Semua tulisan dari Muin Kubais

Pengagum Alfred Russel Wallace. Pernah Redaktur Posko Malut. Jebolan Lembaga Pers Doktor Soetomo (LPDS), Jakarta.

Eglantyne Sekuntum Bunga Sakura

Oleh: Muin Kubais (Redaktur Posko Malut), Indah Sari Hamid (alumni Sastra Inggris Universitas Khairun, Maluku Utara)

“Jika anak-anak hidup dengan persahabatan,

mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang bagus untuk hidup.”

(Dorothy Law Notle)

Dara berparas Eropa itu kami kenal 16 tahun lalu. Bukan kenal langsung, tidak pula di media sosial yang oleh novelis internasional Stephenie Meyer disebut tak banyak manfaatnya. Melainkan,  buah pena sejumlah aktivis hak dan perlindungan anak di mercusuar timur Indonesia: Makassar. Juga laman, tanpa kecuali LHM University of Oxford, United Kingdom, yang kami permak seperlunya sebagai sandaran di ruang terbatas ini.

Dialah Eglantyne Jebb. Lahir 146 tahun empat belas hari lalu di Ellesmere Shropshire, Inggris, dari pasangan Arthur Jebb dan Lousia Jebb. Kedua orangtuanya menapaki hidup sederhana, sekalipun kaya harta. Terkenal punya kesadaran sosial tinggi, kukuh dengan komitmen dalam pelayanan publik, sepenuh cinta mengasuh dan mendidik anak-anak. 

Sebagai anak, Eglantyne memperoleh haknya bermain dan sekolah. Ia gemar membaca berbagai buku di perpustakaan di dalam rumah yang dibangun sang ayah. Banyak pula menyendiri, melamun–sembari menikmati jalan soliter ini, ia sendirian ke desa-desa, mencintai orang biasa, dan sangat membenci “wajah” buruk sistem kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat.  Beranjak dewasa, Eglantyne menimba ilmu sejarah di Lady Margareth Hall, University of Oxford. Di salah satu kampus Universitas tersohor sejagat ini, ia terkenal sebagai mahasiswa energik dalam beradu pendapat.

Berpendidikan dan berasal dari keluarga kaya, tak membuatnya berpangku tangan, ongkang kaki menikmati hasil jerih paya keluarga besarnya. Eglantyne berupaya meretas jalannya sendiri:  menjadi guru SD Marlborough, Wiltshire; aktif belajar bagaimana membangun organisasi amal di Charity Organization Society, Cambridge; menulis buku “Cambridge: Sebuah Studi Sosial,”–hasil riset kemiskinan kota, terbit 1906. Membantu Relief Fund Macedonia menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada orang-orang di negeri semenanjung Balkan: Serbia beserta sekutunya dan Albania, yang mengungsi dan menderita akibat pertikaian antaragama. Mengampanyekan politik untuk melawan kelaparan, editor di majalah AOS, The Plough, danmembantu adiknya, Dorothy, menyuguhkan berita akurat dan jujur mengenai dampak perang terutama sosial ekonomi, di majalah Cambridge.      

Penghujung perang dunia pertama, Eglantyne mendirikan Save the Children, 19 Mei 1919  di Royal Albert Hall. Tahun 1923 ia menyusun Deklarasi Hak Anak yang berisi 30 hak anak, yang diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa dalam deklarasi tahun 1924, populer disebut Deklarasi Jenewa. Empat belas tahun kemudian (1919-1928), Eglantyne mengebuskan nafas terakhir di sebuah panti jompo di Jenewa, 17 Desember 1928. Ia dimakamkan di Pemakaman St. George.

Sekalipun hidupnya singkat, 52 tahun, tak sia-sia. Namanya terpahat abadi nan harum. Save the Children menjadi organisasi non-religius terbesar ketiga di dunia.  Perserikatan Bangsa-Bangsa (BBB) mendeklarasikan hak anak, menetapkan tahun anak internasional, menyelenggarakan Konferensi Hak Anak pertama di Polandia, dan secara aklamasi menyetujui rumusan final Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Sidang Majelis Umum PBB pada 20 November 1989.    

Tahun berikut, Indonesia bersama 56 negara tercatat sebagai negara pertama yang merativikasi KHA tersebut. Tiga belas tahun kemudian, Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Hak Anak, yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.  Mempunyai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Dinas PPPA provinsi, kabupaten, kota, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daeah (KPAID). Belakangan, pemerintah menggencarkan program daerah layak anak, dan jauh sebelumnya menetapkan Hari Anak Nasional setiap 23 Juli.  

