Sejak kecil, di hati kecil saya sering muncul pertanyaan, “sebenarnya apa yang dimaksud dengan Lailatul Qadr, suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan? Mengapa malam-malam yang saya temui di bulan ramadhan nampaknya sama saja? Bulan pun tak berubah, bentuknya tetap bulat, warnanya pun tak berubah, hampir tak ada yang istimewa sebagai penanda datangnya Lailatul Qadr? Jadi malam Lailatul Qadr itu seperti apa?”
Apalagi jika ditambah dengan kisah-kisah yang mencengangkan tentang Lailatul Qadr, semakin membuat kita penasaran tentang Lailatul Qadr. Bahkan jika ada orang yang mengalami perubahan ke arah kebaikan secara drastis di bulan ramadhan, sebagian orang akan menganggap bahwa, orang tersebut telah menerima berkah Lailatul Qadr.
Dan setelah dewasa akhirnya kita memahami, Lailatul Qadr bukan fenomena yang terjadi di realitas eksternal. Jika Lailatul Qadr benar-benar terjadi di realitas eksternal, maka setiap orang akan merasakan perbedaan yang terjadi antara malam itu dengan malam-malam lainnya. Sebab itu Lailatul Qadr bukan fenomena realitas eksternal, namun fenomena yang terjadi di dalam diri kita, di batin kita.
Jika ada orang yang mendapatkan anugerah Lailatul Qadr, berarti ia telah mendapatkan kadar eksistensi dirinya melalui ibadah-ibadah yang ia lakukan di bulan ramadhan. Usaha dan tekad yang begitu kuat dalam melakukan amal ibadah di bulan penuh rahmat ini sehingga ia memperoleh perubahan di dalam dirinya.
Berdasarkan penjelasan ini, kita bisa memperkirakan, siapa orang-orang yang berkesempatan memperoleh Lailatul Qadr. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar melatih dirinya dengan amal-amal ibadah yang ia lakukan di bulan ramadhan. Mereka tidak mencukupkan dirinya dengan menahan lapar dan dahaga, namun menjaga aspek batinnya dari hal-hal yang tidak diridhai oleh Ilahi.
Demikian halnya dengan berdoa, berdoa adalah ungkapan jiwa seorang hamba dari batin dirinya kepada Tuhan. Apa yang ada di dalam batin, kita berusaha mengungkapkan sepenuhnya ke Hadirat Ilahi. Ketika ada persoalan di dalam diri, kita berusaha mencari jalan keluarnya. Mencari jalan keluar pada hakikatnya adalah bentuk doa, meskipun tanpa kita pernah menyadarinya sebagai suatu bentuk doa.
Waktu bisa dibagi menjadi dua bagian, ada waktu eksternal dan waktu internal. Waktu yang terjadi di dalam diri kita adalah waktu internal dan waktu yang terjadi di luar diri kita adalah waktu eksternal. Waktu eksternal adalah waktu dimana seluruh detik-detiknya adalah bilangan yang telah ditakar. Artinya waktu itu independen dan terpisah dari kondisi yang terjai di dalam diri kita. Namun waktu internal, detik demi detiknya tidak sama. Satu detik internal terkadang berlangsung selama berjam-jam tanpa kita sadari. Bisa juga sebaliknya, berjam-jam telah terlewati namun terasa oleh jiwa hanya sesaat saja terjadi di dalam diri kita.
Dalam surah Fusshilat ayat 53, “Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri . . . “. Dalam ayat ini Allah swt menunjukkan realitas sebagai tanda-tandaNya yaitu di luar diri dan di dalam diri. Dan baik di dalam diri maupun di lluar diri masing-masing ada kadarnya.
Waktu di dalam diri juga punya ukuran namun tidak seperti pembagian detik demi detik di realitas eksternal. Ukuran malam Lailatul Qadr adalah ukuran malam di dalam diri kita, bukan malam realitas eksternal sebab jika ukurannya adalah malam eksternal maka semua orang tahu dan bisa menyaksikannya.
Penyaksian para Nabi terjadi di dalam diri mereka, bukan di luar diri. Jadi meskipun pada saat itu kita berada di samping Nabi, namun kita tidak akan tahu wahyu apa yang sedang turun pada diri Nabi, sebab wahyu turun di dalam diri Nabi, bukan di luar diri Nabi.
Oleh sebab itu, kita mesti mencari Lailatul Qadr di dalam diri kita, bukan di luar diri. Kita mesti mencarinya di alam malakut diri kita sendiri. Sebab setiap saat Tuhan menurunkannya ke dalam diri kita. Selebihnya berada di tangan kita, apakah kita benar-benar ingin meraih Lailatul Qadr di dalam diri kita atau tidak.
Muhammad Nur Jabir, lahir di Makassar, 21 April 1975 Pendidikan terakhir: S2 ICAS – PARAMADINA. Jabatan saat ini: Direktur Rumi Institute Jakarta. Telah menulis buku berjudul, Wahdah Al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra.