Semua tulisan dari Muhlis Abduh

Pekerja media. Tinggal di Makassar

Derita Pasien di Tanggal Merah

 

Indonesia memang bukan negara dengan tanggal merah atau hari libur terbanyak. Posisi itu ditempati Srilanka dengan 25 hari libur. Indonesia menempati posisi ketiga dengan 20 hari libur.

Dulunya saya menganggap tanggal merah itu tidak masalah. Namun pikiran saya itu berubah setelah sebuah peristiwa yang saya alami beberapa bulan yang lalu.

Selengkapnya begini.

Bertemu dengan dokter seringkali menjadi sebuah kemewahan bagi pasien. Terlepas apapun alasannya, dokter acapkali lebih sibuk ketimbang jadwal presiden sekalipun.

Beberapa bulan yang lalu, bapak saya sakit. Lututnya bengkak. Sulit bergerak dan harus memakai tongkat untuk berjalan. Awalnya ia dirawat di Rumah Sakit (RS) Pinrang.

Namun belakangan karena fasilitas di RS Pinrang tidak memadai, ia dirujuk ke RS yang fasilitasnya lebih lengkap dan ada dokter spesialis tulang.

Berhubung ia pasien BPJS Kesehatan, ada dua opsi RS yang direkomendasikan yakni RS Awal Bross dan RS Unhas. Karena letaknya yang lebih dekat, maka dipilihnya RS Unhas.

Ia lantas dirawat jalan. Setelah satu kali diperiksa dan diberi obat, kakinya yang sudah terlanjur bengkak belum sempat disuntik. Terlalu kaku dan jarum sulit menembus kulitnya yang keras.

Manajemen RS pun mengatur jadwal untuk bertemu satu minggu kemudian tepatnya hari Kamis yang menjadi jadwal rutin dokter spesialis tulang datang memeriksa.

Celakanya, ternyata hari kamis yang ditentukan itu hari libur. Dan entah ini masuk dalam aturan atau bukan, di tanggal libur tersebut dokter spesialis tidak masuk bekerja.

Untungnya saya belum membawa bapak ke RS dan menunggu tidak jelas. Kita sudah memaklumi bahwa sudah dijadwalkan sekalipun belum tentu pasien terlayani semua. Apalagi jika pas hari tersebut antrean panjang.

Alhasil, saya dan keluarga tidak mampu berbuat apa-apa. Hanya menerima. Menunggu hari kamis berikutnya.

Saya lantas berpikir bagaimana jika pada hari kamis itu  ada banyak pasien serupa yang juga menunggu jadwal sang dokter spesialis tersebut. Entah untuk sekadar diperiksa atau membutuhkan penanganan lebih serius.

Memperpanjang waktu pasien mengantre bukankah tentu akan membuat pasien semakin berisiko penyakitnya. Meskipun bukan pasien gawat darurat tetapi menuda pengobatan efeknya tentu saja bisa fatal hingga menghilangkan nyawa.

Bisa saja banyak yang mengingingkan tanggal merah bertambah untuk perayaan apapun itu. Akan tetapi bagi seorang pasien, tanggal merah dengan pengeloaan RS seperti di atas rasanya bisa berarti derita yang lebih panjang akan mereka alami.

Lorong Sungguh Sederhana, Menjadi Hebat karena Pemilu

Tahun Pemilu memang bisa dibilang tahun perebutan simbol dan ruang. Banyak ruang  milik publik akhirnya diakui dan disimbolkan menjadi milik partai tertentu.

Pada tahun 2018 lalu, saya tinggal di Kelurahan Pacerakang. Setiap hari saya melewati begitu banyak lorong di kawasan Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Semuanya biasa saja. Tidak ada yang spesial.

Namun seiring berjalannya waktu,  tampak ada yang berubah saat memasuki tahun 2019. Terutama saat makin dekat dengan bulan April, yang notabene merupakan masa Pemilu.

Lorong-lorong tadi satu persatu dihias dan dipasangi sebuah palang besar berlogo partai. Milik partai “A” dengan tulisan yang mencolok dengan lampu menyorot dan menarik perhatian siapapun yang lewat di depannya di malam hari.

Jika hanya dilihat sekilas, sebagian orang atau pengendara yang lewat di depan lorong tadi terkecoh dan menganggap lorong tersebut hasil kerja partai.

Bahkan salah seorang teman yang saya sampaikan persoalan klaim lorong milik partai ini awalnya sempat menganggap program penataan lorong tersebut merupakan program partai. Artinya niat partai menarik perhatian memang terpenuhi.

