Tingkatan tertinggi dari kebahasaan adalah puisi, itulah yang saya pahami selama ini mengenai puisi seperti yang dikemukakan oleh Kosasih bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan kaya makna, sedangkan Ralp Waldo Emerson mengungkapkan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin. Ada beragam jenis puisi yang ditunjukkan oleh adanya kecenderungan popularitas jenis puisi tertentu pada zaman tertentu.
Puisi pada angkatan pujangga baru menggunakan kata-kata yang indah dengan aliran yang romantik dan rima sebagai sarana kepuitisan, di mana puisi pujangga baru tersebut hadir untuk menyentuh rasa kesadaran terhadap kebangsaan dan nasionalisme pada masanya seperti puisi Armijn Pane yang berjudul teratai. Sedangkan angkatan 45 menggunakan majas; gaya bahasa metafora dengan aliran reliasme. Puisi angkatan 45 lebih bebas dengan mengungkap masalah kemasyarakatan sehari-hari dan kemanusiaan seperti puisi “Kerawang-Bekasi” karya Chairil Anwar. Begitupun puisi generasi lainnya merupakan perwujudan puisi dan masa sehingga memiliki cita rasanya sendiri.
Membaca beberapa karya puisi membuat kita berusaha ikut memahami apa yang ada pada diri seorang penyair. Seperti halnya puisi-puisi dari seorang sasrtawan angkatan 45 Chairil Anwar, saya sempat bertanya apa yang menarik dari karya Chairil Anwar? Contohnya pada kutipan sebuah karyanya yang berjudul “Derai-Derai Cemara”, “Hidup hanya menunda kekalahan” atau pada karyanya yang lain “Aku Berkaca”, “Segala menebal, segala mengental segala tak kukenal! Selamat Tinggal!”.
Sungguh ironis, jika kita membaca beberapa potongan bait dari puisi Chairil Anwar di atas, kita tentunya berpikir bahwa betapa pilunya kehidupan dan apa yang telah dirasakan oleh penyair yang namanya sangat melegenda. Bahkan hampir semua tulisannya menuju pada kematian atau merujuk pada isitilah umum yaitu serupa keputusasaan.
Perasaan jatuh cinta saya sejak dulu yang tumbuh pada puisi “Aku”, membuat saya tidak ingin menyerah pada pandangan yang demikian. Bukankah sastrawan angkatan 45 menghantarkan karya yang ekspresif dan revolusioner seperti kutipan puisi Chairil Anwar lainnya yang berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji. Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang diatas apimu, digarami lautmu. Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945”. Saya kembali menelaah, rasanya terlalu dangkal jika menyimpulkan bahwa puisi-puisi karya Chairil Anwar adalah gambaran kelemahan dari seorang Chairil Anwar; di sisi lain memang seperti itu. Tapi, justru inilah hal terpenting dari puisi angkatan 45 bahwa puisi-puisi ini hadir dari hal-hal yang lebih realistis.
Puisi adalah pengucapan dengan perasaan yang di dalamnya mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan, seperti itulah HB Jassin mengartikan karya puisi dalam buku Rachmat Djoko Pradopo yang berjudul “Beberapa teori sastra, metode kritik dan penerapannya.” Sebagaimana demikian jugalah puisi-puisi penyair lainnya menggiring kita untuk menyelami lebih jauh pergolakan pikiran dan tanggapan, serta apa yang terjadi pada masa itu melalui tiap puisi mereka termasuk Chairil Anwar. Penindasan, harapan serta satu hal yang sangat mendalam yaitu kapasitas sebagai manusia; setidaknya makna itu yang saya tangkap dari sang penyair berdasarkan beberapa puisinya−Chairil Anwar.
Sebagian puisi Chairil Anwar secara implisit bagi saya mengandung magis yang mampu menghadirkan bentuk kelemahan dari seorang manusia di hadapan Tuhan dan semesta−kepasrahan yang justru dapat memompa sebuah kekuatan besar dari dalam jiwa manusia. Jika dimaknai secara utuh puisi-puisi seperti “Doa”, Di Masjid, Merdeka dan beberapa puisi lainnya menghadirkan kekuatan dengan wajah kepasrahan, contohnya pada kutipan puisi Merdeka, “Tapi kini. Hidupku terlalu tenang. Selama tidak atara badai. Kalah menang. Ah! Jiwa yang menggapai-gapai. Mengapa kalau beranjak dari sini. Kucoba dalam mati.”
