Semua tulisan dari Muhammad Maulana

Mahasiswa Unhas. Bergiat di Kelas Menulis Paradigma Institute.

Agar Tidak Mengantuk saat Membaca

Bagi pelajar dan mahasiswa, membaca adalah syariat akademik ‒harus ditunaikan. Pun dalam Islam perintah membaca menyasar semua kalangan (laki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya, pelajar-non pelajar). Entah itu membaca dalam arti tekstual (membaca buku, koran, majalah, dll) atau kontekstual (membaca alam, lingkungan, kondisi, atau pola chat si gebetan, apakah ia punya rasa atawa cuma gabut saja), sebagaimana wahyu pertama yang diterima Kanjeng Nabi, iqra’ ‒ilaa aakhiri al-aayah.

Walakin di era kiwari, kebanyakan orang, termasuk sanak saudara, karib kerabat, teman sejawat, dan diriku pribadi, memiliki satu problem kala membaca buku, yaitu timbulnya rasa kantuk yang mahadahsyat. Ini begitu mengganggu, sehingga tidak bisa bermesraan dengan buku dalam waktu yang lama. Sepuluh menit saja menatap buku, kelopak mata sudah lunglai, seakan samping kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, berbisik; tiidurlah.. tiidurlaaah. Akhirnya ambyar.

Seakan, buku laiknya tranquilizer, ‒untuk tidak mengatakannya sebagai obat tidur‒ yang jika dikonsumsi menyebabkan lebih cepat masuk ke alam mimpi. Hatta, seorang kawan berkelakar; jika di malam hari ia susah terlelap, maka membaca buku adalah cara tepat, agar bisa tidur dengan cepat dan memimpikan yang lezat-lezat.

Namun aneh bin ajaibnya, di era kekinian, ketika bersosial media, kita mampu menatap layar gawai hingga berjam-jam lamanya, meski sudah masuk waktu tidur. Mata tetap kuat menyorot apa yang terpampang pada screen telepon pintar. Scroll dari atas hingga bagian terbawah (reels ig memang lebih menarik dibanding tidur lebih awal kemudian memimpikanmu) tak terasa hingga menjelang fajar sidik, bahkan tembus pagi. Sebelum bobo ganteng kita mampu menunggu pesan dari si dia hingga beribu-ribu detik, yang isinya cuma; ohterserahgpp, dibandingkan menyelami  tarian kalam para katib dalam kitab-kitabnya. Lha kok tahu banget? Ya iyalah, kan itu kisah saya sendiri. Namun, tetap bersyukur ya ges ya, dari pada cuma dibaca.

Ini begitu berbanding terbalik dengan para ulama tempo dulu. Yang justru untuk menghilangkan rasa kantuk adalah dengan merapal buku. Adalah Ibnu Jahm, sebagaimana yang ditabalkan oleh Ali bin Muhammad Al-‘Imran dalam buku gubahannya, Gila Baca Ala Ulama (2018). Ibnu Jahm ketika dilanda rasa kantuk yang luar biasa sebelum jam tidurnya tiba, maka ia menuju kitab yang ada di lemari, kemudian mendarasnya, hingga kantuk itu berlalu dan digantikan dengan rasa girang karena kebaikan ilmu yang ia dapat. Atau Hasan al-Lu’luai, yang selama 40 alaf di setiap ia terlelap selalu ada buku ikut berbaring di atas dadanya. Juga dengan Abdul Ghani al-Maqdisi yang matanya menjadi minus (rabun) karena seringnya membaca. Dan yang paling dahsyat adalah Al-Khatib, yang istrinya menggerutu karena sang suami lebih sering bersama buku, dibanding dengan istri. Haduuh, cemburu kok sama buku.

Buku menjadi mahmul ‒barang yang selalu dibawa‒ oleh para ulama dulu kala. Perlu diunderline, yang didaras bukan buku beruba cerita Si Kancil yang Cerdik atau Putri Tidur ya, melainkan kitab-kitab yang ‒secara isi‒pembahasannya berat.

Mungkin inilah satu dalih dari beberapa alasan mengapa kopi menjadi teman wajib saat mengeja buku. Supaya mata tetap kuat menatap, agar ilmu bisa menetap. Lalu bagaimana dengan yang tidak biasa minum kopi? Atau saya, meski tenggorokan sudah dicekoki oleh beberapa gelas kopi, rasa kantuk tetap merajai. Saya pun merasa heran nan bertanya-tanya, kantuk jenis apa yang merasuki diriku ini?

