Semua tulisan dari Muhajir MA

Praktisi media. Peminat ilmu sosial-kemanusiaan. Ketua Komisi Intelektual dan Peradaban PB HMI MPO

Utopianisme Sulhan dalam Gemuruh Literasi

Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang digiatkan tanpa lelah oleh Sulhan, demi utopia yang selama ini terbenam dalam pikirannya: mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng.

Sejujurnya, saya belum pernah mengenal sosok yang begitu bersemangat mewujudkan sebuah utopia selain Sulhan. Sebelum buku Gemuruh Literasi  lahir, sejak dulu Kak Sul—begitulah kami sebagai murid memanggilnya—berulang kali menyatakan hendak mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng. Utopia ini tak pernah surut dalam imajinasi tuanya.

Hingga suatu ketika saya merenungi rencana itu: Apa mungkin masyarakat literasi Bantaeng dapat terwujud? Bisakah di desa-desa dan rumah warga memiliki perpustakaan? Bagaimana cara mengajak aparatur sipil negara dan anggota dewan yang terhormat agar rajin membaca buku? Apakah tidak begitu sulit membuat seluruh masyarakat Bantaeng memiliki tradisi baca, menulis, dan diskusi saat tradisi literasi di Indonesia semakin terpuruk? Aku merasa cita-cita Sulhan terlalu fiktif, khayali, dan nyaris mustahil.

 Itulah sebabnya utopia kerap dipandang sebagai lelucon oleh masyarakat modern yang selalu melihat realitas dalam kalkulasi matematis: pasti dan terukur. Aku sempat di fase ini. Saat mendengar Sulhan berceloteh mengenai masyarakat literasi Bantaeng, aku membayangkan Sulhan seperti Platon yang berdogeng tentang Atlantis, negara dengan tanah subur, memiliki emas melimpah, memiliki kekuatan militer yang hebat, dan panorama alam yang eksotis. Hanya indah dalam imajinasi.

Jelas, waktu itu saya keliru menginterpretasikan utopianisme Sulhan. Seharusnya saya, dan para penganut distopia lainya tidak boleh lupa,  jika perubahan kadang kala memerlukan reformasi visioner yang idealis, memerlukan cita-cita utopis. Indonesia sebagai sebuah bangsa bahkan lahir dari politik utopia para pemuda.  

Pada 28 Oktober 1928. Saat mental inlander terus dibentuk oleh Belanda, saat masyarakat semakin pasrah di tengah kekuatan militer kolonial yang nyaris tak terkalahkan, para pemuda membangun kolektivitas gerakan demi cita-cita bersama:  mewujudkan nation state bernama Indonesia. Mereka telah membentuk utopia kebangsaan yang disebut Benedict Anderson sebagai komunitas terbayang (imagined Communities).

Itu artinya, sebelum Indonesia merdeka, bangsa ini pertama kali diperjuangkan dalam bentuk politik utopia. Dengan kepercayaan jika di masa depan Indonesia dapat lepas dari penjajahan dan kehidupan masyarakat akan lebih baik dibanding hari ini. Sebagai utopia, term  “Bangsa Indonesia” adalah konstruksi imajiner yang terlalu idealis dalam sebuah negeri jajahan. Belanda tentu saja tak akan membiarkan berdirinya negara berdaulat yang masyarakatnya hidup kolektif dalam ikatan cita-cita bersama. Tapi pada akhirnya, tatanan masyarakat ideal tersebut berhasil terwujud: Indonesia merdeka, meski harus melalui pengorbanan yang tak ternilai.

Yang utopis belum tentu sebuah kemustahilan. Begitulah kira-kira insight yang kita dapatkan dalam perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Utopia memang selalu menampilkan dirinya sebagai visi ideal yang terlalu sempurna untuk dunia yang daif. Di Yunani, kita mengenal utopia Platon mengenai negara Atlantis. Sir Thomas More, pencetus pertama istilah “utopia” pernah mencita-citakan negara kota dimana institusi dan kebijakannya diatur oleh akal. Marx dan pengikutnya memperjuangkan masyarakat tanpa kelas. Semua itu adalah proyeksi imajiner yang terlalu sulit diwujudkan oleh manusia. Tapi, tak ada kata mustahil selama utopia diperjuangkan bersama.

