Semua tulisan dari Muchniart AZ

Lahir 35 tahun silam. Punya dua jagoan andalan, Za dan Ken. Senang pinjam buku dan minum kopi hitam.

Bapak Ibu, Kembali Ke Sekolah Era Korona itu Bikin Gemas, Loh!

Jelang pertengahan bulan Juni kabarnya sekolah akan kembali dibuka. Pun Juli tetap menguat dijadikan rujukan tahun ajaran baru 2020-2021 terlepas banyaknya saran menggeser ke Januari saja. Wacana tentang dibukanya kembali sekolah, menjadi salah satu topik yang heboh dibincangkan di media sosial sekelas facebook, instagram, twitter, dan telegram. Pun ruang dialog sederhana, seperti whatsapp (WA).

Sarana kecil ini, bagai mulut cukup bising dan terus berdering. Utamanya grup-grup WA yang digawangi institusi sekolah, dan organisasi-organisasi berbasis pendidikan. Baik yang sepakat, maupun tidak sepakat saling menggelindingkan argumen, bahkan mengutip banyak artikel-artikel dan quotes sekaitan dengan yang diperdebatkan. Tak jarang pula, di antara mereka sampai mengambil contoh dari sekolah-sekolah luar negeri yang telah lebih dahulu beroperasi pasca gempuran akut covid 19 semisal, sekolah-sekolah di Korea Selatan yang menarik kembali murid-muridnya ke rumah karena covid 19 datang lagi, atawa Demnark, Prancis, dan Swiss yang sekolahnya telah akur dengan corona, karena tetap memerhatikan aturan physical distancing ketat yang diterapkan di negaranya.

Back to school  semakin sengit dibicarakan, tatkala masuk pada ranah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Mengapa ini sengit? Sebab banyak yang berpendapat bahwa anak-anak usia dini masih terlalu kecil untuk mengerti tata cara pencegahan penularan covid 19 yang berlaku teliti ketika sekolah dimulai lagi.

Karena itu merekalah yang paling rentan terpapar, parah. Kekhawatiran ini merujuk pada data sementara yang diungkap Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) bahwa sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal, lalu 584 anak terkonfirmasi positif COVID-19, dan 14 anak meninggal. Persentasi terpapar ini dinilai cukup tinggi oleh IDAI, karenanya sebagian orang tua bersikukuh anak-anak mereka tetap di rumah, mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ) baik dalam jaringan (daring), atau luar jaringan (luring) saja.

Masalahnya adalah, pembelajaran model PPJ atau sejensinya dianggap tidak seutuhnya merangkul semua kebutuhan warga belajar, apalagi anak-anak di tempat kumuh, dibelakangi kecanggihan teknologi, dan kelengkapan fasilitas. Belajar model demikian yang selama ini terus digenjot pemerintah melalui perpanjangan tangan sekolah, dianggap bawel dan menyusahkan para guru, orang tua, dan peserta didik di lingkungan “kelas minyak tawon”. Sebagian justru melihat, PPJ hanya menggembirakan “kelas minyak wangi” saja, tetapi tidak berpihak pada rakyat kecil. Apakah harus meneriakkan dulu kalimat, “Orang miskin dilarang sekolah”, baru mereka ditengok?

Telah banyak terobosan-terobosan baru beserta aplikasi-aplikasi bagus, dan workshop online yang digagas oleh komunitas-komunitas pendidikan bekerjasama dengan pihak terkait perihal membelajarkan guru agar melek teknologi. Tetapi hanya sebatas guru kah yang harus dipintarkan? Lalu bagaimana dengan para orang tua yang terkaget-kaget diberi tugas tambahan menjadi “guru” sekaligus penanggung jawab wilayah domestik (rumah) agar nyaman sejak corona membumi. Adakah pelatihan online yang membelajarkan mereka? Kalau pun ada, apakah semuanya berbondong-bondong belajar? Lantas, orang tua yang enggan belajar, dan tidak memiliki fasilitas pendukung belajar online, mau diapakan? Imbasnya, pastilah jatuh ke anak-anak. Di rumah mereka didampingi belajar seadanya.

Syukur-syukur jika orang tua anak tersebut punya waktu, wawasan, dan ketersediaan fasilitas. Jika mereka berada di tangan orang tua yang buta huruf, dan miskin, boro-boo belajar yang njlimet itu mending cari uang buat beli makanan, dan gulali. Bagaimana nasib anak-anak usia belajar dalam keadaan seperti ini? Tidak bisa diabaikan, di sudut-sudut kota besar kerap ditemukan yang demikian, apalagi di pelosok.

Di media sosial, ada juga yang berkomentar perihal pengetahuan yang mulai merabun tentang pelajaran anaknya semasa sekolah dahulu. Apatah lagi pelajaran zaman dahulu sungguh terlampaui di masa sekarang. Mereka mengeluh kesulitan merunut ulang memori alur kerja pelajaran yang ditugaskan oleh pihak sekolah.

Parahnya lagi, ada banyak sekolah yang hanya memberi tugas rumah tanpa mengikutkan pengantar kerja tugas tersebut. Jadinya, para orang tua sebatas mengira-ngirakan pemecahannya, atau meninggalkan tugas sekolah tersebut sama sekali jika buntu. Belum, saat mereka tidak punya laptop, ponsel pintar tidak memadai dipadati aplikasi belajar daring dan luring, listrik tiba-tiba padam karena kehabisan token, atau kuota habis, keluhannya pasti setinggi puncak Gunung Latimojong. Ujungnya, agar anak-anak usia sekolah yang ada di rumah betah, maka disuguhilah aneka ragam pengusir kebosanan, paling banyak jatuhnya via gadget.

Hadirnya berita tentang back to school dalam waktu dekat ini, membawa angin segar pada para orang tua dari “kelas minyak tawon”, karena memang di ruang sekolahlah satu-satunya mereka menggantungkan harapan belajar anak-anaknya. Alasannya sederhna, tempat tersedianya fasilitas belajar terjangkau, dan guru yang cakap mengajar, ada di sekolah.

