Semua tulisan dari Naf M. Dira

Seorang penggembira di tim hore dunia anak-anak. Perempuan yang menyukai bau pepohonan lembab dan gemar bertualang di samudera dongeng.

Kekuatan Sebuah Kepasrahan; Tinjauan Puisi Chairil Anwar

Tingkatan tertinggi dari kebahasaan adalah puisi, itulah yang saya pahami selama ini mengenai puisi seperti yang dikemukakan oleh Kosasih bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan kaya makna, sedangkan Ralp Waldo Emerson mengungkapkan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin. Ada beragam jenis puisi yang ditunjukkan oleh adanya kecenderungan popularitas jenis puisi tertentu pada zaman tertentu.

Puisi pada angkatan pujangga baru menggunakan kata-kata yang indah dengan aliran yang romantik dan rima sebagai sarana kepuitisan, di mana puisi pujangga baru tersebut hadir untuk menyentuh rasa kesadaran terhadap kebangsaan dan nasionalisme pada masanya seperti puisi Armijn Pane yang berjudul teratai. Sedangkan angkatan 45 menggunakan majas; gaya bahasa metafora dengan aliran reliasme. Puisi angkatan 45 lebih bebas dengan mengungkap masalah kemasyarakatan sehari-hari dan kemanusiaan seperti puisi “Kerawang-Bekasi” karya Chairil Anwar. Begitupun puisi generasi lainnya merupakan perwujudan puisi dan masa sehingga memiliki cita rasanya sendiri.

Membaca beberapa karya puisi membuat kita berusaha ikut memahami apa yang ada pada diri seorang penyair. Seperti halnya puisi-puisi dari seorang sasrtawan angkatan 45 Chairil Anwar, saya sempat bertanya apa yang menarik dari karya Chairil Anwar? Contohnya pada kutipan sebuah karyanya yang berjudul “Derai-Derai Cemara”, “Hidup hanya menunda kekalahan” atau pada karyanya yang lain “Aku Berkaca”, “Segala menebal, segala mengental segala tak kukenal! Selamat Tinggal!”.

Sungguh ironis, jika kita membaca beberapa potongan bait dari puisi Chairil Anwar di atas, kita tentunya berpikir bahwa betapa pilunya kehidupan dan apa yang telah dirasakan oleh penyair yang namanya sangat melegenda. Bahkan hampir semua tulisannya menuju pada kematian atau merujuk pada isitilah umum yaitu serupa keputusasaan.

Perasaan jatuh cinta saya sejak dulu yang tumbuh pada puisi “Aku”, membuat saya tidak ingin menyerah pada pandangan yang demikian. Bukankah sastrawan angkatan 45 menghantarkan karya yang ekspresif dan revolusioner seperti kutipan puisi Chairil Anwar lainnya yang berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji. Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang diatas apimu, digarami lautmu. Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945”. Saya kembali menelaah, rasanya terlalu dangkal jika menyimpulkan bahwa puisi-puisi karya Chairil Anwar adalah gambaran kelemahan dari seorang Chairil Anwar; di sisi lain memang seperti itu. Tapi, justru inilah hal terpenting dari puisi angkatan 45 bahwa puisi-puisi ini hadir dari hal-hal yang lebih realistis.

Puisi adalah pengucapan dengan perasaan yang di dalamnya mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan, seperti itulah HB Jassin mengartikan karya puisi dalam buku Rachmat Djoko Pradopo yang berjudul “Beberapa teori sastra, metode kritik dan penerapannya.” Sebagaimana demikian jugalah puisi-puisi penyair lainnya menggiring kita untuk menyelami lebih jauh pergolakan pikiran dan tanggapan, serta apa yang terjadi pada masa itu melalui tiap puisi mereka termasuk Chairil Anwar. Penindasan, harapan serta satu hal yang sangat mendalam yaitu kapasitas sebagai manusia; setidaknya makna itu yang saya tangkap dari sang penyair berdasarkan beberapa puisinya−Chairil Anwar.

Sebagian puisi Chairil Anwar secara implisit bagi saya mengandung magis yang mampu menghadirkan bentuk kelemahan dari seorang manusia di hadapan Tuhan dan semesta−kepasrahan yang justru dapat memompa sebuah kekuatan besar dari dalam jiwa manusia. Jika dimaknai secara utuh puisi-puisi seperti “Doa”, Di Masjid, Merdeka dan beberapa puisi lainnya menghadirkan kekuatan dengan wajah kepasrahan, contohnya pada kutipan puisi Merdeka, “Tapi kini. Hidupku terlalu tenang. Selama tidak atara badai. Kalah menang. Ah! Jiwa yang menggapai-gapai. Mengapa kalau beranjak dari sini. Kucoba dalam mati.”

Berulang-ulang pada puisinya Chairil menunjukkan bahwa akhir dari tekanan dari setiap hal yang dihadapi adalah kembali pulang. Makna ini justru membawa saya menemukan ruang bahwa apa yang ada di depan harus dihadapi seperih apapun itu karena pada akhirnya kita akan menyerah pada yang Maha Kuasa, dari sinilah letak sisi revolusioner itu terlihat; media untuk menghadapi pergolakan pada masa 45 melalui puisi bahwa tidak ada yang harus ditakuti karena ajal yang membawa sepi akan tiba juga−pada beberapa puisi Chairil Anwar. Memang sebuah analisis spiritual yang sebagian orang akan beranggapan terlalu subjektif di mana subjektivitas tak pernah sepenuhnya menghilang dalam analisis puisi. Pendekatan terbaru kritik sastra, teori resepsi, meletakkan pembaca sebagai pemberi makna, artinya pembaca yang beda bisa menangkap makna yang beda sesuai dengan kapasitas pengetahuannya, pengalaman-pengalamannya, dan juga sudut pandangnya. Saya sebagai pembaca mencoba menyelami hal tersebut melalui salah satu unsur hakikat puisi yakni perasaan. Herman J waluyo yang merupakan guru besar pendidikan bahasa dan sastra dalam bukunya yang berjudul Teori dan Apresiasi Puisi mengatakan bahwa “perasaan adalah suasana perasaan penyair yang ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca.” Sisi itu saya temukan pada beberapa puisi Chairil salah satunya pada puisi “Doa”.

Chairil bagi saya adalah sastrawan yang memiliki kekayaan hikmah dari setiap puisi-puisinya termasuk sisi spiritual. Terlepas dari beberapa puisi yang bermakna cinta dan perjuangan pada akhirnya akan menyentuh nurani yang berangkat dari sesuatu yang apa adanya. Bagi orang-orang yang menghayati puisi dari Chairil Anwar, mungkin akan menemukan dorongan kekuatan dari sebuah kepiluan yang realis. Tentunya bukan dalam persepsi puisi bijak, di mana bukan hanya kekuatan kata-kata tapi kekuatan makna; magis.