Seperti Bangsa Indonesia yang terlalu sulit diwujudkan saat ia masih menjadi kepentingan partikular kaum muda semata. Namun, saat komunitas terbayang itu mulai diterima oleh seluruh masyarakat sebagai tujuan politik bersama, Bangsa Indonesia akhirnya dapat diwujudkan. Saya pikir, utopianisme Sulhan yang hendak mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng bukanlah idealisme yang mustahil. Sepanjang Sulhan mampu mengubah kepentingan partikularnya  menjadi kepentingan bersama masyarakat Bantaeng, saya pikir utopia tersebut dapat menjadi nyata.

Tepat di titik itulah Sulhan memulai perjalanan panjangnya ke masa depan, yang dia kisahkan dengan apik, humoris, dan dramatis dalam Gemuruh Literasi. Utopianisme Sulhan memulai gerak awalnya dari komunitas literasi yang ia dirikan di Bantaeng: Boetta Ilmoe. Berdirinya komunitas tersebut menjadi akar bagi tumbuhnya komunitas literasi yang lain. Boetta Ilmoe kata Sulhan dalam Gemuruh Literasi, “telah terduplikasi dan diduplikasi, menginspirasi dan mengadaptasi, sehingga banyak lahir komunitas-komunitas literasi.”

Berbagai komunitas literasi yang telah lahir kemudian saling bergiat membangun gerakan literasi meski dalam bentuk dan artikulasi yang berbeda. Tapi setidaknya di titik ini, masyarakat literasi Bantaeng mulai menjadi cita-cita bersama. Sulhan percaya masyarakat literasi Bantaeng kelak akan lahir tepat di jantung gerakan kultural para komunitas, menyublim di sela tradisi literasi yang tumbuh dari generasi ke generasi.

Kita tak tahu pasti kapan masyarakat literasi Bantaeng benar-benar terwujud secara paripurna. Mewujudkan utopia memang tak semudah membuat pesawat kertas. Butuh perjuangan keras. Perlu ditopang oleh kerja kolektif dan berkelanjutan, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi setidaknya, api perubahan di bantaeng telah menyala. Baranya dijaga dengan baik oleh Sulhan dan para aktivis literasi yang tumbuh pesat di sana.

Jika membaca Gemuruh Literasi, Anda akan menyaksikan bagaimana perjuangan Sulhan bergerak dari orang ke orang, desa ke desa, komunitas ke komunitas, agar api literasi tetap menyala di ButtaToa. Pelan demi pelan Sulhan, dengan dukungan aktivis literasi lainnya, membangun literasi desa, memperbaiki sumber daya manusia dengan mengaktifkan budaya literasi masyarakat Bantaeng. Karya buku pun telah lahir dari sumber daya manusia yang mulai memperbaiki diri. Hal yang dulunya saya anggap hanya indah dalam imajinasi kini mulai menyata.

Orang-orang akan menyebut gerakan literasi Sulhan selama bertahun-tahun demi sebuah utopia adalah suatu “kegilaan”. Namun bagi saya, justru Sulhan lah orang yang paling waras saat ini. Sebab apa yang ia kerjakan adalah untuk masa depan manusia dan peradaban. Hanya orang-orang waras yang masih setia memikirkan manusia dan kemanusiaan,  adab dan peradaban, di tengah deru zaman yang memaksa kita menjadi gila.

Kisah dan Puisi-puisi Lainnya

Pelangi

Pada dentum meriam
Dan desir peluru yang bertalu
Pada ribuan tubuh yang boyak
Seorang bocah Suriah
Sedang bermimpi
Menjadi pelangi

[2017]

Kisah

Mungkin hanya miliaran
atau triliunan debu
yang menyimpan kisah tentang
orang-orang lahir maupun mati
di balik tembok-tembok retak itu.

