Semua tulisan dari Nabila Azzahra

Peserta Kelas Menulis Paradigma Institute. Perancang Grafis. Alumnus Politeknik Makassar

Lelaki Labu

Seorang lelaki yang telah lama hidup sendiri sangat gemar memakan labu kuning. Aneka jenis hidangan selalu ada unsur labu yang ia masukkan. Seperti sayur, sup, jus, kue maupun roti. Suatu waktu ia harus meninggalkan rumahnya di desa dan memulai hidup baru di kota seberang. Harta yang ia miliki hanyalah rumah dan labu-labunya. Rumahnya pun sudah terlampau tua bahkan nyaris ambruk, namun untuk merenovasi rumah tersebut ia tak mampu. Maka ia pun meninggalkan rumahnya itu. Sebagai rasa terima kasih kepada desanya, pekan berikutnya ia sudah memanen seluruh labu di kebunnya, dan membagikan kepada para penduduk desa. Dan yang ia bawa ke kota hanyalah biji labu, sebagai bekal kehidupannya yang baru.

Setibanya di kota seberang, lelaki tersebut mencari lahan yang bisa ia huni sekaligus bisa dipakai untuk menanam biji-biji labunya. Lucunya, labu kuning itu bisa beraneka rasa. Tergantung bagaimana emosi lelaki itu. Jika saat ditanam dengan perasaan gembira, maka akan manis hasilnya. 

Seperti salah satu kisah antara ia dan labunya, ia mendapat yang manis. Betapa beruntungnya! Karena labu tersebut ditanam ketika ia sangat gembira merayakan hari lahirnya. Waktu itu hujan turun dengan lebat, setelah berhari-hari tidak turun hujan. Segera ia menyambut hujan yang turun dengan menyiapkan bak-bak penampungan airnya untuk penyiram tanamannya nanti. Ia kemudian membuat teh hangat di tungku sembari mengambil roti kering di lemarinya. Aroma tanah, udara yang dingin, suara gemuruh hujan dan hangatnya tungku membuat hatinya sangat gembira. Setelah hujan reda, barulah ia menanam biji labunya.

Begitu pun ditanam dengan perasaan yang bersungut-sungut, ketika ia kehilangan arloji kesayangannya, ia mencoba mengalihkan perasaan dongkolnya dengan menanam labu. Namun apa yang terjadi? Rasanya pahit seperti tidak sengaja menggigit biji buah!

Dan ketika ia meratapi kepergian anjingnya, sambil menanam labu, rasanya bisa asin seperti air mata jika ditanam dengan perasaan duka.

Mungkin suatu waktu nanti ia akan menemukan rasa baru pada labunya.

Yang membuat lelaki tersebut kebingungan, ia tidak bisa mengetahui mana labu yang rasanya manis, asin dan pahit.

Seakan bisa membaca pikirannya, seekor monyet hitam muncul dan menawarkan bantuan. Ia megatakan, bahwa ia memiliki kawan yang ahli akan labu. Lelaki itu pun menanyakan imbalan dan monyet hitam hanya menginginkan topi kebun miliknya. Lelaki tersebut heran, ia tak menyangka topi kebun miliknya yang telah usang akan berharga. Monyet hitam itu berjanji akan kembali bersama kawan-kawannya yang lain untuk membantunya. 

Keesokan harinya monyet hitam sudah ada bersama dengan kawannya, kuskus dan burung pelikan. Siap dengan atribut kerja mereka — ember, keranjang dan sekop kecil. Mereka berbagi tugas. Kuskus mendeteksi rasa-rasa labu, burung pelikan akan menyirami kebun dari tampungan air di paruhnya. Dan monyet hitam menanam biji-biji labu. 

Tiba-tiba, alangkah terkejutnya ia ketika menemukan labu yang amat sangat besar — seukuran balon udara — tumbuh di pekarangan lelaki itu. Ketika dibelah labu itu berisikan anak-anak labu. Anak-anak labu itu melompat ke sana kemari. Lelaki itu bertepuk tangan kegirangan seperti melihat pertunjukan, monyet hitam, kuskus dan burung pelikan menari serta berjingkrak-jingkrak. Namun pertunjukan tersebut hanya berlangsung setengah hari, sebelum anak-anak labu tergeletak kembali. 