Setelah saya tunjukkan data dan sejarah lorong tersebut bisa berubah, ia pun mengerti jalan pintas yang ditempuh partai membranding lorong itu sebagai hasil kerjanya.

Bagi warga sendiri yang tinggal di lorong tersebut, ini jelas merupakan klaim sepihak saja. Wargalah yang bekerja keras menata lorong mereka sendiri. Tanpa campur tangan partai tertentu. Maka wajar tidak berselang lama aksi klaim lorong tersebut mendapatkan resistensi atau perlawanan warga.

Siapa yang berhak atas lorong?

Belakangan ramai diberitakan warga menjadi kesal dengan upaya menjadikan lorong milik partai. Warga memasang sebuah spanduk protes bertuliskan “Ini lorong rakyat, bukan lorong (menyebut merek partai)”.

Lorong tentu saja milik warga yang ada di sekitar atau publik. Tidak ada landasan dan alasan, partai tiba-tiba harus mengakui lorong tertentu merupakan miliknya.

Pun saya sangat yakin, belum tentu dengan mengakui lorong tersebut milik partai tertentu, lorong itu “berubah”. Berubah yang saya maksud katakan lah seperti lorong tersebut akhirnya lebih indah dan bersih atau bisa mendatangkan nilai ekonomis bagi warga.

Jika memang lorong itu lebih indah dan bersih, itu karena jerih payah warga sendiri, bukan dibuat oleh partai. Lantas jika kemudian lorong itu memang “dipercantik” oleh partai, tapi sampai berapa lama lorong itu akan menjadi perhatian? Atau adakah yang bisa menjamin setelah pemilu berlalu, lorong tersebut tetap mendapatkan perhatian partai tersebut.

Komodifikasi Lorong

Komodifikasi digambarkan secara sederhana yakni sesuatu yang awalnya tidak bernilai jual ditransformasikan menjadi sesuatu yang bernilai jual.

Sebelumnya lorong hanya sebuah ruang yang biasa saja. Tidak dilirik. Minim penerangan.  Pengap dan jauh dari perhatian.  Belakangan memang mulai ditata melalui program Walikota Makssar, Danny Pomanto. Ada lampu di pasang sehingga jadi terang. Ditanami tumbuh-tumbuhan. Ada juga lukisan atau grafiti yang mempercantik tampilan.

Melihat lorong mendapatkan perhatian. Gelagat partai pun muncul. Dianggap dapat menjadi “jualan”. Dapat diklaim sebagai sebuah prestasi partai. Ujung-ujungnya diharap bisa meningkatkan penerimaan partai di mata masyarakat dan dikonversi menjadi suara dukungan bagi partai.

Separasi

Jika dibahas lebih lanjut, terkait “lorong partai” juga bisa dilihat dari sisi semiotika sosial yang dipopulerkan oleh Halliday. Pemikir pascastrukturalisme ini mengungkapkan sebuah konsep separasi dan segregasi. Separasi dalam hal ini pemisahan secara spasial antar entitas.

Dikaitkan dengan lorong partai, separasi akan membuatpemisahan antar masyarakat lorong satu dengan lorong lainnya. Memojokkan yang berbeda karena ada lorong yang merasa hebat dibandingkan lorong yang lain. Rentang terjadi konflik. Hingga di suatu titik masyarakat antar lorong saling memisahkan diri.

Cukup. Cukup jalanan dan televisi yang terampas menjadi milik para kontestan politik. Menyesakipandangan dengan poster sepanjang jalan. Menyapa setiap menit di layar televisi. Hadir setiap saat di sudut kota.

Sejenak. Sejenak saja, biarkanlah  lorong tetap tenang. Tetap milik warga. Biarkan damai ada di lorong.

Saya teringat sastrawan besar Indonesia, Pramoedya pernah mengingatkan  “ Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya. Ini soal tafsir. Kini, memasuki masa-masa pemilihan umum, rasa-rasanya tafsir lorong pun beralih.  Kita bisa menyatakan “Lorong sungguh sederhana. Menjadi hebat karena pemilu”.

Muhclis Abduh

Warga kota Makassar.

Ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/566679565599277209/

Tanah, Darah, dan Reforma Agraria

“Inilah harta yang sebenarnya. Kemanapun kita pergi ada tanaman. Ada makanan yang tumbuh. Aku petani dan anak petani dan inilah yang kumengerti. Dibandingkan dengan tanah miskin kita yang sulit berkebun. Sulit untuk hidup. Jika kita hidup di sini, kita bisa memberi makan semuanya. Takkan ada kelaparan.’’