Atau hanya ranting-ranting kering
di pepohonan ringkih, lekas menua
yang bisa bertutur tentang
hikayat ternak membusuk
dan tenggorokan berdebu
di Gurun Dahar.

Aku sempat memandangi
di belakang mereka,
ada sebuah lorong gelap.
Fatamorgana,
menyata di kedua bola mata
yang sedang hujan.

Lorong gelap itu seperti melebar
dan menelan cahaya.
Di lorong gelap itu
satu per satu dari mereka lenyap,
bersama partikel-partikel cahaya.

Tak ada yang tahu pasti kapan takdir
merengkuh hidup seseorang.
Apa yang mungkin diketahui,
orang-orang hidup di tanah tandus itu,
selalu bermula dari harapan
yang melampaui batas langit.

[2017]

Subuh

Sayangnya, nyalak anjing setiap subuh
bukan untuk membangunkan kita
yang sedang bermimpi
tentang jutaan manusia
yang memakan dagingnya sendiri.

Tapi kita butuh frekuensi suara
yang dapat menembus
tapal batas mimpi dan kenyataan
untuk membebaskan kita dari aroma darah
yang baunya menyelimuti cakrawala.
Kita tak pernah segemetar ini sebelumnya.
Dan, entah apa beda antara mimpi
dan kenyataan.

Sebab kita sama-sama tahu
di dunia fisik yang kita huni sedang
berlangsung sekuel tragedi
jutaan umat manusia
yang menjadi serigala
dan neraka bagi sesamanya

Tapi tak ada rasa bergetar
Juga tak ada kesedihan.
Apakah karena dalam mimpi
kita selaku penonton
dan di dunia nyata
kita selaku pemeran?

Bahkan lantunan azan
tidak pernah membuat kita
ingat berapa kali kita sujud
kepada Penguasa Semesta
di subuh yang hening.

Yang kita tahu
serigala tidak bertuhan
dan di neraka tak ada lagi
alasan untuk bersujud.

[2018]

Harapan

Kita hanya makhluk yang malang
Yang larung dalam kelam
Kini mencari sisa-sisa cerlang
Yang masih dirampas malam

Kita hanya makhluk yang muram
Yang nyaris dibunuh kesedihan
Dan terkubur dalam temaram
Tapi, tetap tegar di sisa harapan

[2022]

Rupa-rupa Kebudayaan dalam Kehidupan Sosial Kafe

Saya sering merasa aneh sendiri tatkala sedang membaca buku di kafe, sementara pengunjung lain mengerjakan hal-hal yang jauh dari kesan “intelektual”. Saat saya lagi serius mengulik Homo Sacer-nya Georgio Agamben, orang-orang malah selfi-selfi, main game, main domino, dan sibuk dengan laptopnya masing-masing. Saya akhirnya merasa sebagai diri yang asing dalam suatu kawasan sosietal baru. Padahal fenomena masyarakat tersebut tidak baru-baru amat.

Sebenarnya (mungkin) tidak salah jika orang-orang sekadar kongkow sambil mengejakan hal-hal remeh teme di kafe. Saya pun sering melakukan hal demikian. Jika pun saya memilih kafe sebagai zona nyaman untuk membaca atau tempat diskusi wacana berat bersama kawan-kawan, itu juga tidak salah. Meski dikuasai oleh pebisnis dan korporasi, namun kafe ketika mulai beroperasi, dengan sendirinya akan menjadi ruang publik. Di kafe, semua orang bisa bisa bebas mengerjakan apa pun asalkan memesan, minimal kopi, dan membayarnya.

Tapi kadang saya berpikir. Jika generasi abad 21 berada di Inggris abad 17, saya yakin mereka akan jadi aneh sendiri saat sedang main PUBG di kafe, sementara orang-orang sedang asyik berdebat tentang politik, riset-riset ilmu alam, filsafat, dan sastra. Sebab di Inggris kala itu, kafe adalah ruang publik yang populer untuk menumbuhkan budaya intelektual. Orang Inggris menyebutnya coffeehouse atau kedai kopi.