Kekuatan puisi-puisi Chairil justru lahir dari kesunyian, puisi yang memiliki kesan individualisme juga menunjukkan bahwa hal tersebut adalah bagian dari proses lahirnya puisi Chairil Anwar yang mengharu-biru. Puisi-puisi Si binatang Jalang adalah puisi yang jujur dari lahir dan menuju kematian seperti petikan puisi Rumi dalam Matsnawi, “Ketika aku mati sebagai manusia, maka para malaikat akan datang dan mengajakku terbang ke langit tertinggi. Dan ketika aku mati sebagai malaikat, maka siapa yang akan mendatangiku? Kau tak akan pernah dapat membayangkannya!”

Terlepas dari analisis spiritual yang terkandung dalam puisi Chairil, saya tidak menutup mata pada kehidupan lain Chairil yang juga tampak dalam puisi-puisinya. Tapi sebagai pembaca apa yang lebih baik dari menikmati dan memetik hikmah. Misalnya pada puisi “Derai-Derai Cemara” dan “Aku Berkaca” yang hingga sekarang masih sering dikumandangkan oleh para pecinta puisi tak terkecuali untuk memompa semangat atau mengikat kesedihan. Justru letak menariknya kekayaan seorang Chairil Anwar dalam sastra Indonesia dari kompleksitas kisah dalam puisi-puisinya.

Bebircara tentang makna puisi Chairil Anwar yang begitu pilu namun menyimpan kekuatan, tidak adil rasanya jika kita tidak menengok sebuah puisinya secara utuh. Berikut puisi yang berjudul Maju.

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang

Sebagai manusia kita yang mengalami pergolakan dan problematika dalam hidup satu-satunya kekuatan terletak pada kepasrahan kita sebagai manusia. Puisi di atas bisa jadi mampu membakar semangat orang-orang yang membacanya, dengan kalimat provokatif “Sekali berarti. Sudah itu mati”, bahkan kalimat ini sempat digunakan sebagai slogan oleh Sutrisno Bachir pada iklan partai PAN pada masa kepimimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, kalimat dalam puisi yang berjudul Maju ini juga menjadi inspirasi hidup seorang CEO PT Fortune Indonesia Tbk yakni Aris Boediharjo, hal tersebut diungkapkan dalam salah satu artikel yang berisi wawancara mengenai kiat kesuksesannya pada tahun 2016.

Mungkin masih banyak lagi cerita mengenai puis-puisi Chairi Anwar. Tapi uraian di atas cukup menajamkan pandangan saya bahwa kepasrahan dan kematian mampu mendorong kekuatan yang jauh lebih besar. Hal itulah yang dapat dipetik dari lara pada puisi-puisi Chairil Anwar.

 

Luruh dan Puisi-puisi Lainnya

Luruh

Telentang pada hamparan pasir

Teriakan ombak tak lagi sama

Kau lihat dia di bibir pantai

Rinduku dahulu

Seperti alunan hempasan air laut mencumbu tepian karang

Menjauh lalu mendekap lebih erat

Gelora ombak luruh saat air surut

Apa kau yakin air yang pergi meninggalkan

Serupa pada yang kembali?

 

Reyot

Ukirannya telah lapuk diterkam waktu

Terurai; lepas pada bentuknya

Pelitur kusam tampak usang

Bau dan noda; membuatnya tak menarik

Kubawa langkahku (lagi) menujunya

Lelah berdiri; Aku duduk bertumpu tungkainya

Ada yang menepuk; jangan di situ (katanya)

Tapi tak terlihat yang lain

Aku (masih) mampu menikmati

Dia datang menawarkan kursi baru

Coklat basah; mengkilap. Kokoh; lebih indah

Kemarilah! Ini untukmu;

Menopang kau mengukir cerita

Tidak! Kursi ini (tetap) sama

Kenanganlah yang memikat seperti waktu pertama kulihat

Ketika dihantar menuju rumahku

Kusambutnya penuh bahagia

Aku hanya perlu sedikit merawat dan memolesnya

Dia menarikku, coba kau rasakan!

Nyamannya membuatku terlelap di atas kursi baru

Terjaga dalam mimpi,

Kubuka mata; cerita telah menua bersama kursi reyot

 

 

Kelor

Ranting daun kelor kupatah berkali-kali

Sekiranya berhenti di sini untuk menggugurkannya

Harus kucabuti satu-persatu dari tangkai yang halus

Untuk meraih dedaunan yang utuh tanpa tulang

Rangkaian kecil lebih sulit diretas

Serupa menyatukan

Rimbun di rekat pohon

Dia bisa lepas dengan mudah

Ketika saatnya dia harus jatuh

Pula telah menyingsing makna

 

Setangkai Pacar di Kaki Nona

Di kaki Nona bertengger setangkai rapuh. Muasal puluhan tahun silam; sekarang pun dinamai pacar. Tak pernah berubah sejak rentetan tahun silam; saat dia genap dua puluh.

Tubuh pacar semakin lunglai, sesekali angin mengecupnya; mengebaskan daunnya yang hijau. Tetap saja dia bertahan, seperti enggan mati padahal hidupnya sudah sedekat kuku dengan ajalnya.

Mungkin dia merasa aman di tengah rentanya− berada di dekat putri berwujud gunung yang menjulang; pernah terdengar riwayat Gunung Nona. Kala itu seorang putri kerajaan melarikan diri dari kehidupannya; melanggar titah orangtuanya hingga dia terbunuh−tertebas menjadi dua bagian kemudian kaku tak berwujud manusia.

Sandiwang tanpa ampun memacul cangkul. Kebun di Duri tak pernah lelah membuahkan berkarung-karung hasil, mulai dari buah-buahan hingga bumbu dapur. ‘Namun, malang kian melankolis setelah Benteng Ranga dan Benteng Kaluppini jatuh di tangan kolonial.

Subuh menjemput kemudian diakhiri petang setiap hari dilakoni oleh Sandiwang, hingga kemudian harus memeras keringat bahkan meneteskan darah untuk bangsa lain yang menghunuskan kekejaman pada pribumi; tidak menghasilkan sesuatu yang layak untuk dirinya.

Di tengah kemelaratan hidup, Sandiwang tak pernah menggantung hidupnya untuk sebuah pengharapan yang pupus. Sarifah menjadi permata di tengah bara yang dia lalui. Di setiap langkahnya; di atas kerikil tajam sekalipun, Sarifah menjadi titik terang untuk tetap berjalan di ujung usia yang kian pekat.

Gadis dengan semerbak wangi hingga ke seberang desa adalah kenyataan yang digenggam Sarifah. Begitu banyak pemuda telah menghampirinya−tapi cintanya hanya satu pada seorang lelaki tua.

Sarifah−mata bulat tak dapat tajam seperti bohlam remang pada surau desa. Dia menangis tersedu berhari-hari semenjak utusan Sampe datang menemui ayahnya. Sepeninggal ibunya, ayahnya menjadi sandaran hidup yang tak pernah lelah berpeluh tanpa keluh walaupun kadang berakhir keruh−seperti kali ini.

Konco kolonial bertubuh tambun dengan rahang garang−dibekuk syahwatnya. Dia menelan liur tiap kali melihat Sarifah; gadis menawan Duri. Suatu ketika Sampe yang baru saja menerima jabatan menjadi mandor, datang mengawasi pekerjaan para buruh yang hasilnya kelak akan dijarah untuk diberikan kepada pemerintah kolonial, Sarifah wanita ayu yang juga harus bekerja di kebun kemudian menepi dari teriknya matahari, Sampe yang masih merasakan euforia mendapat kekuasaan melihat Sarifah untuk pertama kalinya; dia lalu menarik lengan wanita yang baru saja mengistirahatkan tangannya−setelah cukup lama bergerak menjejal pekerjaan bersama buruh wanita lainnya yang begitu akrab dengan biji kopi.