 Di institusi penegak hukum, Polri memiliki Unit khusus Pelayanan  Perempuan dan Anak. Para hakim di pengadilan pun memiliki hakim bagi anak, dan setiap persidangan yang terkait dengan anak, harus mendatangkan aktivis/pekerja sosial kompeten dalam hak anak, dan psikolog. Tak sedikit pula advokat/pengacara yang memasang badan membela anak-anak yang berhadapan dengan hukum.

Pemerintah di sejumlah daerah mendukung dibentuknya Lembaga Perlindungan Anak yang digagas oleh aktivis/pekerja sosial berintegritas dan konsen pada upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Di dunia pers, beberapa lembaga melatih jurnalis meliput dan menulis berita yang ramah anak, supaya diksi yang digunakan dalam memroduksi berita tak merugikan (hak) anak. Kepentingan terbaik anak-lah yang dikedepankan. 

Andai tak ada jasa besar sang reformis sosial yang senegara dengan novelis legendaris paling berpengaruh: Jane Austin (1775-1817), Charles Dickens (1812-1870), George Eliot (1819-1880), Sir Arthur Conan Doyle (1859-1940), Georeg Orwell (1903-1950), Virginia Woolf (1882-1941), dan J.R.R. Tolkien (1892-1973) itu, masyarakat dunia takkan mengenal hak dan perlindungan  anak.

Dalam kacamata filsafat fenomenologi eksistensial, bukan kekayaan yang membuat hidup Eglantyne bermakna. Melainkan keberpihakannya pada anak-anak yang menjadi tumbal perang, konflik antaragama, dan sistem kelas sosial yang mengempaskan nilai-nilai kemanusiaan. Anak-anak tidak bersalah. Save the Children dan deklarasi hak anak adalah legacy terbaiknya.

            Karena itu, bagi kami, Eglantyne laksana sekuntum bunga Sakura, yang melandasi filosofi hidup bangsa di negeri berjuluk matahari terbit, Jepang. Kendati hanya sekali mekar dalam setahun, bunga Sakura memancarkan rona-rona keindahan bagi yang memandangnya, menebarkan keharuman dan kesejukan bagi yang menghampirinya. Eglantyne, seperti petuah yang mulia Nabi Muhammad saw, “sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain.” Lalu, bagaimana dengan kita?

Menjadi Sukses, Berani Melawan Tantangan

Untuk sukses sangatlah tidak nyaman.

Maka kau harus nyaman dengan ketikdanyamanan itu,

jika kau ingin sukses.”

Less Brown.

Di senja yang teduh, a million dreams—soundtrack film The Greatest Showman yang dilantunkan Ziv Zaifman dan Hugh Jackman, memecah sepi. Never enough, soundtrack untuk opera film itu yang keluar dari suara emas Loren Allred benar-benar menyentuh hati, merindingkan bulu. Di balik empat belas jari-jari jendela kayu, tak ada daun dan ranting pohon yang menari, kabut tak lagi memeluk puncak gunung, setitik bumi tanpa pamrih dibenderangi matahari.

Sebelum senja, saya terbangun oleh deringan telepon Ibumu yang ingin membuat sesuatu untuk syukuran ulang tahunmu. Saya mengangguk. Seusai shalat Jum’at 17 Desember, dua foto 14 tahun usiamu yang  disyukuri bersama teman sebayamu di rumah seorang teman sekolahmu, tak lupa kau bagikan kepadaku. Cukup lama saya menatapmu. Dalam rindu yang menggenangiku, doa-doa terbaik kubatinkan untukmu.

Nak sayang, seperti kisah-kisah dalam buku Jack Canfield, Mark Victor Hansen, dan Bud Gardner. Di usiamu yang masih pagi, harga untuk sebuah impian yang kau tapaki, mulai kau rasakan. Sepulang sekolah maupun saat libur, rajin berlatih di dalam gedung tempat latihan, tiga kali sepekan. Letih kerap membuatmu cepat tidur. Di waktu tertentu, kau berlatih di lapangan samping masjid yang tak jauh dari tempat kita tinggal. Pahit manis juga pernah kau rasakan di momen tertentu, kadang lawanmu laki-laki dewasa.

Para bijak bestari berkata, apa yang kau tanam, itulah yang akan kau tuai. Tiga belas hari lalu, bersama Divania Epilda Impak yang satu sekolah denganmu di SMP Negeri 12, tembus final ganda putri pelajar turnamen badminton SMP se-Kota Makassar 2021. Di final, ganda putri SMP SKO sudah menunggu.