Sampai akhirnya, saya mengikuti satu majelis ilmu, yang menjadi pemantiknya adalah seorang ustaz sekaligus senior di tempat kami belajar, dengan tajuk Mahasiswa Penghafal Al-Quran. Salah seorang penghadir mengajukan pertanyaan “saya ketika hendak mendaras dan menghafal pasti mengantuk, bagaimana cara agar mengusir rasa kantuk itu?” Sang ustaz pun berdawuh “Salah satu cara untuk menghilangkan kantuk kala menghafal adalah dengan pengalihan aktivitas, entah itu dengan berjalan beberapa langkah, menyapu, cuci piring, dll, insya Allah kantuk akan hilang dan bisa lebih fokus, setelah itu dilanjutkan kembali dengan menghafal.”

Sebagai mahasiswa dan pendengar yang baik hati dan tentunya tidak sombong, saya pun coba mengamalkan saran sang ustaz dalam aktivitas mengaji buku, semoga saja berjaya. Ya, waima bukan pada akivitas menghafal Al-Quran sebagaimana yang ditanyakan oleh penghadir itu. Namun Al-Quran dan buku punya satu sisi yang sama, keduanya adalah tulisan sekaligus menjadi bacaan walau dari sumber yang berbeda. Begitu, pikirku.

Setelah mengamalkan dawuh ustaz, hasilnya cukup efektif. Kantuk yang melanda disebabkan kombinasi lelahnya otot mata dan otak dalam mengeja sekaligus memproses informasi bacaan, sehingga memang perlu ada pengalihan aktivitas. Hingga ketika rasa kantuk mulai menyerang saat sedang asik-asiknya membaca, maka bermain latto-latto, ngobrol santai beberapa menit dengan teman karib, adalah pengalihan aktivitas yang saya pilih. Atau mendengar tembang lagu Thailand yang masyhur itu “mi nang daeng la ja ging nam suang, mi nang suang la ja ging nam daeng” haha. Itu membuat saya tawa terpingkal-pingkal, kantuk pun lenyap, akhirnya bisa lanjut membaca sampai waktu yang cukup lama.

Kisanak dan nyisanak bisa mencoba saran dari ustaz itu, manjur kok. Pengalihan aktivitasnya bebas, sesuai kemauan sendiri saja,  kecuali bersosmed, takutnya nanti keterusan dan kebablasan. Sebab, sosial media adalah hal yang paling bisa bikin nyaman, selain kamu. Walakin ‒untuk pengalihan aktivitas‒ jangan juga yang ekstrem, seperti guling-guling di tangga, atau loncat bebas dari lantai tiga ke lantai satu, nanti terjadi hal-hal yang tidak dinginkan:)

Pun dari beberapa pengalaman, rasa kantuk ketika mendaras buku biasanya terjadi di awal-awal, jika kita sudah rutin dan terbiasa membaca, maka kita akan kebal dan rasa kantuk sialan itu perlahan menghilang. Akhirul kalam, saya tutup tulisan yang ala kadar ini dengan satu petitih dari bahasa Arab;

خير جليس في الزمان كتاب

“Sebaik-baik teman gosip adalah buku”

Tabassamū Tashihhū: Tersenyumlah, Kamu Akan Sehat

Ketika gelap berganti surya yang mulai merekah, di pusat kota seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan kota-kota metropolitan lainnya, sudah dipenuhi dengan pusparagam kesibukan. Belum lagi ketika sang Syamsu kian menanjak di kebiruan langit, polusi udara dan teriknya yang membakar menambah pundi-pundi keletihan di pundak manusia yang melata seantero kota. Acapkali kehidupan di kota memang demikian. Memaksa orang untuk susah tersenyum. Karena diburu waktu, dikejar target, dihantui tugas dari bos, laporan tugas kuliah, dan kesibukan lainnya yang terus membayang. Apalagi mahasiswa yang sudah semester tiga belas, tapi belum juga sempro, namun selalu disemprot. Jangankan ber-hahahihi di warung kopi dengan kawan sejawat, menyungging senyum pun sudah berat.

