Jelang pertengahan bulan Juni kabarnya sekolah akan kembali dibuka. Pun Juli tetap menguat dijadikan rujukan tahun ajaran baru 2020-2021 terlepas banyaknya saran menggeser ke Januari saja. Wacana tentang dibukanya kembali sekolah, menjadi salah satu topik yang heboh dibincangkan di media sosial sekelas facebook, instagram, twitter, dan telegram. Pun ruang dialog sederhana, seperti whatsapp (WA).
Sarana kecil ini, bagai mulut cukup bising dan terus berdering. Utamanya grup-grup WA yang digawangi institusi sekolah, dan organisasi-organisasi berbasis pendidikan. Baik yang sepakat, maupun tidak sepakat saling menggelindingkan argumen, bahkan mengutip banyak artikel-artikel dan quotes sekaitan dengan yang diperdebatkan. Tak jarang pula, di antara mereka sampai mengambil contoh dari sekolah-sekolah luar negeri yang telah lebih dahulu beroperasi pasca gempuran akut covid 19 semisal, sekolah-sekolah di Korea Selatan yang menarik kembali murid-muridnya ke rumah karena covid 19 datang lagi, atawa Demnark, Prancis, dan Swiss yang sekolahnya telah akur dengan corona, karena tetap memerhatikan aturan physical distancing ketat yang diterapkan di negaranya.
Back to school semakin sengit dibicarakan, tatkala masuk pada ranah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Mengapa ini sengit? Sebab banyak yang berpendapat bahwa anak-anak usia dini masih terlalu kecil untuk mengerti tata cara pencegahan penularan covid 19 yang berlaku teliti ketika sekolah dimulai lagi.
Karena itu merekalah yang paling rentan terpapar, parah. Kekhawatiran ini merujuk pada data sementara yang diungkap Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) bahwa sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal, lalu 584 anak terkonfirmasi positif COVID-19, dan 14 anak meninggal. Persentasi terpapar ini dinilai cukup tinggi oleh IDAI, karenanya sebagian orang tua bersikukuh anak-anak mereka tetap di rumah, mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ) baik dalam jaringan (daring), atau luar jaringan (luring) saja.
Masalahnya adalah, pembelajaran model PPJ atau sejensinya dianggap tidak seutuhnya merangkul semua kebutuhan warga belajar, apalagi anak-anak di tempat kumuh, dibelakangi kecanggihan teknologi, dan kelengkapan fasilitas. Belajar model demikian yang selama ini terus digenjot pemerintah melalui perpanjangan tangan sekolah, dianggap bawel dan menyusahkan para guru, orang tua, dan peserta didik di lingkungan “kelas minyak tawon”. Sebagian justru melihat, PPJ hanya menggembirakan “kelas minyak wangi” saja, tetapi tidak berpihak pada rakyat kecil. Apakah harus meneriakkan dulu kalimat, “Orang miskin dilarang sekolah”, baru mereka ditengok?
Telah banyak terobosan-terobosan baru beserta aplikasi-aplikasi bagus, dan workshop online yang digagas oleh komunitas-komunitas pendidikan bekerjasama dengan pihak terkait perihal membelajarkan guru agar melek teknologi. Tetapi hanya sebatas guru kah yang harus dipintarkan? Lalu bagaimana dengan para orang tua yang terkaget-kaget diberi tugas tambahan menjadi “guru” sekaligus penanggung jawab wilayah domestik (rumah) agar nyaman sejak corona membumi. Adakah pelatihan online yang membelajarkan mereka? Kalau pun ada, apakah semuanya berbondong-bondong belajar? Lantas, orang tua yang enggan belajar, dan tidak memiliki fasilitas pendukung belajar online, mau diapakan? Imbasnya, pastilah jatuh ke anak-anak. Di rumah mereka didampingi belajar seadanya.
Syukur-syukur jika orang tua anak tersebut punya waktu, wawasan, dan ketersediaan fasilitas. Jika mereka berada di tangan orang tua yang buta huruf, dan miskin, boro-boo belajar yang njlimet itu mending cari uang buat beli makanan, dan gulali. Bagaimana nasib anak-anak usia belajar dalam keadaan seperti ini? Tidak bisa diabaikan, di sudut-sudut kota besar kerap ditemukan yang demikian, apalagi di pelosok.
Di media sosial, ada juga yang berkomentar perihal pengetahuan yang mulai merabun tentang pelajaran anaknya semasa sekolah dahulu. Apatah lagi pelajaran zaman dahulu sungguh terlampaui di masa sekarang. Mereka mengeluh kesulitan merunut ulang memori alur kerja pelajaran yang ditugaskan oleh pihak sekolah.
Parahnya lagi, ada banyak sekolah yang hanya memberi tugas rumah tanpa mengikutkan pengantar kerja tugas tersebut. Jadinya, para orang tua sebatas mengira-ngirakan pemecahannya, atau meninggalkan tugas sekolah tersebut sama sekali jika buntu. Belum, saat mereka tidak punya laptop, ponsel pintar tidak memadai dipadati aplikasi belajar daring dan luring, listrik tiba-tiba padam karena kehabisan token, atau kuota habis, keluhannya pasti setinggi puncak Gunung Latimojong. Ujungnya, agar anak-anak usia sekolah yang ada di rumah betah, maka disuguhilah aneka ragam pengusir kebosanan, paling banyak jatuhnya via gadget.