Seusai shalat Magrib pada 4 Desember itu, saya bergegas membuka pesan yang masuk di hp. Sebuah foto di “panggung” penerima hadiah juara darimu. Foto yang sama kuterima dari Ibu dan kakakmu, Indira Azizah Amardhyta. Papan yang tertulis di depanmu dan Divania berdiri jelas terbaca: Juara 2, berdampingan dengan Juara 1 SMP SKO, SMP yang Juara 3, dan SMP Negerei 4, Juara Harapan 1.

Berulang kali saya bersyukur. FajarTV yang menyiarkan pembukaan, semi final dan final itu, berkali-kali ku tatap. Saya juga bersyukur, Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Makassar bekerjasama dengan FajarTV menggelar turnamen di Fajar Arena tersebut pada 2-4 Desember, dengan tujuan mencari atlet pelajar bulutangkis multitalenta kota ini, sekaligus persiapan bulutangkis kejurda. Nak, banyak pihak juga mengapresiasi capaian kalian.

Saya masih ingat. Saat dinyatakan lolos seleksi mewakili sekolahmu di turnamen itu, Ibumu ingin memenuhi permintaanmu: sepatu khusus yang digunakan dalam pertandingan bulutangkis. Karena tanganku tak sampai, kakak pertamamu, Fazhrul Ihza Amarthya, merelakan sebagian tabungannya.     

Nak sayang, tak ada gen bulutangkis dalam garis darahku maupun Ibumu.  Bulutangkis yang kau cintai adalah salah satu anugerah terindah dari Allah kepadamu, juga adikmu, Farros Misyel Amarryza, yang juara 1 pada pertandingan kecil. Cara menyukuri anugerah ini, dengan terus berlatih, matangkan mental dan keahlian. Tak usah peduli dengan ucapan dan cibiran orang-orang yang ingin menjatuhkanmu, karena saya yakin bulutangkis menjadi satu hal terpenting dalam hidupmu.

Rajin-rajinlah tengok perkembangan dan kompetisi bulutangkis dunia di berbagai media. Banyak pelajaran penting yang dapat kau dipetik. Malam ulang tahunmu, sebelum rehat, dua video Apriyani Rahayu-Greysia Polii yang mengharumkan nama Indonesia di Olimpiade Tokyo, Jepang, saya kirimkan lagi kepadamu. “Selain Apriyani, banyak pemain bulutangkis yang saya idolakan,”jawabmu, mantap.

Nak cantika. Olahraga termasuk bulutangkis merupakan salah satu dari 8 kecerdadan manusia yang ditemukan ahli pendidikan Amerika Serikat, Prof. Howard Gardner dalam risetnya. Ia menyebutnya bodily-kinesthetic intelligence, yaitu keahlian manusia menggunakan badani untuk mengkspersikan ide dan perasaan. Seperti aktor, penyanyi, penari, dan atlit-olahragawan.  

Saya juga teringat Carol S. Dweck yang puluhan tahun meneliti kesuksesan para atlet, CEO, musisi, dan seniman. Guru besar psikologi Stanford University, Amerika Serikat ini menyimpulkan, orang-orang sukses di berbagai profesi itu memiliki pola pikir yang bertumbuh, growth mindset. Ia yakin, growth mindset benar-benar memungkinkan orang untuk mencintai apa yang mereka lakukan, dan tetap mencintainya meskipun menghadapi berbagai kesulitan. “Berani hadapi tantangan,”tandas Rhenald Kasali dalam pengantar buku laris karya Dweck: Mindset, yangjuga dibaca selebriti secerdas Maudy Ayunda.

Nak sayang. Perjalananmu masih panjang, mungkin masih banyak rintangan yang akan kau hadapi dan lewati. Pengalaman atlet bulutangkis yang berpretasi di tingkat bawah hingga internasional, mengharumkan nama bangsa, bisa kau jadikan cermin. Bahwa, dengan tekad, semangat, mentalitas dan keahlian yang mumpuni yang terus diasah, impian tertinggi bukan mustahil untuk dicapai.

Prestasi di turnamen badminton pelajar tingkat SMP se-Kota Makassar sebelum  ulang tahunmu itu, semoga dapat kau jadikan pijakan untuk terus melangkah penuh semangat demi menggapai impianmu. Selalulah rendah hati, dan ingat pada Allah di setiap langkah. Doa ku, juga ibu, kakak, dan adikmu, selalu menyertaimu. Barakallahu fi umrik, nak sayang.**    

Dari Rimba Fakfak hingga Mendirikan Media

“Sebuah mimpi takkan pernah jadi nyata karena sihir,

dibutuhkan keringat, tekad, dan kerja keras.”