Perihal senyum, seorang teman di jagat maya rutin memposting gambar dirinya dengan wajah ayu, bersih, dan senyum ringan nan menawan bak Monalisa. Tak lupa bumbu frasa “disenyumin aja” menghiasi dinding facebook-nya, layak mendapat like yang banyak. “Good morning, don’t forget for smile today” tulis kawan masa kecil saya di status WhatsApp-nya. Saya pun ikut tersenyum, karena membaca kalimat dia yang sok Inggris itu. Ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah, saya pernah diajar oleh seorang guru yang umurnya sudah berkepala lima, namun tetap terlihat muda, bak mahasiswi semester tiga. Beliau sering diserbu oleh murid-muridnya ‒saya tidak termasuk‒ dengan pertanyaan, “Bu guru rahasianya apa sih bisa awet muda gini?” Sang Guru menjawab, “rajin-rajinlah tersenyum nak.” Saya kira rajin pakai skincare Bu.

Ada banyak sebab orang tersenyum. Mungkin karena diterima lamarannya, maksud saya lamaran pekerjaan, disetujui judul skripsinya, dikasih surprise, diterima cintanya oleh sang pujaan hati, orang lain tersenyum kepadanya hingga ia membalas dengan senyuman pula, atau hal bahagia lainnya. Namun kebanyakan orang tersenyum karena mendapat rayuan dari lawan jenisnya, ini sering dialami oleh muda-mudi tempo doeloe hingga masa kini. To be honest, dulu saya pernah digombal oleh seorang perempuan ketika saling berkirim pesan menggunakan gawai jadul, hingga senyum-senyum sendiri bak orang gila. “Tolong nyalain bluetooth dong!” pinta Si Nona. Saya yang polos, spontan membalas, “Buat apa?” Lewat jemari indahnya, Puan itu menjawab, “Soalnya aku mau transfer hati aku ke kamu.” Subhanallah. Geli bingits, namun berhasil membuatku susah tidur di malam itu. Kulangitkan doa, asaku semoga Tuhan menjaga dan melimpahkan kesehatan padamu Nona, aamiin

Senyum adalah aktivitas yang menyenangkan dan membuat orang lain senang. Menyenangkan karena senyuman hadir sebab mewujudnya kebahagian di dalam diri. Untuk melakukannya pun, Anda tak perlu menggelontorkan biaya dan menyiapkan perkakas, cukup menggerakkan otot wajah, senyum yang menawan akan menghias di paras Anda. Dan jika orang melempar senyum kepada Anda, dengan senyuman yang aduhai manisnya, takkah berdesir ketenangan, kesenangan, dan kebahagiaan dalam dirimu? Apalagi yang melontar senyum itu adalah orang yang Anda suka. Rasa-rasanya Anda langsung menjadi manusia yang nirbeban, hanya karena seuntai senyum. Uulalla.

Secara sosial, dengan tersenyum kita bisa lebih dekat dengan orang lain. Dengan saling melempar senyum tumbuh jalinan sosial yang kuat. Jika jalinan sosial kita kuat, maka rasa persaudaraan pun kuat. Bukankah persaudaraan yang kuat akan bermuara pada kejayaan dan kebahagiaan? Sure. Senyum mampu meruntuhkan sekat-sekat individualistik di antara kita. Tidak hanya pada rana sosial, pada rana agama, Islam, misalnya turut mengapresiasi orang yang tersenyum kepada orang lain. Kanjeng Nabi berdawuh Tabassumuka fi wajhi akhika laka shadaqah” maknanya, “senyummu kepada saudaramu adalah sedekah bagimu.” Dan percayalah, ketika kita bersedekah, Allah akan memberi hal baik pada kita dengan yang lebih banyak dan luar biasa. 

Tak dimugkiri, kesibukan di era kiwari memaksa manusia untuk sulit tersenyum. Teman-teman yang bekerja dalam bidang pelayanan, misalnya. Lelah bin letihnya bukan main, namun bibir harus tetap tersenyum menawan. Mereka pun tambah lelah karena harus pura-pura tersenyum. 

Adalah Adjie Silarus seorang penulis sekaligus motivator kece dalam buku ciamiknya Sejenak Hening (2013) memberi resep kepada tuan dan puan sekalian bagaimana bisa menghadirkan senyuman yang indah tanpa beban, walau penat. Lewat tarian aksara dalam bukunya itu, Adjie membeberkan, cara agar selalu bisa tersenyum di kala lelah dengan push up bibir setiap pagi. Walakin, supaya sedikit “seksi”, saya lebih suka menyebutnya senam bibir. Letakkan telunjuk dan jempol pada wajah, gerakkan (push up) bibir ke atas beberapa kali dengan bantuan telunjuk sekitar 10-15 kali. Enaknya dilakukan sambil bercermin. Sila dicoba dan semoga berjaya. 

