Pertanyaan, siapa sosok hantu tersebut? Bagaimana hantu tersebut bisa ada dahulu? Dan apa hubungannya dengan sejarah Indonesia?

Saya kemudian tertarik membuka kembali salah satu buku keluaran I:Boekoe, tahun 2009. Berjudul Pemberontak Tak (Selalu) Salah: Seratus Pemberontakan di Nusantara, buah tangan Petrik Matanasi (PM). Setidaknya, kitab ini bisa kita jadikan kunci membuka pintu mesin waktu sejarah Republik.

Buku setebal 539 halaman dengan ukuran 24 cm ini bercerita tentang banyak kejadian sejarah yang luput dari radar teks kementrian pengampu pendidikan di Indonesia. Salah satu sebab, menurut PM adalah pelabelan pahlawan itu sendiri. Yang jika kita telurusuri lebih jauh, gelar mentereng ini hanya milik kaum bangsawan dan kelas menengah. Termasuk juga bentuk campur tangan pucuk dalam membikin persepsi khalayak tentang perjalanan bangsa ini.

Maka dari itu, pria kelahiran Balikpapan 1983 ini menawarkan sejarah lewat bentuk narasi populer. Tujuannya, sebagai kepingan sejarah kita. Untuk mewujudkan hal itu, buku yang terbit sebelas tahun silam ini tidak dibuka dengan pengantar ahli atau pesohor bidang kesejarahan. Bayangkan saja, penulis membuka seratur cerita pemberontakan ini dengan pengantar yang bukan main panjangnya. Alhasil, dari halaman lima hingga halaman delapan puluh, pembaca “dituntun” oleh penulis sendiri dalam memaknai setiap cerita sejarah yang menjadi inti dari buku ini. Di sinilah salah satu keberhasilan penulis yang memang jarang diikuti oleh banyak sejarawan lain.

Selain itu saya anggap berhasil, upaya mandiri penulis mengantar pembaca juga bisa dimaknai optimisme. Bahwa, saat pertama pembaca memutuskan untuk memiliki buku bersampul hitam potongan gambar “orang yang sedang digantung ini”, adalah mereka yang tidak terjebak dengan kepopuleran pakar sejarah. Hal ini dipertegas dengan cap “Edisi Terbatas” dari penerbit. Singkatnya, buku ini sangat beda dan menarik.

Kita lanjut pada isi dari buku ini. Setelah suguhan panjang kali lebar  penulis tadi, pembaca kemudian disuguhkan seratus daftar menu esai sejarah (hal 83-89). Secara garis besar, banyak cerita di sini berdiri sendiri. Meskipun ada juga yang masih berhubungan. Misalnya rangkaian pemberontakan pada cerita “Suksesi Demak” (hal 98), “Intrik Mataram” (hal 102), “Politik Mataram”(hal 106). Ada juga disinggung perjalanan panjang Partai berlogo palu-arit yang kemunahannya ditandai dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966.

Dari segi rentang masa, daftar menu esai sejarah penulis berada antara tarikh 1222 (Konflik Singasari, hal 90) hingga 2007 (Neo RMS, hal 506). Untuk sebaran wilayah konteks sejarah, PM membahas cerita secara merata. Baik dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, NTT, dan Papua. Meskipun hampir semua esai sejarah dalam buku ini berkisah perlawanan akan ketidakadilan, akesntuasi tetap pada rakyat kebanyakan. Seolah penulis ingin berkata, gelar pahlawan itu sebenarnya bukan monopoli kelas menengah dan kaum bangsawan saja.

Jika rentang waktu menyentuh angka 7 abad, dan sebaran wilayah mencakup seluruh pulau besar NKRI, bagaimana dengan tendensi penulis? Jangan khawatir. Alasan penulis membuka dengan kisah perlawanan Ken Arok pada Tunggul Ametung (Konflik Singasari), semata karena titik berangkat waktu saja (Tahun 1222). Begitupun esai sejarah keseratus yang berkisah seputar pengibaran Bendera RMS di depan SBY juga karena titik akhir kisah berdasarkan tahun. Sekaligus memberi bukti bahwa penulis coba meletakkan sejarah sebagai subyek.