“Kau tak usah bekerja lagi besok! Jadilah wanitaku. Tanganmu terlalu indah untuk menyentuh tanah-tanah di kebun ini! Akan kulimpahi kau dengan perhiasan yang serupa eloknya parasmu!” Sarifah menghempaskan pegangannya, namun semakin kuat pula Sampe menengkramnya.

“Cuiihh!” Sarifah melempar liur dari bibirnya yang ranum; hina di mata Sampe− liur seorang buruh mengenai celana dan sepatu mewahnya.

“Berani sekali Kau!” Sampe mulai geram, ditariknya Sarifah mendekat ke tubuhnya. “Aku bisa melakukan apa saja padamu, mau kau suka atau tidak suka!”

“Untung bukan wajahmu yang kuludahi!” Wanita itu dengan garang menantang Sampe.

“Kurang ajar!” Sampe mengangkat tangannya yang diayunkan ke wajah Sarifah. Wanita itu kemudian tersungkur, Sampe mengangkat kakinya lalu dijepitnya betis Sarifah ke tanah. Sarifah menjerit, semua wanita yang ada di kebun itu memalingkan wajahnya−tak tega menyaksikan penderitaannya. “Hari ini kau kuampuni, tapi kalau kau tidak mau menerima tawaranku dan berlagak jual mahal. Aku bisa melakukan hal yang lebih dari ini!” Lelaki itu beranjak pergi−mengitari kebun bersama para pengawalnya yang terlihat begitu tolol.

“Kemarilah Nak!” Seorang wanita tua membantu Sarifah berdiri. Wanita tua bernama Nenek Kurnia; wajahnya sudah mulai memucat dimakan usia, namun geraknya tampak masih terlihat tegas. “Sakitmu ini akan segera berlalu, setidaknya kau telah menunjukkan kehormatanmu sebagai wanita!” Kata wanita tua itu menguatkan Sarifah yang tampak murung.

“Terima kasih Nek!” Sarifah tersenyum padanya.

“Kau tak usah khawatir, esok ketika dia datang dan berusaha membawamu maka datanglah padaku! Aku akan melumuri tubuhmu dengan minyak dengan rendaman daun pacar pemberian wanita berparas dewi, seorang titisan pohon daun pacar.”

“Maksud nenek?” Sarifah kebingungan mendengar penjelasan Nenek Kurnia.

“Namamu siapa, Nak?

“Aku Sarifah!”

“Sebenarnya nenek adalah keturunan terakhir dari wanita pacar. Semenjak wanita titisan pohon daun pacar memutuskan menikah dengan seorang lelaki tulus yang mempersuntingnya, dia kemudian menjadi manusia utuh dan keturunannya juga tidak dapat berubah lagi menjadi daun pacar. Namun, Nenek dibekali minyak yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menyelamatkan wanita sepertimu dari nafsu kebinatangan para pria yang menaruh niat jahat. Minyak itu telah menurun dari wanita yang mampu berwujud pacar pada keturunannya−hanya diwariskan pada wanita keturunan berikutnya secara terus menerus.”

“Lalu, keturunan Nenek?”

“Nenek sebatang kara, Nak! Suami Nenek telah meninggal, kami tidak dikaruniai keturunan. Karena itu lebih baik Nenek menggunakan minyak itu untuk menolongmu. Nenek telah lama mengenal Sampe, Nenek tahu betul wataknya. Dulu Nenek adalah buruh saat orang tuanya berkuasa. Dia tidak akan berhenti menindasmu hingga dia mendapatkanmu. Minyak itu akan membuat Sampe tak mampu merenggut kesucianmu.”

“Sekali lagi terima kasih, Nek!” Walaupun Sarifah masih merasa kebingungan dan setengah tak percaya dengan penjelasan Nenek Kurnia, Sarifah menghargai niat baik wanita tua itu.

“Di mana Sarifah?” teriak Sampe di depan pintu Sandiwang di pagi buta. Akhirnya setelah beberapa hari semenjak melihat Sarifah di kebun, Sampe menghantarkan nasib malang Sarifah putri Sandiwang lelaki berusia 60 tahun yang sehari-harinya hidup diperbudak kolonial.

Ditemani lima orang berkulit putih yang mengapit senjata, Sampe mendatangi rumah Sandiwang.

“Ada apa? Mengapa kau mencari putriku?” Sandiwang keluar dengan sebilah pisau yang terselip di balik sarungnya. Telah berjaga-jaga untuk hal yang tak dia harapkan.

“Aku telah mengutus kacungku tiga hari yang lalu untuk menemuimu. Kukatakan padanya untuk membawa Sarifah tapi kau tak mau memberikannya!” Sampe kian geram mengenang penolakan Sandiwang tempo hari.

“Sarifah tak ingin menemuimu, dia tak ada di rumah ini!” Sandiwang tak punya banyak alasan untuk menimpali kemarahan Sampe, dia hanya menginginkan Sarifah bahagia−alasan yang tak masuk di akal Sampe.

“Aku tak mau tahu! Kau harus membuatnya menemuiku. Atau semua senapan yang mereka bawa ini akan memuntahkan pelurunya ke kepalamu!” Seluruh tentara kolonial yang ikut bersama Sampe bergerak maju menodongkan senjatanya ke arah Sandiwang, refleks lelaki tua itu bergerak mundur tertatih; tanpa kata-kata tangannya bergerak pelan ke tepi pinggangnya seperti menumpuhkan jari-jarinya pada sebuah benda untuk bersiap beradu cepat serangan.

“Kali ini Kau kumaafkan, biar bagaimana pun kau adalah calon mertuaku yang mulai menghitung detik menuju kematian. Anggap saja ini hadiah untukmu! Tapi kuberi kau waktu sehari lagi. Jika esok Sarifah tak menemuiku, maka kau dan anakmu itu akan kukubur hidup-hidup!” Belum sempat Sandiwang menimpali perkataannya tangannya mendarat di pipi Sandiwang yang telah mulai kerut dimakan waktu, lalu dia bergerak pergi bersama teman-teman kolonialnya.

Sarifah mempercepat langkah kembali ke rumahnya, irama tarikan napasnya bersahutan dengan dentuman pijakan kaki yang menekan tanah. Sepanjang jalan dia memikirkan nasib ayahnya. Gadis itu sangat menyesali tindakannya yang menuruti titah ayahnya untuk meninggalkan rumah, tapi di saat itu pula dia mendapat kesempatan untuk menemui Nenek Kurnia.

“Mengapa Kau kembali anakku? Bukankah ayah sudah berkata padamu bahwa hidupmu akan binasa jika kau tetap di sini!” Suara Sandiwang bergetar saat Sarifah tiba-tiba muncul−mendekapnya dengan napas tersengal.

“Aku akan menerima pinangan Sampe, Ayah!”