Dengan tersenyum membantu kita menjalani setiap hari dalam hidup dengan lemah lembut dan penuh pemahaman. Senyum membuat kita lebih sadar dan bersemangat untuk hidup bahagia dan  damai. Senyum mengembalikan rasa damai yang kita pikir sudah mustahil untuk tidak kita miliki. Senyum mampu membuat orang sedih menjadi bahagia. Senyum mampu membuat orang pengecut jadi pemberani. Senyum mampu membuat orang sakit menjadi sehat.

Senyum adalah aktivitas sederhana yang sangat menyehatkan. Sebagaimana yang diwedarkan Prof. Veni Hadju seorang Dosen Ilmu Gizi Universitas Hasanuddin, bahwa saat tersenyum kita memberi sinyal kepada sel-sel dalam tubuh bahwa kita sedang happy. Belum lagi saat tersenyum otot-otot wajah kita akan berkontraksi, sehingga mereka yang suka tersenyum pasti awet muda dan lebih sehat. Sudah zahir, muda-mudi yang berparas jompo sebelum waktunya adalah mereka yang bakhil mengukir senyum dan lebih banyak marah-marah dibanding ramah-ramahnya

Tak sampai di situ, Veni Hadju mendedahkan satu kisah dalam buku anggitannya Pesan Dakwah Seorang Profesor (2017). Prof. Veni mengutarakan seorang dokter di wilayah Jakarta Selatan bernama Agus Rahmadi. Sang Dokter menggunakan terapi senyum untuk pasien hipertensi, setelah tidak merespon dengan berbagai jenis pengobatan. Mungkin Sang Dokter membatin, banyak jalan menuju Roma Bestie. Akhirnya terapi senyum menjadi jalan alternatif. Saban hari pasien diminta untuk tersenyum minimal dua puluh kali dengan durasi dua puluh detik untuk setiap senyuman. Hasilnya luar biasa, tekanan darah turun. Penurunan tekanan darah ini dihubungkan dengan  menurunnya hormon transmiter yang terkait dengan stres. Untuk karib kerabat yang dilanda stres dan galau karena belum juga di-Acc judul skripsinya, atau sering di-ghosting oleh dosen, do’i, atau entah siapa pun itu. sila dicoba terapi senyum di atas, moga-moga stres dan kegalauan Anda bisa berkurang.

Sudah sahih, stres sering menjadi biang munculnya berbagai macam penyakit. Stres bisa dilawan dengan membuat diri bahagia. Salah satu pancaran kebahagiaan adalah dengan memancarnya senyum di wajah kita. Wajah adalah jendela hati. Maka menampakkan wajah yang penuh senyum menjamin kalbu kita dalam keadaan baik-baik saja. Jika kalbu kita sehat, yang lainnya pun ikut sehat, arkian tutur Nabi dalam sabdanya. Dengan tersenyum, kita tidak hanya diberi ganjaran kebaikan sedekah, namun persaudaraan yang kuat, dan tubuh yang sehat.Jika Anda senyum-senyum membaca tulisan ini, saya doakan hutang Anda lekas lunas. Akhirul kalam, tersenyumlah, berbahagialah!

Berdakwah Menyerupai Sastrawan

Jika Anda mengetik how many muslims in the world di bilah mesin pencari,  maka dalam sepersekian detik akan terpampang pada layar telepon cerdas Anda, ratusan bahkan ribuan informasi tentang populasi umat Islam di bumi. Dilansir dari World Population Review, dari 7 miliar lebih jumlah umat manusia di persada bumi, 1,91 miliar jiwa di antaranya tercatat sebagai muslim. Angka ini sekaligus menjadikan Islam sebagai agama pemeluk terbanyak kedua setelah agama Kristen. Sudah sebanyak itu ternyata jumlah umat Islam di pentas bumi. Menengok kembali ke belakang, Islam lahir dalam keadaan asing di tengah ingar-bingarnya tradisi jahiliah masyarakat Arab. Menyembah berhala, suka berperang, mengoleksi selir, dan yang paling bejat adalah mengubur bayi wanita hidup-hidup. Hingga hadirnya Islam sebagai jalan revolusi yang dikomando langsung oleh Nabi Muhammad saw kala itu. Tidak bisa tidak, tradisi jahiliah itu pun berangsur dijauhi dan akhirnya lenyap bersamaan dengan runtuhnya berhala-berhala.