Setidaknya dari tahun 1650 hingga 1754, kedai kopi menjadi tempat berkumpulnya sarjana hebat di bidang ilmu alam, sastrawan, seniman, para republikan yang senang memperdebatkan isu-isu politik, pebisnis, dan jurnalis. Bahkan, kafe di Kota Oxford sudah seperti, universitas alternatif. Menjadi pelengkap universitas dalam membentuk masyarakat terdidik. Ahli sejarah Inggris, Brian Cowan dalam The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse mengatakan, pada tahun 1650-an, kedai kopi di Oxford menjadi tempat bagi para virtuosi atau para sarjana yang cerdas dan berbakat untuk membaca, belajar, dan berdebat mengenai diskursus yang menjadi minat bersama.

Di kedai kopi, para virtuosi membentuk klub-klub ekstra-universitas, salah satunya yang cukup terkenal waktu itu adalah Klub Kimia. Melalui klub itu mereka berkumpul membicarakan wacana ilmiah sembari menyeruput kopi. Maka tak salah jika saya menyebut kedai kopi sebagai universitas alternatif di masa itu. Budaya intelektual di kedai kopi di Oxford akhirnya memulai babak baru kedai kopi sebagai pusat kebudayaan, khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Di Inggris, kedai kopi pelan demi pelan menjadi ruang eksperimental bagi para ahli ilmu alam. Markman Ellis, profesor di bidang studi abad 18 dalam The Coffee House: A Cultural History mengatakan, para filsuf alam senang menjadikan kedai kopi sebagai tempat menguji hasil penelitian, fakta baru, dan hipotesis mengenai realitas natural. Kehidupan sosial khas yang dibentuk para ilmuwan, kata Markman Ellis, menjadikan kedai kopi sebagai ruang kunci tersebarnya ilmu pengetahuan baru yang dapat diperbincangkan dan diperdebatkan oleh masyarakat luas. Ilmu pengetahuan tak lagi ekslusif menjadi santapan universitas saja, namun juga sudah menjadi santapan publik.

Royal Society, perkumpulan para ilmuwan ternama di Inggris bahkan ikut tertarik menjadikan kedai kopi sebagai tempat berkumpul untuk mendiskusikan wacana sains terbaru. Kedai kopi disulap menjadi laboratorium. Saat itu, ahli fisika dan kimia, Robert Hooke menjadi kurator Royal Society yang bertugas mengusulkan sejumlah eksperimen ilmiah untuk diuji dalam pertemuan mingguan anggota Royal Society di kedai kopi.

Demonstrasi gagasan di kedai kopi yang dilakukan oleh Hooke dan kawan-kawan akan menjadi tontonan publik. Hal tersebut menjadikan kedai kopi sebagai ruang sosial strategis dalam mengajak masyarakat meminati ilmu pengetahuan. Di kedai kopi, mereka menguji apa saja sejauh masih dalam lingkup ilmu alam. Misalnya, menguji batu bintang, berdebat mengenai teleskop, mempercakapkan teori gravitasi, atau prinsip-prinsip gaya tarik magnet. Bahkan, tak jarang kedai kopi menjadi pertunjukan eksperimental yang menawarkan gagasan baru tentang sains alam.

Hal tersebut pernah dilakukan Hooke dan rekannya di Royal Society, Jhon Houghton. Mereka melakukan anatomi pada lumba-lumba secara publik di Garraway’s, kedai kopi langganan para ilmuwan di Inggris. Sebab waktu itu, lumba-lumba dianggap hewan laut yang anomali. Karena memiliki bentuk seperti ikan, namun organ internalnya mirip mamalia. Pertunjukan eksperimental tersebut sukses menjadi tontonan yang menarik, karena memperlihatkan pada publik sebuah pengetahuan baru tentang makhluk laut.

Kedai kopi tak hanya menjadi tempat berkumpulnya para ahli ilmu alam, tapi juga menjadi ruang yang nyaman bagi para republikan dalam memperdebatkan peristiwa dan teori politik. Klub Rota, asuhan ahli filsafat politik James Harrington, tumbuh menjadi komunitas populer lewat tradisi debat yang membudaya di Kedai Kopi. Melalui tradisi debat Klub Rota di kedai kopi, ide-ide republik menular dengan cepat di Inggris yang dikuasai oleh sistem monarki.