Tetapi, bagi para orang tua “kelas minyak wangi”, wacana ini mengerikan, sekaligus membahayakan jiwa dan raga anak-anaknya! Lah, wajar saja PPJ bagi mereka enteng-enteng saja. Toh, jika ada kesulitan menyelesaikan pelajaran, mereka bisa menyewa guru privat menemani anaknya belajar, dan kalau pandemik terus berlanjut, homeschooling bisa menjadi solusinya.

Kembali ke isu back to school, beredar meme lucu sekaitan dengan ini. Semisal percakapan yang menggambarkan situasi anak-anak di dalam kelas saling bertukar masker bergambar tokoh kartun Little Pony dan Hello Kitty. Ada juga broadcast tentang dialog anak-anak di kelas saat sekolah mulai lagi perihal merebut face shield, memainkan hand sanitizer temannya, tukar-tukaran botol minuman, saling mencurigai murid dan guru yang bersin, bahkan sampai merundung anak yang bersin akibat alergi debu di sekolah karena lamanya tidak dihuni. What? Belum juga dimulai, telah tergambar situasi demikian. Memangnya sekolah itu sebatas ajang pamer-pameran, lucu-lucuan, dan rebut-rebutan sahaja sementara guru hanya duduk manis, membiarkan? Menggemaskan!

Dari media sosial, ada beberapa oknum juga yang telah nyinyir duluan, bahwa membolehkan anak beraktivitas di sekolah sebagaimana biasanya sebelum covid 19 benar-benar nol kasus, secara langsung ingin membunuh, dan merelakan anak-anak mati berkalang virus. Nyinyiran ini mencontohi pendahulunya perihal new normal yang dicanangkan pemerintah.

Padahal, saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), penyinyir tersebut tidak menunjukkan batang hidungnya ketika, masih ada orang tua yang mengandeng anak-anaknya keliling kota tanpa menggunakan masker. Jelang lebaran, orang tua dan anak-anak memadati pusat perbelanjaan fitting baju baru dengan gembira, demikian halnya anak-anak tetap dibiarkan salat berjamaah lima waktu, dan tarwih di masjid kendati diam-diam. Pun saat waktu ziarah, tak peduli PSBB, banyak yang saling mengunjungi, tak terkecuali anak kecil. Pola laku demikian ini, sudah amankah dari “pembunuhan” anak-anak?

Inilah yang saya maksud menggemaskan. Perilaku, dan omongan yang saling tolak belakang alias kontroversi itu seakan telah mendarah daging sesuai dengan kepentingan dan keuangan seru semesta alam. Saat pemerintah berusaha mewadahi dua kelompok garis keras (kelas minyak wangi, dan kelas minyak tawon) yang saling “bertarung” tentang sekolah,  serta upaya pemerintah menstabilkan kondisi dunia pendidikan yang dilema, dengan tawaran membuka kembali sekolah-sekolah dari “libur”nya sejak tiga bulan lalu, kecurigaan lebih dahulu bereaksi semisal meme dan broadcast di atas, dari berpikir jernih. Dalam doa, kita melarung cemas sambil berkata, “Badai pasti berlalu.” Sementara kau terus menciptakan “badai”? Ini menggelikan, Ferguso!

Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah, percaya! Bisakah guru, orang tua, dan peserta didik berkeyakinan bahwa pemerintah tidak setega Nenek Lampir mengisap darah orang-orang tak bersalah dengan kebijakannya back to school itu? Jangan sampai kita berlarut-larut menghabiskan energi berandai-andai saja. Membiarkan pikiran takut duluan pada hal-hal yang belum terjadi, tanpa membuka diri mencoba. Bukankah, untuk mengetahui rasa segelas kopi yang disuguhkan saat bertamu, manis, atau pahit sebaiknya diseruput dulu. Bagaimana jika beracun? Itu tugas kita memuntahkan kembali agar tidak teracuni. Makanya, ketika mencicipi sesuatu sebaiknya sebatas lidah saja dahulu, jangan buru-buru ditelan mentah-mentah, apalagi minta tambah kembali pada tuan rumah. Itu merugikan!


Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-vector/hand-drawn-back-school-background_4864872.htm

Ketika Sekolah Pulang ke Rumah, dan Curhatan Para Emak

Selama pandemi corona plus Ramadan, banyak kegiatan menjadi lambat oleh anjuran physical distancing. Demikian halnya yang berkaitan dengan pendidikan. Telah hampir dua bulan, sekolah seolah beku. Anak-anak diliburkan, dan segala proses belajar kembali ke rumah. Sekaitan dengan ini, Ki Hajar Dewantara pernah bilang, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Kata-kata ini seolah mendapat ruang yang pas. Virus covid 19, sekses memulangkan sekolah ke rumah, dan mengembalikan orang tua menjadi guru.

Lantas, masalahnya apa? Sebenarnya, jika disimak lebih jauh masalahnya tidak terlalu rumit. Hanya saja, karena merasa tiba-tiba, pulangnya sekolah ke rumah membuat para emak kelabakan. Mereka sepenuhnya tidak siap, sebab sebelum-sebelumnya urusan belajar semuanya diserahkan ke sekolah formal. Apatah lagi jika para orang tua bekerja. Ketika mendadak, rumah harus berubah jadi sekolah, para orang tua, khususnya emak-emak kelabakan.

Telah banyak cara yang emak-emak tempuh, menyiasati sekolah yang pulang ke rumah. Semisal nyontek di internet, menunggu arahan guru dari sekolah para anak, atau berinisiatif sendiri membuat alat permainan edukasi yang membikin anak betah di rumah sambil tetap ingat belajar. Tetapi tidak sedikit pula di antara mereka yang mengeluh karena beberapa alasan.

Pertama, beberapa emak beranggapan bahwa tugas sekolah anak yang dibebankan oleh para guru saat ”libur” pandemik terlalu berat dan banyak. Mereka merasa tidak sanggup, dan tidak memiliki waktu fokus mendampingi anak belajar. Membagi waktu antara mengurusi rumah, dan anak-anak belajar bagi para emak adalah hal yang sulit.  Apatah lagi, bagi mereka pelajaran anak-anak SD kelas satu sekarang ini setara dengan pelajaran anak kelas 5 di masa mereka. Pun menghadapi anak TK, meski pelajarannya terlihat “sepele” tetapi sungguh menguras waktu dan kesabaran.