Berawal dari kanjeng Nabi seorang diri didampingi bunda Khadijah yang terkasih. Tak ketinggalan pula seorang anak kecil bernama Ali, yang kelak didapuk sebagai menantu oleh Nabi dan diangkat menjadi pemimpin umat Islam yang tertinggi (khalifah).  Kemudian disusul Abu Bakar, seorang business man yang tajir melintir. Disusul juga oleh beberapa sahabat terpuji yang namanya harum seantero bumi. Akhirnya genaplah menjadi sepuluh orang pemberani. Jumlah yang sedikit, kurang satu untuk menyamai keseblasan tim bola kaki. Namun dari sepuluh orang inilah hadir 1,91 miliar yang ada kini. Mungkin muncul sejumput tanya dari dalam hati. Mengapa bisa umat Nabi yang awalnya hanya hitungan jari, kini jumlahnya menyelimuti bumi? Jawabannya karena dakwah santun nan terpuji.

Dakwah Nabi dimulai dengan menyambangi rumah-rumah sanak saudara, kemudian ke masyarakat luas. Karena sang Nabi membawa ajaran yang kontra dengan kepercayaan masyarakat Arab kala itu. Tidak bisa tidak, Islam ditolak, ditentang bahkan dimusuhi. Tak jarang Nabi dihina, dilempari kotoran juga batu, ingin dihabisi, dituduh gila, tukang sihir dan kalimat-kalimat pejoratif  lainnya. Namun Kanjeng Nabi tetap berlaku sopan bin santun kepada mereka. 

Dakwah menjadi jalan ampuh dalam mengepakkan sayap-sayap Islam. Islam bisa menyebar ke seantero jagat karena projek dakwah. Jika bukan karena dakwah,  maka Islam hanya dikenal di Mekah dan Madinah saja. Jika bukan karena dakwah, maka Islam hanya dikenal sebagai agama orang Arab saja.  Jika bukan karena dakwah, maka tak ada santri dan kiai di bumi Nusantara. Jika nir santri dan kiai, kemungkinan besar kita masih bersembahkan tuhan-tuhan buatan yang bersemayam di pohon rindang dan batu besar. 

Di era kekinian dan kedisinian, dakwah tidak harus capek-capek untuk mengetuk pintu rumah mad’u, yang berpotensi kita akan ditimpali cacian secara langsung atau bahkan diusir karena dianggap mengganggu. Dakwah di era kiwari bisa dilakoni sambil selonjoran, duduk santai, bahkan sedang berkendara, dengan modal gawai dan kuota internet yang cukup. Bisa dengan live streaming atau memposting wejangan islami yang menyejukkan hati di jagat maya. Gus Ulil, contohnya yang rutin dengan Ihya Ulumuddin dan Faishal al Thariqah. Jika penasaran bisa kepoin facebook beliau. Pun jika sang dai ingin berdepan-depan dengan jamaah, cukup menghelat pengajian di kediaman atau masjid dekat rumahnya, maka orang akan riuh bertandang ke sana. Ingat, jangan lupa direkam dan diunggah ke www.youtube.com. Sungguh paripurnalah sudah, lantunan dakwah bisa dinikmati oleh sekotah masyarakat di jagat maya dan nyata.

Saya teringat kala sedang bersosmed ria. Ainku terarahkan pada satu pamflet, postingan teman di jagat maya, UKM al Adab FIB Unhas. Isinya tentang dawuh dakwah, namun ada satu frasa menarik dari tubuh pamflet itu yang menjadi tagarnya. Lantunkan dakwah seindah sastra, arkian bunyinya. Setelah lama merenung, kucoba mendefinisikan satu tagar yang ‘seksi’ itu. KEINDAHAN. Jamak diketahui bahwa keindahan adalah kata yang sering dipadankan dengan sastra. Hingga bisa ditafsirkan sastra adalah sungai keindahan yang muaranya adalah salaam. Saya sepakat, sudah seharusnya ihwal yang ada di kolong langit ini memiliki unsur keindahan (baca:sastra) supaya tidak terjadi chaos. Sastra bukan hanya soal kata, puisi atau, novel. Cakupan sastra bukan hanya pada tumpukkan kertas yang Anda baca. Namun sastra adalah suatu hal yang kulli (utuh). Laku-lakon, gerak-gerik, tutur-kata anak Adam adalah hal lain yang berkelindan dan perlu disastrakan. Termasuk dakwah. 