Pun, kedai kopi menjadi wadah kelompok sastrawan dalam memperdebatkan karya sastra. Mereka saling mengkritik syair atau puisi terkadang diwarnai dengan aksi kekerasan. Merki demikian, dialektika gagasan antar sastrawan ikut menyumbangkan perkembangan sastra di Eropa. Markman Ellis menyebut, melalui kedai kopi, gagasan modern tentang kritik sastra muncul dan berkembang.

Apa pun jenis minat masyarakat Inggris abad 17, menjadi percakapan yang menarik di kedai kopi. Bukan hanya wacana berat yang menjadi minat, namun juga informasi ringan seperti berita jurnalistik dan gosip-gosip terkini. Para jurnalis dan tukang gosip sangat senang berkumpul di kedai kopi. Karena kedai kopi sudah seperti tempat peredaran informasi paling masif. Siapa pun yang ingin mendapatkan informasi atau gosip terkini, pasti akan mengunjungi kedai kopi.

Kedai kopi sudah seperti republik sendiri di mana semua kelas dan kelompok masyarakat yang berbeda berkumpul dan memosisikan diri setara satu sama lain. Entah dia pebisnis, bangsawan, militer, intelektual. Ketika sudah berada dalam satu meja dengan masyarakat sipil biasa, maka tak ada satu pun yang derajatnya lebih tinggi. Karena setiap orang dapat didebati dalam ruang bebas kedai kopi.

Pun, kedai kopi saat itu menjadi semacam universitas alternatif, karena ilmu pengetahuan begitu melimpah dan tumpah ruah di sana. Orang Inggris menyebutnya penny universities (universitas sen). Sebab cukup membayar kopi dengan uang sen, orang-orang sudah bisa menimba ilmu melalui pertengkaran pikiran di dalam kedai kopi.

Perbedaannya dengan pendidikan formal, kedai kopi memberi ruang yang lebih longgar bagi keberagaman gagasan. Markman Ellis mengatakan, di kedai kopi setiap ilmuwan dan sarjana, atau pembelajar memiliki akses ke semua jenis pengetahuan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Olehnya itu, kedai kopi berbeda dengan sekolah, universitas, atau gereja yang terlalu memberi batas sempit pada gagasan-gagasan aneh dan unik. Kedai kopi membuka dengan luas proses pembelajaran bagi pengunjungnya. “Di abad ke tujuh belas, memasuki kedai kopi seperti berselancar di internet,” kata Markman Ellis, sebagai gambaran begitu melimpahnya informasi dan pengetahuan di kedai kopi.

Sekarang, kedai kopi sudah tidak seperti dulu lagi. Bahkan, penyebutan “kedai kopi“ sudah terlalu kolot dibanding “kafe” yang lebih kekinian. Apalagi jika menu-menunya memakai bahasa asing. Serasa menjadi generasi kosmopolitan jika nongkrong di kafe. Perubahan sosial-budaya di kafe memang tidak bisa dihindari. Sebab, sebagai ruang, kafe tak hadir pada dirinya sendiri. Kafe, meminjam istilah Lefebvre, diproduksi secara sosial.

Produksi ruang ini selalu mengandaikan adanya praktik spasial. Dalam praktik spasial (praktik meruang), masyarakat selalu menghasilkan pelbagai jaringan interaksi, komunikasi, pertukaran kebudayaan, kekuasaan dan ideologi, yang semua itu ikut membentuk pemaknaan tentang ruang. Kebetulan di Inggris abad 17, kafe diisi oleh filsuf, ilmuwan, sastrawan, sehingga ikut mengubah budaya kafe menjadi tempat berlangsungnya kegiatan intelektual.

Sekarang, kita hidup dalam masyarakat konsumen yang keserhariannya diisi oleh pernak pernik budaya populer, dengan segala psike khas orang-orang modern: narsis, egois, dan hedon. Maka wajar saja jika kafe hanya sekadar tempat hiburan, hura-hura, menjadi tempat pameran fashion anak muda, tempat dimana orang-orang ingin jadi pusat tontonan, dan ruang hidup orang-orang yang anti-sosial.