Dengan cepat kabar mengenai lelaki itu tersebar ke penjuru kota. Tanpa butuh waktu lama ia pun mendapati julukan ‘Lelaki Labu’. Saat Lelaki Labu ke kota berbelanja kebutuhan harian, semua penduduk kota menyapanya. Oh, tentu saja mereka melakukan itu karena berharap diberi dan bisa mencicipi kelezatan labu miliknya. Bahkan terselip di hati mereka ingin melihat pertunjukan anak-anak labu yang menari. Penduduk kota bahkan memberi tawaran bahwa labu bisa ditukar dengan jualan mereka.

Namun tanpa penduduk kota minta pun, Lelaki Labu dengan murah hati akan membagikannya kepada mereka. Ia hanya perlu waktu beberapa hari untuk memotong-motong labu raksasa tersebut. Bahkan monyet hitam, kuskus dan burung pelikan sudah bekerja keras. Anehnya, dengan begitu cepat labu raksasa tersebut akan tumbuh kembali keesokan harinya. 

Maka karena berlimpah ruah, pada awal bulan berikutnya dibuatlah festival labu oleh walikota. Aneka jajanan, pertunjukan dan pameran seni yang bahan utamanya —  tentu labu — dijejerkan di sepanjang jalan kota. Semua mengelu-elukan akan Lelaki Labu, ia bahkan digadang-gadang oleh penduduk kota sebagai walikota selanjutnya. 

Namun sayang, pada musim tahun berikutnya badai memorak-perandakan kebun labu miliknya. Hingga yang tersisa hanyalah cerita dari mulut ke mulut penduduk kota bahwa labu terbesar pernah ada di kota itu. 

“Ah, sedih sekali kita sudah tak punya kebun yang bisa kita garap” ungkap Lelaki Labu.

“Apa kau ingin tinggal bersama kami?” Tawar monyet hitam. “Mengingat kau sudah tak punya tempat tinggal”.

“Kau bisa tidur di tempatku” kuskus menimpali.

“Dan bisa memancing bersamaku di danau” sambung burung pelikan. “Aku juga masih menyimpan sekeping biji labu. Jadi kita bisa berkebun di dalam hutan!”

“Hebat!” Mereka bersorak-sorai

Mata Lelaki Labu berbinar-binar mendengar tawaran monyet hitam, kuskus dan burung pelikan. Tanpa pikir panjang, Lelaki Labu lalu ikut masuk ke hutan bersama kuskus serta burung pelikan. Dan tak pernah kembali ke kota lagi. Jika kau melihat labu berukuran balon udara terbang dari arah hutan, itu berarti Lelaki Labu mengadakan festival kecil bersama kawan-kawannya. 

Memaknai Makna

Di Denpasar Barat, mukimku saat ini. Abiku, Sulhan Yusuf, mengirimkan buku karangannya yang terbaru, dari kota Makassar. Menurutnya, buku ini amat menarik untuk dibaca. Abi merekomendasikan bacaan ini padaku. Disertai kata-kata mutiara di halaman pertama, sekaligus bubuhan tanda tangan darinya.

Abiku menulis, “Dalam keberkahan hidup, ejalah buku ini.” Tahun ini, Maksim Daeng Litere adalah buku pertama yang kubaca dari hasil rekomendasi abi.

Aku membolak-balik buku ini. Ukurannya sangat pas dibawa kemana-mana, tidak memakan tempat. Buku terbitan Liblitera memiliki ciri yang khas dalam penerbitannya. Seperti memiliki pembatas buku (yang sudah jarang kutemui dalam buku-buku terbitan sekarang), dan lipatan, semacam kuping buku, di balik sampul depan dan belakang yang berisi kutipan. Layaknya memberi sapaan singkat atas kedatangan dan perpisahan.  

Pun sinopsis dari Maksim Daeng Litere menggunakan warna yang kontras. Dari kovernya yang dominan hijau tua, tentu ini amat memudahkan mata pembaca. Jika mengikuti terbitan dari buku- bukunya, pilihan warna kovernya amat berbeda dari dua buku sebelumnya yakni, Tutur Jiwa (2017) dan antalogi esai Pesona Sari Diri (2019) yang menggunakan kover berwana cerah. Ini seperti sampul dari buku sehimpun puisi AirMataDarah (2015), memiliki  warna yang sedikit serupa. Meski AirMataDarah dominan merah.