Sejak empat tahun terakhir ini, di negeri gemah ripah loh jenawi ini, dunia dakwah berkecamuk. Klimaksnya pada 2019 silam bertepatan dengan pesta lima tahunan demokrasi (pilpres). Panggung dakwah dijadikan arena kampanye dengan narasa-narasi pejoratif yang menyerang pribadi. Bukan keindahan Islam yang disampaikan, bukan kesantunan berbicara yang ditonjolkan, tapi sikap angkuh dan pongah. Narasi dakwah sedikit banyaknya diarahkan untuk menyerang orang lain. goblok, tolol, jancok, tua bangka, sesat, tai ayam, kadrun, kampret dan kalimat pejoratif lainnya yang tak pantas diperdengarkan di mimbar dakwah. Islam dengan ajarannya yang ‘sastra’, juga Al-Qur’an sebagai kitab suci yang kaya akan ruh-ruh sastra, maka sudah sepantasnya dakwah sebagai jalan mewartakan Islam dilakoni dengan laku-lakon ‘sastra’, disampaikan dengan tutur-kata ‘sastra’ bukan dengan cacian dan sumpah serapah. 

Dalam buku Tidak di Kakbah, di Vatikan atau di Tembok Ratapan Tuhan Ada di Hatimu buah tangan Husein Ja’far al-Hadar, seorang Habib dan milenial influencer yang saleh akal dan saleh sosial. Lewat tarian kalamnya itu sang Habib mendedahkan trilogi kebijaksanaan:benar, baik dan indah. Kebijaksanaan itu bisa diraih jika tiga anasir (benar,baik dan indah) terpadu. Islam sebagai akidah yang BENAR disampaikan secara BAIK dengan dakwah (lisan maupun tulisan) kemudian dakwah itu kita perINDAH dengan sastra. Dengan menvisualisasikan tiga anasir ini, wal khusus indah, Islam lewat lisan Habib Ja’far terlihat asik. Jika tiga anasir ini mampu dikombinasikan oleh dai, maka muslim yang bijak nan bajik akan membumi di Nusantara, tak ada lagi kadrun dan kampret yang saling bersinggungan di jagat maya dan nyata.

Lantunan dakwah dengan sastra banyak diminati dan cocok untuk remaja kekinian. Dan itu disambut dengan ustaz-ustaz kondang yang di setiap cermahnya terselip untaian hikmah yang menggunggah jiwa. Gus Baha dan Ustaz Salim A. Fillah misalnya. Jika tuan dan puan ingin merambah ke puisi, bisa menyimak syair-syair Gus Mus. Atau jika Anda ingin agak mellow bisa membaca Menikmati Kepergian gubahan Alfialghazi. Berikut beberapa petikan aksara dari Alfialghazi

Apabila kita meninggalkan apa yang Allah benci maka Insyaallah, Allah akan datangkan di hidup kita sesuatu yang Allah cintai.

Kamu adalah segalanya, itu dulu. Allah adalah segalanya, itu kini dan nanti.

Untuk orang-orang yang terlalu mencintai orang sepertiku, patah hati adalah anugerah. Darinya aku sadar betapa sakitnya mencintai sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah.

Kadang kita harus menumpahkan lebih  banyak air mata agar kelak kebahagian hadirnya terasa lebih indah dan berharga.

Segala sesuatu yang hilang di dunia ini akan kita temukan penggantinya, kecuali bila kita kehilangan Allah maka tak akan pernah kita temukan penggantinya.

penutup, saya ingin mengutip satu pameo yang masyhur di kalangan anak sastra Unhas, “Dengan sedikit cinta dan keras kepala, kabarkan sastra pada mereka yang tak  jelas berkata.”

Shuumuu Tashihhuu: Berpuasalah, Kamu Akan Sehat

Apa yang Anda temui jika sang Ramadan tiba? Stasiun-stasiun televisi ramai dengan iklan berbuka. Iklan Marjan, misalnya. Sebotol sirup yang dengan melihatnya saja sudah amat menggiurkan. Pun dengan para ustaz kondang mulai kebanjiran panggilan mengisi ceramah dari masjid ke masjid. Suara mereka menggema dari toa ke toa, menara ke menara. Juga terdengar sayup melodi dengan lirik “Ramadan tiba, Ramadan tiba” ilaa aakhirihi. Maraknya penjual cendol, es campur dan takjil lainnya yang bertebaran bak jamur di musim hujan. Ini sekelumit fenomena di dunia nyata dan maya sebagai tanda Ramadan telah datang.