Colin Powell.

Lelaki itu berbaring di kursi sofa kuning yang mulai lusuh. Matanya terpejam. Kaos oblong dan celana pendek membalut sebagian besar tubuhnya. Ia terbangun setelah tiga kali saya memanggilnya dari pintu utama rumah. Jarak pintu ke kursi sofa di pojok kiri ruangan panjang itu hanya satu langkah orang dewasa. Kami berdua duduk di kursi, berhadapan. Di atas meja meubelir yang membatasi kami, ada sepotong kue, kopi susu dalam gelas kaca kecil masih setengah, dan tisu. Seorang perempuan berbusana muslimah nampak sibuk. Di dalam tiga bilik, suara beberapa lak-laki terdengar jelas sedang melakukan sesuatu, dan sejurus kemudian mereka keluar. Seorang di antara mereka yang sudah tau takaran kopiku, ingin meraciknya. 

Tapi, teks dalam desain baliho merah yang terpampang di dinding menghadap pintu utama itu benar-benar menyita perhatianku. Di sana tertulis: “Media Brindo Grup, Meeting Room brindonews.com, potretmalut.com, jelajahmalut.com.” Munawir Yakub –akrab disapa Nawir, Koches, Ches yang kutemui malam itu (3/12/2021) hanya tersenyum membalas sanjunganku atas kesuksesannya mendirikan tiga media. Si perempuan berhijab meletakkan di depanku secangkir kopi hitam tak pahit yang ia buat sendiri. Dia sopan sekali, ceria pula. ”Wartawan baru di sini,”sahut Ches, sejurus kemudian mengajakku pindah ke ruang kerjanya yang baru selesai dipermak. Di atas meja sudut kanan, ada novel Simon Toyne, Sanctus;  Kelopak-kelopak Jiwa karya Kahlil Gibran; Buku Saku Wartawan dari Dewan Pers; dan buku Literary Journalism. 

Kurun waktu lima tahun mendirikan tiga media online, bagi saya bukan sesuatu yang mudah karena tak cukup hanya andalkan ide, uang, dan pengalaman. Melainkan pula tekad, keberanian, tahan rasa sakit,  manajemen, dan strategi. Cara Ches bereksistensi kini berebeda dengan dulu.

Sulung dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki itu, lahir pada 15 Januari 1988 di Desa Tawa, Kasiruta Timur, Halmahera Selatan. Ibundanya, Aia S. Basrah seorang ibu rumah tangga, ayahnya Yakub H. Hakim, bukan petani “berdasi” yang mengolah pohon sagu—orang Maluku Utara menyebutnya “bahalo sagu,” untuk mengasapi dapur. Ches belia diajari ayahnya bagimana menanam pohon pala, cengkeh, dan kelapa hingga tamat sekolah dasar. “Ayah saya menggali tanah, saya yang memasukkan tanaman-tanaman itu di dalamnya. Jadi saya punya kebun,”Ches tersenyum mengenang sembari menunjukkan kedua tangannya kepadaku. Kopi susu yang sudah setengah ia teguk lagi.

Sekalipun begitu kondisi orangtuanya, ia ingin terus sekolah. Dengan sedikit keberanian yang digenggam, anak “nakal” ini hijrah ke Ternate. Di Kota kecil ini, sekolah sambil menjadi buruh di Pasar Gamalama ia lakoni selama enam tahun. Tapi lembaran sekolahnya tidak menggembirakan. Terbuai dengan uang yang diperolehnya dari peluh di Pasar itu, alpanya menumpuk di  SMP Negeri 5, Ternate. Lalu pindah dan tamatkan pendidikan di SMP Negeri 2, Bacan, Halmahera Selatan. Kemudian, diterima di SMA Negeri 4, Ternate. Karena masih seperti di SMP, Ches menuntaskan pendidikan di SMA Alkhairaat, Siko, Ternate. Itupun ujian pertama tak lulus, beruntung ada kebijakan pemerintah ketika itu: siswa yang tak lulus ujian bisa mengulang. Ia pun selamat. “Saya sekolah di dua SMP, dan dua SMA…hahahah,”pembaca buku Friedrich Niestzsche, dan teori interpretasi Paul Ricouer ini menggelengkan kepala.