Kafe yang saat ini semakin kapitalistik jelas akan memberikan ruang bagi tumbuhnya kebudayaan seperti itu. Karena pengusaha kafe ingin menyerap konsumen yang lebih besar. Meski demikian, tak ada salahnya juga bagi kalian para intelektual, penggerak literasi menjadikan kafe sebagai ruang diskusi, membaca, meski disekelilingmu orang-orang tak peduli dengan apa yang kalian lakukan. Kadang menjadi lain dan aneh sendiri jauh lebih keren daripada harus mengikuti arus dan menjadi seragam. Bukankah begitu? []

Adorno dan Musik

Theodor W. Adorno (1903-1969) adalah teoritikus yang paling teguh dalam menghantam budaya populer melebihi pemikir lain di bidang yang sama. Dialah orang yang paling nyinyir terhadap produk industri budaya tersebut. Bahasanya pedas dan kadang berlebihan, khususnya saat mengomentari musik populer. Bagi Adorno, budaya populer tak lebih dari hasil produksi kapitalisme yang manipulatif, menipu, dan membuat masyarakat terlena.

Melalui industri budaya, kapitalisme mengubah wajah seni menjadi sebatas komoditas yang menawarkan segala bentuk kesadaran palsu. Hal tersebut membuat masyarakat kehilangan daya kritisnya saat mengonsumsi budaya populer. Teoritikus Mazhab Frankfurt itu juga kerap menuding budaya populer memiliki estetika berkualitas rendah dan cenderung homogen. Sehingga tak memberi alternatif dunia yang baru.

Homogenitas budaya populer akhirnya membuat masyarakat tak memiliki pilihan lain dalam menikmati kebudayaan karena terbelenggu oleh standarisasi yang sudah baku dan beku. Adorno punya istilah menarik soal ini: administreted word. Bahwa budaya adalah dunia yang telah diadministrasikan oleh kapitalisme.

Pandangan tersebut ikut mempengaruhi Adorno dalam memandang musik populer. Bahkan, Adorno yang juga seorang komponis itu menyebut musik populer sebagai sampah dan fasis. Dianggap sampah karena telah menurunkan selera masyarakat dan membuat masyarakat abai terhadap musik serius. Dianggap fasis karena bersifat menyeragamkan, sebagaimana watak budaya populer lainnya.

Watak fasis dan dangkal musik populer semakin kentara, saat musik tersebut hanya bisa memberi kesenangan dan hiburan yang menjemukan. Sehingga membuat masyarakat terlena dan abai terhadap kondisi riil yang dialaminya. Musik jazz adalah jenis yang paling tidak disukai oleh Adorno. Baginya, musik jazz adalah produk terburuk dari industri musik populer karena terlalu dangkal, kaku, dan tidak otentik.

Alih-alih mengabarkan dunia yang terancam dan penderitaan individu, musik jazz melalui teknik sinkopasi yang mengandalkan ketukan lemah dan offbeat pada ritme itu, hanya menghasilkan individu semu: pseudo-individualisasi. Di sisi lain, musik jazz—atau musik populer lainnya— justru menghasilkan Individu yang terpasung dalam dunia komoditas akibat kecanduan piringan hitam. Hal tersebut semakin menegaskan watak fasis dan otoriter musik populer.

Seperti bisnis fashion, musik jazz selalu menjanjikan sesuatu yang baru, namun sebenarnya merusak kedalaman seni itu sendiri. Hal yang paling menyebalkan bagi Adorno dalam musik jazz—juga pada musik populer lainnya— dia dirancang sebagai komoditas yang menghibur dan terdengar menyenangkan. Bagi Adorno, musik yang menghibur adalah musik yang buruk. Semakin menyenangkan, kualitas musik tersebut semakin dangkal.

