Semua tulisan dari Muslih Nur Husain

Mahasiswa Unhas. Bergiat di Kelas Menulis Paradigma Institute

Ruang Jumpa Masanobu Fukuoka dan Revolusi Dari Sebatang Jerami

Sejak menjadi mahasiswa jurusan Teknologi Pertanian, saya banyak terkagum-kagum dengan negara Jepang. Namun kali ini bukan mengenai minat baca, etos kerja dan kedisiplinan orang-orang Jepang, tapi pada sistem pertaniannya. Ketika para petani di kampung masih mempersoalkan berebut air di lahan sawahnya, para petani di Jepang sudah mengembangkan menanam padi di atap gedung. Sungguh terobosan yang sangat hebat menurutku. Penggunaan drone dalam penyemprotan pestisida dan pemupukan, penerapan sistem irigasi tetes, hidroponik dan greenhouse adalah hal lain yang membuat saya berdecak kagum dengan pertanian di Jepang.

Memasuki usia senja di kampus, rasa kagum pada pertanian Jepang itu kembali menyeruak dalam bentukannya yang berbeda. Kali ini melalui perjumpaan saya dengan Masanobu Fukuoka. Tuan Fukuoka ini merupakan seorang petani di Pulau Shikoku, Jepang Selatan. Selama beberapa minggu saya banyak berbincang dengan beliau, mengikuti rutinitas kegiatan bertaninya dan mendengarkan gagasan-gagasan beliau tentang pertanian. Kagum pada Jepang dengan pertaniannya lagi? Apanya yang berbeda?

Pada gagasan pertanian Tuan Fukuoka inilah letak perbedaanya. Ketika di kampus kita banyak menyerap teori pertanian modern, penerapan alat dan mesin pertanian, dan beragam metode peningkatan produktifitas lahan, tuan Fukuoka melihat pertanian dengan cara berbeda. Ia melihat sistem pertanian modern ala Amerika itu merupakan sistem pertanian yang sungguh mendegradasi tanah dan manusia itu sendiri. Sehingga ia kemudian mengembangkan apa yang disebut sebagai pertanian alami, yang memerlukan tenaga kerja dan kerusakan alam yang lebih sedikit dari metode mana pun, dengan hasil per acre dipertahankan sama.

Sistem pertanian alami yang ia kembangkan ini serupa antitesa dari sistem pertanian modern, yang dalam usaha tani modern dapat di temui beberapa terobosan. Seperti penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, pestisida dalam penanganan hama serta penggunaan alat dan masin pertanian. Menurutnya sistem pertanian modern ini menimbulkan banyak efek negatif. Di antaranya yang pertama soal rusaknya tanah dan ekosistem alam, dalam usaha tani modern tanah telah digarap hingga ujung titik nadirnya, sehingga unsur hara dan mikroorganisme tanah telah habis. Sedang tanah merupakan sumber tumbuh tanaman yang apabila tanah sehat maka tanaman yang akan dihasilkan akan kuat pula.

Kedua mengenai mahalnya biaya pertanian dan banyaknya waktu yang perlu dilauangkan petani. Dalam sistem pertanian modern ada banyak unsur tambahan yang perlu disubtitusi petani dalam unit usaha taninya, semisal bibit, pupuk, pestisida serta bahan bakar alsintan (alat dan mesin pertanian). Implementasi semua unsur ini pun membuat petani menjadi sedemikian sibuknya. Dalam salah satu percakapan Tuan Fukuoka berucap “petani telah kehilangan kesehatan fisik dan spiritualitas yang tenang. Tidak ada waktu bagi seorang petani dalam pertanian modern untuk menulis sebuah sajak atau menggubah sebuah nyanyian”.

Ketiga sistem pertanian modern menghasilkan komoditi yang melemahkan tubuh manusia. Dalam unit usaha tani yang melakukan banyak penggunaan bahan kimiawi, tanaman yang dihasilkan sebenarnya telah mengalami perubahan struktur kimiawinya. Yang selanjutnya ikut mengubah susunan kimiawi tubuh manusia. Dalam kondisi fisik manusia yang terus terlemahkan, akhirnya vitamin dan obat-obatan menjadi kebutuhan.

