SEPOTONG SURAT UNTUK BAPAK
Sejujurnya, aku memang ingin menulis surat untukmu, Pak. Meski aku tidak tahu kau ada dimana sekarang. Aku
hanya ingin mengucapkan Selamat Hari Ayah, Hari Bapak, Father Day, atau apapun itu. Tapi Pak, aku harap kau bahagia, kau bangga, memiliki
anak seperti aku. Rasanya aku ingin memelukmu, sekarang juga. Namun aku rasa itu tidak mungkin, karena
masih terbentur ke-aku-an atau keangkuhan sebagai lelaki dewasa, atau mungkin juga terhalang jarak. Segala yang aku lakukan selama ini, mungkin tidak terlalu hebat atau berkesan. Namun kau, memang menjadi salah satu alasanku untuk terus berkarya dan menghidupi hidup. Dan ya, aku sedikit berharap jika kau akan bersyukur memiliki anak seperti aku. Kendati aku, belum menjadi manusia sebagaimana manusia yang seharusnya atau sesuai dengan ekspektasi dunia. Pak, semoga kau bahagia di sana, salam rindu dari aku
dan Mamah. Sekali lagi, jikalau suatu saat nanti kita bersua kembali, akan kuberikan pelukan paling erat dan
paling hangat yang mungkin hanya kuberikan padamu seorang.
Tertanda Anakmu
–
PAHLAWAN ITU ADALAH BURUH PENDIDIKAN
Fajar yang harusnya meninabobokan raga, jiwa, dan pelupuk
Telah gagal menahan semangat api dari buruh pendidikan
Tersingkaplah selimut hangat pelengkap kasur yang tak terlalu empuk
Dengan setengah kantuk ia keluar dari kamar tempat merubuhkan badan
Seraya menatap arloji, memastikan tak terlambat untuk kembali meniti hari
Sebuah hari yang biasa, dimana ia akan mengajar anak-anak lugu nan polos
Namun setiap hari ia menyusun strategi belajar agar anak-anak itu tak bolos
Agar kelak para tunas-tunas itu dapat menjadi penopang bangsa di kemudian hari
Ia mengarungi pagi buta hanya untuk
menyediakan ruang Tholabul ‘Ilmi
Mengalahkan siklus surya yang kelak akan menerangi bumi
Mendahului kokokan ayam yang kelak akan menandai pagi
Atau mungkin melampaui Mikail yang kelak akan membagikan rezeki
Meski, landasan kesejahteraan sosialnya masih samar-samar tertutup birokrasi negara
Meski, eksistensi dan esensinya tak terlalu dihargai oleh para pemangku kuasa
Tapi, pahlawan tanpa tanda jasa itu masih bersetia untuk mendidik siswa
Bersetia untuk memikul berat lembaran pembuka jembatan jagat raya
Berbekal utopia untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara
Ia menerjang jalan penuh kerikil berduri yang terkadang mencederai sepatunya
Kendati napasnya kadang kala tercampur dingin yang tercabik realitas hampa
Namun ia tetap melangkahi angin, membentengi angan, dan menumbuhkan makna
Sesampainya di depan sekolah yang tanpa roh, ia disambut gapura yang sendirian
Ia lekas merogoh ransel dan menyiapkan materi pembelajaran untuk diajarkan
Sesampainya di ruang kelas, ia lantas menyapa kondisi dan merekah senyuman
Membuka salam pada anak-anak yang mungkin masih dikuasai oleh kemalasan
Di dalam kelas ia hidupkan atmosfer belajar seraya membuka lebar jendela dunia
Ia mengayomi sekaligus menuntun anak-anak untuk bersegera membuat cita-cita
Setelah kegiatan belajar mengajar usai, ia mengepak ransel dan berpamitan ramah
Menapaki trotoar untuk pulang pada tempat yang manusia lain sebut sebagai rumah
Sesampainya di rumah tempat ia merebahkan segala suka sampai lara
Ia seketika melabuhkan badan pada kasurnya yang ringkih nan tua
Tak sadar, ia pun larut hingga tenggelam dalam sebuah kontemplaasi
Lalu, timbul setitik harapan agar kehidupannya dapat lebih layak lagi
–
SEBUAH NOTASI UNTUK ANAKKU
Anakku, salah adalah salah meski milyaran manusia menganggap itu benar. Benar adalah benar meski hanya kamu sendiri yang menyatakannya itu benar. Beranilah menyatakan kebenaran, jangan takut membela kebenaran meski kamu harus dimusuhi oleh orang-orang yang merasa benar. Jangan lupa, untuk selalu berpegang teguh pada hati nurani, menjunjung tinggi budi pekerti, dan ikuti nalurimu sendiri. Perlu kamu tahu, bahwa Ayah tidak akan memintamu untuk menjadi kaya, merubah dunia, atau merubah tatanan tata surya. Ayah hanya sedikit berharap, agar kamu dapat memanusiakan manusia lainnya. Dan ya, bertumbuh besarlah, agar kelak kamu bisa menjaga Ibu, bilamana Ayah lebih dahulu pergi meninggalkan. Jaga Ibu seperti kamu menjaga perdamaian,
lindungi Ibu seperti kamu melindungi minoritas, cintai Ibu seperti kamu mencintai hidup, maknai Ibu seperti kamu memaknai cinta. Anakku pilihlah jalan sepimu. Sepi membuatmu punya waktu dan ruang, yang cukup bagimu. Tuk jadi dirimu sendiri, dan menjadi bukan sepertiku. Hidupi, Nikmati, Amorfati!