Mungkin Anda menganggap Adorno adalah orang yang aneh. Bukankah musik dirancang untuk bisa dinikmati? Olehnya itu dia harus menyenangkan dan menghibur? Bagi kita yang terbiasa larut dalam ekstasi musik populer, pasti akan berpandangan seperti itu. Namun tidak bagi Adorno.

Baginya, musik yang menyenangkan dan menghibur hanya akan direifikasi (dibendakan) oleh industri budaya menjadi komoditas. Karena hanya musik yang menyenangkan dan menghibur yang bisa laris dijual secara massal. Musik seperti ini, hanya melayani pasar, menjadi budak kapitalisme.

Adorno mencita-citakan lahirnya “musik baru”, musik yang serius, sebagai antitesis dari musik populer yang hanya melanggengkan status quo. Musik tersebut dapat dilihat kebangkitannya pada karya-karya Arnold Schoenberg. Dia adalah komponis dan musikolog Amerika penemu twelve-tone technique (teknik 12 nada) yang dianggap komposisi baru di bidang musik.

Teknik 12 nada Schoenberg menghidupkan versi musik atonal yang menyimpang dari musik konvensional (musik tonal). Karena mengabaikan harmonisasi dan membebaskan diri dari keterikatan kunci nada. Jika musik tonal membuat improvisasi nada yang cenderung nyaman didengar. Teknik 12 nada yang mengusung versi musik atonal justru menciptakan musik yang tidak nyaman didengar.

Itulah mengapa Adorno sangat mengagung-agungkan Schoenberg. Sebab Musik Schoenberg tidak memberikan kenyamanan pada pendengarnya. Musik seperti itu, bagi Adorno adalah musik yang revolusioner. Sebab musik seperti itu menolak dikomersialisasi oleh industri budaya, karena sifatnya yang tidak bisa dinikmati oleh massa.

Alih-alih memberikan kenyamanan, musik Schoenberg justru menghubungkan pendengar dengan pengalaman akan derita dan tragedi. Penderitaan dan tragedi yang dirasakan pendengar akibat diteror oleh musik yang tidak nikmat itu bagi Adorno adalah sebuah kesadaran sesungguhnya tentang realitas. Cobalah mendengar karya Schoenberg berjudul Pierrot Lunaire. Betapa tidak nikmatnya lagu tersebut.

Namun, bagi Adorno, musik Schoenberg yang gelap dan gersang itu seolah-olah menyadarkan manusia terhadap realitas sesungguhnya, yang telah lama tidak dialaminya akibat dibutakan oleh psikologi palsu hasil fabrikasi industri budaya. Ketidaktaatannya pada standarisasi industri budaya, membuat Adorno berkesimpulan, musik Schoenberg sebagai cerminan dari musik yang emansipatoris []

VoB: Melawan dan Berpihak Lewat Suara Berisik Musik Metal

God, Allow me (Please) to Play Music. Demikian judul lagu utama Voice of Baceprot (VoB), band metal asal Garut yang beranggotakan tiga perempuan berhijab: Firdda Marsya Kurnia (vokal dan gitar), Widi Rahmawati (bass), dan Euis Siti Aisyah (drum).

Dalam lagu tersebut, “god, allow me please to play music” diucapkan sebanyak delapan kali oleh Marsya. Seperti menyiratkan sebuah tekad dan permohonan tulus kepada Tuhan, meski disampaikan dengan cara yang aneh: Berdoa meminta restu bermain musik sambil diiringi keberisikan total progressive metal.

Tiga gadis umur 20-an tahun itu memang punya cerita yang cukup miris mengenai penerimaan masyarakat terhadap hobi mereka. Hidup di lingkungan masyarakat yang konservatif, membuat mereka mendapatkan banyak stigma buruk saat menekuni dunia musik cadas.

Akidah mereka sebagai anak madrasah mulai dipertanyakan, dianggap tidak bermoral, musikalitasnya dicibir, hingga pernah diperlakukan kasar secara fisik. Lingkungan keluarga yang tidak merestui pilihan hidup mereka sekaligus memperkeras dinding penghalang untuk berkarir di industri musik.