Fukuoka berkeyakinan bahwa tanaman itu tumbuh sendiri dan seharusnya tidak ditumbuhkan. Perenungannya akan realitas pun mengantarkannya pada paradigma yang berbeda. Jika dalam paradigma modern kita akan selalu berfikir bagaimana terus mencoba dan memasukkan ragam teknik pada tanaman, maka dalam paradigma pertaian alaminya ia selalu berfikir bagaimana supaya tidak mengerjakan ini dan bagaimana supaya tidak mengerjakan itu. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan tidak perlu membajak, tidak perlu menggunakan pupuk, tidak perlu membuat kompos, tidak perlu menggunakan insektisida. Jika dilakukan secara benar, maka sedikit saja kegiatan pertanian yang benar-benar perlu.

Dalam sistem pertanian alaminya, Tuan Fukuoka kemudian menuturkan ada empat azas yang ia pegang. Yang pertama ialah tanpa pengolahan, ia menuturkan bahwa selama beberapa generasi para petani begitu yakin akan fungsi penting pembajakan. Sebaliknya ia melihat bahwa tanah dapat mengolah dirinya sendiri secara alami melalui penetrasi akar-akar tumbuhan dan aktifitas mikroorganisme, binatang-binatang kecil dan cacing-cacing tanah.  

Kedua ialah tanpa pupuk kimia atau kompos yang disiapkan, menurutnya orang coba menganggu alam dan kemudian tidak dapat menyembuhkan luka-luka yang diakibatkannya. Pratik bertani yang sembrono telah menguras hara tanah dan mengurangi kesuburan lahan tiap tahunnya. Yang semestinya jika tanah dibiarkan dalam keadannya sendiri tanah dapat menjaga kesuburannya sendiri secara alami dengan daur yang teratur oleh tumbuhan dan binatang.

Ketiga yaitu tanpa menghilangkan gulma dengan penyiangan tanah atau herbisida. Tuturnya gulma berperan dalam membangun kesuburan tanah dan menyeimbangkan komunitas biologis. Pada prinsipnya gulma seharusnya dikendalikan bukan dihilangkan. Keempat yaitu tidak bergantung pada bahan-bahan kimia. Usaha pertanian dengan pembajakan, pengguanaan pupuk kimia telah menghasilkan tanaman yang lemah, sehingga penyakit tanaman dan serangga kini menjadi masalah yang besar. Yang mana sebenarnya alam, bila dibiarkan akan berada dalam keadaannya yang seimbang. Dalam paradigma pertanian alami kita melihat alam dengan cara yang holistis, hama dan serangga bisa saja merupakan hal yang dibutuhkan ekosistem tanaman. Yang perlu dipikir kemudian bagaimana membangun ekosistem yang aman bagi tanaman yang kita budidayakan. Pendekatan yang arif dalam mengendalikan penyakit dan serangga adalah dengan menanam tanaman-tanaman yang kuat pada lingkungan yang sehat.

Wal akhir, gagasan pertanian Fukuoka ini meski terdengar begitu filosofis namun gagasannya ini tidak meninggalkan sisi praktisnya. Selama beberapa tahun ia mengembangkan metode pertaniannya, ia sendiri telah membuktikan bahwa metode pertaniannya dapat menghasilkan panenan yang kurang lebih sama dengan para petani yang menggunakan sistem pertanian modern. Misalnya saja dilahan sawah yang ia kelola, ia dapat memperoleh 18-20 gantang (lebih kurang 500-590 kilogram) padi per seperempat hektar. Hasil ini hampir sama dengan yang dihasilkan oleh metode kimiawi maupun metode tradisional di wilayahnya. Begitupun dengan hasil tanaman biji-bijian musim dinginnya yang lebih tinggi dibandingkan yang diperoleh sistem pertanian tradisional dan kimiawi. 

Sebagai sebuah gagasan dan paradigma baru dalam pertanian, sistem pertanian alami yang Tuan Fukuoka kembangkan ini menarik perhatian banyak pihak. Baik dari kalangan akademisi maupun para petani sendiri. Di wilayah tempat tinggal Tuan Fukuoka, sistem pertanian ini pada beberapa sisi ditiru dan diimplementasikan di unit usaha para petani. Meski begitu gegesan ini belum terimplementasi secara menyeluruh dan tak jarang menuai kritik. Menurut Tuan Fukuoka hal ini karena orang-orang belum bisa keluar dari cara pandang terhadap alam yang begitu terspesialiasi dan tidak bisa melihat keutuhan.  