Kedua, sebagian emak-emak tidak memakai android (ini biasa ditemukan pada orang tua anak kurang mampu). Kalau pun pakai, aplikasi dalam ponsel canggih mereka banyalah facebook, whatshap, belanja online, youtube, dan beberapa games milik anak. Ketika tetiba ada anjuran belajar dari rumah, para emak akhirnya baru menyadari bahwa ponsel canggih miliknya harus ditambah fungsinya. Selanjutnya, mereka barulah memelajari beberapa aplikasi yang mendukung kebutuhan tersebut. Ada yang telah coba download, namun banyak juga di antara mereka memilih masa bodoh karena takut dikatai gagap teknologi jika salah menggunakan aplikasi tersebut di hadapan emak-emak lainnya.

Ketiga, faktor kouta. Entah untuk apa, tetapi sebagian emak-emak selalu meringis kehabisan kuota. Bisa jadi karena seringnya menonton tutorial memasak, atau tata cara merias wajah, serta memberikan ponselnya pada anak menonton youtube, akhirnya kuota terkuras. Sementara, sistem pembelajaran daring saat ini membutuhkan ketersediaan kuota, dan jaringan yang bagus. Sebagian emak, lekas menyerah jika kuota habis dan sinyal lelet.

Keempat, sebelum para emak stay at home, mereka telah memiliki jadwal padat dari pagi sampai malam. Lebih-lebih sekarang, saat Ramadan datang. Semisal, pagi mengurusi anak-anak dari bangun, mandi, dan makan. Siangnya, mencuci dan membereskan rumah yang berantakan setelah anak-anak menghambur mainan. Sementara saat sore, mereka mulai menyiapkan menu makan malam, tepatnya berbuka puasa. Malam? Pastilah beres-beres rumah lagi, dan menemani anak bermain sampai tertidur. Lalu, ibadahnya kapan? Yah, emak-emak harus pandai curi-curi waktu, saat anak pulas, atau sedang teralihkan perhatiaannya dengan mainan. Itu pun siap-siap tergesa-gesa jika ada salah satu yang merengek tiba-tiba.

Kelima, emak-emak merasa sering kalah oleh “amukan” anak yang enggan belajar di rumah. Kebanyakan mereka berkata, “Anak saya kalau di rumah susah diajar. Nanti mau belajar jika di sekolah dengan guru!” Jadilah, para emak membiarkan anaknya bermain sepanjang waktu secara acak dan semaunya.

Keenam, jika para emak adalah para pekerja publik yang menggiring kerjanya di rumah alias work from home, pastilah punya tambahan pekerjaan yang menguras pikiran dan tenaga. Jadilah waktu tengah malam, saat anak-anak telah pulas adalah kondisi yang pas menyiapkan dan menyelesaikan bahan kerja untuk dikirim ke kantor jika karyawan, dan ke murid-murid jika seorang guru. Mengajar anak di rumah, menjadi kurang maksimal karena menumpuknya pekerjaan, dan lelahnya para emak keseringan begadang.

Para bapak kemana? Ada! Hanya saja, para bapak tidak setelaten emak-emak dalam mendampingi proses belajar anak. Maka, jangan heran jika di media sosial wara-wiri pemberitaan dan keluhan ketidaksanggupan para emak mendampingi belajar anak, lebih banyak dari para bapak.

Terus, salahkah curhatan para emak? Saya menjawabnya, tidak? Anggap saja keluhan-keluhan tersebut adalah sebentuk relaksasi. Semisal koma dalam tulisan agar si pembaca mengambil napas sebelum lanjut membaca.  Sebab, sebenarnya dari awal sekolah ada di rumah, dan emak adalah guru pertama dan utama bagi anak. Raden Ajeng Kartini berkata begini, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu berasal.”.Hanya saja, para orang tua, khususnya emak membuatnya sering pergi dan lupa pulang. Menyerahkan seluruh aktivitas belajar di sekolah, membuat “sekolah” menjadi begitu jauh. Dan ketika dia kembali, barulah kita mulai lagi berbenah dari awal.

“Dan siapakah yang lebih banyak berusaha memajukan kesejahteraan budi itu? Siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia? Ialah wanita, Ibu. Karena haribaan ibu, itulah manusia mendapatkan didikannya yang mula mula sekali.” Putri Jepara itu melanjutkan.

Sesungguhnya, dari dalam kandungan, emak sudah membelajarkan anak. Mengasupinya dengan nutrisi lengkap, dan dukungan pregnancy instrumental demi maksimalnya tumbuh kembang janin dalam rahim adalah pembelajaran pertama. Menyusui dan mengasuh anak setelah lahir, adalah selanjutnya. Belum lagi mengenalkan benda-benda dan mengajarkan kata-kata, pun memberikan rangsangan pada anak untuk menguatkan otot dan otak demi maksimalnya motorik halus dan motorik kasar anak, bukan hal yang mudah. Menamankan akhlak baik, sebagai pondasi dasar bertutur dan bersikap, juga dari orang tua, khusunya emak yang memiliki waktu lebih banyak bersama anak. Semua dilalui dengan sukacita. Sehingga, jika sekarang ada emak yang mengeluh lelah menemani anak belajar di rumah karena “libur” tak berkesudahan, selayaknya mengingat-ingat kembali alur pelajaran yang telah dilaluinya dari awal dan pertama bersama anak. Itu jauh lebih sulit, tetapi terbukti mampu dilakukan dan dilalui.

Nah, jika sudah begini sambutlah kembali sekolah yang sedang pulang ke rumah dengan riang gembira. Sebagaimana menanti sang perantau pulang, sembari menyiapkan makanan enak agar semua bahagia. Bagaimana caranya? Sederhana.

