Produksi bahan bakar nabati (biofuel) adalah salah satu penyebab berkurangnya produksi bahan pangan dan meningkatnya harga bangan pangan. McMahon dalam bukunya “Berebut Makan: Politik Baru Pangan,” menjelaskan hubungan biofuel dan meningkatnya harga pangan dengan lebih mendalam. Amerika sebagai penghasil jagung terbesar, pada 2007, mulai menargetkan penggunaan biofuel dari ethanol jagung.
Semakin tingginya permintaan jagung untuk ethanol, membuat harga jagung yang pada 2002 sampai 2006 hanya 107 dolar AS per ton, meningkat menjadi 332 dolar AS pada 2012 (McMahon 2017, 68). Jagung juga akhirnya membuat tanaman pertanian lain berkurang, karena petani Amerika memilih menanam jagung dibanding kedelai (McMahon 2017, 68).
Menurut McMahon, biofuel telah mendorong terjadinya lonjakan harga bahan pangan. Naiknya harga jagung, juga menaikkan harga pangan untuk pakan ternak—yang secara otomatis juga membuat harga daging meningkat (McMahon 2017, 69). Amerika sebagai penghasil jagung terbesar di dunia, berarti menjadi penentu kecenderungan pasar dunia (McMahon 2017, 69).
Tak mengherankan jika produksi jagung di Amerika digunakan untuk membuat ethanol, akan membuat stok jagung di pasar dunia berkurang—petani akan berayun di antara menanam bahan pangan atau menanam bahan bakar, tergantung mana yang menguntungkan. Dampaknya, harga pangan meningkat. Tak tanggung-tanggung, Jean Ziegle—pelapor khusus PBB tentang pangan—menyebut dukungan bagi biofuel sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (McMahon 2017, 70).
McMahon juga menambahkan faktor lain yang membuat krisis pangan atau harga bahan pangan menjadi semakin mahal. Faktornya adalah, kebijakan pangan setiap negara, iklim, para spekulator, dan masalah pencaplokan lahan besar-besaran. Kebijakan negara tersebut, berupa pelarangan ekspor dan maraknya impor (McMahon 2017, 141). Jika suatu negara melarang ekspor atau mulai panik dengan melakukan pembelian besar-besaran akan menciptakan dampak domino yang berakibat pada negara lain, serta menaikkan harga pangan di pasar (McMahon 2017, 151).
Dalam hal pencaplokan lahan, McMahon mengutamakan pencaplokan lahan oleh negara—yang kadang juga menyertakan pihak swasta dalam proyeknya.
Namun, pencaplokan lahan yang dilakukan di tingkat lokal suatu negara, juga tetap terjadi. Di Indonesia sendiri, izin usaha pertambangan dan perkebunan terus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendorong tumbuhnya tingkat investasi.
Masalahnya, lahan-lahan yang menjadi objek izin, kadang sudah dikuasai oleh masyarakat, sehingga akan berujung pada konflik. Menurut catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2018, konflik agraria yang paling tinggi adalah sektor perkebunan yaitu, 144 kasus. Konflik perkebunan sawit adalah yang paling tinggi, 83 dari 144 kasus.
***
Sekarang, Pemerintah Indonesia juga terus menggenjot penggunaan biodiesel untuk program biofuel dalam negeri. Alokasi pengadaan biodiesel untuk campuran minyak solar 2020 berdasarkan Keputusan Menteri ESDM nomor 199 K/20/MEM/2019 adalah 9.590.131 KL. Alokasi biodiesel tersebut ditujukan untuk program Biofuel 30 persen—program pencampuran 30% biodiesel dengan 70% minyak solar.
Program B30 adalah lanjutan dari B20 yang telah dijalankan tahun sebelumnya. Program tersebut akan berlanjut hingga B100. Sementara bahan baku utama yang digunakan di Indonesia adalah sawit yang selama ini tidak lepas dari beragam soal.
Dari kebutuhan biodiesel untuk biofuel sekarang, dapat dikatakan bahwa, kita butuh lebih banyak lagi biodiesel untuk menjalankan program B100. Malins dalam “Biofuel to the fire – The impact of continued expansion of palm and soy oil demand through biofuel policy,” memperkirakan kebutuhan biodiesel Indonesia untuk mencapai program B50, rata-rata 25,5 juta ton hingga 2030. Perkiraan tersebut, digunakan dengan tidak memasukkan kemungkinan penggunaan bahan baku lain untuk biodiesel di Indonesia.
Dengan ambisi penggunaan biofuel dari sawit maupun kedelai di berbagai negara, kemungkinan besar akan berujung pada ekspansi perkebunan yang akan memicu konflik serta meningkatkan pelepasan karbon.
Tak perlu menunggu ekspansi perkebunan di masa depan untuk melihat dampaknya terhadap lahan pangan. Sekarang, saat wabah covid-19 melanda berbagai negara, pangan kembali menjadi isu yang banyak dibicarakan.
Bisakah stok pangan sekarang mencukupi kebutuhan perut kita hingga wabah berakhir? Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengumumkan bahwa stok pangan dalam negeri kurang. Bahkan kembali merencanakan program cetak sawah.
Berkurangnya bahan pangan dalam negeri salah satunya disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian. Menurut BPS, penyusutan yang lahan dari Aceh hingga Maluku, banyak terjadi karena proyek perkebunan sawit dan pemukiman.
Alih fungsi lahan tersebut, secara otomatis membuat produksi di sektor pangan akan menurun. Semakin rendah produksi pangan dalam negeri, berarti kita akan semakin bergantung pada pangan dari pasar internasional yang harganya bisa saja sangat mahal dalam waktu tertentu.
***
Kendati hanya memaparkan penyebab krisis pangan yang terjadi di dunia, McMahon, justru memberikan beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis pangan. Tindakan tersebut adalah membantu petani kecil di negara berkembang untuk menanam lebih banyak tanaman pangan; meletakkan unsur-unsur ekologi di pusat di sistem produksi pangan; memastikan sistem keuangan benar-benar bekerja menjawab tantangan yang dihadapi sistem pangan dunia; dan melakukan penyesuaian terhadap harga pangan serta peralihan perekonomian yang berlandaskan kehayatian bumi (McMahon 2017, 287).
Agar dapat menjaga pangan di Indonesia tetap stabil dan memenuhi kebutuhan kita, usulan McMahon tampaknya mesti dilakukan. Ekspansi perkebunan sawit, dampaknya mulai terasa dari semakin berkurangnya lahan pangan.
Biofuel adalah energi yang bagus untuk menggantikan fosil tapi, jika diproduksi tanpa memperhatikan aspek pangan, justru akan membawa petaka. Selama masih membutuhkan pangan untuk tetap hidup, sudah seharusnya keberlanjutan produksi pangan menjadi perhatian utama kita semua.
Tentang buku:
Judul: Berebut Makan: Politik Baru Pangan
Penulis: Paul McMahon
Penerjemah: Roem Topatimasang
Tebal: viii + 370 halaman
Penerbit: INSISTPress (2017)
Nur Ansar, lahir di Bantaeng, Sulawesi Selatan, 10 Oktober 1998. Saat ini menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta. Ia bermukim sementara di Jl. Mutiara Raya No.1, RT 08/RW 06, Kelurahan Jati, Pulo Gadung, Jakarta Timur. Ia kadang menulis di blognya, nuransar.blogspot.com.