Setelah beberapa minggu banyak berbincang dengan Tuan Fukuoka, perbincangan ini kemudian banyak membentuk cara pandang saya dalam melihat pertanian dan alam. Pertemuan dengan Fukuoka yang bermula sejak kami berdua berjumpa di salah satu toko buku (Dialektika) kini telah usai. Tuan Fukuoka kini kembali berumah dalam buku (Revolusi Sebatang Jerami) yang kemudian kuletakkan diperpustakaan kecil di rumah dan kutitipkan pada malaikat buku-buku.  

Siapa Mau Menjadi Petani?

Di era kekinian akan ganjil apabila bercita-cita menjadi petani. Petani dipandang sebagai jalan hidup yang tidak ideal. Dalam sebuah kegiatan pengabdian yang pernah saya lakukan di SDN 82  Barammamase Kec. Galesong Selatan Kab. Takalar, kepada siswa kelas empat dan lima saya pernah menanyakan ihwal apa cita-cita yang mereka inginkan ketika besar nanti. Dokter, guru, polisi, tentara dan pramugari, itulah jawaban yang dituliskannya di dalam secarik kertas yang saya bagikan. Tidak ada yang menuliskan petani atau nelayan, padahal sebagian dari mereka hidup dari orang tua yang bekerja sebagai petani dan nelayan. Apalagi mereka tinggal dikelilingi hamparan sawah yang setiap saat mereka jumpai. 

Tidak salah jika jawaban petani tidak muncul dari mulut anak-anak SD ini, toh ini bukan soal menyebutkan butir-butir pancasila, yang jika salah satu poinya tidak disampaikan maka kelirulah jawaban kita. Mungkin saja kata petani ini tidak muncul karena konklusi yang mereka tangkap dari ucapan-ucapan orang tua mereka ihwal mengapa perlu sekolah. “Sekolahki baek-baek nak, semoga kitami yang siksa begini karena tidak sekolah” kata-kata itu sering kudengar di kampung dari mulut tetangga, pun dari mulut orang tuaku. Sepertinya kata-kata itu pun cukup mahsyur di telinga anak-anak SD ini. Nah, jika kita lihat kalimat tersebut, salah satu kesan yang muncul ialah orang tua tidak mendambakan kita seperti mereka yang menurut pendakuannya menjalani hidup dengan berat dan susah, di jalan hidup mereka sebagai petani, nelayan atau pedagang kaki lima. 

Dilansir dari detikfinance berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dikutip Jum’at (24/9/2021) jumlah rumah tangga pertanian secara keseluruhan menurun dari 31,2 juta pada 2003 menajdi 27,7 juta pada 2018. Kanal berita yang lain, Tempo.co mewartakan Badan Penyuluh dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian mencatat petani muda yang berusia 20-39 tahun di Indonesia hanya berjumlah 2,7 juta orang. Hanya sekitar delapan persen dari total petani kita yang berjumlah 33,4 juta orang. Sisanya lebih dari 90 persen merupakan petani kolonial atau petani yang sudah tua.  Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, menyatakan bahwa jumlah petani muda terjadi penurunan 415.789 orang dari periode 2017-2018. Mengapa sih fenomena ini muncul, sementara yang namanya regenerasi dalam satu sektor itu sangat penting, sebab jika tidak ada regenerasi maka suatu sektor lambat laun akan menjumpai titik nadirnya. 

Era sekarang, sektor pertanian dipandang tidak bisa memberikan prospek yang cerah. Dalam buku “Melihat Desa dari Dekat” buah tangan Nurhady Sirimorok terdapat satu esai yang bercerita mengenai diskusinya dengan seorang petani berusia tigapuluhan, perihal bagaimana masa kejayaan kakao yang pernah ia jumpai. Pada saat itu tidak ada kawannya yang ingin melanjutkan pendidikan, hanya ia saja yang kemudian bersekolah hingga menyelesaikan studi SMA.