Ramadan kita akrabi dengan bulan puasa. Puasa dalam terminologi Islam diuarkan sebagai salah satu aktivitas menahan diri untuk tidak mengonsumsi makanan, air dan segala ihwal yang membatalkannya. Bukan hanya menahan diri dari lapar dan haus, tetapi marah, nafsu dan sifat “kebinatangan” lainnya perlu dikontrol di bulan mulia ini.

Bulan puasa sendiri semacam magnet. Menarik si pemalas menjadi rajin, si kikir menjadi dermawan, si pendosa menjadi tobat. Lihat saja masjid-masjid kala Ramadan hadir, penuh hingga sudut. Jamaah bejibun, halaman masjid pun jadi hamparan sajadah. Tak kenal kiai, ustaz, preman, pemalak, semua datang bersimpuh menuju Tuhan bagai sang bayi menuju ibu.

Ramadan menjadi momen purifikasi diri. Salat serajin-rajinnya, mengaji sesering-seringnya, berdoa sebanyak-banyaknya dan jangan lupa puasa setuntas-tuntasnya, hingga ampunan tiba dan keluar sebagai pemenang meraih takwa. Tak dimungkiri dengan sederet keistimewaannya, Ramadan menjadi bulan yang paling dinanti kedatangannya, ditangisi kepergiannya dan dirindu jika berjarak dengannya.

Bulan ampunan, bulan kesabaran, bulan pertolongan, bulan keberkahan dan sayyid as-syuhur adalah sederet lakab dari Ramadan. Saya pun ingin mengimbuh lakab baru, syahr as-shihhah. Ramadan sebagai bulan sehat.

Dalam minda sebagian orang, Ramadan identik dengan lapar dan haus. Lalu mengapa ia (baca: Ramadan) disebut bulan sehat? Dalih dan dalilnya apa? Baik, mari kita bahas secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Namun sebelum melangkah jauh, saya tegaskan, dalih di sini dimaksudkan pada pendapat para ilmuwan, ahli kesehatan serta hasil penelitian mereka terkait Ramadan. Kita mulai dari dalil sebelum ke dalih. Supaya terlihat lebih agamais sedikit. Ciaaah.

Dalil

Al-Qur’an secara langsung tidak menyebut bahwa Ramadan sebagai bulan sehat, pun dengan kanjeng Nabi saw dalam sabda-sabdanya. Namun ada dawuh Nabi yang sering dilontarkan oleh  para ustaz kondang di dunia maya maupun nyata mengarah pada Ramadan adalah bulan sehat.

Kanjeng Nabi bersabda:“shuumuu tashihhuu” kira maknanya adalah “berpuasalah maka kalian akan sehat.” Nabi tidak menyebut Ramadan dalam dawuhnya itu. Namun jamak diketahui bahwa Ramadan adalah bulan di dalamnya diwajibkan berpuasa. Umat Islam di seluruh jagat raya pada bulan ini serentak berpuasa. Jika tidak berlebihan saya ingin mengatakan “di bulan Ramadan umat Muhammad sedang beramai-ramai menyehatkan dirinya.” Waima, dalil yang saya torehkan dalam sejumput esai ini statusnya dhaif, tapi renungkanlah bahwa ini tetaplah menjadi dalil. Pun para ulama tidak mempermasalahkan hadis dhaif untuk jadi rujukan, sebagai motivasi dalam beramal, itu tak menjadi persoalan. Amsalnya riwayat tentang berpuasa di atas.

Dalih

Saya pribadi percaya, segala syariat yang diberlakukan Islam kepada pemeluknya memiliki  tujuan dan hikmah. Entah itu syariat yang bentuknya perintah maupun larangan. Judi, minum khamar, berzinah, makan babi pun dengan salat, zakat dan puasa tertuang hikmah di balik perintah dan larangannya. Semisal puasa, yang menjadi bahan diskursus kita dalam esai ini. Ada beberapa penelitian di era kiwari senada dengan sabda Nabi di atas.