Dialog di atas diucapkan Ragnar—tokoh utama dalam cerita serial film Vikings. Ragnar sebelumnya adalah seorang petani biasa. Berbekal sebuah kompas sederhana ia mencoba menantang maut bersama beberapa teman untuk mengarungi lautan demi mencari sebuah daratan di wilayah yang disebut dengan ‘’barat’’.

Bukan keberhasilan menemukan jarahan baru berupa emas yang banyak yang diinginkan Ragnar, tetapi jauh dari itu semua adalah tanah dan itu tidak mudah. Ada darah yang harus dibayar lewat perang karena pada dasarnya tidak ada yang ingin lahannya dikuasai begitu saja.

Ragnar tidak seperti kebanyakan orang viking atau kepala suku yang hanya berpikir untuk sebatas menjarah harta berupa emas dan perak. Ia berpikir jauh kedepan bahwa pertanian adalah masa depan yang sesungguhnya. Itu yang ia pertaruhkan makanya menantang maut ingin ke Barat.

Lewat pertanian tidak akan ada lagi kelaparan dan tidak perlu lagi berperang.  Begitu kira-kira pikiran Ragnar. Ia seperti membaca masa depan melampaui masanya bahwa perang akan sumber daya akan jauh lebih ganas.

Melangkah ke masa kini nyatanya ‘’perang’’ terhadap kepemilikan tanah masih subur terjadi.  Petani-petani harus berhadap-hadapan dengan pemilik modal yang berlindung di balik jubah negara beserta aparatnya.

Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Wilayah Sulsel, di situs Mongabay Indonesia menjelaskan pada 2017 lalu terdapat 659 kejadian konflik agraria dengan luasan 520.491,87 Ha dan melibatkan 652.738 KK.

Sementara itu, Federasi Petani Sulsel mencatat terdapat 37 kasus kriminalisasi atas petani dan pejuang agraria di sejumlah daerah, antara lain di Kab. Takalar, Gowa dan Soppeng pada kurun waktu dari tahun 2016 sampai 2018.

Tentu saja ada dampak dari masifnya perebutan lahan ini. Ini bisa kita lacak dari hasil wawancara saya dengan  Dg Lili (35 tahun), warga Takalar yang mengadakan aksi dalam rangka Hari Tani Nasional tahun 2015 lalu. Ia mengaku  tidak bisa lagi bertani karena lahannya diambil alih oleh pihak PTPN XIV.

“Lahan saya diambil. Saya sekarang tidak bisa bertani lagi. Saya tidak tahu lagi harus kasih makan apa anak-anak ku,”ungkapnya.

Sebagaimana Ragnar, Jokowi sebagai pemimpin Indonesia saat ini perlu melihat lebih jauh bahwa kedepan perang yang nyata dan terbuka yakni soal perang ekonomi terutama pangan.

Prediksi jumlah penduduk dunia saat mengalami krisis energi pada tahun 2043 mencapai 12.3 miliar jiwa yang berarti hampir 4 kali lipat populasi ideal penduduk Bumi. Konsekuensinya pemenuhan kebutuhan energi, pangan dan air juga meningkat.

Data tersebut mestinya menjadi alarm bagi Jokowi bahwa pemerintah tidak bisa hanya tinggal diam menjadi penonton. Sebab semua negara akan berlomba mencari makan dan energi.

Sementara secara jelas di depan mata bahwa pemerintah seringkali berpihak ke perusahaan yang ingin menguasai lahan, kemudian mengumpulkan pundi rupiah untuk dinikmati segelintir orang saja. Bukan untuk penguatan pangan.

Reforma agraria sejatinya menjadi salah satu jalan agar konflik lahan bisa teratasi dan penguatan pangan bisa dicapai.  Apalagi jika menilik program Nawacita butir ke-5 pemerintahan Jokowi-JK soal agenda Reforma Agraria ini telah menjadi prioritas kerja nasional dalam pembangunan Indonesia melalui Perpres No.45/2016.

Inti dari pembaruan agraria adalah redistribusi kepemilikan dan penguasaan atas tanah. Reforma Agraria akan membuat akses petani untuk mendapatkan tanah semakin besar. Mencegah ketimpangan pemilikan atas tanah.  Intinya perlu kesungguhan pemerintah untuk berpihak ke petani agar mereka bisa mengelola lahan secara lebih merdeka.

sumber gambar: http://www.deviantart.com/sunrise666/art/Indonesian-rice-field-409979378