Tertanda Ayahmu
–
KITA SEMUA PEMBUNUH-NYA
Tuhan, siapa pun engkau, bahkan bila bukan Tuhan dalam kisah singkat ini, restui hamba, sempurnakan karangan ini seperti hamba sempurnakan sujud, semampu hamba.
O Tuhan, dimanakah Engkau?
“Masih disini, menunggu dengan sabar di dalam hati setiap manusia.”
Apakah Kau bisa menyaksikan apa yang kusaksikan, di bumi ini Tuhan?
“Tentu, Aku kan Maha Melihat.”
Lalu kenapa manusia-manusia ini masih saja Kau biarkan hidup dalam kebodohan dan kesia-siaan? Kenapa Engkau tidak secepatnya memberi mereka jalan untuk menuju-Mu?
“Mereka tetap bisa hidup, itu semua karena cinta-Ku. Aku akan tetap sabar. Menunggu mereka semua kembali pada-Ku. Sesungguhnya, Aku sudah memberi mereka semua jalan. Tapi mereka semua memilih untuk menutup mata, dan pergi membelakangi cahaya-Ku.”
Tuhan, jujur aku risau kepada manusia. Dan aku malu menjadi manusia. Karena mereka semua hanya membuat kerusakan di muka bumi. Kenapa tak Kau turunkan saja bencana-bencana, agar para manusia bajingan ini takut dan segera bertobat?
“Janganlah kau malu menjadi manusia. Perhatikanlah, dalam setiap sel tubuhmu ada Zat-Ku disana. Bersabarlah wahai anak muda! Apakah dirimu mampu memiliki kesabaran seperti-Ku? Kesabaran kala Aku memberi mereka semua nikmat, namun mereka semua lupa akan diri-Ku. Itulah kesabaran, cinta, dan keikhlasan yang hakiki. Sejatinya, sudah Aku sabdakan berkali-kali, dalam kitab suci. Perihal gerbang pertobatan, surga dan neraka. Tapi entah mengapa, mereka semua tetap tidak peduli akan itu semua dan masih saja tidak mematuhinya.”
Ah betapa mengerikannya sosok bernama manusia itu. Tapi, apakah manusia-manusia itu beragama, Tuhan?
“Tentu, mereka beragama. Tapi tidak bertuhan. Mereka tidak menyembah- Ku, mereka malah sibuk mengultuskan
agama mereka.”
Tuhan, salah kah aku yang mulai muak pada dunia, kepalsuan dan segala tipu daya ini?
“Tidak salah, lagipula dunia memang tempat senda gurau saja. Dunia itu fana, dan dunia setelah dunia ini barulah kekal.”
Bila dunia ini memang fana, lalu kapan hari penghakiman tiba?
“Hari penghakiman manusia, terjadi setiap hari, setiap saat, sebenarnya. Dan manusia pun, telah mengambil hak penilaian dari-Ku demi menghakimi manusia lain, yang mereka anggap penuh dengan dosa.”
Tapi, ya Tuhan. Dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku merasa tidak layak untuk mencium surga-Mu. Namun, aku juga tidak kuat untuk merasakan pedihnya siksaan neraka.
” Tak usah kau kejar surga itu. Surga-Ku akan kau dapatkan saat engkau bahagia melihat makhluk lain berbahagia. Ia ada bersama setiap cinta yang kau tanamkan terhadap dunia dan seisinya.”
Lalu bagaimana dengan neraka, Tuhan?
“Neraka ada bersama rasa bersalah, karena tidak mampu menumbuhkan cinta. Neraka juga ada bersamaan dengan kebencian, yang ditebar oleh manusia-manusia yang merasa paling manusia. Manusia yang berlagak paling kuasa, bahkan meminta patuh semua nyawa.”
Ya Tuhan-Ku, selamatkan diriku
“Dari siapa?”
Dari Manusia.
Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Bukunya: Timbul Tenggelam Philo-Sophia Kehidupan (2020); Timbul Tenggelam Spirit-Us Kehidupan (2020); Trias Puitika (2021).
Pembaca yang suka menulis ini adalah penerjemah, kreator sekaligus kurator puisi, prosa dan cerpen. Dirinya, antara lain: email-genrifinaldy@gmail.com; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma