Semua tulisan dari Muh. Asratillah Senge

Lahir di Parepare 04 September 1985. Sekarang menetap di Sudiang, Makassar. Aktivis muhammadiyah dan penggiat literasi kota Makassar. Penulis buku Hasrat Kebenaran (2015). Penulis bisa dihubungi di nomor: 085255341636

Sulhan: Berangkat dari “Ketagihan Pada Sari Diri”

(Pembacaan Bersahaja Atas Buku Pesona Sari Diri)

***

Sejak tahun 2003 saya mengenal Sulhan, yang biasa saya tambahkan kata “kanda” di depan namanya, sehingga menjadi “Kanda Sulhan” atau sekadar “Kak Sulhan”. Bagi saya yang masih mahasiswa baru (maba) kala itu, dan senantiasa ber-sekret di Gedung Pusat Muhammadiyah Sulsel yang bergaya Minang itu, satu-satunya toko buku yang saya akrabi adalah Toko Buku Papirus. Maka akrablah saya dengan Bung Asran Salam, Bung Sabara, Bung Rahmat Zainal, Bung Idham Malik dan tentunya sang owner toko buku tersebut, Kanda Sulhan, yang dalam ingatan saya tak pernah tidak botak (bahkan dalam esainya yang berjudul “Botak”, Sulhan menyebut dirinya sendiri sebagai penyandang botak, dan merasa cukup jua penderitaan yang senantiasa menimpa). Hampir seperempat dari buku-buku yang ada di rak buku saya saat ini, berasal dari toko buku Papirus dan Paradigma milik Sulhan. Saat itu, saya sebisa mungkin membeli minimal satu buku dalam sebulan, dari salah satu toko buku yang dimilikinya.

Membaca Pesona Sari Diri, itu berarti saya mesti memaknai kata-kata, kalimat-kalimat dalam esainya dengan turut memobilisasi ingatan dan persepsi pribadi saya terhadap Sulhan. Seorang teman pernah berucap, buku Pesona Sari Diri, memukau kita bukan hanya karena rangkaian aksaranya yang begitu memesona, tapi pesona diri Sulhan itu sendiri yang membekas dalam ingatan kita. Misalnya, saat saya membaca esainya yang berjudul “Merawat Kesukarelaan, Membabar Welas Asih”, Sulhan tidak hanya berhasil membujuk saya dengan lembut agar tetap merawat kesukarelaan dan mempercayai bahwa “sukarela adalah galanya perjuangan dan pengorbanan”, karena “sesungguhnya kesukarelaan, kepedulian dan welas asih adalah sesuatu yang built in dalam diri”. Tetapi pada diri Sulhan saya melihat bentuk nyata “kesukarelaan”, siang-malam maladeni undangan adik-adik untuk menjadi nara sumber, bolak-balik antara Makassar-Bantaeng demi menghidup-hidupi komunitas literasi yang dia inisiasi.

Kekuatan buku Pesona Sari Diri, bukan hanya disebabkan oleh susunan atau jejaring kata yang merajut esai-esainya. Tapi justru karena keteladanan penulisnya. Keteladanan dalam menggawangi aktivitas-aktivitas literasi. Dalam rangka mendongkrak kapabilitas literasi anak negeri, tak salah jika kita berlomba-lomba melaksanakan workshop atau diskusi publik bertemakan literasi. Tapi berdasarkan pengalaman pribadi saya, saya cuku punya passsion dalam hal membaca dan menulis, itu dikarenakan tauladan dari ayah yang rutin membaca di sore hari, teladan dari mentor kristologi sewaktu masih duduk di bangku SMA yang mendorong melahap buku apapun lalu menuliskan review-nya serta teladan dari beberapa kawan yang lumayan rakus dalam membaca buku.