Sampul bukunya, menggunakan ilustrasi dari gambar tangan yang membuat kesan person to person, menggambarkan ruangan yang ditemukan di dalam hutan dengan suasana ruangan yang terpencil. Namun, begitu memiliki banyak buku di dalamnya. Bagi yang mencintai buku, sudah pasti ia akan melihatnya sebagai surga kecil. Dalam ruangan tak ditemukan siapa-siapa, jika aku berada di tempat itu tentu akan menjadi ruangan untuk menyepi. Buku-buku yang ada dalam ruangan ini layaknya kumpulan maksim, yang begitu keluar dari ruangan (menuju cahaya) menjadi tercerahkan.

Sampulnya menggunakan huruf model sarif, seperti ingin memberikan kesan klasik yang memiliki keterbacaan. Judul buku pada sampulnya pun akan timbul saat dipegang. Meski ungkapan “Don’t judge book by cover” sudah sering kita dengar, ada baiknya tidak diberlakukan lagi pada sampul buku.

Namun, ada yang mengherankan, nama pengarang dan judul pada punggung bukunya. Jenis huruf yang digunakan berbeda dengan sampulnya. Amat unik. Seunik dengan maksim yang ditulis selama 366 hari, bukan 365 hari dalam setahun.

Pada isi buku ini, ada ungkapan terima kasih (pendakuan) kepada penulis untuk keluarganya, tentang buku ini, tentang Daeng Litere yang menceritakan asal-usul siapa daeng ini. Dan prolog, dari Muhammad Nur Jabir, Direktur Rumi Institute Jakarta.

“Meski terkadang kita tidak sabar ingin langsung membaca isinya, tetap dibutuhkan untuk membaca bab-bab sebelumnya. Ini seperti bertandang ke rumah kawan bertemu dulu dengan pemiliknya”, kata seorang kawan memberitahuku.

Kumpulan maksim ini telah ditulis selama 366 hari setiap harinya di dinding beranda facebook sang penulis. Tentu bukan perkara mudah dan diperlukan tekad besar untuk membuat janji. Mudah jika berkaitan dengan orang di luar dari diri kita, tapi akan susah pada diri sendiri. Semisal menulis resolusi awal tahun yang hanya berlaku tiga hari. Tentu tak ada penilaian ‘ingkar janji’ disematkan jika hanya pada diri seorang.

            110620

“Orang yang tampak takut, di pucuk ketakutannya tersimpan keberanian. Bak pentol korek api, digesek, menyala.”

120620

“Di luar diri, boleh penuh ketidakpastian. Namun, di dalam diri harus ada kepastian.”

200620

“Ketidaksempurnaan seseorang, justru itu mengalamatkan kesempurnaannya sebagai manusia.”

250620

“Sungguh, biaya hidup cukup murah. Tetapi ongkos gaya hidup amat mahal.”

Untuk yang satu ini, aku kemudian memikirkan berapa banyak barang yang ingin kubeli, hanya karena keinginan bukan lagi kebutuhan. Bahkan yang buruknya jika sampai memaksakan diri.

Kumpulan maksim ini sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari. Seringnya mengetuk isi kepala dan menyentil perilaku dengan penuh guyonan serta gurauan.

Kita terkadang terlalu sibuk dengan urusan dunia yang tidak ada habisnya jika diikuti. Terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran yang membuat jenuh. Label-label yang disematkan dan ketakutan yang tidak terwujud. Dan perlu adanya kita tidak perlu melakukan apa-apa selain merenung untuk kembali melihat ke dalam diri.

Membaca buku ini seperti melihat kepingan puzzle. Maksim satu berkaitan dengan maksim lainnya. Seperti “Boleh jadi terpintar di satu bidang. Namun, terdongok pada bidang lainnya.” Yang menandakan “Ketidaksempurnaan seseorang, justru itu mengalamatkan kesempurnaannya sebagai manusia.” Membaca kumpulan maksim ini menyadarkanku bahwa permasalahan hidup hanya berputar pada itu-itu saja. Hanya solusinya yang bermacam-macam.

Hebatnya, dengan permainan kata tanpa perlu penjelasan panjang lebar layaknya buku motivasi, setiap orang bisa menafsirkan dengan caranya sendiri. Tanpa perlu digurui. Bahkan mengajak kita untuk melihat permasalahan dengan cara yang solusinya ternyata sesederhana itu. Hanya karena kita terlalu semrawut hingga susah untuk melakukannya. Namun, justru hal yang sederhana itulah pasti sukar. Bahkan kutipan maksim yang terlihat sederhana ini tentu lahir dari penulis yang memiliki kecerdasan intrapersonal, jiwa spiritual, dan kecerdasan emosi.