Keinginan untuk kuliah ia tangguhkan selama dua tahun setelah tamat SMA Alkhairaat. Ches mengembara di rimba Fakfak, Irian/Papua, mencari kayu Gaharu. Sayang, jelajahnya di rimba yang rawan ini tak berbuah manis. Tanpa pikir panjang, dia balik haluan, menjadi juru masak (koki) di kapal Ona Raya, rute Ternate-Gane Barat-Kayoa-Bacan. Hanya tujuh bulan ia di dapur ini.

Tahun 2007 Ches diterima di Jurusan Sosiologi UMMU. Di kampus ini, ia masih berusaha mencari uang sendiri. Jika hanya berharap kiriman orangtua, kebutuhan tak tercukupi. Kadang, salah seorang seniornya di kampus itu, Abdul Malik Sillia membantu kekurangannya. Di kampus itu pula, pengagum berat Najwah Shihab tersebut mulai mengenal dunia jurnalistik. Ia bergabung di Alkindi—media yang dikelola mahasiswa lintas jurusan, tapi bukan peliput berita. Tenaga periklanan. Jelang akhir studinya, Ches diterima sebagai wartawan di Posko Malut, media cetak yang didirikan jurnalis senior Burhan Ismail. Cukup lama ia berpeluh di sini, sempat dipercayakan menjadi fotografer, dan hampir tersayat pedang saat memotret adu jotos dua tetangga kelurahan. Begitu pula demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Teror dan ancaman sudah menjadi hal biasa dalam kariernya.

Sebelum memutuskan punya media sendiri, setelah pamit dari Posko, Ches menjadi kontributor MNCTV, Kepala Biro Sindo Raya, wartawan Mata Publik, dan Seputar Malut. Hal terpenting dari pengembaraannya di medan jurnalistik adalah belajar bagaimana mengelola sebuah media. Dan, tahun 2016, Ches mendirikan brindonews, potretmalut 2017, dan jelajahmalut, 2020. Jalan berdikari ini mengingatkan saya pesan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg: ”Mengambil keputusan pasti ada resiko, tapi tidak mengambil keputusan, resikonya jauh lebih besar.” Ketiga medianya itu, dikelola orang berbeda, dan 9 jurnalis Brindo Grup sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dari Dewan Pers.

Sedari belajar menanam, buruh pasar, mencari kayu Gaharu, juru masak kapal, jurnalis dan punya media sendiri yang berkembang menajdi sebuah grup, oleh Rhenald Kasali disebut self driving. Ches bukan seorang passenger (penumpang), melainkan driver. Ia men-driver hidupnya, bodoh amat—kata Mark Masson dengan penilaian atau persepsi orang lain terhadap dirinya, karena “we must not allow other people’s  limited perception to devine us,”tandas Stephen Hawking.

Kendati sudah punya media grup media, Ches merambah lagi bisnis lain—oleh Gary Keller dan Jay Papasan disebut the one thing (satu hal terpenting), seperti pribahasa Rusia: “kita tidak mungkin mengejar dua kelinci di waktu yang bersamaan.””Saya melakukan sesuatu secara bertahap karena ingin merasakan sakitnya,”ujar Ches, saya membisu.  

Penyuka lagu-lagu nostalgia terutama Tomy J Pisa itu berteguh dengan prinsip: memimpin tak boleh pelit, dan rajin bersedekah. Jika rezekinya pasang, beli makanan, dinikmati bersama karyawan di kantor. Kalau lagi surut, istrinya masak untuk dinikmati bersama pula. Kapital tak selamanya harus modal, melainkan pikiran dan tindakan, serta berbuat baik yang pada akhirnya tercipta suatu “ketergantungan.” Membangun kedisiplinan tidak dengan suara. Ia berkantor saat pasukannya masih berselimut. Seiring waktu, mereka “malu” sendiri, dan menyambut pagi lebih awal, agar “ayam tak mematok rezeki. J.Vance Cheney berkata,” jiwa tidak akan memiliki pelangi seandainya mata tidak dibasahi air mata.”

Israfil, Jurnalis, dan Corona

Sejak di bangku pendidikan sekolah dasar, guru menginformasikan bahwa malaikat Israfil diciptakan oleh Allah SWT dengan tugas meniup sangkakala terompet pertanda hari kiamat tiba. Para pengkhutbah agama pun demikian pandangannya, sembari menukil bagaimana horornya kiamat nanti, yang teramat mengerikan. Tak ada tandingannya dengan bencana selain kiamat.

Generasi milenial mulai sekolah taman kanak-kanak juga sudah tahu tugas Israfil seperti itu. Tak ada interpretasi (takwil) tugas Israfil yang lain, yang diketahui anak-anak maupun orang dewasa. Lalu apa yang dilakukan Israfil ketika hari kiamat belum tiba?