Mengapa keteladanan dalam literasi penting. Karena jangan sampai literasi hanya sekedar slogan, sekadar trend hidup yang bisa menambah amunisi “ke-kiwari-an” diri, atau sekadar sebagai salah satu tema konten dalam baliho-baliho selain tema politik dan tanah kapling. Jangan sampai literasi sekadar menjadi apa yang disebut oleh Sulhan sebagai Puji Ale alias Ero Nikana dalam esainya yang berjudul “Negeri Baliho”, karena “takjublah saya pada baliho itu. Betapa tidak, saya sendiri nyaris tidak percaya sebegitu memukaunya tampilan saya di baliho itu”, tema literasi hanya sekadar selubung dari “seorang manusia yang lapar dengan sebutan, haus akan gelaran…” kata Alwy Rachman yang dikutip oleh Sulhan dalam esainya.

Sulhan seakan-akan ingin berucap bahwa, literasi sebaiknya berangkat dari “ketagihan pada sari diri”. Bukan hanya literasi, tetapi juga politik, dan untuk soal ini Sulhan cukup sering bernada mengejek jika berbicara tentang partai politik, “adakah kisanak-kisanak masih bingung bin pusing terhadap perhelatan politik, yang melibatkan partai politik, yang tak jelas jenis kelamin ideologisnya…” dalam esainya yang berjudul “Politik Itu, Serupa Sepak Bola”, bahkan dengan nada agak Hobbesian Sulhan menuliskan “Pragmatisme partai politik memangsanya…” dalam esai Tatkala Partai Politik Menjadi Kuda Rodeo”. Walaupun begitu, bagi Sulhan “Bahwasanya, tidak bisa dimungkiri masih ada pula yang memandang ajang perhelatan politik adalah arena mengaktualkan segala yang mendasar pada diri”.

Lalu, bagaimana dengan agama ? perilaku keagamaan kita mungkin saja tak berangkat dari “ketagihan pada sari diri”, mengapa demikian ? Dalam esai “Al-Maidah”, yang ditulis dalam situasi hiruk pikuk karena kasus Ahok, dengan nada agak ragu Sulhan bertanya-tanya “membatinlah saya, mungkinkah saya berlaku adil pada kasus yang menimpa Ahok ini ? Bila sementara kebencian padanya menerungku saya ?” dan saya rasa pertanyaan tersebut juga ditujukan kepada semua yang mengutuk Ahok dan hampir bisa dipastikan mengikut sertakan narasi-narasi keagamaan. Mengapa pertanyaan tersebut penting, karena pertanyaan tersebut adalah redaksi lain dari Qur’an Suci surah Al-Maidah ayat 8 yang diantara penggalannya berbunyi “dan janganlah, kebencian (kalian) terhadap suatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa “, dim ayat itu tentunya masih se-surah dengan Al-Maidah ;51 yang sering digunakan untuk membabat yang lain.

Jika perilaku keagamaan ini berlanjut maka, tidak menutup kemungkinan akan terjadi apa yang Sulhan tulis “Lebih membahas perkara remeh temeh dan individual, Abai membahas problem sosial atau dimensi substansial Islam lainnya…………..spirit agama menjadi mati, jiwa agama mengalami impotensi. Ada agama tapi tidak mekar fungsi sosialnya” dalam esai yang berjudul “Mencegah Impotensi Agama”. Maka dari itu “selaiknya kita membutuhkan penafsiran dan model keberagamaan yang menjawab permasalahan kehidupan beragama di negeri ini, kita membutuhkan spirit keberagamaan yang penuh dengan semangat toleransi, agar keragaman keberagamaan di Indonesia yang merupakan kekayaan tidak menjadi bencana,” tulis Sulhan dalam “Cinta Kasih : Dari Maulid Hingga Natal” dan di paragraf sebelumnya, sambil mengutip Aamalados “Pemakluman Kerajaan Allah tidak lain adalah pewahyuan cinta kasih Allah yang tak bersyarat. Jawaban yang diperlukan adalah membuka hati pada cinta kasih ini dan mengungkapkannya dengan mengasihi sesama”.

