Api-api yang membentang di langit biru. Membakar hutan belantara, rumput-rumput, sawah-sawah, dan batang tubuh para petani. Kemarau sepertinya bermukim begitu lama. Tumbuhan gersang, sungai-sungai mengering, bahkan sumur dalam mendangkal ke dasarnya.
Petani siapa yang tak luka? Sawah-sawahnya yang kering, air bersih yang tentu menjadi kebutuhan hidup, sulit tersediakan. Desa-desa terpencil, jalannya masih tergenangi lumpur-lumpur. Tak hanya luluk ketika musim hujan datang, tetapi jalan-jalan yang berdebu beterbangan bersama jerami-jerami, menandakan tak pernah terlirik panasnya hawa aspal, tak seperti di desa seberang. Namun, tak ada sedih yang terucap kepada pejabat-pejabat pemerintah, menandakan petani-petani cukup berdamai dengan nasibnya.
Petani-petani di kampung. Mereka-mereka cukup berdamai dengan alam, bila musim kemarau tiba, pematang-pematang sawah menjadi saksi, telapak kaki menapaki jalan yang begitu jauh, mencari keberadaan air yang bersih, sebagai kebutuhan hidupnya. “Nasi sudah jadi bubur”, seperti itulah pribahasanya. Kehidupan di Desa-desa terpencil, tentunya mencekam bagi mereka yang bisa merasakan perih dan dukanya hidup di sekitar orang-orang yang di pinggirkan.
Petani tentu bukanlah pejabat, ia hanya pemimpin bagi keluarga-keluarganya. Disibukkan pekerjaan yang betul-betul melekat erat di tubuhnya, setiap hari bergelut dengan otot, mengeluarkan keringat dari dahi sampai ke ujung-ujung telapak. Ketika suara Adzan Subuh terdengar, mereka terbangun dari tidur, membuka kelopak mata dari pejamannya. Terasa tulang-tulang tubuhnya sulit digerakkan, mungkin saja otot yang setiap harinya bekerja keras? Namun, tetaplah ia bersabar dalam kesadarannya sebagai hamba. Hamba yang berusaha damai dengan keadaanya.
Sedikit cerita untuk Desaku …
Sebuah kampung yang diberi nama dalam dialek Bugis “Borong Kau-kaue”, yang berarti hutan ditumbuhi pohon-pohon kapuk yang lebat. Borong Kau-kaue itulah nama tempat di mana “Rakuti” (pengganti nama dari kata Petani-petani) dilahirkan.
Rakuti berjalan lama di atas gersangnya kemarau. Tanaman palawija seperti; kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang, dan lain-lainya tak tertemukan di musim kemarau ini. Borong Kua-kaue kampung yang sungguh asing. Pak Gubernur yang tak pernah mendengarnya, Pak Bupati pun mungkin tak tahu di mana tempatnya. Salama Pak Desa menjabat, langkahnya tak pernah berpijak di jalan yang dipenuhi debu-debu dan jerami hangus.
Rakuti menemui pagi dengan awan yang sedikit menggumpal. “Mungkin sebentar lagi hujan membasahi tanah-tanah ini, sudah sangat lama memendam dan mendiamkan rindu.” Terlintas dalam khayalnya. “Semoga saja,” berbalas seketika dalam hati. Rakuti merayu di setiap sujud-sujudnya, agar hujan segera menghapus gerah dan debu-debu di Borong Kau-kaue. Maka bergembiralah Rakuti menyambut tetesan-tetesan hujan. Setelah berlibur panjang karena kemarau, saatnya menguji peralatan-peralatan tani untuk menggarap sawah-sawahnya. Antusiasme penduduk Borong Kua-kaue terlihat nyata. Rakuti berbondong-bondong menuju saluran irigasi tani, mereka dengan solid memperbaiki irigasi untuk kebutuhan tanaman padinya di esok hari.
Walaupun tanpa surat edaran, sejak dulu mereka-mereka taat dengan aturan-aturan bertani. Sebelum membajak sawah-sawah, terlebih dahulu bergotong-royong memperbaiki irigasi-irigasi. Culture yang tetap menjadi pengangan Rakuti dalam menjalani aktivitas adalah bergotong-royong. Bersabar, berusaha, dan tentunya segala kejadian-kejadian nyata datangnya dari yang Maha Kuasa (Sang Pencipta) keyakinan yang tidak melebur hilang.
Sejak orde lama Borong Kau-kaue ini muncul. Menurut cerita, penduduk yang memilih tidak untuk dipekerjapaksakan oleh kolonianal-kolinial, masuk ke hutan-hutan. Bermukim dan mengsulap seketika hutan-hutan itu menjadi sawah yang luas seperti yang bisa dirasakan oleh generasi penerus. Rakuti sangat menghargai kerja keras oleh petua-petua yang telah mendahului.
Jalan yang menerobos ke Borong Kau-kaue sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, sampai hari ini masih terlihat mentah. Kadang Rakuti setiap tahunnya bergotong-royong pula demi lancarnya kebutuhan hidup.
Tetesan hujan telah membasahi tanah-tanah yang cukup lama merindu. Merindukan panasnya terik berubah hangat, dari yang hangat tentu tak ingin menggigil kedinginan. Mengapa ketika hujan datang, jangan melepas kemarau? Karena bila hujan turun deras, juga akan mengaliri jalan-jalan yang berdebu itu! Luluk tak bisa menggerakkan roda dua. Yang hanya akan memperlambat anak-anak Rakuti tiba di Sekolah. Harus dengan melangkahkan kaki dengan semangat besar, berjalan berkilo-kilo meter jauhnya.
Rakuti tetap bersyukur atas segala nikmat-Nya. Menjadikan hujan dan kemarau sebagai ujian dan ketaatan kepada Sang Khalik. Menjadi Rakuti tentu sebuah pengabdian, menunggu sebuah gaji (jalan membaik) agar terlihat kesuksesannya di mata orang. Tak berharap terdengar oleh Presiden, Gubernur, Bupati, dan Kepala Desa, ia hanya ingin ke “Gotong-ronyongan” tetap melekat di tubuh-tubuh Rakuti lainnya.
Salam hangat menyambut Musim Hujan ……
Sumber gambar: https://fineartamerica.com/featured/bringing-home-the-hay-motionage-designs.html
Mustafa Majja’pi. Lahir di Bulukumba. Lulusan Magister Hukum yang memilih menjadi petani. Sebab baginya mengabdi kepada Negara tak hanya dengan menjabat di pemerintahan. Menapaki jalan yang sunyi, berharap menemukan jalan yang cerah, dan titik terang untuk Desanya. email : mustafamjmj@yahoo.co.id
HP : 082190860490