“Kau bicara apa Sarifah?”

“Keputusanku sudah bulat!” Sarifah melepas dekapannya dari lelaki tua itu. “Ayah katakan pada Sampe bahwa aku menantinya esok sebelum matahari terbenam!”

“Tapi, Nak..”

“Ayah ingin melihatku bahagia, bukan?”

“Tentu saja!”

“Kalau begitu Ayah harus percaya padaku! Aku tahu Sampe tak akan berhenti mengejarku. Saat aku telah menikah dengan Sampe, Ayah tolong ambil setangkai daun pacar yang ada di kamar pengantin Sampe saat malam renta!”

“Apa yang Ayah harus lakukan dengan daun pacar itu?”

“Ayah bawa setangkai daun pacar itu dan berikan kepada Nenek Kurnia sebelum mentari terbit, Ayah cari ia di ujung kaki Gunung Nona!”

“Lalu untuk apa Ayah harus melakukan itu sementara hidupmu menjemput derita?”

“Untuk mengubah derita anakmu menjadi kehidupan, Ayah!”

Sampe dan kerabatnya telah tiba di depan gubuk Sandiwang, rona bahagia terus memancar di wajahnya yang pekat. Setelah mendengar kabar tentang Sarifah, dia langsung mengadakan pesta untuk menyambut hari pernikahannya. Sekarang saat hari pernikahan yang tak kalah meriah akan dilangsungkan.

“Kau ambil saja anak gadisku ini, Sampe! Ini kan yang kau inginkan? Tapi, ingat satu hal mulai sekarang aku tak punya urusan lagi dengan kalian berdua! Sarifah menjadi tanggunganmu sepenuhnya! Sampai kapanpun aku tak sudi menjadi mertuamu!” Tubuh Sarifah terperanjat, dihempas oleh ayahnya sendiri. Seperti seorang pendosa yang tak terampuni oleh murka orangtua.

“Bicara apa kau lelaki tua?” Muka Sampe mendadak berubah, sekejap senapan yang berjejer rapi di sekeliling Sampe mengarah ke kepala Sandiwang. Tubuh Sarifah langsung melemas menyaksikan hidup ayahnya di antara ujung senapan dan permukaan kulitnya.

“Jangan Sampe, kita pergi saja dari sini! Bukankah Kau ingin kita segera menikah?” Sarifah menahan amarah Sampe.

“Ya, tentu. Seorang gadis di seberang desa pun telah menantiku untuk segera dinikahi! Haha..” Sampe menutup kalimatnya dengan tawa yang begitu renyah nan kejam.

Sampe dan kawanan berseragam yang menyelempang senjata sepanjang lengan bergegas membawa Sarifah menuju kediaman Sampe. Di kejauhan, Sandiwang terlihat kaku di tepian gubuk menatap anak gadis semata wayangnya semakin menghilang dari pandangan.

Waktu yang dinanti Sandiwang tiba, dia bergegas menyelinap ke dalam rumah Sampe, keringat Sandiwang bercucuran. Rumah yang besarnya berkali lipat dari gubuknya terlihat begitu sepi. Tempat yang biasanya dijaga oleh jejeran dua jenis wujud manusia dengan perangai serupa. Terdengar sayup suara Sampe yang meneriakkan nama Sarifah. Dapat ditebak bahwa suara itu mengalun dengan penuh amarah−dikikis jarak puluhan meter dan tersisa di daun telinga Sandiwang.

Lelaki tua itu menarik langkah demi langkah−menyusup ke kamar Sampe. Dilihat setangkai daun pacar tergeletak di tepi ranjang, Sandiwang menyusuri kamar Sampe mencari Sarifah namun dia tak menemukan. Entah kemana Sampe membawa Sarifah, pikirnya.

Sandiwang menemui Nenek Kurnia di sebelah utara pada kaki gunung nona setelah dia berkeliling jauh. Tinggal menghitung menit fajar akan segera merekah. Dia menyerahkan daun pacar itu pada nenek renta yang masih begitu jelas terlihat bahwa dia adalah seorang wanita yang cantik semasa mudanya.

“Semalam pasti dia telah berusaha menyentuhnya. Kita harus segera menanam tangkai daun pacar ini, jika tidak rohnya akan meninggalkan jasadnya!” Nenek Kurnia terlihat panik, namun Sandiwang kaku tanpa suara−hanya terdengar desahan nafasnya yang bersahut-sahutan dengan degupan jantungnya.

“Tiap kali kau rindu, datanglah kemari. Basuh dia dengan air. Maka dia akan merasakan kasih sayangmu!” Nenek kurnia melanjutkan kalimatnya namun Sandiwang semakin kebingungan.

“Aku harus segera mencari anakku! Sepertinya dia telah jauh dibawa oleh Sampe!” Belum sempat Nenek Kurnia menimpali perkataannya, Sandiwang telah jauh berlari meninggalkan Nenek Kurnia yang tengah merapikan tanah pijakan setangkai daun pacar.

“Jalanmu masih panjang, Nak! Apapun masa lalu Nona, kau akan berlindung di kakinya dari segala ancaman laki-laki.” Daun pacar bergerak mengikuti irama angin yang menciumnya; seolah ingin membelai pipi Nenek Kurnia yang masih duduk di sampingnya untuk membenahi segala yang dibutuhkannya.

“Seperti yang telah kukatakan padamu waktu itu; di kehidupan berikutnya lelaki berhati sendu akan menjemputmu dan mengubahmu menjadi wanita utuh.”

Hampir seabad pada lelahnya tegak sang pacar, seorang lelaki berkelana mencumbu Nona pada kuncup musim penghujan. Merasakan sisa tenaga yang tersembunyi jauh dalam jaringan tubuhnya, dia menepi berlindung pada sebuah pohon rindang. Di sisi pohon terlihat sebatang ranting yang renta namun tenggelam manja pada pelukan tanah.*

Ilustrasi: https://id.pinterest.com/dianps717/hendra-gunawan/

Changpu Lampion Pak Amin

“Terima kasih, Nak!” dia menerima bungkusan yang dari tanganku sambil menyunggingkan senyum.

Aku sudah berkeliling mencari titik yang pas untuk menaruh bungkusan plastik ini. Aku kebingungan untuk meletakkannya di mana, pemandangan tumpukan bungkusan di pinggir jalanan umum sangat menggiurkan untuk ditambah namun itu juga sangat mengganggu penglihatanku. Akhirnya dia berpindah ke tangan seorang bapak paruh baya yang belakangan kukenal dengan nama Pak Amin. Sejak pertama kali bertemu yang berkesan di benakku adalah kesediaannya menerima bungkusan yang kubawa dengan ucapan terima kasih. Mulai dari hal ini pula kisahku dengan bungkusan-bungkusan selanjutnya bersama Pak Amin berlanjut di tempat yang sama.

