Bagi pelajar dan mahasiswa, membaca adalah syariat akademik ‒harus ditunaikan. Pun dalam Islam perintah membaca menyasar semua kalangan (laki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya, pelajar-non pelajar). Entah itu membaca dalam arti tekstual (membaca buku, koran, majalah, dll) atau kontekstual (membaca alam, lingkungan, kondisi, atau pola chat si gebetan, apakah ia punya rasa atawa cuma gabut saja), sebagaimana wahyu pertama yang diterima Kanjeng Nabi, iqra’ ‒ilaa aakhiri al-aayah.
Walakin di era kiwari, kebanyakan orang, termasuk sanak saudara, karib kerabat, teman sejawat, dan diriku pribadi, memiliki satu problem kala membaca buku, yaitu timbulnya rasa kantuk yang mahadahsyat. Ini begitu mengganggu, sehingga tidak bisa bermesraan dengan buku dalam waktu yang lama. Sepuluh menit saja menatap buku, kelopak mata sudah lunglai, seakan samping kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, berbisik; tiidurlah.. tiidurlaaah. Akhirnya ambyar.
Seakan, buku laiknya tranquilizer, ‒untuk tidak mengatakannya sebagai obat tidur‒ yang jika dikonsumsi menyebabkan lebih cepat masuk ke alam mimpi. Hatta, seorang kawan berkelakar; jika di malam hari ia susah terlelap, maka membaca buku adalah cara tepat, agar bisa tidur dengan cepat dan memimpikan yang lezat-lezat.
Namun aneh bin ajaibnya, di era kekinian, ketika bersosial media, kita mampu menatap layar gawai hingga berjam-jam lamanya, meski sudah masuk waktu tidur. Mata tetap kuat menyorot apa yang terpampang pada screen telepon pintar. Scroll dari atas hingga bagian terbawah (reels ig memang lebih menarik dibanding tidur lebih awal kemudian memimpikanmu) tak terasa hingga menjelang fajar sidik, bahkan tembus pagi. Sebelum bobo ganteng kita mampu menunggu pesan dari si dia hingga beribu-ribu detik, yang isinya cuma; oh, terserah, gpp, dibandingkan menyelami tarian kalam para katib dalam kitab-kitabnya. Lha kok tahu banget? Ya iyalah, kan itu kisah saya sendiri. Namun, tetap bersyukur ya ges ya, dari pada cuma dibaca.
Ini begitu berbanding terbalik dengan para ulama tempo dulu. Yang justru untuk menghilangkan rasa kantuk adalah dengan merapal buku. Adalah Ibnu Jahm, sebagaimana yang ditabalkan oleh Ali bin Muhammad Al-‘Imran dalam buku gubahannya, Gila Baca Ala Ulama (2018). Ibnu Jahm ketika dilanda rasa kantuk yang luar biasa sebelum jam tidurnya tiba, maka ia menuju kitab yang ada di lemari, kemudian mendarasnya, hingga kantuk itu berlalu dan digantikan dengan rasa girang karena kebaikan ilmu yang ia dapat. Atau Hasan al-Lu’luai, yang selama 40 alaf di setiap ia terlelap selalu ada buku ikut berbaring di atas dadanya. Juga dengan Abdul Ghani al-Maqdisi yang matanya menjadi minus (rabun) karena seringnya membaca. Dan yang paling dahsyat adalah Al-Khatib, yang istrinya menggerutu karena sang suami lebih sering bersama buku, dibanding dengan istri. Haduuh, cemburu kok sama buku.
Buku menjadi mahmul ‒barang yang selalu dibawa‒ oleh para ulama dulu kala. Perlu diunderline, yang didaras bukan buku beruba cerita Si Kancil yang Cerdik atau Putri Tidur ya, melainkan kitab-kitab yang ‒secara isi‒pembahasannya berat.
Mungkin inilah satu dalih dari beberapa alasan mengapa kopi menjadi teman wajib saat mengeja buku. Supaya mata tetap kuat menatap, agar ilmu bisa menetap. Lalu bagaimana dengan yang tidak biasa minum kopi? Atau saya, meski tenggorokan sudah dicekoki oleh beberapa gelas kopi, rasa kantuk tetap merajai. Saya pun merasa heran nan bertanya-tanya, kantuk jenis apa yang merasuki diriku ini?
Sampai akhirnya, saya mengikuti satu majelis ilmu, yang menjadi pemantiknya adalah seorang ustaz sekaligus senior di tempat kami belajar, dengan tajuk Mahasiswa Penghafal Al-Quran. Salah seorang penghadir mengajukan pertanyaan “saya ketika hendak mendaras dan menghafal pasti mengantuk, bagaimana cara agar mengusir rasa kantuk itu?” Sang ustaz pun berdawuh “Salah satu cara untuk menghilangkan kantuk kala menghafal adalah dengan pengalihan aktivitas, entah itu dengan berjalan beberapa langkah, menyapu, cuci piring, dll, insya Allah kantuk akan hilang dan bisa lebih fokus, setelah itu dilanjutkan kembali dengan menghafal.”
Sebagai mahasiswa dan pendengar yang baik hati dan tentunya tidak sombong, saya pun coba mengamalkan saran sang ustaz dalam aktivitas mengaji buku, semoga saja berjaya. Ya, waima bukan pada akivitas menghafal Al-Quran sebagaimana yang ditanyakan oleh penghadir itu. Namun Al-Quran dan buku punya satu sisi yang sama, keduanya adalah tulisan sekaligus menjadi bacaan walau dari sumber yang berbeda. Begitu, pikirku.
Setelah mengamalkan dawuh ustaz, hasilnya cukup efektif. Kantuk yang melanda disebabkan kombinasi lelahnya otot mata dan otak dalam mengeja sekaligus memproses informasi bacaan, sehingga memang perlu ada pengalihan aktivitas. Hingga ketika rasa kantuk mulai menyerang saat sedang asik-asiknya membaca, maka bermain latto-latto, ngobrol santai beberapa menit dengan teman karib, adalah pengalihan aktivitas yang saya pilih. Atau mendengar tembang lagu Thailand yang masyhur itu “mi nang daeng la ja ging nam suang, mi nang suang la ja ging nam daeng” haha. Itu membuat saya tawa terpingkal-pingkal, kantuk pun lenyap, akhirnya bisa lanjut membaca sampai waktu yang cukup lama.
Kisanak dan nyisanak bisa mencoba saran dari ustaz itu, manjur kok. Pengalihan aktivitasnya bebas, sesuai kemauan sendiri saja, kecuali bersosmed, takutnya nanti keterusan dan kebablasan. Sebab, sosial media adalah hal yang paling bisa bikin nyaman, selain kamu. Walakin ‒untuk pengalihan aktivitas‒ jangan juga yang ekstrem, seperti guling-guling di tangga, atau loncat bebas dari lantai tiga ke lantai satu, nanti terjadi hal-hal yang tidak dinginkan:)
Pun dari beberapa pengalaman, rasa kantuk ketika mendaras buku biasanya terjadi di awal-awal, jika kita sudah rutin dan terbiasa membaca, maka kita akan kebal dan rasa kantuk sialan itu perlahan menghilang. Akhirul kalam, saya tutup tulisan yang ala kadar ini dengan satu petitih dari bahasa Arab;
خير جليس في الزمان كتاب
“Sebaik-baik teman gosip adalah buku”
Mahasiswa Unhas. Bergiat di Kelas Menulis Paradigma Institute.