Semua tulisan dari Novita Sari

Alumnus Sosiologi UNM. Koordinator di Malebu Institute of Sociology Makassar

Kang Bok Soo: Tidak Pintar itu Bukan Berarti Tersesat Dalam Hidup

Sebenarnya saya adalah salah satu orang yang tidak mau –bukan tidak suka, menonton drama korea. Menurut saya, menonton drama korea membutuhkan effort yang cukup menguras tenaga. Selain episodenya yang sangat panjang, berkisar 15 sampai 20 episode, alur ceritanya pun tak jarang memainkan emosi. Dalam satu judul drama korea saja, fluktuasi rasa terkadang sangat sulit untuk dihindari. Pada episode pertama masih menyuguhkan emosi yang santai, pada pertengahan episode, mulai berekspansi pada ranah yang biasa kita sebut fase berbunga-bunga dan pada akhir episode, tibalah semua emosi melebur dan akhirnya cukup membuat swing mood untuk beberapa jam atau bahkan berhari-hari setelah menontonnya.

Beberapa hari yang lalu, saya telah selesai menonton drama korea yang berjudul My Strange Hero. Saya menonton drama korea tersebut awalnya hanya coba-coba (hehe), karena cuplikan dari dramanya selalu lewat diberanda aplikasi joget-joget yang saya akses. Cuplikan demi cuplikan membuat saya penasaran dan walhasil saya pun mengunduh 16 episodenya. Satu hal yang ingin saya tekankan sebelum mengulas sedikit tentang drama korea ini adalah setiap orang memiliki point of view dalam melihat sesuatu, sama halnya dengan menonton drama korea. Mungkin kita menonton drama korea yang sama, tapi alur cerita yang kita highlight bisa saja berbeda.  Seperti yang saya katakan sebelumnya, My Strange Hero adalah salah satu drama korea yang tidak hanya memuat satu alur cerita. Selain alur cerita romantisme percintaan, My Strange Hero juga memberikan gambaran tentang romantisme pendidikan.

Soelsong High School adalah nama sekolah dimana scene dalam drama ini banyak dilakukan. Kepala sekolah Soelsong High School adalah seorang perempuan yang bernama Lim Se Gyong yang menggambarkan karakter perempuan cerdas, ambisius dan licik. Ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan kehormatan, termasuk  menekan anaknya, Oh Se Ho agar selalu menjadi yang terbaik di sekolah. Oh Se Ho menggambarkan karakter anak yang kesepian, tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Ia hanya mendapatkan pressure dari Ibunya untuk selalu berada pada peringkat pertama di sekolah, bagaimanapun caranya. Hingga akhirnya frustasi dan melakukan percobaan bunuh diri. Oh Se Ho tidak sendirian, sembilan tahun setelah tragedi percobaan bunuh diri Oh Se Ho, Chee Min pun mengalami hal yang sama. Chee Min adalah seorang anak dari keluarga terpandang yang dituntut untuk selalu menjadi yang terbaik dalam segala aspek dan akhirnya pun sama, mengalami frustasi dan mencoba untuk bunuh diri.

Beralih ke sang hero pada drama ini, Kang Bok Soo. Kang Bok Soo berkarakter ceria dan apa adanya. Meskipun Ia terkenal sebagai siswa yang memiliki nilai rendah dalam akademik, namun karena Ia sangat peduli pada setiap masalah yang dialami oleh teman-teman dan suka membantu, maka Ia termasuk siswa yang banyak dikagumi dan disenangi oleh teman-temannya. Kang Bok Soo berpidato dalam pemilihan ketua kelas:

Aku mungkin bukan yang paling cerdas, tetapi aku tidak pernah mengabaikan seorang teman yang membutuhkan. Aku mungkin bukan yang paling cerdas, tetapi aku tidak akan mengabaikan ketidakadilan. Aku mungkin bukan yang paling cerdas, tetapi aku memiliki hati yang hangat. Aku seseorang yang dapat membuktikan bahwa tidak pintar itu bukan berarti kau tersesat dalam hidup. 

Dari pidatonya, saya merasa Kang Bok Soo sedang ingin menyampaikan pada kita bahwa kecerdasan itu tidak hanya dinilai dari satu aspek saja. Manusia memiliki beragam kecerdasan, bukan hanya kecerdasan logic-matematis (berkaitan dengan angka) tapi juga kecerdasan verbal-linguistik (berkaitan dengan kata-kata), visual-spasial (berkaitan dengan warna-gambar), musical (berkaitan dengan music), kinestetik (berkaitan dengan ekpresi tubuh), interpersonal (berkaitan dengan cara bersosialisasi) dan lain-lain. Howard Gardner, seorang tokoh pendidikan dan psikologi berkebangsaan Amerika menyebutnya sebagai multiple intelligences. Menurut Howard Gardner, semua kecerdasan dimiliki manusia dalam kadar yang tidak persis sama. Semua kecerdasan dapat dieksplorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal. Terdapat banyak indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan. Dengan latihan, seseorang dapat membangun kekuatan kecerdasan yang dimiliki dan menipiskan kelemahan-kelemahan. Semua kecerdasan yang berbeda-beda tersebut bekerjasama untuk mewujudkan aktivitas yang diperbuat manusia. Senada dengan hal tersebut, Jalaluddin Rumi juga berpendapat bahwa pendidikan bukanlah menabur benih pada dirimu, melainkan menumbuhkan benih-benih yang ada dalam dirimu. Jadi pada fitrahnya, benih-benih kecerdasan sudah ada dalam diri setiap manusia, hanya saja dibutuhkan dukungan dari lingkungan agar benih-benih kecerdasan itu bisa tumbuh dan berkembang.