***

Sudah dua puluh jam aku berada di antara tumpukan, banyak orang yang bilang bahwa aku adalah benda yang paling menyebalkan dan tidak pernah berjodoh dengan lingkungan. Padahal bagiku di antara mereka−tumpukan ini. Aku yang menempati derajat yang paling tinggi, aku tak akan pernah lapuk dan busuk. Aku pernah punya pengalaman berada di antara manusia yang tampak terpelajar, sambil menentengku dia berkata “Kau tahu benda yang paling mencemari lingkungan?” tanyanya pada seorang teman, mereka sedang menanti sebuah diskusi dalam perkumpulannya. Sambil menunggu teman-temannya datang, mereka memperdebatkan aku yang malang ini. “Ya, benda yang kau pegang itu! Benda yang lama hancur dan masa terurainya tak bisa ditentukan,” timpal temannya sambil menunjukku.

Kadang-kadang aku merasa iba dengan keadaanku sendiri. Ya.. habis isi, plastik di buang. Kalau tak dibuang yah dimusnahkan. Hidupku hanya berada diambang lahir dan dihancurkan atau justru menghancurkan; setelah tugasku selesai.

“Berapa lama lagi kalian menutupi diriku seperti ini?” tanyaku pada onggokan yang ada di atasku.

“Hentikan keluh kesahmu, kau hanya sembunyi di balik kejamnya kehadiranmu untuk makhluk hidup.” Sisa-sisa organik yang memicu bau, setengah berteriak padaku sama dengan aromanya yang seringkali menyengat, umpatannya pun demikian.

“Dan kehadiranmu menyusahkan orang-orang yang mencariku!” Aku sangat kesal dengan kutukannya terhadap keberadaanku.

“Sudahlah! Paling tidak kau masih bisa dibersihkan, tidak seperti aku yang telah lepek dan basah.” Secarik catatan usang yang telah sobek memotong pembicaraan mereka.

Aku tak akan pernah tahu akan seperti apa takdirku selanjutnya. Kata mereka organik bisa hidup dan memberi kehidupan; selalu dengan manfaat. Tapi, mereka lupa bahwa aku juga pernah mengemban tugas. Mereka hanya berpikir fleksibilitas, bagiku manusia hanya merasa malas, mereka berpikir apa yang mudah untuk mereka. Padahal mereka hanya butuh lebih banyak kerja keras untuk bisa berteman denganku; pada benda-benda serupa diriku yang sudah terlanjur lahir.

Aku dengar mereka akan meminimalisir pemanfaatanku. Hmm, tak apa mereka berinovasi. Asalkan aku yang sudah terlanjur hadir dengan takdir seperti ini juga dapat sesuatu yang layak; memberi solusi.

“Kau selalu bermimpi menjadi sahabat manusia, padahal kau sampai kapanpun akan menyusahkan hidup mereka!” organik yang bau itu bersuara lagi.

“Dan kau selalu membela manusia yang licik! Mereka menciptaku, menggunakanku lalu mereka sendiri yang mengutukku. Menyalahkanku untuk kesalahan yang mereka sendiri sering lakukan pada lingkungan dan alam!” Saat kusambar dia dengan celotehanku yang ketus, kurasakana tubuhku bergoyang. Biasanya aku akan berpindah tempat ketika hal seperti ini muncul. Ada sedikit kelegaan karena pergerakan di bawah tumpukan-tumpukan ini.

***

Pak Amin adalah pemulung yang biasa terlihat di tempat-tempat penampungan sampah sementara–ada di sekitar jalan menuju rumahku. Semenjak aku mengenalnya tak ada lagi rasa bingung akan membuang sampah di mana supaya tak nampak merusak pemandangan jalan umum. Setiap bungkusan menumpuk di atas tempat sampah yang ada di rumah, aku pasti teringat dengan Pak Amin; rindu dengan senyum dan sapaan “nak” yang sering kali dia lontarkan padaku kala aku menyerahkan benda-benda yang tak dibutuhkan lagi di rumahku.

Aku sudah mulai akrab dengan Pak Amin. Penasaran dengan hidupnya dan kebiasaannya mengucapkan terima kasih padaku membuatku tergerak untuk bercakap-cakap lebih lama dengannya.

“Pak, kenapa Bapak terlihat sumringah tiap kali aku datang membawa bungkusan dari rumahku?”

“Karena tiap sampah dari rumah Nak Novy adalah keberkahan untuk bapak dan keluarga!”

“Maksudnya Pak?”

“Sampah-sampah yang Nak Novy bawa kebanyakan berisi plastik-plastik bekas. Itu sumber penghidupan untuk Bapak sekeluarga. Makanya Bapak senang tiap Nak Novy datang!”

“Oh, kalau begitu nanti Novy datang bawa plastik yang lebih banyak untuk bapak!”

“Terima kasih, Nak!”

“Iya. Mama punya toko yang menjual bahan campuran. Banyak plastik bekas minuman dan kardus bekas di sana. Nanti Novy minta tolong sama pekerjanya Mama untuk mengumpulkan sampah plastiknya!”

“Wah, tidak usah repot-repot Nak Novy, kalau bisa biar Bapak saja nanti yang ke sana!”

“Tidak kok Pak, biar Novy nanti yang bawakan!”

“Ya sudah! Terima kasih!” tutupnya disertai senyum khas Pak Amin.

Ada hal yang tak pernah kuutarakan pada Pak Amin, bahwa di antara kesenanganku berlama-lama; bercakap dan belajar darinya. Pak Amin selalu mengobati rinduku pada Daddy (Ayah). Sudah 10 tahun aku tidak bertemu Daddy. Di imlek terakhirku bersamanya, Daddy megajakku untuk membagi-bagikan angpao pada anak-anak kecil yang ada di sekitar rumah kami sambil bercerita dan mengajariku banyak hal tentang kehidupan. Anehnya, Mama tak pernah mau ikut dengan kami.

Banyak yang bilang bahwa kami keturunan non pribumi yang paling pelit, perhitungan dan tak dermawan. Tapi kehadiran Daddy membuat mereka menelan kembali kata-kata itu. Kata Daddy manusia diciptakan sama, kebanyakan dari kami bukan pelit atau perhitungan tapi kami mewarisi prinsip dan taktik jual beli serta mengelola keuangan. Walaupun kadang ada di antara kami yang berbuat curang. Tapi bukankah setiap manusia berpotensi melakukan itu, bukan cuma manusia bermata sipit. Daddy dari kecil diajarkan nilai-nilai kebaikan oleh opa dan oma. Yah, Daddy memang agak berbeda dengan mama, mungkin karena itu Daddy hanya tertawa ketika tetangga mengatakan pada Daddy bahwa istrinya itu cici yang pelit.

Sama seperti Daddy, ketika suara ketus ibu-ibu tetangga menghampiriku dan mengoceh panjang lebar tentang mama, sambil tertawa aku hanya bekata “Yah, memang pelit! Ibu tahu sendirikan mamaku matanya sipit!”

Sering juga aku mempertengkarkan hal-hal yang tidak penting dengan Mama, masalah uang lima ribu peraknya yang hilang di atas meja, padahal uang itu diam-diam aku berikan pada anak kecil yang berkeliling menjajakkan es cendol saat bulan Ramadhan, rasanya aku ingin saja menikmati es cendol ketika petang tiba. Tapi aku juga maklum, mama bukan aku dan lagi mama kian ekstra mengatur keuangan setelah Daddy tidak ada membantunya. Itulah kenapa kadang aku memilih untuk keluar rumah; berdiskusi dengan teman-teman di kampus dan menyusun segala macam kegiatan yang mungkin bisa buat Daddy di alam sana bahagia tanpa harus berdebat dengan Mama.