Berulang-ulang pada puisinya Chairil menunjukkan bahwa akhir dari tekanan dari setiap hal yang dihadapi adalah kembali pulang. Makna ini justru membawa saya menemukan ruang bahwa apa yang ada di depan harus dihadapi seperih apapun itu karena pada akhirnya kita akan menyerah pada yang Maha Kuasa, dari sinilah letak sisi revolusioner itu terlihat; media untuk menghadapi pergolakan pada masa 45 melalui puisi bahwa tidak ada yang harus ditakuti karena ajal yang membawa sepi akan tiba juga−pada beberapa puisi Chairil Anwar. Memang sebuah analisis spiritual yang sebagian orang akan beranggapan terlalu subjektif di mana subjektivitas tak pernah sepenuhnya menghilang dalam analisis puisi. Pendekatan terbaru kritik sastra, teori resepsi, meletakkan pembaca sebagai pemberi makna, artinya pembaca yang beda bisa menangkap makna yang beda sesuai dengan kapasitas pengetahuannya, pengalaman-pengalamannya, dan juga sudut pandangnya. Saya sebagai pembaca mencoba menyelami hal tersebut melalui salah satu unsur hakikat puisi yakni perasaan. Herman J waluyo yang merupakan guru besar pendidikan bahasa dan sastra dalam bukunya yang berjudul Teori dan Apresiasi Puisi mengatakan bahwa “perasaan adalah suasana perasaan penyair yang ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca.” Sisi itu saya temukan pada beberapa puisi Chairil salah satunya pada puisi “Doa”.
Chairil bagi saya adalah sastrawan yang memiliki kekayaan hikmah dari setiap puisi-puisinya termasuk sisi spiritual. Terlepas dari beberapa puisi yang bermakna cinta dan perjuangan pada akhirnya akan menyentuh nurani yang berangkat dari sesuatu yang apa adanya. Bagi orang-orang yang menghayati puisi dari Chairil Anwar, mungkin akan menemukan dorongan kekuatan dari sebuah kepiluan yang realis. Tentunya bukan dalam persepsi puisi bijak, di mana bukan hanya kekuatan kata-kata tapi kekuatan makna; magis.
Kekuatan puisi-puisi Chairil justru lahir dari kesunyian, puisi yang memiliki kesan individualisme juga menunjukkan bahwa hal tersebut adalah bagian dari proses lahirnya puisi Chairil Anwar yang mengharu-biru. Puisi-puisi Si binatang Jalang adalah puisi yang jujur dari lahir dan menuju kematian seperti petikan puisi Rumi dalam Matsnawi, “Ketika aku mati sebagai manusia, maka para malaikat akan datang dan mengajakku terbang ke langit tertinggi. Dan ketika aku mati sebagai malaikat, maka siapa yang akan mendatangiku? Kau tak akan pernah dapat membayangkannya!”
Terlepas dari analisis spiritual yang terkandung dalam puisi Chairil, saya tidak menutup mata pada kehidupan lain Chairil yang juga tampak dalam puisi-puisinya. Tapi sebagai pembaca apa yang lebih baik dari menikmati dan memetik hikmah. Misalnya pada puisi “Derai-Derai Cemara” dan “Aku Berkaca” yang hingga sekarang masih sering dikumandangkan oleh para pecinta puisi tak terkecuali untuk memompa semangat atau mengikat kesedihan. Justru letak menariknya kekayaan seorang Chairil Anwar dalam sastra Indonesia dari kompleksitas kisah dalam puisi-puisinya.
Bebircara tentang makna puisi Chairil Anwar yang begitu pilu namun menyimpan kekuatan, tidak adil rasanya jika kita tidak menengok sebuah puisinya secara utuh. Berikut puisi yang berjudul Maju.
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Sebagai manusia kita yang mengalami pergolakan dan problematika dalam hidup satu-satunya kekuatan terletak pada kepasrahan kita sebagai manusia. Puisi di atas bisa jadi mampu membakar semangat orang-orang yang membacanya, dengan kalimat provokatif “Sekali berarti. Sudah itu mati”, bahkan kalimat ini sempat digunakan sebagai slogan oleh Sutrisno Bachir pada iklan partai PAN pada masa kepimimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, kalimat dalam puisi yang berjudul Maju ini juga menjadi inspirasi hidup seorang CEO PT Fortune Indonesia Tbk yakni Aris Boediharjo, hal tersebut diungkapkan dalam salah satu artikel yang berisi wawancara mengenai kiat kesuksesannya pada tahun 2016.
Mungkin masih banyak lagi cerita mengenai puis-puisi Chairi Anwar. Tapi uraian di atas cukup menajamkan pandangan saya bahwa kepasrahan dan kematian mampu mendorong kekuatan yang jauh lebih besar. Hal itulah yang dapat dipetik dari lara pada puisi-puisi Chairil Anwar.
Seorang penggembira di tim hore dunia anak-anak. Perempuan yang menyukai bau pepohonan lembab dan gemar bertualang di samudera dongeng.