Pertama, daur ulang niat, bahwa masa depan anak bergantung apa yang diajarkan orang tua hari ini. Belajar di sekolah hanya memberikan secuil saja. Dan mendidik anak itu bukan semata-mata menggugurkan kewajiban orang tua, melainkan juga adalah sebuah seni menikmati hidup.

Kedua, upgrade pengetahuan emak, mengikuti perkembangan zaman.

Ketiga, sisihkan separuh waktu emak demi bermain/ beraktivitas bersama anak, jika dia masih berada di level pendidikan usia dini dengan tetap memerhatikan nilai-nilai edukatif dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Jika sudah di level lebih tinggi maka, manfaatkan fasilitas dan aplikasi yang ada semaksimal mungkin untuk memudahkan orang tua/ emak mengajar anak, bukan malah menghabiskan kuota curhat-curhatan dan mengeluh di media sosial.

Keempat, belajar bagi anak adalah menikmati proses, jadi para emak jangan menuntut hasil yang sempurna karena itu bisa menjadi penyebab anak tertekan dan malam belajar.

Kelima, coba saja dulu kerjakan apa yang bisa dilakukan. Sebab emak tidak akan mungkin bisa mengukur kemampuan bahwa sesungguhnya para emak bisa, jika tidak berusaha mencoba.

Keenam, selamat mencoba dan tetap semangat!


Sumber gambar: IDN TIMES

Ramadan Kali Ini, Ibu Pulang

Siang ini, saya duduk berlalai-lalai di bawah pohon mangga besar yang tumbuh depan rumah. Konon kabarnya, pohon itu seumuran usia saya. Enam belas tahun lalu, ibu penyebab tumbuhnya. Bertepatan saat saya telah dua minggu menginapi rahimnya, dia mengidam mangga masak. Sebuah habis ditelannya, dan bijinya dibuang begitu saja. Tanpa sengaja, gentel itu tumbuh. Pohon ini telah berpuluh kali berbuah lebat. Pun sempat dibagi-bagi pula oleh nenek saya ke tetangga dekat rumah. Tetapi, saat musim kemarau begini, daun-daun pohon tersebut akan menguning, gugur satu-satu. Sungguh, ini membuat saya kerepotan. Saya harus menyapu pagi dan sore. Apabila dibiarkan, dedaunan itu akan menggunung di halaman, bertebaran di jalan depan rumah, kemudian diterbangkan angin ke pekarangan rumah orang lain. Jika sudah begini, saya harus pasrah menerima gerutu tetangga, padahal jika berbuah mereka juga turut menikmatinya.

Nenek juga senang berangin-angin di kolong tanaman ini. Bahkan, dia menempatkan sebuah balai-balai yang dibuatnya sendiri di bawahnya. Ketika subuh, dia menyusun, mengikat kecil-kecil sayur kangkung yang dibudidayakan mandiri memanfaatkan halaman rumah, sebelum dijual ke pasar. Saat sore, nenek pun ada di sana. Menikmati rebusan kayu secang dalam mug besi motif lurik berukuran satu liter. Nenek sudah tidak minum kopi dan teh lagi, semenjak gula darahnya sering naik. Saya kerap melihat nenek mengelus-elus batang mangga itu, seperti merisik sesuatu. Barangkali, dia mengumpulkan kepingan kenangan di situ. Tampaknya, dia rindu pada anaknya yang telah lama pergi. Saban waktu berjanji pulang, tetapi tidak pernah datang.

Suatu ketika, nenek sempat menceritakan tentang ibu saya di balai-balai itu. Kata nenek, “Ibumu perempuan cerdas. Dia melulusi kuliah Bahasa Inggrisnya di kota dengan nilai sangat baik. Kefasihan berbahasa tersebutlah yang mengantarkannya bekerja sebagai tour guide untuk turis-turis mancanegara yang berkunjung. Tetapi, sayangnya ibumu bernasib sial saat kehidupannya mulai di atas angin. Seorang lelaki kebangsaan Inggris keturunan Jerman bernama Adalrich memikat hatinya. Di usia ibumu yang baru 23 tahun, dia membawa laki-laki itu ke hadapan nenek, memohon restu. Selisih usia mereka terbilang 10 tahun. Meski begitu, Purnama, ibumu sangat mencintainya. Saya tidak bisa menjadi penghalang mereka. Apalagi, ayahmu saat itu sudah mapan. Dia mengendarai mobil bagus ketika pertama kali berkunjung ke Indonesia, lalu meminta ibumu memandunya.” Nenek, termenung menatapi tanah di pijakannya.

“Apa yang dilakukan Adalrich, Nenek? Mengapa ibu bernasib kurang baik?” Saya menyanggah.

“Setelah mereka menikah, ibumu berhenti bekerja. Dia menuruti permintaan Adalrich agar di rumah saja. Menjadi perempuan yang menanti kedatangan suami, dengan dandanan cantik. Ibumu saat itu tengah mengandungmu. Sementara Adalrich, selalu bepergian ke beberapa kota untuk menyelesaikan perjalanan bisnisnya. Dia sempat pulang, saat usia kandungan ibumu Enam bulan. Tetapi setelah itu, dia pamit ke Inggris. Mengambil beberapa dokumen penting, alasannya. Itulah pertemuan terakhir ibu dan ayahmu. Sampai hari ini, dia tidak pernah kembali. Ibumu, menangis sejadi-jadinya saat menyadari semuanya, namun dia tidak bisa berbuat banyak. Alamat pasti ayahmu tidak ada, dan biaya ke sana pun tidak cukup. Satu-satunya alasan ibumu bertahan waras adalah dirimu.” Mata nenek mulai berkaca-kaca. Saya memalingkan muka.

Saya selalu tidak tega melihat nenek seperti itu. Mata digenangi air sambil menahan pinggiran mug besi berlama-lama di mulutnya setelah menelan isinya, sungguh terlihat menyembunyikan pedih. Ini menandakan hati nenek berkecamuk. Saya sering melihatnya serupa ini, apalagi jika berkaitan dengan ibu.