***

“Kau dengarkan bangsa organik? Aku bisa memberi kehidupan bagi manusia! Aku lebih bangga karena mereka yang sangat membutuhkanku adalah mereka yang mampu menghargaiku bahkan saat aku telah dibuang oleh manusia yang lain.” Sebelum bersiap untuk pindah tempat, aku mempertegas apa yang kami dengar barusan dari percapakan manusia.

“Oke! Kau cuma bisa menjadi uang dan bermanfaat bagi manusia, tidak untuk kami bangsa organik!” Si bau organik masih saja keras dengan penghakimannya padaku; sebuah benda yang tak tau kapan bisa hancur.

“Memangnya kau juga punya manfaat untuk kami?” Tubuhku terangkat menuju tempat yang lebih besar.

“Aku bisa melebur dengan tanah dan menjadi pecahan-pecahan yang bermanfaat untuk semua makhluk hidup. Tanpa uang ataupun karena uang. Tidak seperti kau yang selalu dipandang dari segi matrealistis.” Organik bau semakin emosinal karena tidak bisa menerima kenyataan, walaupun di antara kalimatnya ada hal-hal yang memang benar. Tapi kesombongannya membuatku mengeyahkan pembenaran itu dari pikiranku, kalau tidak dia akan semakin menjadi. Kini aku berada di tempat yang lebih lapang bersama teman-teman yang sejenis denganku dan bersiap menerima takdirku.

***

“Pokoknya Mama tidak mau tahu! Rumah kita ini bukan panti sosial Changpu!” Aku tahu Mama sedang kesal ketika dia sudah mulai menyebut nama tionghoaku. Kebiasaan mama sejak aku kecil, ketika dia geram padaku maka jiwa terpendamnya akan muncul.

“Mama, apa salahnya mengajak Pak Amin ke sini dan ikut merasakan suka cita kita di tahun baru?”

“Nov, apa untungnya mengajak pemulung berkunjung ke rumah kita? Yang ada dia hanya akan mengais semua barang-barang yang dianggapnya sudah tidak kita butuhkan! Kita kan tidak tahu bagaimana dia”

“Atau begini saja Ma, kita minta saja Pak Amin bantu kita sekeluarga bersih-bersih sebelum ritual sembahyang kita saat imlek, bagaimana?”

“Astaga Novy, memangnya dia tahu apa?”

“Nanti biar aku yang menjelaskan apa yang harus dia kerjakan, aku yang atur pokoknya. Yah? Mama tinggal setuju, dan nanti Mama tidak perlu kasih upah, cukup lebihkan isi angpaonya, yah Ma?”

“Lah, apa bedanya Nov?”

“Ayolah Ma, Mama kenal dululah Pak Amin. Novy jamin dia tidak mengecewakan Mama kok. Yah, kan gak ada salahnya kita berbuat baik di awal tahun.”

“Baik, tapi kalau sampai dia macam-macam dengan isi rumah. Kamu yang tanggung jawab!”

Aku memeluk Mama dengan perasaan bahagia. Bergegas aku keluar rumah untuk menyampaikan undangan perayaan Imlek sekaligus ada perkerjaan untuk Pak Amin, kusampaikan padanya bahwa ini adalah Imlek terbaik sepanjang tahun setelah daddyku pergi.

***

Hujan turun tepat di hari ini, menambah haru dan suka cita kami. Tahun baru dengan hujan yang deras adalah lambang kemakmuran untuk kami. Aku berbisik pada Mama bahwa hujan menyambut kehadiran Pak Amin di antara kami, walaupun mama hanya tersenyum kecut menimpali perkataanku.

“Gong Xie Fa Chai cici!” Pak Amin menghampiri Mama dan mengepalkan tangannya di depan dada.

“Pak Amin di ajar siapa? Sudah mahir bilang Gong Xie Fa Chai yah?” tanyaku bahagia.

“Anak saya Nak Novy, kebetulan dia sudah SMA. Sebelum ke sini bapak minta diajar untuk mengucapkan ‘Selamat Tahun Baru Imlek’ dalam bahasanya Nak Novy dan Cici!”

“Terima kasih Pak Amin!” Mama menimpali ucapan Pak Amin, aku yang berdiri di samping Mama memberikan kode untuk mempersilakan Pak Amin duduk dan memberikan angpao kepada Bapak yang baik hati itu, Bapak yang memberikan ketentraman dengan keramahannya. Hanya dengan sapaan “nak” mampu menggetarkan hati perempuan bermata sipit ini yang kadang merasa asing berada di tanah kelahirannya sendiri. Aku kembali teringat Daddy yang gemar mengusap kepala anak-anak yang datang ke rumah kami saat tahun baru Imlek walaupun mereka bukan manusia bermata sipit dan berkulit putih seperti kami; setidaknya kami saling menjadi lampion satu sama lain.

***

Sekarang telah kutemukan takdirku yang baru, di bawah guyuran hujan aku menjadi tempat bertumpuh makhluk organik. Aku berjejer di halaman rumah yang telah dihiasi lampion-lampion merah dengan ukiran; kini warna ku pun berubah menjadi merah. Tampak manusia-manusia lalu lalang melewati gerbang dan pintu dengan baju berwarna merah dengan rona merah bahagia di pipi mereka.*

Ilustrasi: http://jinggaberbisik.blogspot.co.id/2013/02/cap-go-meh-dari-tatung-hingga-lontong.html

Clostridium Botulinium

Ada kumpulan detik yang membuat kita terjebak dalam satu keadaan dan memaksa kita untuk tetap tinggal di tengah penderitaan yang nampak seperti bahagia (kebanggaan semu).

***

Sebiji bola mata timbul tenggelam dalam katup yang menutup dan terbuka dengan ritme yang sangat lamban; setengah lelah bekerja dengan terbelalak dalam jendela kecil. Tangan lentik dengan kuku putih bersih yang menempel di setiap ujung jari sedang menikmati putaran mikrometer−mencari titik yang pas. Kumpulan titik-titik perak yang bias bergerak menggeliat.

Seketika tubuh menyusut dan menyeberangi cela, tibalah dia pada Klan Clostridium Botulinium yang merupakan bagian dari Negeri Basilus. Ternyata dia berdiri pada sebuah pendaratan−serupa halte dengan atap melayang berbentuk bulat mengikuti lekuk persinggahan tempatnya tegak saat ini. Sekelompok makhluk dengan bentuk tubuh serupa kapsul dengan wajah yang rata menjemputnya dengan santun.

“Salam hormat! Kami prajurit Klan Clostridium Botulinium datang untuk menyambut kau!” Seorang di antara mereka membungkuk di hadapannya, sepertinya dia adalah pemimpin prajurit.

“Tunggu dulu! aku Fragaria Vesca, sejujujurnya aku sedang dalam kebingungan. Aku tak tahu kenapa aku bisa ada di sini!”