Maksim ini perlu dibaca dari setiap kalangan dan berbagai lini sosial. Baik pekerja maupun yang sedang menempuh pendidikan, karena ia  memiliki multitafsir yang sangat relevan dan merepresentasikan apa yang dialami.  Jika kita dapat memaknai makna dari maksim ini, boleh jadi akan membuka pikiran dari hari-hari kita yang kelabu.

Meski menggunakan kosakata yang jarang digunakan dalam sehari-hari. Maksim ini akan tetap mudah dipahami. Karena kosakatanya tidak berdiri sendiri. Penulis mampu memadu-padankan dengan diksi lain yang bisa ditangkap maknanya meski kosakatanya jarang didengar.

Judul Buku: Maksim Daeng Litere. Penulis: Sulhan Yusuf. Editor: Andi Karman. Tebal:142 hal, 12×19 cm. Penerbit: Liblitera Institute, Juni 2021. ISBN: 978-602-6646-35-4.

Cat si Kucing

Memasuki musim penghujan, orang-orang di kota tempat Gwen tinggal mulai menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Toko roti yang tadinya hanya memproduksi seratus buah setiap harinya, kini memperbanyak lagi produksinya di musim hujan. Namun berbanding terbalik dengan makanan laut yang biasanya beraneka ragam. Tentu tak ada yang berani melaut di tengah-tengah kencangnya ombak. Para penduduk kota mulai beralih mengonsumsi daging merah sebagai gantinya.

Begitu pun dengan jenis sayuran yang kini pilihannya sudah terbatas. Tak ada lagi sayuran jenis hijau yang biasa ditemui di pasar. Banyak yang terendam air hingga gagal panen. Nais —seekor kelinci piaraan Gwen— yang sehari-harinya mengonsumsi sayuran hijau dan wortel, juga mulai membiasakan diri dengan makanan kemasan. Meski harganya relatif jauh lebih mahal jika dibanding sayuran.

Ketika Gwen memberi Nais semangkuk makanan kemasan, mata Nais begitu berbinar-binar. Jarang betul ia menjumpai makanan jenis ini. Sebab ia tahu, Gwen harus merogoh kantung lebih dalam untuk makanan kemasan yang ia beli di Pet Shop seberang. Meski Nais belum pernah ke sana, ia pernah mencuri dengar ketika Gwen berbincang-bincang dengan supir pick up pengangkut sayuran. Bahwa, harga sayuran lebih murah dibanding kemasan. Meski lebih murah, kandungan gizi pada sayuran lebih banyak, tentu saja.

Makanan kemasan itu menipu, rasanya Nais ingin memberi tahu Gwen demikian. Agar Gwen berhenti membeli makanan kaleng atau susu kemasan. Yang diiming-imingi pemandangan alam seakan-akan susu segar pada sapi langsung ditampung pada susu kotak yang ia beli. Nais mengetahui hal itu, dari kerabatnya di kota sebelah. Kebetulan sekali, tempat Nais bermukin dahulu, berdampingan dengan kawanan sapi perah. Kawanan Sapi itu saling berebut cerita bagaimana proses susu yang mereka hasilkan dijual di supermarket dan diminum oleh para penduduk kota.

Hasil susu perah yang dihasilkan oleh mereka, akan ditampung dalam sebuah tangki besar. Dan diberikan rasa perisa untuk memperkuat aroma susu dan bahan pengawet agar tahan lama. Adapun susu berbentuk bubuk, itu adalah hasil saringan (sisa dari susu yang disaring atau limbah susu). Kemudian, didistribusikan ke mini market. Susu asli tanpa pengawet bisa saja dikonsumsi, namun harganya relatif lebih tinggi dan cepat rusak. Biasanya, susu itu dimasukkan ke dalam botol kaca dan didistribusikan ke rumah penduduk kota sesuai pesanan.

“Jika makanan kemasan yang Gwen konsumsi itu menipu, apa terjadi hal yang sama pada makanan kemasan milikku?” Sepanjang hari, Nais memikirkan hal itu. Meski ia sedikit khawatir, namun ia begitu lahap menghabiskan makanan pada mangkuknya.

 — — 

Tempat Nais bermukim sering kedatangan tamu. Mulai dari yang menetap lama atau sekadar datang menyapa lalu pergi. Biasanya, yang menetap lama ialah mereka yang dari perjalanan teramat jauh. Terbang berjam-jam atau mereka yang kehilangan arah pulang. Mereka yang kehilangan arah pulang, Nais bisa menuntunnya kembali. Tentu karena Nais sudah menetap cukup lama, ia mengenal hampir semua jalan dan penduduk. Terang saja, sebab kota ini ialah kota kecil yang berada di dekat kawasan pesisir. Meski beberapa ruas jalannya masih berupa jalan setapak, namun ada begitu banyak yang melabuhkan kapalnya di dermaga.