Hadirnya berita tentang back to school dalam waktu dekat ini, membawa angin segar pada para orang tua dari “kelas minyak tawon”, karena memang di ruang sekolahlah satu-satunya mereka menggantungkan harapan belajar anak-anaknya. Alasannya sederhna, tempat tersedianya fasilitas belajar terjangkau, dan guru yang cakap mengajar, ada di sekolah.
Tetapi, bagi para orang tua “kelas minyak wangi”, wacana ini mengerikan, sekaligus membahayakan jiwa dan raga anak-anaknya! Lah, wajar saja PPJ bagi mereka enteng-enteng saja. Toh, jika ada kesulitan menyelesaikan pelajaran, mereka bisa menyewa guru privat menemani anaknya belajar, dan kalau pandemik terus berlanjut, homeschooling bisa menjadi solusinya.
Kembali ke isu back to school, beredar meme lucu sekaitan dengan ini. Semisal percakapan yang menggambarkan situasi anak-anak di dalam kelas saling bertukar masker bergambar tokoh kartun Little Pony dan Hello Kitty. Ada juga broadcast tentang dialog anak-anak di kelas saat sekolah mulai lagi perihal merebut face shield, memainkan hand sanitizer temannya, tukar-tukaran botol minuman, saling mencurigai murid dan guru yang bersin, bahkan sampai merundung anak yang bersin akibat alergi debu di sekolah karena lamanya tidak dihuni. What? Belum juga dimulai, telah tergambar situasi demikian. Memangnya sekolah itu sebatas ajang pamer-pameran, lucu-lucuan, dan rebut-rebutan sahaja sementara guru hanya duduk manis, membiarkan? Menggemaskan!
Dari media sosial, ada beberapa oknum juga yang telah nyinyir duluan, bahwa membolehkan anak beraktivitas di sekolah sebagaimana biasanya sebelum covid 19 benar-benar nol kasus, secara langsung ingin membunuh, dan merelakan anak-anak mati berkalang virus. Nyinyiran ini mencontohi pendahulunya perihal new normal yang dicanangkan pemerintah.
Padahal, saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), penyinyir tersebut tidak menunjukkan batang hidungnya ketika, masih ada orang tua yang mengandeng anak-anaknya keliling kota tanpa menggunakan masker. Jelang lebaran, orang tua dan anak-anak memadati pusat perbelanjaan fitting baju baru dengan gembira, demikian halnya anak-anak tetap dibiarkan salat berjamaah lima waktu, dan tarwih di masjid kendati diam-diam. Pun saat waktu ziarah, tak peduli PSBB, banyak yang saling mengunjungi, tak terkecuali anak kecil. Pola laku demikian ini, sudah amankah dari “pembunuhan” anak-anak?
Inilah yang saya maksud menggemaskan. Perilaku, dan omongan yang saling tolak belakang alias kontroversi itu seakan telah mendarah daging sesuai dengan kepentingan dan keuangan seru semesta alam. Saat pemerintah berusaha mewadahi dua kelompok garis keras (kelas minyak wangi, dan kelas minyak tawon) yang saling “bertarung” tentang sekolah, serta upaya pemerintah menstabilkan kondisi dunia pendidikan yang dilema, dengan tawaran membuka kembali sekolah-sekolah dari “libur”nya sejak tiga bulan lalu, kecurigaan lebih dahulu bereaksi semisal meme dan broadcast di atas, dari berpikir jernih. Dalam doa, kita melarung cemas sambil berkata, “Badai pasti berlalu.” Sementara kau terus menciptakan “badai”? Ini menggelikan, Ferguso!
Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah, percaya! Bisakah guru, orang tua, dan peserta didik berkeyakinan bahwa pemerintah tidak setega Nenek Lampir mengisap darah orang-orang tak bersalah dengan kebijakannya back to school itu? Jangan sampai kita berlarut-larut menghabiskan energi berandai-andai saja. Membiarkan pikiran takut duluan pada hal-hal yang belum terjadi, tanpa membuka diri mencoba. Bukankah, untuk mengetahui rasa segelas kopi yang disuguhkan saat bertamu, manis, atau pahit sebaiknya diseruput dulu. Bagaimana jika beracun? Itu tugas kita memuntahkan kembali agar tidak teracuni. Makanya, ketika mencicipi sesuatu sebaiknya sebatas lidah saja dahulu, jangan buru-buru ditelan mentah-mentah, apalagi minta tambah kembali pada tuan rumah. Itu merugikan!
Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-vector/hand-drawn-back-school-background_4864872.htm
Lahir 35 tahun silam. Punya dua jagoan andalan, Za dan Ken. Senang pinjam buku dan minum kopi hitam.