Kang Bok Soo mengingatkan saya tentang inti karakter pribadi menurut salah satu tokoh pendidikan karakter, Thomas Lickona. Menurut Beliau, ada 9 inti karakter yang harus ditumbuhkan; courage (keberanian), justice (keadilan), benevolence (kebaikan hati), gratitude (rasa terima kasih), wisdom (kebijaksanaan), reflection (mawas diri), respect (rasa hormat), responsibility (tanggung jawab), dan temperance (pengendalian diri). Karakter keberanian ditunjukkan Kang Bok Soo saat Ia berani membongkar korupsi yang telah terjadi selama bertahun-tahun di sekolahnya sehingga membuat kepala sekolahnya dipenjara. Karakter pengendalian diri ditunjukkan Kang Bok Soo ketika Ia sangat marah dengan sikap semena-mena dari kelas Ivy (kelas para anak pejabat yang dianggap pintar) terhadap kelas Wildflower (kelas untuk siswa yang dianggap liar) namun tetap menahan diri agar tidak melakukan kekerasan di Sekolah. Bijaksana, baik hati dan karakter lainnya, semua dimiliki oleh Kang Bok Soo. Itulah mengapa Ia sangat dihargai oleh teman-temannya di kelas Wildflower. 

Dalam kondisi saat ini, apalagi dimasa pandemi covid 19, karakter tersebut sangatlah diperlukan agar tatanan kehidupan bisa berjalan dengan bajik dan bijak. Dilihat dari skala mikro, pertemanan misalnya, karakter kebaikan hati, tanggung jawab sampai pada pengendalian diri sangat memegang peranan penting dalam keutuhan pertemanan, apalagi jika dilihat dari skala yang lebih besar, bernegara misalnya. Tak heran jika Soekarno sangat menekankan tentang pentingnya levensinhoud dan levensrichting (isi-hidup dan arah-hidup) bagi bangsa. Soekarno berpendapat bahwa bangsa yang tidak memiliki isi-hidup dan arah-hidup (read; karakter) adalah bangsa yang dangkal, yang mengagumkan kekuasaan pentung bukan kekuasaan moril.

Dari drama korea My Strange Hero, kita bisa belajar bahwa setiap orang, setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing. Daya nalarnya berbeda, jadi cara mendidiknya pun harus berbeda. Albert Einstein pernah berkata “setiap anak itu jenius, tetapi jika anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh”. Di era digitalisasi ini, yang dibutuhkan bukan hanya hi-tech (kemajuan teknologi) tapi perlu diimbangi dengan hi-touch (penguatan sentuhan nilai karakter). Last but not least, untuk kalian yang berencana menonton drama korea ini, jangan lupa siapkan mental kalian sebab senyum Kang Bok Soo sungguh buat hati dan pikiran jadi lumerrrrrr.. hehe.


Sumber gambar: https://asianwiki.com/My_Strange_Hero

Refleksi Nalar Kritis Muslimah

Sedikit bercerita tentang sensasi yang saya rasakan saat mulai membaca buku ini. Awalnya, saya menyangka isi buku ini akan penuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang cukup berat untuk dipahami oleh orang yang tidak memiliki pengalaman mondok seperti saya, namun setelah menjajaki kalimat demi kalimat, lembar demi lembar, ternyata tidak seberat apa yang saya sangkakan dari awal. Membaca buku ini rasanya sedang berbicang santai dengan Ibu Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, seorang Dosen tafsir di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, sang penulis.

Buku yang berjudul Nalar Kritis Muslimah; Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan dan Keislaman membahas tentang bagaimana konsep keadilan gender dalam Islam, menelusuri asal muasal kesadaran dan keadilan gender Islam, jati diri perempuan dalam Islam sampai pada pembahasan RUU PKS.

Buku ini juga bisa menjadi bahan bacaan untuk para pengantin baru yang sedang sayang-sayangnya agar bisa mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban pasangan suami dan isteri dalam bahtera rumah tangga menurut Islam. Itu penting, agar tidak terjebak dalam kebucinan yang tak bernalar.

Menurut saya, buku ini mengajak kita untuk selalu menggunakan kaca mata gender dalam melihat fenomena sekeliling kita. Nyai Nur Rofiah menulis ;

“Seperti lensa yang menempel di mata, begitulah gender sebagai perspektif. Ia penting digunakan dalam melihat segala hal.” Hal 16

Bagaimana konsep keadilan gender dalam Islam? Buku ini menjelaskan bahwa adil itu adalah mampu memberikan ruang berdasarkan kebutuhan. Kebutuhan bisa dilihat dari pengalaman sosial dan pengalaman biologis yang dialami laki-laki dan juga perempuan. Ada perbedaan serta persamaan antara pengalaman laki-laki dan pengalaman perempuan yang mana itu dijadikan sudut pandang dalam melihat atau menganalisis keadilan gender. Misalnya pengalaman biologis pada perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan menopause.