Pada cuaca yang sedang mendung, Nais kedatangan seekor kucing dari antah berantah bernama Cat. Cat seekor pejantan peranakan asli. Ia mulai bercerita bahwa betapa ia diperlakukan berbeda dengan kucing ras. Kucing ras sering mendapatkan perlakuan yang istimewa. Semisal mereka diberi makanan kaleng kualitas terbaik maupun susu kemasan dan mereka juga lebih mudah diterima hanya karena mereka berbulu indah. Cat ingat betul ketika ia sekadar berkunjung ke daerah pemukiman, ia langsung diusir. Padahal ia sedang duduk menunggu makanan sisa. 

Pernah Cat begitu lapar, terpaksa ia mengambil daging mentah yang sedang dicincang oleh seorang ibu muda. Tentu ia langsung mendapat pukulan telak di tengkuknya. Matanya berkaca-kaca mengingat hal itu. Tentu ia tak akan sampai hati mencuri jika ia tak begitu lapar. 

Adapun saat-saat haus, ia akan mencari wadah-wadah. Sebab wadah tersebut biasanya berisi air hujan atau menyisakan tetesan embun.

Ketika tengah hari tiba, ia ingin berteduh dari teriknya sengatan matahari. Tanpa ia sadari, ia tertidur di teras pada rumah yang sedang tak berpenghuni. Ia merasa sangat damai, setidaknya meski perutnya belum terisi, ia tidak diusir.

Meski sering diusir bahkan nyaris disiram air, Cat tak sampai hati untuk memendam rasa benci perbuatan yang dilakukan padanya. Ia hanya memilih pergi dan memilah mana kira-kira rumah yang bersahabat. Betapa mulia hati Cat!

Nais menyimak dengan seksama. Malang betul nasib Cat. Baginya Cat adalah representasi dari kucing-kucing liar yang tidak beruntung. Nais lalu menawari Cat untuk tinggal di sini, meski ia sedikit ragu akan mendapatkan persetujuan. 

Saat Nais ingin mengajak Cat menemui Gwen, ia bergeming. Cat meminta waktu untuk berpikir. Ia bertanya jumlah anggota keluarga di rumah ini. Jika lebih dari empat, maka ia akan mempertimbangkan untuk tinggal. Karena rumah ini akan sering memasak dan berarti akan menyisakan beberapa makanan sisa. Setidaknya ia tidak akan merasa lapar meski itu hanya memakan makanan sisa.

Bagaimana Menemukan Kemampuan Lebih Kita yang Lain?

Sebagai orang yang baru bergerak di bidang jasa maupun di bidang industri kreatif, tekanan untuk diharuskan menjadi “berbeda” begitu besar. Berbeda agar memiliki klien di tengah-tengah manusia yang memiliki profesi sama. Yang tentu memiliki skill lebih jago, lebih cepat, style lebih oke, lebih muda dari usia kita dan hal-hal unggul lainnya.

Pun ketika sudah mendapatkan klien, tentu berlomba-lomba lagi agar memiliki klien tetap. Yang sekali lagi tentu memerlukan usaha keras agar menjadi lebih berbeda lagi. Caranya? Dengan menjadi berbeda yang autentik dengan orang-orang yang bergerak di bidang sama.

Memperkuat Personal Branding

Saya mempunyai orang-orang terdekat yang tanpa mereka sadari, sudah membangun personal branding-nya sendiri. Kalau dalam bidang ilustrasi, tentu bukan sekadar mengandalkan keunikan ilustrasi atau style-nya begini dan begitu. Sebab ilustrasi sama seperti desain, ia memiliki pola-pola yang bisa dengan mudahnya ditiru. Namun, dengan memahami keautentikan yang sudah ditemukan dalam potensi diri, keunggulan akan ditopang kuat oleh elemen-elemen yang lain.

Di buku ini dijelaskan elemen yang mesti dimiliki seseorang untuk menemukan keautentikan dirinya. Elemen tersebut adalah competency, connectivity, creativity, contribution dan compliance. Lima elemen ini bisa disebut “Circle P” (P sendiri singkatan dari personal) sebab melingkari satu sama lain, bahu-membahu dalam menciptakan reputasi diri.