Pertanyaan tersebut diajukan Emha Ainun Nadjib saat berbagi pengetahuan sarat makna bertema “manusia batu dan manusia mutiara”, 13 Agustus 2017 lalu, yang sudah berulang kali saya pelototi di youtube pada 2019. Emha dengan gayanya yang khas mengajukan pertanyaan lain terkait tugas malaikat, yang mengundang tawa, menyegarkan pikiran.

Bagi Emha, malaikat itu semacam Institusi, yang perdana menterinya malaikat Jibril. Adapun Israfil ialah alkhabir-nya Allah. Israfil merupakan sound system all information of Allah. “Masa Allah Yang Maha Kuasa menciptakan malaikat yang tugasnya hanya meniup terompet? Kata Cak Nun, sapaan akrab Emha, sembari meniru gaya peniup trompet, yang lagi-lagi mengundang tawa.

Fungsi Israfil sebagai duta informasi, kata budayawan yang saya kagumi sejak mahasiswa itu, jika ditarik ke dunia manusia, dalam sistem pemerintahan atau ketatanegaraan ialah menteri penerangan (di zaman Orde Baru yang sudah dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, diganti dengan menteri informasi dan komunikasi). Menteri ini menyampaikan informasi pemerintah kepada khalayak melalui publikasi media cetak, elektronik, dan media daring.

Fungsi yang sama dijumpai pada biro protokol dan humas di pemerintahan daerah, yang kerap disebut juru bicara pemerintah. Perusahaan besar juga punya biro semacam itu. Di luar institusi-institusi tersebut, ada badan usaha khusus swasta yang fokus menyajikan informasi, di samping peran bisnis dan politiknya, yakni pers. Kendati mengemban fungsi demikian, pers lebih bebas dibanding biro protokoler dan humas.

Pers merupakan profesi mulia yang diakui negara. Pers memegang peranan penting dan strategis sehingga disebut salah satu dari empat tiang penopang demokrasi dalam suatu negara, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Suatu negara disebut demokratis jika pers “bernafas” bebas di negara itu. Kebebasan itu kebebasan bertanggung jawab yang dipagari undang-undang pers dan kode etik jurnalistik.

Pada konteks fungsional, rasanya tak berlebihan untuk dikatakan bahwa jurnalis ialah “Israfil Israfil kecil” yang mengemban tugas dan tanggung jawab mulia, menjembatani setiap peristiwa yang layak diberitakan secepat mungkin kepada publik di kota hingga pelosok. Mereka bekeja lebih sepuluh jam setiap hari, seakan tak kenal lelah.

Dan, virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19, menjadi isu “terseksi” pemberitaan pelbagai media di dunia sejak pertama menyerang penduduk Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Semenjak itu, setiap hari, tak lengkap rasanya jika tidak mengikuti perkembangan corona yang begitu populer diberitakan media cetak, elektronik, dan daring.

Kendati corona jadi isu “terseksi”, tapi semakin disibak, bukannya “menggairahkan.” Malah menakutkan karena sisi “gelapnya” yang dicenderungkan, ketimbang benderangnya yang dapat memekarkan asa, dikedepankan.

Cepat tersebar melalu interaksi manusia, jumlah pasien bertambah, nyawa terus berjatuhan dan protokol pemakaman tak biasa, yang meridingkan pasien dan masyarakat merupakan sisi “gelap” yang dipekatkan lagi dengan informasi mengernyitkan dahi. Siapa yang tak bingung dengan judul berita orang positif Covid-19, sementara isinya hasil rapid tes yang kebenarannya ditentukan hasil uji specimen di laboratorium?

Siapa pula yang tak risau dengan orang yang statusnya belum dibuktikan di laboratorium, lalu meninggal akibat penyakit lain, dimakamkan dengan protokol kesehatan tanpa penjelasan medis yang detail? Sementara dalam data resmi tidak dimasukkan sebagai orang atau pasien yang meninggal akibat corona? Mengakumulatifkan pasien positif dan positif sudah sembuh, adalah informasi penting yang tak kalah menggegerkan.

Sebelumnya, sejumlah peneliti media, jurnalis dan pengamat sosial sudah mekritik pemberitaan melalui artikel di media nasional dan daerah. Sebab, pembaca di Indonesia tak seperti di negara-negara maju yang sudah kuat literasinya. Sudah mampu membedakan mana informasi yang bisa disaring, dipercaya, dan tidak.