Pengalaman perempuan memiliki durasi waktu yang cukup lama, ada yang berhari-hari, berbulan-bulan bahkan menahun. Hampir semua dari pengalaman biologis perempuan memberi efek sakit kepada perempuan (QS Luqman 31: 14).

Pengalaman biologis laki-laki adalah membuahi danitu tak jarang memberikan efek kebahagiaan atau kenikmatan untuk laki-laki. Masuk pada pengalaman sosial. Bisa terbayangkan bagaimana pengalaman sosial perempuan yang hidup dalam sistem sosial bersifat patriarki. Stigmatisasi perempuan yang misoginis, marginalisasi, subordinasi, beban ganda, ditambah lagi dengan kekerasan yang kerap dilakukan orang-orang terdekatnya. Laki-laki tak jarang dimanjakan oleh sistem patriarki. Berdasarkan pengalaman biologis dan pengalaman sosial tersebut dapat dilihat bagaimana konsep adil yang bisa diberlakukan.

Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukumnya. Namun, yang kita baca dan  pelajari selama ini adalah tafsir tentang Al-Qur’an. Al-Qur’an itu dari Allah SWT, sedang tafsir tentang Al-Qur’an itu dari manusia yang sifatnya subjektif. Al-Qur’an dari Allah SWT pastilah adil, tafsir tentang Al-Qur’an dari manusia belum tentu adil.

Maka dari itu, ketika ada tafsir Al-Qur’an yang merugikan salah satu makhluk-Nya, tak ada larangan untuk kita menelaah kembali tafsir tersebut secara kritis. Semisal, ada tafsiran ayat yang membolehkan untuk memukul isteri ketika tidak mematuhi suami. Tapi di ayat yang lain, suami dan isteri diminta untuk tetap saling bergaul secara bermartabat bahkan ketika sedang marah.

Contoh lain, perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Tak jarang perempuan yang menstruasi dianggap tidak suci, dianggap najis sebab dilarang untuk melaksanakan salat, dianggap kotor sehingga wajar untuk dijauhi bahkan dilarang untuk digauli oleh suaminya sebab keadaannya yang tidak suci. Padahal, jika ditilik kembali, perintah untuk tidak melaksanakan salat bagi perempuan yang sedang menstruasi adalah perintah dari Al-Qur’an jadi perempuan tidak salat pada saat menstruasi sebenarnya telah melakukan perintah dari Allah SWT, sama halnya dengan melaksanakan salat pada saat selesai menstruasi.

Tidak digauli saat menstruasi sebab Allah SWT ingin memberikan waktu istirahat pada tubuh perempuan, memberikan peremajaan kembali pada tubuhnya. Tapi pandangan yang hadir cenderung misoginis terhadap perempuan yang tengah menstruasi.

Hal yang terkesan sepele itu seharusnya memberikan ruang renung pada kita, apakah kita selama ini telah menjalankan perintah Allah SWT, atau hanya sebatas merasa telah menjalankannya? Tuhan menciptakan manusia sebagai hambanya, laki-laki dan perempuan sama-sama diberi mandat sebagai khalifah fil ardh, sama-sama memiliki tanggung jawab untuk kemaslahatan lingkungannya.

Derajat manusia dilihat dari ketakwaannya. Takwa itu tidak hanya menjalin hubungan baik dengan Tuhan, tapi juga menjalin hubungan baik dengan makhluk ciptaan Tuhan. Jadi bagi yang merasa memiliki Tuhan dan ingin menjadi hamba yang takwa, maka tak ada alasan untuknya berbuat buruk kepada sesama makhluk ciptaan-Nya, tak ada alasan untuk merendahkan apalagi mengekploitasi perempuan dan alam. Sudut pandang gender pun demikian, tak ada yang superior dan tak ada yang inferior, yang ada hanyalah pembagian peran yang adil.

Belajar tentang gender bukan untuk mendikotomikkan antara perempuan dan laki-laki, bukan untuk melihat siapa yang lebih superior dan siapa yang inferior, bukan untuk melihat bagaimana kejamnya laki-laki terhadap perempuan, tapi lebih kepada bagaimana laki-laki dan perempuan saling terkait atau bahkan saling terikat dalam meraih cita dan cinta kemanusiaan. Belajar gender akan melatih diri untuk menerima kelebihan pun keterbatasan yang kita miliki dan tentu itu akan membuka mata kita tentang adanya ruang saling melengkapi, saling membutuhkan, dan saling memahami bahwa ketiadaan yang satu akan meniadakan yang lainnya.

Judul buku: NALAR KRITIS MUSLIMAH, Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan dan Keislaman.

Penulis: Dr. nur Rofiah, Bil.Uzm.

Tahun Terbit: Agustus, 2020.