Konsep Competency kita kembangkan untuk menciptakan diferensiasi diri hingga memliki Unique Selling Proposition (USP) dan Emotional Selling Proposition (ESP). Bagaimana menciptakan kompetensi dan perbedaan di dalam pikiran  audiens hingga tidak dimiliki oleh orang lain atau orang lain tidak fokus ke hal yang sama.

Fungsi Connectivity utamanya untuk memberikan jalan agar kompetensi yang dimiliki bisa dirasakan manfaatnya oleh publik. Menghubungkan kompetensi personal ke target audiens dengan menggunakan media massa salah satunya. Agar melekat kuat, harus kita buat untuk kemaslahatan publik. Psikologinya, orang-orang akan memberi waktu  jika ada benefit untuk diri mereka sendiri. Maka kompetensi personal yang dikompetensikan harus bicara manfaat pada publik, bukan sebaliknya.

Creativity adalah elemen strategis yang harus ditangani secara serius, karena tidak mudah mempertahankan keberlangsungannya. Layaknya soda gembira yang hanya ketika dibuka, akan mengeluarkan buih sesaat dan tidak bisa diulangi. Dan ketika terjadi pengulangan yang sama sudah akan dianggap biasa. Kreatifitas yang dibangun tentu memberikan dampak banyak pihak dan sifatnya berkelanjutan. Menciptakan manfaat bagi publik dan juga bagi personal itu sendiri. Creativity adalah kunci untuk menciptakan kesegaran-kesegaran dalam personal branding.

Konsep Compliance adalah rambu-rambu untuk melihat di mana titik reputasi bisa kuat atau lemah. Perilaku yang sama bisa menjadi indikasi reputasi yang berbeda untuk profesi, bahkan waktu yang berbeda.

Konsep Contrbution seberapa jauh solusi yang kita buat bisa memberikan dampak terhadap masyarakat. Eksistensi menjadi perhatian yang utama. Apabila kita tidak melakukan contribution, tentu tidak memiliki reputasi apa-apa. Indikatornya sekali lagi kontribusi apa yang bisa diberikan untuk masyarakat.

Mempelajari personal branding, tentu berbeda saja tidak cukup, karena tanpa menguasai “Circle P” ini, akan mudah tenggelam kembali. Dan akan tergantikan oleh orang-orang yang personal brandingnya lebih kuat.

Ada anggapan bahwa personal branding seperti pencitran, manipulasi atau berpura-pura yang jatuhnya akan membohongi publik sebab jauh dari karakter asli.

Sebenarnya personal branding yang betul justru pertama kali menomorsatukan manfaat yang didapatkan oleh masyarakat. Bagaimana menuntun kita untuk mengembangkan pembawaan alami dengan menggabungan kompetensi yang kita miliki, ketekunan melatih diri, kegigihan dalam membangun kesempatan, dalam menemukan keberuntungan.

Namun jika karakter itu bersifat negatif, maka harus diubah. Bukan dipoles, sehingga menghasilkan yang jauh dari karakteryang biasa disebut pencitraan. Selain Circle P, ada unsur V-A-K. Yakni bagaimana representasi perilaku (visual) kita baik secara pribadi maupun yang memiliki afiliasi dengan kita, mendengar (auditorial) dan berhubungan langsung dengan kita (kinestik) menjadi penopang.

Inilah mengapa personal branding mulanya bermain di skala kecil. Sebab menggunakan the power of mouth dari orang-orang di sekitar dengan memanfaatkan pikiran, emosi dan perilaku target audiens sehigga terbangun kuat yang menghasilkan personal storytelling. Sekilas, personal branding seperti terlahir dengan sendirinya. Sebab orang-orang jarang mengamati proses dibaliknya sehingga jadi terkesima, hingga lupa bahwa ada passion, disiplin, tingkat improvisasi, kerja keras dan gabungan dari kreativitas. Personal Branding Code, buku yang terlihat mudah dipelajari begitu melihat poin-poin “Circle-P” pada awal bab.

Namun memerlukan usaha dan konsistensi sebagai pelengkapnya. Mari menemukan personal brand versi masing-masing. Memikirkan kembali apa yang kira-kira kita miliki namun orang lain tidak punya. Jika masih bingung menemukan dalam diri, gunakan saja mind map.

 

Judul: Personal Branding Code

Penulis: Silih Agung Wasesa

Penerbit: Noura

Edisi: Pertama, Oktober 2018

ISBN : 978–602–385–486–8