Perihal kepulangan ibu, nenek selalu menanti. Saat waktu menyapih saya selesai, ibu meninggalkan saya bersama nenek. Dia ke kota mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Dari cerita nenek, ibu diterima kerja sebagai resepsionis hotel atas rekomendasi salah satu teman guidenya dulu. Saya maklum atas pilihan ibu meninggalkan saya sejak usia dua tahun. Menjadi single parent memang tidaklah mudah. Meski wajahnya sungguh samar di memori kanak-kanak saya, tetapi saya mulai mengingat suara dan senyumnya yang indah saat bermain Ci Luk Baa. Nenek menajamkan kenangan saya tentang garis wajah ibu, dari foto-fotonya yang menggantung di dinding.

***

Belakangan ini, saya mulai bertanya-tanya tentang keberadaan ibu. Nenek tidak pernah lagi mengajak saya duduk di balai-balai mewartakan keadaannya, sejak tersiar kabar ibu menjadi istri simpanan pengusaha. Warita ini, didengarnya dari Pak Salih yang bekerja mendistribusikan sayuran ke kota. Nenek lebih banyak diam jika saya tanya. Meski uang kiriman ibu untuk kami masih tetap rutin setiap bulannya, saya merasa ada yang berbeda. Nenek tidak pernah mengajak saya ke minimarket lagi berbelanja alat-alat kosmetik sebagaimana biasanya ketika transferan ibu diterima. Padahal untuk urusan ini, dia terbilang bawel. Dia suka melihat saya berdandan. Katanya saya mirip ibu.

Pernah juga suatu hari sepulang sekolah, saya mendapati nenek menerima sebuah paket dan sepucuk surat yang diantarkan petugas pos. Begitu melihat saya, nenek tergesa-gesa menyelipkan surat itu dalam tengkuluk yang melingkari kepalanya. Kalang kabut, dia mengajak saya duduk, membuka kardus paket secara seksama. Isinya, mukena dan gamis berwarna merah muda untuk saya, merah maron milik nenek. “Ibumu mengirimnya untuk persiapan Ramadan, dan lebaran.” Kata nenek.

“Surat itu?”

“Tidak ada yang penting, tunggu saja ibumu pulang Ramadan nanti!” Raut muka nenek, datar.

Saya berbahagia. Benak saya mulai ditimbun rasa penasaran, melihat wajah ibu secara langsung. Saya telah beberapa kali dikiriminya foto, tetapi saya yakin ibu jauh lebih cantik dari gambar yang tampak di layar ponsel saya. Saya sudah menyusun rencana akan membawa ibu nostalgia mengelilingi kampung ini dengan sepeda ontel saya. Lalu, saya akan mengajaknya menangkap ikan-ikan kecil di sawah, sebagaimana kegemaran ibu dulu waktu remaja menurut nenek. Jika ibu berencana tinggal lebih lama, artinya dia juga bisa ke sekolah mengambil rapor hasil belajar saya di semester dua ini. Sungguh sebuah  peristiwa langkah. Selama ini sayalah satu-satunya siswa berseragam abu-abu di sekolah itu yang mewakili diri sendiri. Sebagaimana biasa, di momen itu, saya mati rasa. Saya menyiapkan sumbat telinga, agar cibiran orang-orang tidak terdengar menusuk. Makanya, saya tidak membiarkan nenek datang menjadi wali. Hatinya pasti remuk jika dia tahu orang-orang kampung menyudutkan ibu. Apapun kata mereka. saya tetap percaya dengan ibu. Jika dia datang nanti, semua desas-desus itu akan hilang. Ibu pandai mengademkan suasana.

***

Besok satu Ramadan, kami menanti ibu. Nenek menyuruh saya merapikan kamar agar ibu betah. Di dapur masakan dalam periuk, menguap. Aroma khas racikan rempah-rempah kampung, tercium. Saya menggosok lantai rumah panggung ini dengan ampas kelapa parut, biar bersih mengkilap. Gorden-gorden jendela juga telah diganti. Memberesi rumah, dan masak makanan enak adalah salah satu tradisi masyarakat di kampung kami menyambut Ramadan. Apatah lagi, ibu janji pulang,

“Seharusnya ibu telah sampai?”

Jelang waktu Asar, semua telah beres. Saya bergegas mandi, dan menyalin pakaian. Lalu, saya berleha-leha di depan televisi, menunggu azan, pun ibu. Seorang newsreader di salah satu stasiun televisi swasta mewartakan,  “Telah ditemukan seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun, tidak sadarkan diri di Baggage Claim area Bandara Internasional Sultan Hasanuddin sekitar pukul 12.00 wita. Hasil thermo scanner menunjukkan suhu tubuhnya berkisar 38, 5 derajat celsius. Saat ini, korban berada di salah satu rumah sakit rujukan Makassar untuk pertolongan pertama, dan persiapan rapid test Covid 19.”


Sumber gambar: hipwee.com

Indo’ Zakka dan Kambing-Kambing Dagangannya

Jika berniat mengadakan hajatan semisal akikah, atau sekadar syukuran masuk rumah baru, lalu butuh kambing-kambing gemuk, orang-orang akan mencari Indo’ Zakka. Telah puluhan tahun dia melakoni pekerjaannya sebagai penjual kambing, tak heran jika dirinya demikian dikenal di kampung Malua dan sekitarnya. Indo’ Zakka menyulap lahan bekas tanaman Murbei miliknya, menjadi penampungan kambing berpagar jejeran bambu-bambu kering. Sebelum berdagang kambing, Indo’ Zakka sempat memelihara ngengat sutra di kolong rumahnya. Namun karena ngengat tersebut butuh waktu sekitar sepuluh hari untuk menetas, ditambah berminggu-minggu untuk menjadi kokon siap panen, itu terbilang lama menghasilkan uang menurut Indo’ Zakka jika dibandingkan dengan sepuluh hari atau sebulan berjualan kambing. Maka, setelah ulat sutranya, siap panen, segera dijualnya. Bermodal hasil jualan kokon tersebut, dia mulai membeli satu persatu kambing dari beberapa peternak kecil di kampung Malua, lalu dijual kembali kepada pembeli dengan selisih harga tipis.