Salah seorang Maha Guru Ilmu Gizi di Universitas Hasanuddin, Prof. dr. Veni Hadju, M.Sc.,Ph.D dalam buku anggitannya Pesan Dakwah Seorang Profesor menuturkan bahwa, Andreq Wider, ahli gizi Amerika, masuk Islam setelah meneliti tentang puasa Ramadan. Lebih lanjut Prof. Veni mewartakan penemuan Andreq Wider bahwa, “berpuasa pada sepuluh hari pertama, dapat memperbarui 10% sel-sel tubuh. Sepuluh hari kedua, dapat memperbarui 66% sel-sel tubuh. Dan sepuluh hari ketiga, dapat memperbarui 100% sel-sel tubuh.” Dengan ini kekebalan tubuh jadi meningkat sepuluh kali lipat di samping manfaat lainnya.

Syahdan, masih dalam buku yang sama, Prof. Veni menabalkan ada seorang ilmuwan berkebangsaan Rusia, Nivolaf Pilve dalam bukunya Lapar Demi Kesehatan menganjurkan setiap orang berpuasa 3-4 pekan setiap tahun agar memiliki kesehatan yang prima. Dari Negeri Beruang Merah Prof. Veni bertolak ke Negeri Para Samurai, Dr. Hiromi Shinya penulis best seller dalam buku ciamiknya Revolusi Makan mewedarkan bahwa ”sering berpuasa akan memberikan kondisi usus yang terbaik.” Lebih lanjut, Shinya menganjurkan agar tidak makan dari jam sepuluh malam hingga jam dua belas siang. Jika dihitung dengan cermat, rentang waktu yang dipaparkan Shinya sama dengan jarak waktu antara sahur (pukul 04:00) sampai berbuka (pukul 18:00).

Saya dedahkan satu kisah dari seorang perempuan Hadhrami, Sofiah Balfas yang berjibaku melawan penyakitnya. Sejak alaf 2008, Sofiah Balfas mengalami gangguan pada hemoglobin hingga divonis autoimun dan anemia zat besi. Lebih lanjut, ia menerangkan zat besi yang bermukim dalam tubuhnya hanya 10% dari orang normal. Aware akan kesehatannya sedang terancam, Sofiah mulai merawat diri dengan menginfus zat besi tiga kali dalam sepekan selama sebulan, namun hasilnya sia-sia. Mencoba peruntungan lain, wanita pebisnis ini terbang ke Singapura, tak sampai di situ saja, ia melanjutkan pengembaraannya ke benua seberang (Eropa), lagi-lagi hasilnya tidak maksimal, kadar hemoglobin masih rendah. Para dokter yang menjadi rujukan dari lokal hingga global pun ikut kelimpungan. Hingga sampailah wanita Hadhrami ini pada titik kepasrahannya. Inilah saatnya ia bertawakal kepada Allah, ikhtiar sudah sampai pada titik kulminasi. Sofiah takarub pada Tuhannya dengan meningkatkan intensitas berpuasa, dari puasa senin kamis menjadi puasa Nabi Daud. Pada sepuluh hari pertama, tubuhnya begitu menderita. Namun ketika masuk sepuluh hari kedua badannya mulai terbiasa. Sofiah mendaku setelah merutinkan puasa Daud, hemoglobinnya naik drastis, awalnya hanya 9 kemudian naik menjadi 14. Juga dengan suaminya, yang menderita diabetes akut, sembuh tanpa obat dengan merutinkan diri berpuasa, “saya merasakan keajaiban puasa” tutur Sofiah. Kisah getir happy ending ini beliau tumpah-ruahkan dalam buku anggitannya Solusinya Puasa.

Tanpa sadar, dibalik lapar dan hausnya dahaga. Allah mencurahkan nikmat dan hikmah berupa kesehatan. Di era teranyar ini, ketika manusia diterungku oleh pandemi global, terpapar korona hingga tak bernyawa, kita masih tetap bertahan dengan kekebalan tubuh yang tetap terjaga nan prima. Bukan tidak mungkin, adanya sistem kekebalan tubuh yang menjadi pertahanan utama dari virus ini karena rutinnya kita berpuasa setiap tahun di bulan Ramadan.

Ramadan hampir tiba kawan, mari menyehatkan badan dengan berpuasa. Kuatkan imun sekaligus iman melawan korona dan kroni-kroninya. Wal akhir, Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “wa antashuumu khairullakum inkuntum ta’lamuun” (QS Al-Baqarah: 184).

Artinya, “ Dan berpuasa itu sehat bagimu bila kamu mengetahui.”