Terkait hantu palu-arit yang sering disebut-sebut oleh golongan Ferguso, PM juga cerita banyak. Terutama pada kejadian antara rentang tahun 1926-1927 (hal. 252-271 dan hal. 276-279).  Juga kejadian tahun 1948 (Madiun Affair Melawan Pemerintah, hal 364), dan kejadian tahun 1965 (Kudeta Sial Letkol Untung, hal. 468 dan Pemberontakan dari Ruba, hal. 486).

Dari segi sudut pandang, delapan esai sejarah partai berlogo palu-arit ini cenderung tidak jauh berbeda. Adalah kekecewaan pada kondisi yang berlaku pada saat itu. Terutama sepak terjang kolonialisme kepada kaum terprentah (Istilah Tirto Adhi Soerjo), Adapun aktor penggerak dari masing-masing tahun juga berbeda. Dalam rentang tahun 1926-1927 dan 1948, generasi Musso dan kawan-kawannya adalah motor. Sedangkan era 1965 adalah dari kelompok tentara.

Yang tidak kalah menariknya, meskipun diksi “berontak” mengalami makna peyoratif saat ini, ternyata hampir semua kalangan pernah melakukan. Termasuk juga dunia ketentaraan. Pemberontakan prajurit PETA terhadap “ibu kandung”(tentara Jepang) dalam judul “Gara-gara Iba Tentara Jepang”(hal. 332) adalah salah satunya. Salah duanya, pemberontakan dalam tubuh KNIL. Cerita tentang Thomas Mattulessy bisa kita ambil contoh.

Dari dua kondisi tersebut di atas, sebenarnya kita bisa ambil pelajaran. Meskipun pengelola negara berupaya sekuat tenaga untuk melemahkan makna dari berontak turut serta pelakunya mengalami diskriminasi kesan, fakta sejarah atau kebenaran tetap menemukan ruang untuk menyeruak.

Ditambah lagi upaya kelompok Ferguso yang mencoba menghidupkan hantu PKI tapi tuna-tahu sejarah perjalanan bangsa dan riwayat (semua) pemberontakan, bagi saya bukan saja aneh melainkan juga ceroboh. Sedikit saran dari saya, sebaiknya lebih dulu mendaras sebelum berteriak keras.

Akhir kata, sebagai orang yang pernah mencecap ilmu sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta (2002-2009), gaya penulisan Patrick Matanasi bagi saya tergolong segar. Bahkan, tidak berlebihan kiranya 100 esai sejarah ini adalah bukti dia pantas disandingkan dengan sejarahwan tersohor seperti Anhar Gonggong, Kuntowijoyo, bahkan Ong Gol Ham.

 

Judul Buku. : Pemberontak Tak (Selalu) Salah – Seratus Pemberontakan di Nusantara

Penulis.         : Petrik Matanasi

Penerbit.       : I:Boekoe, 2009

Halaman       : 539; 24 cm

ISBN.             : 978-979-1436-14-7

 

 

 

 

Benci Virus, Tolak (tebar) Virus Benci

Hari ini sudah masuk pekan ketiga perang melawan wabah. Tidak sedikit korban berjatuhan. Mulai dari tenaga medis hingga masyarakat sipil. Jumlah mereka terhinggap virus juga makin bertambah. Seperti halnya akumulasi pasien sembuh juga semakin banyak.

Di tengah riuh gelanggang palagan, resiko untuk muncul oponen dari pihak kita tentu saja tetap ada. Satu di antaranya kelompok penolak jenazah korban wabah. Alih-alih benci virus, mereka hanya jadi penyebar virus (ke)benci(an) pada masyarakat sekitar. Hal ini tentu sangat disesalkan. Karena jika waktu bisa kembali, tidak ada satu pun dari kita yang ingin dihinggapi wabah dan menjadi korban. Terutama pihak keluarga dari mayat. Apa lacur, nasi sudah jadi bubur.

Hal lain yang tidak kalah konyol, sebelum tragedi tadi, bentuk penolakan lain juga muncul. Sekelompok pelajar penjunjung gelar “maha” menolak perlakuan istimewa bagi para tenaga medis yang berjibaku menyembuhkan pasien wabah. Dalih mereka, perlakuan ini dianggap tidak perlu. Karena menjadi tugas dari para medis. Dalil yang digunakan juga tidak kalah sengitnya, frasa “pemborosan”. Seolah merasa lebih paham setiap strategi melawan wabah, mereka hanya penunjuk kondisi nir-pengetahuan. Meminjam istilah Soekarno–dalam buku Di bawah Bendera Revolusi–mereka itu mengalami “kusut faham”.