Di Indonesia, banyak orang tak lagi menyaring informasi, seakan-akan yang tersaji ialah kebenaran yang tak perlu ditelisik lagi kebenarannya. Lalu diobrolkan di mana-mana. Di kampung, di “rumah” Tuhan, pemerintah desa rajin mengumumkan perkembangan corona, menakutkan masyarakat, dan mungkin melampaui ketakutan mereka pada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Kerja, termasuk jurnalis jadi bermakna jika dimaknai sebagai pengabdian seorang hamba kepada Tuhan. Jurnalis yang sampai pada maqam (tingkatan) ini dengan hati dan pikiran benderang akan menyajikan berita yang jernih, edukatif, tidak diskriminatif, dan seterusnya. Sebab, ia sadar, kerja-kerjanya ialah bentuk ibadah kepada Tuhan yang tak kalah penting dengan ibadah lain yang dititahkan Tuhan maupun yang diteladankan Nabi Muhammad Saw.

Hanya dengan kesadaran sebagai hamba Tuhan, kata Nadirsyah Hosen, dosen senior Monash Law School, Australia, yang bisa melesat menembus sidratul muntaha, tercermin dalam firman Allah SWT (QS. Al-Isra [17]:1). Pada kesadaran ini pula, seseorang menekuni profesinya sebaik mungkin, tidak memainkan skenario orang lain, tak membutuhkan pujian, tidak tumbang oleh cercaan.

Saat menyudahi tulisan ini, sayup-sayup terdengar, penggunaan anggaran daerah/negara untuk penanganan Covid-19, akan dibenderangkan sejumlah jurnalis yang sejak dulu konsen mendukung upaya pemberantasan korupsi, dan sudah mengukir jejak keberhasilan menyibak tabir korupsi dana bencana yang lain. Semoga (*)


Sumber gambar: Google

Mengenang Wallace

Alfred Russel Wallace adalah seorang naturalis, zoolog, biolog, biogeografi, dan pencetus teori evolusi yang hidup dalam kurun waktu 1823-1913. Lahir 14 tahun sebelum era Victoria 1837, tepatnya 8 Januari 1823 di Llanbodac—sebuah Desa di kawasan Monmoutshire, Inggris—kini  bagian wilayah Wales. Ayahnya, Thomas Vere Wallace berdarah Skotlandia, dan sang ibu, Mary Anne Greenell, kelas menengah Inggris dari keluarga Hertford.

Dalam keluarganya yang suka hijrah, sedari belia Wallace dikenal ‘gila’ membaca dan memiliki hasrat tahu yang sangat tinggi. Tak heran, ia “melahap” berbagai bacaan terutama buku-buku biologi, botani, matematika, geometri, bahkan politik radikal. Juga serius mendalami esai Thomas Robert Malthus, The Principle of Population, dan belajar menulis karya ilmiah secara otodidak.

Namun lantaran orangtuanya dibelit masalah ekonomi, Wallace terpaksa putus sekolah saat berusia 13 tahun. Ia lalu hijrah bersama abang-abangnya, dan mencoba berbagai pekerjaan untuk meringankan beban hidup. Tapi, tak satu pun pekerjaan yang membuatnya betah.

Peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dhuroruddin Mashad dalam buku Alfred Russel Wallace, Pencetus Teori Seleksi Alam dan Garis Imajiner Nusantara mengatakan, kehidupan Walllace berubah tatkala berkenalan dengan H.W. Bates—seorang naturalis dan penjelajah kenamaan Inggris. Pada 1848-1852, Wallace dan Bates menjelajahi Amazon hulu untuk mengumpulkan hewan dan tumbuhan. Dalam perjalanan pulang ke Inggris, kapalnya terbakar. Semua spesies hewan dan tumbuhan yang dikumpulkannya lenyap. Catatan-catatan penelitiannya pun nyaris tak tersisa.

Musibah itu tak membuat Wallace frustasi. Bermodal catatan yang tersisa, ditunjang ingatannya yang kuat akan kondisi Amazon dan spesies hewan maupun tumbuhannya, Wallace menulis enam karangan akademis. Juga dua buku, Palm Trees of The Amazon and Their Uses, dan Travels of  the Amazon.

Kendati karya-karyanya itu melambungkan namanya di panggung intelektual Eropa, terutama kalangan naturalis, rasa tak puas masih menggelayuti Wallace. Pada 1854—saat berusia 31 tahun, Wallace menuju Nusantara.