“Ya, kami tahu siapa kau! Justru karena itu kami datang kemari. Pimpinan salah satu departemen Negeri Basilus yang mengundang kau kemari!” Pemimpin prajurit itu kembali bercuap, mereka terdiri dari sepuluh makhluk aneh yang hanya mampu dibedakan oleh simbol yang melekat pada tubuh mereka karena penanda tersebut tak ada yang sama di antara mereka.

“Apa? Siapa dia? To, tolong! Aku sama sekali tidak mengerti!” Fragaria Vesca menimpalinya dengan terbata-bata dalam kekhawatiran akan keselamatan hidupnya di negeri yang begitu asing untuknya.

“Kau ikut saja dengan kami! Nanti di kantor departemen kau akan bertemu dengan pimpinan yang mengundang kau!” Mereka bergerak mundur sekejap muncul kotak besar di hadapan mereka berwarna hijau bias perak. “Silakan masuk! Kami akan mengantarkan kau!” Maka masuklah Fragaria Vesca ke dalam kotak dan mereka kemudian bergerak melayang bersama kotak tersebut.

“Mari! Maaf, kita harus melalui jalan ini untuk sampai ke ruangan pimpinan!” Mereka telah tiba pada sebuah tempat yang tersembunyi di balik tempelan-tempelan daun serupa lumut, mereka kemudian mengarahkan Fragaria memasuki sebuah lorong yang menyerupai pipa dengan undakan tangga yang berkelok.

“Selamat datang Nona Fragaria! Perkenalkan aku Lei Basilus, Pimpinan Departemen Rahasia Negeri Basilus!” Tiba-tiba sosok yang serupa dengan tubuh pempimpin prajurit mendarat di depan Fragaria.

“Ya, ya, ya! Tapi kenapa aku bisa sampai di sini?”

“Baik, sebelumnya aku ingin mengucapkan selamat pada Nona! Kau terpilih menjadi agen Departemen Rahasia Negeri Basilus! Nona akan diberikan tugas khusus dan tugas ini menyangkut keselamatan dan kelangsungan hidup rakyat Klan Clostridium Botulinium!”

“Maksud Tuan Lei?” Fragaria sesara ingin berteriak karena kalut diliput kebingungan.

“Klan Clostridium Botulinium saat ini tengah berada pada masa genting! Saat ini negeri kami membutuhkan makhluk dari luar yang dapat membantu kami untuk mengatasi kisruh yang ada di negeri ini!” Suara Tuan Lei melemah, begitu nampak bahwa dia tengah diselimuti kekhawatiran.

“Memangnya apa yang terjadi di negeri ini Tuan?” Fragaria mulai tersentuh dengan penjelasan Tuan Lei.

“Aku katakan pada kau Nona Fragaria, Klan Clostridium Botulinium adalah sebuah klan yang paling indah di negeri ini. Namun, diisi oleh sebagian besar makhluk yang penuh dengan ambisi dan niat jahat. Ditambah lagi dengan menghilangnya Pimpinan Klan!”

“Pimpinan Klan hilang?” Fragaria semakin penasaran dengan penjelasan Tuan Lei.

“Ya! Pimpinan Klan menghilang semenjak Klan Clostridium Botulinium bergejolak karena berbagai masalah! Hanya saja sampai saat ini kami masih mencari penyebabnya dan di mana keberadaan Pimpinan Klan!”

“Lalu kenapa kau mengundang aku kemari?”

“Pemimpin Negeri Basilus merasa khawatir dengan kelangsungan hidup Klan Clostridium Botulinium yang indah dan kau adalah makhluk pertama yang menyentuh kehidupan di negeri ini di saat kami tengah dalam kemelut; kami membutuhkan makhluk yang baik, dapat di percaya dan berasal dari luar negeri kami!” Tuan Lei melayang –setelah memberi penghormatan pada Fragaria. “Atas persetujuan dari Pemimpin Negeri Basilus, maka kami memohon pada Nona Fragaria Vesca untuk bersedia membantu kami! Jika Nona bersedia, maka kami akan melakukan sesuatu terhadap Nona agar kerahasiaan misi ini terjaga!”

“Mmmhh.. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk negeri kalian?” Fragaria menghela nafas. Dia sebenarnya masih memikirkan permintaan Tuan Lei. Tapi mereka serupa Basil! Sepertinya ini menarik! Fragaria meyakinkan diri sendiri.

“Nona Fragaria akan menjadi agen Departemen Rahasia! Bertugas untuk memata-matai segala aktivitas di Klan Clostridium Botulinium!”

“Baik, aku bersedia Tuan Lei!”

“Terima kasih Nona!” Tuan Lei segera mengeluarkan kekuatannya dan menyulap Fragaria menjadi serupa dengan dirinya. “Nona harus terlihat seperti kami selama menjalankan tugas!” Fragaria berubah bentuk dengan pin emas bertuliskan Fra di bagian tengah tubuhnya.

“Waw! Begini rasanya jadi basil!” Fragaria merasa kagum sekaligus heran melihat perubahan dirinya. “Tapi, Tuan Lei bagaimana aku bergerak dengan tubuh seperti ini?”

“Sekarang coba Nona pikirkan untuk melayang!”

“Keren! Aku terbang Tuan Lei!”

“Setiap kali Nona ingin melakukan sesuatu maka Nona cukup memimikirkannya! Hanya saja Nona tidak dapat melakukan apapun jika Nona bertemu kekuatan yang jauh lebih besar dibanding kekuatan Nona.Sekarang jalankanlah tugasmu Nona Fragaria Vesca!” Tuan Lei menyerahkan kotak berisi segalan alat yang dibutuhkan oleh Fragaria selama menjadi mata-mata.

“Baik Tuan Lei!” Fragaria kemudia terbang menuju Klan Clostridium Botulinium.

Fragaria mengelilingi Klan; menikmati keadaan yang begitu aneh di Negeri Basilium. Telihat kerumunan rakyat di depan kantor pemerintahan Klan Clostridium Botulinium; ada sosok yang kemudian diketahui bernama Pay beridiri di atas podium sambil berpidato.

“Kalian akan sejahtera bersamaku! Kalian akan sejahtera bersamaku!” teriak Tuan Pay.

Fragaria menelusuri siapa sebenarnya Tuan Pay, berdasarkan alat yang membantunya− dia menemukan informasi bahwa Tuan Pay ingin menjadi pemimpin Klan Clostridium Botulinium yang baru, Tuan Pay merupakan penduduk yang berpindah klan beberapa tahun belakangan karena itu banyak yang mencurigai dia sebagai penyebab hilangnya Pemimpin Klan Clostridium Botulinium.“Halo, Tuan Lei!” Fragaria menghubungi Tuan Lei sebagai bentuk laporan rutin dari tugasnya. Tuan Pay yang merupakan penduduk baru Klan Clostridium Botulinium, rupa dan bentuk yang berbeda dengan penduduk Klan Clostridium Botulinium tidak menyurutkan rasa percaya dirinya untuk menjadi seorang pemimpin klan yang baru.

“Sepertinya di sini ada yang ingin menggantikan Pimpinan Klan yang tengah menghilang?”

“Maaf, Nona Fragaria aku lupa memberitahumu. Salah satu polemik Klan Clostridium Botulinium adalah desakan rakyatnya untuk segera mendapatkan pemimpin Klan! Karena itu tugas Nona adalah memata-matai mereka yang mengajukan diri sebagai pengganti Pemimpin Klan Clostridium Botulinium!”

“Baik Tuan Lei!” Fragaria menutup alat komunikasinya dengan Tuan Lei. Fragaria melanjutkan perjalanannya mengelilingi Klan Clostridium Botulinium, dia memperbesar teropong ajaib yang dia ambil dari kotak yang diberikan oleh Tuan Lei.

Nampak sesosok di tempat yang berbeda, diketahui dia adalah Tuan Luxio seorang penduduk asli dari Klan Clostridium Botulinium, ayahnya seorang mantan pemimpin Klan Clostridium Botulinium. Namun, banyak yang menganggapnya dia tak mampu menyaingi kemampuan ayahnya dalam memimpin Klan. Dipandang sebelah mata tetap tidak menyurutkan langkahnya. Ada yang mengatakan dia berada digerbang ambisi kekuasaan turun-temurun tapi dia tetap melenggang.

Fragaria memutuskan untuk mendarat− menelusuri jaring-jaring lengket di sepanjang tembok pembatas rumah-rumah penduduk Klan. Sampai di batas Klan Clostridium Botulinium, dia terhenti. Dia mengikuti seorang penduduk Klan Clostridium Botulinium dengan gerak-geriknya yang cukup mencurigakan sedang memasuki sebuah liang di daerah perbatasan Klan.

“Rakyat kita semakin memperihatinkan, Tuan! Propoganda mereka semakin menjadi. Sampai kapan kita berada di sini?” Sosok yang diikuti oleh Fragaria terlihat berbicara dengan seseorang dengan pakaian beratribut lengkap; nampak seperti seorang petinggi.

“Aku percaya bahwa Lei akan binasa karena kekejamannya terhadapku. Saat ini yang bisa menyelamatkanku hanya mereka; rakyatku. Ketika mereka tidak memutuskan apapun dan tetap yakin padaku maka saat itu pula aku akan menemui mereka. Jika mereka mengikuti alur yang diciptakan Lei maka saat itu pula mungkin aku telah kalah. Tapi aku yakin bahwa cahaya tidak pernah ditenggelamkan kelamnya gulita” Sosok yang nampak seperti seorang yang memangku jabatan tertentu dalam pemeritahan itu terdengar menyebut Tuan Lei, Fragria bergegas mengambil alat komunikasinya untuk menghubungi Tuan Lei.

Mendengar hal tersebut Tuan Lei terdengar sangat bersemangat. Menurut penjelasan Tuan Lei, sosok yang ditemukan Fragaria adalah sosok yang selama ini dicari oleh Departemen Rahasia karena telah megacaukan Klan Clostridium Botulinium. Saat Fragaria tengah serius bercerita dengan Tuan Lei dengan alat komunikasinya. Tiba-tiba seseorang memukul tubuhnya yang berada dalam bentuk basil. Tanpa ampun, benda tumpul melayang menghantam dirinya berkali-kali hingga dia tak sadarkan diri.

“Kau mata-mata Lei?” Teriak sosok yang ada di depan Fragaria. Sosok itu ternyata adalah seseorang yang diikuti olehnya tadi. Tubuh Fragaria tidak dapat bergerak karena lilitan serupa akar yang merambat pada tubuhnya.

“Aku hanya membantu Tuan Lei!” Fragaria semakin ketakutan.

“Lei itu biadab. Kau lihat dia?” Sosok itu menunjuk seseorang yang serupa dirinya; sosok beratribut lengkap yang tadi dilihatnya. “Sekarang dia harus mengasingkan diri dari rumah, hak dan kewajibannya karena Lei. Lalu kau bilang membantu makhluk terkutuk itu?” Suara sosok basil itu semakin meninggi.

“Maksudnya? Sungguh ,aku tak tahu apapun tentang kalian. Aku hanya punya niat baik untuk kelangsungan hidup Klan kalian.” Fragaria kebingungan dan semakin merasa bahwa hidupnya kian terancam.

“Tapi sayangnya Lei tidak punya niat yang baik untuk itu semua!” Tiba-tiba sosok basil serupa petinggi Klan itu menyahut.

“Nona, sekarang sebaiknya kau berkata jujur! Para pengikut Lei adalah makhluk yang licik”

“Aku tidak mengerti!” Fragaria berteriak dengan emosional karena merasa semakin kebingugan.

“Sebaiknya kau ceritakan semuanya, jika tidak kami akan melakukan hal buruk padamu!” Pendamping sosok beratribut lengkap itu mulai mengancam Fragaria.

“Kau siapa? Apa yang harus kukatakan padamu dengan jujur? Aku tidak mengerti.”

“Aku adalah Remil, Pemimpin Tertinggi dari Klan Clostridium Botulinium. Sekarang kau katakan, apa rencana Lei sehingga dia mengutusmu kemari?”

“Kurang ajar kau Fragaria!” Tiba-tiba Tuan Lei muncul dari permukaan liang dengan teriakan lantang saat Fragaria belum sempat menjawab pertanyaan Remil.

Pendamping Remil menahan Lei dengan serangan bertubi-tubi. Pengikut Lei mengepung Fragaria dan Remil, sebagian lagi menahan pendamping Remil yang seorang diri menyerang tuan Lei.

“Hentikan!” Teriak Lei kembali untuk menghentikan aktivitas adu fisik. “Remil, kau betul-betul pengecut? Mengapa kau lari? Aku sudah mengatakan bahwa kau tak punya pilihan tapi kau harus memutuskan!”

“Kau sungguh licik dan ambisius Lei!” Remil mengecam Tuan Lei.

“Aku tak sejahat yang kau pikir Remil!” Elak Tuan Lei.

“Aku pun tak akan menjual rakyatku untuk kebengisanmu yang gila karena materi dan kuasa!” Tuan Remil mendekat pada Tuan Lei dengan setengah berteriak.

“Dan kau nona, apa yang kau lakukan di tempat ini? Ternyata kau cukup mahir melampaui batasmu” Tuan Lei mengarahkan pembicaraannya pada Fragraria.

“Bukankah Tuan Lei?..” Fragaria serasa sesak menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Belum sempat dia melanjutkan perkataannya, Lei menghantam Remil dan pendampingnya hingga terhempas dan dengan beringas mendekati Fragaria dengan ujung serupa belati yang dilayangkan padanya.

Fragaria berteriak histeris dengan mata yang enggan terbuka tapi tangisnya yang membuncah sambil menggenggam ujung mikroskopnya−setengah meremas benda yang tak akan bisa hancur hanya dengan remasan; kawanan berbaju putih mengerubunginya, salah seorang dari mereka menawarkan segelas air putih. Fragaria meneguk air itu dan membuka matanya; dilihatnya sosok serupa basil raksasa tersenyum padanya di antara kawanan berbaju putih−kembali membuat tubuhnya melemas, mata bergerak mengatup dengan penglihatan yang menghitam.*

Ilustrasi: http://moskuito.deviantart.com/art/Landscapes-part-four-Land-Of-Giants-422227004