Lalu apa itu Sari diri ? Yah mungkin bagian terdalam dari diri sekaligus sumber kebahagiaan, “Bahagia sumbernya dari dalam diri, yang diluar diri hanya sekedar pemantik agar api kebahgiaan menjilati diri” dalam esai “Bahagia Itu Mudah”. Dengan kata lain ada bagian paling dalam dari diri yang menjadi asal muasal api kebahagiaan. Yah ini serupa dengan salah satu adigium Neo-Paltonik, “lakukanlah pendakian ke dalam dirimu”, lain kata untuk menjadi manusia ascendent (senantiasa menaik) prasyaratnya adalah mengarah “ke dalam diri”, tapi jika sebaliknya yakni saat pusat diri justru berada di luar diri, maka kita akan menjadi manusia-manusia “decadent”. Tapi bagaimanapun bagi saya, berbicara tentang “diri” bukanlah perkara mudah, sebagaimana Scheller mengatakan bahwa “diri” (persona) adalah Sosein, yakni sesuatu yang senantiasa mengelak dari konseptualisasi. Sebagaimana Ilmu Hudhuri saat membicarakan perkara “mistik” justru bermuara pada sebuah pengelakan terhadap “mistik” itu sendiri, karena mistik adalah pengalaman yang melampaui kata-kata, begitu pula “diri” merupakan pengalaman yang melampaui kata-kata bahkan kata “diri” itu sendiri. Apakah buku Pesona Sari Diri juga bermuara pada sebuah Aporia ? bahwa dirinya juga tak lain sebentuk pengelakan terhadap “diri” itu sendiri ?

Manusia yang Tak Pernah Selesai

Memikirkan manusia, sama saja memikirkan sesuatu yang lebih luas dari geometri ruang angkasa dan lebih dalam daripada palung laut terdalam di dunia. Hingga detik ini, manusia adalah sesuatu yang tetap menjadi misteri, lebih misterius dibanding legenda manapun yang pernah dikuak oleh Arkeologi dan ilmu sejarah kontemporer. Semakin banyak spesialisasi bidang ilmu pengetahuan yang objek materilnya adalah manusia, semakin tebal pula hijab misteri manusia.

Dalam tradisi Ilmu Pengetahuan dan filsafat, ada semacam kesamaan tujuan saat melakukan penelitian, pembedahan ataupun penjelasan terhadap manusia. Yaitu ikhtiar untuk mengetahui hakikat, esensi ataupun hukum yang melekat pada diri manusia. Hakikat manusia ini kita sebutlah dengan istilah The Real I. Setiap bidang pengetahuan ataupun aliran pemikiran memiliki interpretasi tersendiri terhadap The Real I. Ironisnya semakin cabang-cabang ilmu pengetahuan dan pemikiran tersebut mengeksplorasi tema manusia, secara tidak sadar telah terjadi proses detachment (penjarakan/pengelakan) yang berlapis (stratified) terhadap manusia dan kemanusiaan. Hal ini dikarenakan The Real I adalah sesuatu yang abstrak dan murni ide, sedangkan dalam aktivitas pengkonsepsian dan teoritisasinya menggunakan medium bahasa yang sifatnya konkrit dan kondisional. Sehingga hakikat manusia dan kemanusiaan yang sifatnya universal telah terlimitasi dalam sekian banyak kotak-kotak konsep dan terpotong-potong ke dalam kategori-kategori pikiran yang berupa ragam.

Tapi itulah “kutukan” dalam kancah pemikiran. Kita harus dengan rendah hati mengakui keterbatasan kita dalam membangun diskursus ataupun konsepsi tentang manusia. Sebab sudah menjadi takdir kita terlempar dalam dunia, di mana kita berada dalam struktur dan jejaring teks atau tanda. Tetapi hal itu tidak menjadikan kita orang yang pesimis dan tidak melakukan pengonsepsian apapun terhadap manusia dan kemanusiaan kita. Sebab pengonsepsian kita adalah salah satu bentuk keterlibatan kita dalam kemanusiaan kita. Apalah artinya kita sebagai manusia tetapi kita absen dalam drama kemanusiaan? Dan ikhtiar mendefinisikan , mengonsepsikan dan menjelaskan manusia merupakan salah satu adegan dalam drama tersebut. Sehingga tulisan ini tak lain hasil proses pemaknaan terhadap kemanusiaan. Proses pemaknaan adalah sesuatu yang memelihara kedirian manusia. Maka tidak selayaknya bila sebuah pemaknaan dipaksakan pada pihak lain. Sebab hal ini hanya akan menghancurkan otonomi dan meng-“abrasi” kemanusiaan orang lain bahkan diri kita sendiri.