Di negeri ini, Wallace melakukan penelitian selama enam tahun—dua tahun di Sulawesi dan empat tahun di Ternate. Di kota mungil ini, ia menempati sebuah rumah di Keluarahan Santiong, sebagai basis pengamatan. Wallace mengunjungi berbagai pulau besar dan kecil di Sulawesi, Maluku, Papua, dan Timor. Di Sulawesi, selain Makassar, ia menjelajahi Gowa, Maros, Manado, dan Tondano. Di Maluku, pulau kecil yang paling banyak dikunjungi yaitu pulau Halmahera (Jailolo, Sahu, Dodinga, Waigeo), Kayoa/Ngeilo, Bacan, Moti, Makean/Taba, Tidore, Buru, dan Seram.

Alhasil, Wallace mengumpulkan sekitar 125.660 spesimen, terdiri dari 83.200 spesies calootera, 13.400 spesies serangga, 13.100 spesies lepidopetra, 8.050 spesies burung, 7.500 spesies kerang, 310 spesies mamalia, dan 100 spesies reptil.

Sejumlah sumber menyebutkan, di Ternate, ia menulis makalah berjudul On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Origin Type, dikenal sebagai Ternate Paper atau Letter from Ternate, dikirim ke Charles Darwin di Inggris, 9 Maret 1858 untuk disampaikan kepasa Sir Charles Lyell. Makalah ini dibacakan Charles Lyell dan Joseph Dalton Hooker secara bersama dengan dua makalah Darwin yang juga mengusung tema yang sama, di hadapan Linnean Society London, 1 Juli 1858. Setahun kemudian, mahakarya Charles Darwin, The Origin of the Spesies, terbit.

Julian Huxley mengatakan, Charles Darwin ‘berani’ menulis buku The Origin of Species lantaran terilhami Wallace di Ternate. Jika tidak, Darwin akan menunda lagi 15 tahun kemudian untuk menulis bukunya yang mengguncang jagat ilmu pengetahuan dan agama.

Selain itu, setelah menulis beberapa karya ilmiah untuk jurnal-jurnal ilmiah di Eropa, Wallace menulis The Malay Archypelago—buku yang berisi semua perjalanan dan penelitiannya di Nusantara, Singapura dan Kepulauan New Ginie, sejak 1854-1860,  terbit pada 1869. Tahun 2009 atau 140 tahun baru diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Komunitas Bambu, berjudul Kepulauan Nusantara, Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Di Eropa dan Amerika berulang kali buku ini dicetak dengan judul On the Zoological Geography of The Malay Aarchypelago. Selain menjadi dasar ilmu biogeografi, buku ini juga sebagai dasar lahirnya Garis Wallacea.

Garis Wallacea, seperti dijelaskan Karnera (Kordi K, 2009), berawal dari sebelah selatan Pulau Mindanao, Filipina, memotong Laut Sulawesi, terus ke Selat Makassar melalui Selat Lombok hingga di ujung barat Australia. Garis imajiner Wallace ialah pemisah fauna dengan bagian barat. Para ahli membuktikan bahwa Garis Wallacea benar bagi hewan vertebrata, ikan air tawar dari marga Cyprinidae,  aan beberapa spesies burung.

Sekalipun kontribusinya amat besar di jagat ilmu pengetahuan dunia, ilmuan yang di senja hidupnya masih aktif menulis itu laksana “padi yang makin berisi.” Seperti ditulis Tony Whitten, penulis utama buku The Ecology of Sulawesi dalam pengantar mahakarya Wallace, The Malay Archypelago: “Berbagai macam penghargaan dan medali diberikan kepada Wallace. Tapi Wallace tak menganggap penting hasil pemikirannya. Ia selalu menyerahkan setiap pujian dan tanda jasa kehormatan kepada Darwin, juga kekayaan, kemasyhuran dan kekuasaan.”

Wallace ialah bagian dari sejarah bangsa Indonesia, demikian dikatakan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Indonesia, Sangkot Marzuki. Sayangnya, ia dilupakan. Jangankan tradisi ilmiah mengagumkan yang dirintisnya, jejaknya pun tak berbekas. Di Ternate, misalnya, rencana pembangunan Tugu Wallace di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, yang disepakati para ilmuan pada November 2009, tak terwujud. Jalan A.R. Wallace yang pada 2003 masih ada, sudah berganti menjadi Jalan Saleh Puha—seorang tokoh masyarakat setempat. Demikian halnya rumah yang ditempati sebagai pos pengamatan.

Membuka kembali lembaran-lembaran The Malay Archypelago—buku yang belum ada tandingannya, juga tulisan-tulisan tentangnya, sembari berupaya memetik hikmah dari kisah hidupnya, ialah cara saya mengenang ilmuan besar yang tanggal dan bulan kelahirannya sama dengan saya, 8 Januari.