Nama Indo’ Zakka melejit, karena cara berdagangnya jujur perihal kondisi kambing-kambing pada setiap pelanggan, dan harganya pun bersahabat. Dia berprinsip, asal kambing-kambing itu cepat laku, akan berbanding lurus dengan keuntungannya. Karena itu dia kebanjiran pembeli. Kebutuhan stok kambing dagangannya sering tidak mencukupi, sehingga dia harus berburu kambing di kampung-kampung lain.

Belakangan, orang-orang juga senang bertanya perihal kambing-kambing padanya. Indo’ Zakka mempelajari jenis-jenis kambing dan tahu peruntukan pas untuk kambing tersebut. Semisal kambing berbulu putih bersih nan sehat banyak ditawarkan untuk acara akikahan agar anak bayi dalam hajatan itu kelak senantiasa lurus dan bersih jalan hidupnya, serta tumbuh sehat fisik dan jiwanya. Demikian halnya suatu ketika, saat dia kedatangan seorang pembeli, menginginkan kambing berbulu cokelat. “Saya ingin mengadakan doa dan syukuran kesembuhan istri saya. Dia dulunya lumpuh karena jampi-jampi!” Kata Bapak itu. Namun Indo’ Zakka malah menawarkan satu-satunya kambing berbulu abu-abu gelap miliknya.

Awalnya Si Bapak menolak. Namun setelah mendengar penjelasan dari Indo’ Zakka bahwa menyembelih kambing berbulu abu-abu gelap dapat menolak bala dan segala keraguan perihal jampi-jampi, Si Bapak manggut-manggut, lalu melakukan transaksi sebelum kambing itu berpindah tangan padanya. Pernah juga, ada sepasang kekasih mendatangi Indo’ Zakka mencari kambing yang cocok untuk disumbangkan memperingati hari jadian mereka. Indo’ Zakka tersenyum lama, dan memilihkan kambing berbulu cokelat pada mereka.

“Mengapa bukan putih saja? Bukankah putih menandakan ketulusan cinta kami?” Protes Si Cewek. Ujung matanya meminta Si Cowok mengiyakan juga.

“Cokelat lebih cocok untuk kalian. Seperti kayu jati, cokelatnya adalah kekuatan, keawetan, dan keindahan. Itu kalau yang kalian namakan ‘cinta’ ini terawat. Kalau tidak, bisa jadi kambing berbulu coklat hanya seperti permen coklat saja. Manisnya sebatas ujung lidah, dan tenggorokan, selebihnya hambar. Pahamkan?!”

Buntutnya, permintaan kambing semakin meningkat. Mereka berasal bukan hanya dari kampung tetangga desa Malua, namun telah mengular ke kota. Dengan cepat nama Indo’ Zakka melesat dari mulut ke mulut pelanggannya. Mereka mengatakan Indo’ Zakka tidak sebatas penjual kambing saja, dia juga memiliki indra keenam karena mampu meramal nasib dari kambing-kambing dagangannya. Itulah sebabnya orang-orang berbondong-bondong mencarinya.

Kambing berbulu putih, abu-abu gelap, dan cokelat masih digemari pelanggan di kampung Malua dan sekitarnya. Berbeda dengan orang-orang kota yang justru sering memesan kambing-kambing berbulu hitam dengan jumlah banyak. Dalam hal ini, Indo’ Zakka hanya sebatas penyedia saja. Dia tidak punya kesempatan bertatap muka, dan berbicara langsung pada pembeli kambing-kambing tersebut untuk membincang mengapa kambing hitam? Sebab, para pelanggannya selalu saja memesan lewat telepon, mengirim sejumlah uang, lalu menyebutkan alamat tujuan. Meski otaknya ditumbuhi banyak pertayaan, Indo’ Zakka memilih diam. Berbicara dengan kontak mata menurutnya selalu lebih jujur.

****

Sore itu, beberapa kambing belum terjual disuapinya kulit pisang masak bergantian. Matanya menatapi kambing itu satu-satu, sambil menimbang-nimbang permintaan pelanggannya dari kota. Baru saja Dia mendapat telepon lagi, orang kota tersebut butuh tiga ratus ekor kambing berbulu hitam, dan akan dibayar dua kali lipat dari harga biasa jika Indo’ Zakka mengumpulkan tepat waktu, dan bersedia membawanya sendiri ke kota. Tawaran ini menggiurkan. Tetapi Indo’ Zakka merasa kesulitan, sebab para peternak kampung biasanya memberi kambing dengan warna acak. Dia tidak bisa memilih demi menghargai jerih payah para peternak, dan agar kambing-kambing tersebut tidak jatuh di tangan tengkulak lain yang biasanya membayar tidak wajar. Ini demi keberlangsungan hidup peternak di kampungnya.

Dia menghabiskan waktunya tetap di penadahan kambing sore itu, sembari memikirkan cara cepat menyelesaikan persoalan ini. Orang kota tersebut memberinya waktu sebulan saja. Ada beberapa solusi terpikirkan, semisal menggaji orang-orang kampung membantunya mencari kambing berbulu hitam. Bisa juga, dia sendiri yang berkeliling kampung dengan mobil open cup miliknya seperti biasa jika pesanan banyak. Namun dengan beberapa pertimbangan, solusi-solusi itu dianggapnya kurang efektif. Lalu terbesit di benaknya melakukan sayembara. Bahwa siapa pun yang mampu mengumpulkan kambing hitam paling banyak akan diberi hadiah sejumlah uang tunai dan televisi 42 inch, sebagai hadiah utama.

Informasi perihal sayembara pengumpulan kambing hitam tersebar cepat. Orang-orang berlomba-lomba mencari kambing tersebut demi memenangkan hadiah utama. Hanya butuh waktu dua minggu kambing hitam terkumpul, genap tiga ratus ekor. Indo’ Zakka berterima kasih kepada semua yang telah berpartisipasi. Dia memotong beberapa ekor kambing untuk mengadakan pesta kecil-kecilan, sekaligus penyerahan hadiah utama untuk pemenang, dan hadiah hiburan bagi semua peserta. Papa Accu, si pemenang bersuka ria. Uang tunai yang diterimanya sungguh cukup digunakan membeli pupuk dan bibit padi, serta jajanan anaknya sebulan. Apalagi bonus televisi berlayar besar, sangat menyenangkan baginya. Karena sepulang membajak sawah, Papa Accu bisa nonton acara bola, dan berita tanpa harus berebut remot televisi dengan anak laki-lakinya. Bukan hanya Papa Accu, hari dimana kambing-kambing itu genap tiga ratus, semua warga kampung Malua, bergembira. Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan perut kenyang.