Masa kejayaan kakao ini dijumpai pada saat harga kakao melambung karena jatuhnya rupiah pada dasawarsa 1990-an. Ia berbicara tentang masa kejaayaan kakao di masa ketika orang melontarkan gurauan bahwa ikan-ikan kecil untuk para pegawai sebab ikan-ikan besar untuk para petani. Dengan kondisi kakao yang sangat menjanjikan ini sekolah seakan bukan hal yang penting. Orang-orang bugis yang bertani kakao pun lantas menyimpulkan dengan sebuah kalimat yang ringkas “Namo de’gaga sikola ko engka mo sikola’ ” artinya “walaupun tak ada sekolah yang penting punya pohon kakao”

Namun keadaan setelahnya berubah. Saat ini orang-orang yang pernah menganggap sekolah tidak penting kini berlomba mengantarkan anak-anak mereka untuk duduk di bangku sekolah. Sektor yang selama ini menghidupi mereka, saat ini telah menjadi lapangan pekerjaan dengan masa depan yang suram sebab telah terjadi penurunan harga dan penurunan produktivitas lahan. Demikian pula kiranya yang dialami petani di sektor lain. Sehingga menjadi petani tidak lagi dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan yang kian hari kian membengkak. 

Selain tidak bisa memberikan prospek yang cerah menjadi petani juga akan berhadapan dengan  ketidakpastian. Menjadi petani memang akan membuat kita berkecimpung pada banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan secara langsung. Hal ini telah terjadi semenjak orang pertama memutuskan untuk mengolah tumbuhan menjadi tanaman, faktor alam tentunya memainkan peran yang sangat besar. Misalnya perihal cuaca, musim, serangan hama, tingkat kesuburan lahan dan lain sebagainya. Apatah lagi berkaitan dengan ketersediaan pupuk serta harga komoditas setelah panen. Ketidakpastian-ketidakpastian di dunia pertanian ini kemudian yang sangat berbeda dengan sektor lain yang didambakan oleh anak-anak muda, semisal menjadi pegawai kantoran, guru, tentara, dan lain sebagainya yang tinggal mengerjakan pekerjaan sesuai instruksi dan tidak perlu lagi bermain dadu bersama kondisi musim, hama, ketersediaan pupuk dan harga yang tidak menentu. 

Selain itu,  menjadi petani itu susah-susah gampang. Menurut Nurhady Sirimorok menjadi petani itu bak menjadi seorang wirausahawan atau seorang manager. Seorang petani perlu untuk mengatur segala hal atas unit usaha taninya. Menimbang tanaman apa yang cocok untuk kondisi lahannya, berapa biaya dan tenaga kerja yang dibutuhkan, serta kemana akan dijualkan setelah di panen untuk bisa mendapat keuntungan. Menjadi keliru kemudian ketika anggapan sebagian orang yang melihat sektor ini merupakan hal yang mudah dan tak perlu dipelajari hingga membuat kening berkerut. Melihat bertani hanya sebatas membalik tanah dengan cangkul serta membersihkan rumput lahan dengan arit sehingga jadilah sektor ini sebagai opsi pelarian yang teranyar jika tidak mampu merealisasikan cita-cita yang sebelumnya sudah diperjuangkan. 

Sebagai efeknya, jadilah mereka petani yang tidak bisa mengatur unit usaha taninya dengan baik, yang berujung pada kurangnya pendapatan yang diperoleh. Ditambah lagi dengan kemampuan bertani yang telah lama tidak mereka asah. Proses belajar di sekolah belasan tahun telah membuat mereka jauh dari tanah. Pengetahuan bertani dari orang tua mereka harus berhenti dan tidak terwariskan, orang tua pun banyak yang berharap tidak mewariskan ilmu itu dengan angan anaknya menjadi pegawai. 

Selain karena menjadi petani merupakan profesi yang sungguh tidak instagramable di mana bermandi peluh, berlumurkan tanah dan debu sudah menjadi hal yang pasti, ditambah lagi dengan kulit yang siap-siap jadi lebih gelap sebab berkerja di bawah kolong langit tanpa aling-aling. Semua alasan di atas kiranya juga menjadi penyebab lain dari kurangnya anak muda yang memilih terjun ke dunia pertanian ini.