Saya yakin para pemuda(i) ini tidak mendapatkan gambaran detil “beban” dari tenaga medis saat menangani korban wabah. Mulai (kondisi) tersiksa saat memakai Hazmat Suit (lengkap dengan tetek bengeknya), hingga keadaan yang membuat para dokter dan perawat jadi terbatas ruang gerak saat memakainya. Bahkan, ada juga dari mereka belum membuka “alat parang” tersebut sejak virus ini dinyatakan Pandemi. Bayangkan, sudah tiga Minggu mereka memakai zirah berlapis-lapis ini. Di saat bersamaan, akibatnya tenaga medis ini jadi kelompok paling rentan karena kondisi fisik yang terus menurun paska berjuang menyelamatkan satu nyawa setiap hari.

Nah, jika para “maha”siswa tadi ingin unjuk jago, sedikit saran dari saya; cobalah bergabung dengan para tenaga medis tadi. Minimal menggunakan APD lengkap di ruang isolasi. Tidak perlu lama, sebulan saja menjadi relawan di sana. Setelah itu jika ingin menyuarakan penolakan, baru kita bisa diskusi.

Bisa?

Di tengah suara sumbang penolakan, ternyata, muncul lagi ucapan miring. Kali ini sasarannya presiden. Menyusul kabar kawat petugas keamanan berjudul “Penghinaan kepada Presiden”, jadi dalil pengucap miring tadi diringkus.

Sontak barisan pendukung si pengucap menjadi geram. Media sosial jadi wadah segala umpat untuk polisi. Bagi pendukungnya, apa yang dilakukan oleh penjaga keamanan masyarakat sipil ini berlebihan. Terutama terkait penangkapan. Ditambahkan lagi, yang dilakukan oleh pengucap bukan penghinaan tetapi kritik. Itu menurut mereka.

Apakah betul begitu?

Untuk membedahnya, sebaiknya kita periksa kembali bagaimana redaksi kalimat si pengucap tadi. Dari sisa-sisa info daring, saya dapatkan beberapa diksi negatif. Di antaranya, frasa “Presiden Goblok”, “Presiden Penipu” agak jamak penggunaannya. Tidak hanya itu, di rekaman gambar gerak media sosial, dia berada pada ruangan dengan latar bendera (organisasi) terlarang. Sampai di sini saya paham. Dia penganut ideologi “teh Sostr#“. Dan mereka adalah bagian gerombolan Ferguso dan Canteng martabak. Begitu pun kelompok pembelanya.

Kita kembali pada pertanyaan saya. Apakah ucapan miring tersebut masuk dalam kategori kritik atau penghinaan? Saya dengan tegas mengatakan itu adalah PENGHINAAN. Apalagi jika sasarannya adalah kepala negara, sudah barang tentu itu bentuk kesalahan. Sebenarnya, tidak perlu menggunakan dalil telegram pamong keamanan masyarakat sipil, menggunakan aturan penghinaan pada simbol negara saja sudah cukup untuk menjerat dia dan para komplotannya.

Seharusnya (lagi), kelompok Ferguso dan Canteng martabak tadi bisa belajar dari sejarah bangsa ini. Para pendahulu kita sudah mengajarkan cara kritik yang baik dan benar terhadap penguasa (dzalim). Lihatlah esai panjang pendiri Taman Siswa pada 13 Juli 1913. Lewat tulisan “Als ik een Nederlander was” , yang dimuat pada koran De Express, terlihat jelas bagaimana kritik itu seharusnya. Sasarannya adalah prilaku dari imprealisme, dan bukan sosok.

Namun, apa bisa dikata, Ferguso tetap Ferguso dan Canteng Martabak tetap Canteng Martabak. Alas berfikirnya hanya ideologi “apapun masalahnya, solusinya; teh Sosr#”.

Sampai pada titik ini kita bisa belajar, bahwa seharusnya kita membenci virus (dan semua dampak buruknya) serta tidak menjadi penyebar virus (ke)benci(an) di antara kita.

Canteng Martabak, paham?

 

Sumber gambar: Sindonews