****

Kambing-kambing berbulu hitam melompat satu persatu dari truk pengangkutnya menuju sebuah ruangan terbuka berukuran luas. Indo Zakka turun paling akhir setelah dump truk itu kosong. Dia menandatangani bukti serah terima dari seseorang yang sedari awal mengurusi kedatangan kambing-kambing tersebut. Ketika berniat meninggalkan ruangan karena semua urusan dianggap selesai, orang itu mencegatnya.“Bapak ingin bertemu!”

Daun pintu yang berada di tengah-tengah ruangan itu berderik. Lalu muncul seorang lelaki berbadan gemuk mengenakan kacamata hitam dipadukan dengan topi model fedora di kepalanya. Indo’ Zakka memperkirakan usia lelaki itu sekitar 50 tahun.

“Terima kasih telah bekerjasama dengan saya selama ini.” Sambil menjabat tangan Indo’ Zakka.

“Iya, terima kasih juga atas kepercayaan, Bapak!”

“Bisakah kamu memberi saya kambing-kambing hitam lagi? Lebih banyak!”

“Bapak tidak ingin kambing lain?”

“Hanya kambing hitam!”

“Mengapa?”

“Mereka bisa menebus banyak hal!Bisakan?”

“Iya….” Jawab Indo’ Zakka. Mematung, ragu.

Sejenak hening. Bapak itu mendekati, dan mengelus punggung beberapa ekor kambing hitam di ruangan tersebut. Indo Zakka’ terdiam. Di kepalanya berkelindan ingatan. Wajah bapak itu sering muncul di layar televisi. Saban waktu berkabar keberhasilannya menekan angka kemiskinan. Di lain kesempatan, beredar gambar-gambar sedang berbagi peralatan sekolah kepada anak-anak yang membutuhkan di sebuah pemukiman. Di layar datar persegi, orang-orang terlihat menyanjungnya.

“Kamu boleh pulang!” Tetiba Bapak tadi sudah dihadapan Indo’ Zakka

“Bapak…?” Ujung telunjuknya mengarah ke wajah Bapak tadi.

Pembicaraan terputus! Beberapa orang berhamburan masuk ke ruangan itu. Separuh memegangi kedua tangan Indo’ Zakka, separuhnya lagi menutup matanya dengan kain tebal.

“Kamu terlalu banyak tahu!” Suara Bapak itu kembali terdengar.

Sekoyong-konyong, Indo Zakka merasa berada di antara kambing-kambing hitam dalam ruangan itu.

Makassar, 9 Februari 2020

 

Sumber gambart: https://science.howstuffworks.com/nature/natural-disasters/firefighting-goats.htm

Aku Enggan Mati Muda

“Kau beruntung. Jadi sudahilah cerita melankolis yang selalu kau tumpah di kupingku. Hidupku, andai saja kau pelakonnya, kau pun akan memunggungi takdir. Lalu kau masih saja mencari-cari jalan keluh, dan berhenti bersyukur? Jangan menanti tulah, baru kau kapok!”

“Mmmmm….” Hanya itu.

Dia berlalu pergi, menyelinap di antara asam manisnya jus jeruk yang kuseruput.

***

Darma, demikian kupanggil dia sehari-hari. Dia dulunya bekerja sebagai pramuniaga di sebuah minimarket tak jauh dari mukimnya. Penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama ibu dan ayahnya yang telah berkurang tenaganya bekerja. Dari penghasilan di minimarket itu pula, Darma menyicil sebuah sepeda motor matic idamannya. Di sana, Darma bertemu Ramba’.

Ramba’ lebih dahulu bekerja di minimarket tersebut. Dia ditugasi mengajari Darma di masa magangnya, agar menjadi pelayan yang benar. Tak cuma mengajari, Ramba’ menyelipkan rasa dalam proses belajar Darma. Jadilah, mereka menyudahinya dengan ikatan pernikahan. Tetapi malang, saat Darma sedang cinta-cintanya, dan mereka telah membiak, Ramba’ pamit kerja di luar kota, dan tak pernah pulang. Dia pergi meninggalkan dua anak laki-laki usia balita, si sulung dua tahun, dan bungsu belum genap satu tahun.

Darma frustasi. Orang-orang mencibirnya telah salah memilih suami. Ada yang bilang, Ramba’ kawin lari bersama perempuan lain. Bahkan ayah dan ibunya menyerapahi kehidupan yang dipilih Darma. Sedari awal mereka tak sepakat dengan Ramba’, lelaki tak punya harapan dan masa depan. Orang-orang di sekitar minimarket, sering memergoki Ramba’ berkencan dengan beberapa perempuan bergantian sebelum Darma datang. “Dia mata keranjang….,” kata mereka. Tetapi apalah daya, Darma terperangkap.

Meski hidupnya pas-pasan, Darma sebetulnya pernah dilamar seorang pemuda salah satu pengurus partai ternama saat berkampanye di kotanya. Alasannya sederhana. Lelaki itu butuh sosok seperti Darma, perempuan ulet, cantik, dan pastinya dikenal baik oleh pemuda-pemudi, ibu-ibu, dan bapak-bapak di lingkungannya. Dengan demikian, lelaki itu akan mendapatkan banyak suara, bonus seorang perawan. Lelaki inilah yang diinginkan orang tua Darma. Jejaka berpenampilan rapi, dan hampir setiap pekan memarkir mobil bagus di depan rumah Darma. Namun, Darma menolak. “Politik memalsukan cinta!” menurutnya. Darma tak suka alur hidup seperti itu.