Mereka cerita atau tidak, kita pasti akan mafhum, jika perempuan berhijab yang bermain musik cadas adalah anomali bagi sebagian masyarakat muslim di Indonesia. Hijab, perempuan, dan musik metal hingga saat ini masih dianggap sebagai dua hal yang bertentangan.

Musik metal yang maskulin dianggap tidak cocok ditekuni oleh perempuan yang feminim. Sementara hijab sebagai identitas muslimah mustahil dipadukan dengan musik metal yang haram. Namun, secadas-cadasnya musik metal yang mereka ciptakan, prinsip dan pendirian mereka jauh lebih keras lagi.

Hati yang keras itu bukan sekadar ego anak-anak yang tak mau diatur. Namun sepertinya buah dari gagasan dan pikiran yang cukup matang. Berdasarkan foto-foto di Instagram Marsya, sang vokalis ternyata pembaca yang tekun dan meminati karya tokoh feminis Nawal El Sadaawi. Tak heran jika lirik-lirik lagu VoB tak hanya mengandung perasaan dan pengalaman personal, namun juga gagasan.

Saya tak tahu apakah Widi dan Siti punya tradisi yang sama dengan Marsya. Namun, kesatuan visi dan kesepahaman dalam pemikiran dari ketiganya, mungkin saja terjalin karena adanya tradisi intelektual yang berkembang di lingkungan pergaulan mereka. Meskipun hingga saat ini, saya masih bingung dari mana tradisi intelektual itu dan dengan siapa mereka bergaul.

Terlepas dari itu, pada akhirnya VoB tetap lanjut meski harus melewati banyak rintangan. Pelan demi pelan VoB menanjaki karir di industri musik. Hingga “God, Allow me (Please) to Play Music” lahir. Berharap Tuhan mengizinkan menekuni dunia musik, sekaligus menjadi suara berisik untuk melawan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan. Gagasan kritis mereka terus berlanjut di lagu-lagu lainnya seperti “ School Revolution”, “(Not) Public Property”, dan “The Other Side of Metalism”.

Entah mereka sadar atau tidak. Namun cara berdoa mereka yang aneh dalam “God, Allow me (Please) to Play Music” ternyata belum ada apa-apanya dibanding cara Tuhan yang tak terduga dan di luar nalar dalam mengabulkan keinginan umatnya. Usaha mereka diijabah. Lingkungan keluarga masing-masing personil VoB mulai menerima pilihan hidup mereka. Masyarakat pun mulai simpati, empati, dan antusias menerima kehadiran mereka di dunia musik cadas. VoB bahkan sudah punya fanbase garis keras: Balaceprot.

Sebab, Ketiga anak muda itu bisa membuktikan jika mereka bisa sukses meniti karir di industri musik. Lagu-lagu mereka cukup laris di platform digital. Kesempatan manggung di beberapa konser dan tur Eropa semakin menggaungkan nama VoB baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kini, bocah metal itu bisa menghasilkan uang dan membanggakan orang tuanya.

Pun, keterampilan bermusik yang tidak ecek-ecek membuat masyarakat terpesona dan akhirnya mulai menerima keberadaan VoB. Tapi kita tahu, setiap orang tak bisa menyenangkan semua pihak. Di tengah popularitas yang meroket, tetap saja ada kalangan yang masih belum siap menerima perempuan berhijab bermain musik metal.

Justru karena itu, VoB lahir menciptakan karya bukan sekadar sebagai seni. Namun juga sebagai jalan politik. Melalui musik metal, VoB melawan stigma dan diskriminasi. Pun, melalui musik metal, VoB menyuarakan keberpihakannya terhadap perempuan dan orang-orang yang tersingkirkan karena dianggap berbeda.

Suara berisik VoB yang berbunyi dari panggung ke panggung bukan sekadar membuat penonton jingkrak-jingkrak. Namun juga sebagai tinju untuk menghancurkan belenggu patriarkisme yang mengekang perempuan, dan sebagai aksi pembelaan terhadap orang-orang yang terpinggirkan. Pada akhirnya, VoB memandang musik sebagai alat pembebasan.