Sejak kita menjadi manusia, maka seringkali disadari ataupun tidak, kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar seperti “Apakah Tujuan Hidup Kita ?”,”Apa perbadaan mendasar antara manusia dengan binatang ?”, “Apa makna kita hidup dalam dunia ini?”, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini biasanya disebut dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial . Untuk menjawab pertanyaan –pertanyaan tersebut, ada beberapa cara yang dapat ditempuh. Apakah melalui dogma-dogma agama yang tertuang dalam teks-teks suci kegamaan beserta tafsirnya, apakah melalui metode ilmiah, atau kita melakukan penalaran filsafatis.

Bila kita mencari jawabannya melalui dogma-dogma rumusan agama, maka jalan ini seringkali tidak akan membawa pada kepuasan intelektual. Dikarenakan Religions way of knowledge seringkali tidak menggunakan argumentasi kritis. Di samping itu, klaim kebenaran (truth claim) dalam Religions way of knowledge juga terlalu dominan.  Apalagi bila kita dihadapkan dengan pluralitas paham keagamaan, maka bayangkan saja apabila setiap agama memberikan jawaban yang dogmatik, pasti hal ini akan membawa kita kepada kebingungan. Sedangkan jika kita melalui jalan sains maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban yang rawan terjatuh menjadi rumusan reduksionis positivistik. Alih-alih mengungkapkan sisi kemanusiaan kita yang dinamis, malah yang terjadi adalah gambaran manusia yang operasionalistik-mekanistik, dan akan mereduksi kompleksitas dimensi keberadaan manusia. Untuk mengantisipasi kedua hal di atas, maka kita dapat menggunakan penalaran filsafatis. Filsafat dapat mengatasi cara berpikir dogmatik dari agama dan cara berpikir positivistik dari sains, dengan tidak menafikan fungsi dari agama dan sains. Agama dan sains dapat dijadikan titik pangkal yang kemudian diperluas dan dielaborasi lanjut dengan pisau filsafat.

Tapi sekali lagi saya tekankan bahwa walaupun kita menggunakan pisau filsafat, ini tidak berarti bahwa kita secara mutlak telah sampai kepada gambaran manusia apa adanya. Filsafat tidak bertendensi untuk mencari jawaban final, tetapi untuk mencari kemungkinan pertanyaan-pertanyaan baru. Salah satu titik pangkal (initial point) dari semua pembahasan filsafat adalah pengakuannya akan realitas, tergantung pada aliran filsafat yang bersangkutan. Realitas yang dimaksud di sini hanyalah realitas material atau juga termasuk realitas ide, abstrak atau yang immaterial.

Kita mungkin telah mengetahui baik secara teoritis ataupun secara intuitif, bahwa hal yang paling mendasar dari segala realitas, apakah itu diri kita, benda-benda yang ada di sekitar kita ataupun realitas imajianal yang kita beri pengakuan padanya adalah keberadaan/wujud/eksisten. Keberadaan adalah fondasi atau prasyarat dari segala hal yang terjadi dalam realitas. Kalau kita membawanya ke dalam bahasa yang agak religius, keberadaan adalah limpahan anugerah paling awal yang diterima oleh realitas ini sebelum realitas tersebut melakukan atau dikenai kejadian apapun. Apalah artinya keharuman bunga mawar jika bunga mawarnya tidak memiliki keberadaan ? Apalah artinya ketampanan apabila manusia yang dapat menyandang predikat tersebut belum dianugerahi keberadaan? Bahkan sebelum kita berpikir perihal yang sifatnya teoritik dan konseptual, kesadaran akan keberadaan diri kita adalah sesuatu yang sifatnya primordial. Jadi sifatnya lebih intuitif dan unitif dibanding hasil dari penalaran. Maka saya ada terlebih dahulu sebelum saya membahas keberadaan dalam tulisan ini.

Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah apakah ada perbedaan antara beradanya manusia dengan beradanya benda-benda dan makhluk lain selain manusia ? Jawabannya adalah afirmatif . Kita sebagai manusia selalu merasa sewot dengan sekitar kita. Kita sewot dengan tatanan rumah kita, dengan cita rasa makanan kita, dengan penampilan kita, dengan keberadaan tumbuhan dan binatang di sekitar kita. kita adalah makhluk yang selalu ingin campur tangan terhadap alam ini. Kita merasa bukan sebagai manusia yang utuh apabila kita hanya makan, buang air dan istirahat. Kita membutuhkan sesuatu yang lain, yaitu mengutak-atik secara kognitif dan pragmatis realitas di sekitar kita. Itulah manusia, tidak hanya eksisten, ada secara sederhana, atau ada dalam realitas, tapi melampaui itu. Manusia bereksistensi, ada secara dinamis dan kreatif / bersama dalam realitas. Manusia menyadari selalu ada perubahan pada dirinya dan lingkungannya. Manusia selalu mengalami proses menjadi (becoming) dan ingin campur tangan dengan proses kemenjadiannya itu. Dia ingin mengarahkan kemenjadiannya, dialah yang ingin meciptakan apa jadinya dirinya di masa depan. Itulah sebabnya mengapa manusia dalam filsafat perennial disebut dengan teomorfis atau makhluk penjelmaan Tuhan di muka bumi. Karena dia ingin menyerupai “kesibukan” Tuhan.

“Kesibukan”, merupakan ciri manusia menurut Martin Heidegger. “Kesibukan” membuat manusia selalu resah dan tidak tenang. Dunia bagi manusia bukanlah sesuatu yang “apa adanya”, tetapi keberadaanya selalu di “apakan” dan di “bagaimanakan”. Dunia bagi manusia bukanlah dunia yang telanjang, tetapi dunia yang dibungkus dengan persepsi-persepsi kemanusiaan. Antara manusia dan dunia terjalin hubungan yang sangat mesrah. Tanpa manusia kita tidak bisa membayangkan kata “dunia” sekalipun bisa lahir, karena “dunia” merupakan penanda yang sifatnya manusiawi terhadap petanda dunia riil yang berada di luar manusia. Walaupun begitu, penanda ini takkan bisa berhasil mewakili referensi objektifnya dengan transparan, selalu ada distorsi makna. Tanpa dunia manusia tidak akan ada , karena dunia merupakan rahim eksistensi manusia. Dunia membuat manusia menubuh, sekaligus panggung untuk menampakkan daya ruhaninya.

Kesibukan manusia tidaklah hanya pada tataran pragmatis, tetapi juga terjadi pada tataran kognitif dan spiritual. Setiap saat manusia melakukan pemaknaan terhadap dunianya, menanyakan ulang pemaknaan sebelumnya, manyangsikan dan membongkarnya. Dan pada saat manusia tak henti-hentinya memaknai dunianya, saat itu pula dia memkanai dirinya. Memaknai dunia secara terus-menerus berarti mereposisi dirinya secara terus menerus dalam jejaring dunia, dan menggali potensi kemanusiaanya secara terus-menerus.

Filsafat ada untuk membantu manusia memaknai dirinya dan dunianya. Filsafat akan terus menerus melahirkan pertanyaan-pertanyaan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan pemaknaan yang tiada batasnya. Kemungkinan-kemungkinan pemaknaan ini merupakan cermin bagi kemungkinan-kemungkinan cara mengada dari manusia. Dan ini tak akan pernah selesai.[ ]