Beranak dua, Darma kehabisan akal mendanai kebutuhan hidupnya. Tak banyak tempat mau menampungnya bekerja dengan bekal ijazah sekolah menengah atas. Tabungannya juga telah habis digunakan mencari jejak Ramba’. Dia sangat ingin membuktikan pada khalayak bahwa pilihannya sudah tepat. Ramba’ tidak kemana-mana, hanya saja dia butuh jarak lebih jauh mencari nafkah. Sampai pada titik penghabisan, Darma tersadar. Dia membenarkan perkataan orang-orang; Ramba’ lelaki brengsek!

Tepat ketika Darma jatuh dan anak-anaknya butuh makan, nasib mengasihinya. Sebuah bar mencari waitress. Di koran, dia membaca dengan jelas. Syaratnya cukup berpenampilan menarik, dan bersedia kerja dini hari. Dia memenuhi syarat itu. Jadilah setiap malam sloki-sloki berpindah tangan darinya. Di bar, Darma pandai menyesuaikan diri. Namanya cepat diomongkan banyak orang. Tentulah karena penampilan menarik tadi, dan kelincahannya bekerja. Darma populer. Banyak pengunjung dibuat penasaran.

Darma tak memberi tahu siapa pun perihal tempatnya bekerja. Meski hidup di kota, orang-orang tetap mencap perempuan yang bekerja di Bar, nakal! Orang tuanya, pasti semakin murka dengan itu. Darma, tak ingin mengecewakan mereka lagi. Jika ditanyai, dia akan mengatakan sedang bekerja di warung makan, menunggui mobil-mobil singgah, sampai subuh.

Malang! Karena satu kecerobohan kecil, Darma ketahuan. Dia dan kedua anaknya diusir dari rumah orang tuanya karena dianggap pembawa aib, berselang sehari setelah dipecat dari bar, karena berkata kasar pada seorang pelanggan yang memintanya private party. Sedikit angin segar, saat kejadian itu dia memergoki, lelaki politikus yang pernah melamarnya, ada di sana tengah berbisik-bisik dengan seorang wanita berpakaian minim. Darma menyimpulkan, politikus seperti lelaki itu tak hanya memalsukan cinta. Mereka juga menjalari banyak tempat. Bahkan yang berbau amis sekali pun. Tak jauh beda dengan Ramba’, lelaki pas-pasan yang lalai mencintai. Sama pandainya membenihkan janji.

***

Racci’, anak yatim piatu dari sebuah desa tak merdeka. Berbekal hasil menjual rumah kecil peninggalan orang tuanya, dia ke kota. Kuliah! Sekadar sekolah tinggi saja tak cukup mewartakan keberhasilannya pada orang-orang di kampung. Membawa barang-barang branded, dan memoles diri cantik, salah satu syarat menaikkan status sosial, baginya.

Kampung tak merdeka itu, dipenuhi pelamun ulung perihal kehidupan kota yang dipandang asyik dan modern. Maka, ketika Racci’ kembali ke kampung dengan langkah anggun, membawa setumpuk uang guna membeli rumah baru, orang-orang pada takjub. Racci’, dipuji-puji telah jadi “orang”. Tak ada yang tahu, sekeras apa usaha Racci’ agar jadi “orang”. Di kota, dia menjajakkan diri pada lelaki kaya kesepian. Dari lanang itu, dia mendapatkan banyak uang. Sungguh, Racci’ yang mereka elu-elukan menumpahkan banyak serapah dan air mata atas takdir ditampiknya.

Membunuh janin yang bersarang di rahimnya adalah hal biasa bagi Racci’. Luka-luka di beberapa bagian tubuhnya, menjadi petunjuk bahwa lelaki yang memberinya uang tak melihatnya manusia. Untungnya, Racci’ pandai bersembunyi. Hidup redup disulap gemerlap olehnya. Sehingga, para orang tua di kampung berbondong-bondong mengizinkan anak gadisnya ke kota. Kuliah!

Kau tahu? Racci’ itu adalah aku.

***

Siang terik, aku tertegun di hadapan segelas jus jeruk. Permukaan gelasnya telah basah, berembun sejak tadi. Aku menunggu Darma. Dia meminta waktu bertemu. Seperti biasa, dia suka berkeluh kesah. Telingaku akan penuh sampah lagi.

“Hidupku lebih sial, Darma. Setidaknya, kau piawai membesarkan dua anak laki-laki itu, dan aku menjadi pembunuh bayi berkali-kali. Kau, menjauh dari dunia gelap, tetapi aku masuk, asyik bergumul di dalamnya. Aku terkungkung obsesiku, kau merdeka! Kujalani hidup dengan topeng kemana-mana. Aku pura-pura bahagia. Kau bangkit, hidup bersahaja, jadi diri sendiri, bebas!” Telah kusiapkan kalimat ini.

“Lalu….” ucapnya dengan tatapan nanar

“Kau beruntung. Jadi sudahilah cerita melankolis yang selalu kau tumpah di kupingku. Hidupku, andai saja kau pelakonnya, kau pun akan memunggungi takdir. Lalu kau masih saja mencari-cari jalan keluh, dan berhenti bersyukur? Jangan menanti tulah, baru kau kapok!”

“Mmmmm….” Hanya itu.

Dia berlalu pergi, menyelinap di antara asam manisnya jus jeruk yang kuseruput.

Aku mematung. Masih kudapati ujung bayangmu. “Andai kau tau, kau adalah cermin bagiku merebut kesempatan menang atas umur yang tersisa.”

Hampir saja aku memilih mati muda sebagaimana saran Soe Hok Gie yang kudengar sewaktu kuliah. Lalu aku bertemu kau, di kantin kampus lincah menyodorkan sepiring makanan pada pelanggan. Lantas, dua anak lelaki berseragam sekolah menghampiri, memelukmu bersamaan. Erat!

Orang-orang pun saling berbisik. “Hidup menua, tak selamanya sial.”

Makassar, 13-14 Agustus 2019

 

Sumber gambar: https://www.elephantjournal.com/2016/03/draining-the-emotional-dam/