Kampung Karabba merupakan salah satu kawasan permukiman pesisir yang terdapat di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. Karakteristik permukiman ini sama seperti permukiman pesisir di perkotaan pada umumnya, antara lain memiliki tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dipengaruhi oleh wilayah perairan, dan cenderung kumuh. Mata pencaharian utama di perkampungan ini adalah mayoritas buruh harian lepas dan sebagian kecil nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu. Untuk membantu perekonomian keluarga, kadang ada warga yang merangkap bekerja sebagai tukang ojek. Sementara itu, ibu-ibu rumah tangga ada yang berjualan makanan dan minuman di halaman rumah dan ada pula yang berjualan hasil laut.
Tingkat pendidikan masyarakat di Kampung Karabba yang rendah salah satunya disebabkan oleh kemiskinan. Dengan kondisi tersebut tidak memungkinkan bagi hampir sebagian besar warga untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Selain itu pandangan masyarakat terhadap pendidikan juga berpengaruh terhadap jenjang pendidikan berkelanjutan. Meningkatnya kebutuhan dan tekanan ekonomi membuat masyarakat Kampung Karabba dihadapkan dengan kenyataan bahwa mereka seolah luput akan pentingnya pendidikan.
Pendidikan sebagai sarana meningkatkan kualitas kepribadian memiliki peran strategis baik dalam aspek intelektualitas maupun moralitas. Untuk itu, pendidikan menjadi salah satu kebutuhan primer yang dianggap penting bagi manusia. Namun demikian, tidak semua orang memahami dan mengejawantahkan pentingnya pendidikan bagi eksistensi hidupnya. Kemudian dalam konteks kehidupan sosial, pendidikan juga berperan penting dalam menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Konsep pendidikan tidak hanya sebatas proses mengajar dan belajar di dalam kelas, tetapi juga mencakup segala aspek pembentukan karakter, peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang membentuk manusia menjadi individu yang lebih baik.
Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental, jasmani, dan rohani. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa untuk proses pendidkan ini diperlukan adanya kesadaran dalam setiap orang.
Rendahnya pendidikan di Kampung Karabba ini terjadi karena kurangnya edukasi dan masalah ekonomi bahwa pendidikan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf sosial dan ekonomi keluarga. Pentingnya pendidikan terhadap anak dalam sebuah keluarga dapat mendorong lahirnya individu-individu yang mampu memutus mata rantai kemiskinan dalam keluarga.
Kisah Si Kembar
Siang itu ketika saya berkunjung di Kampung Karabba, saya bertemu dengan salah satu warga di sana yaitu Ibu Isa. Kemudian kami berbincang di rumah salah satu warga yang akrab disapa Ibu Mega. Saya memperkenalkan diri terlebih dahulu kemudian menjelaskan maksud dari tujuan saya berkunjung. Selama berbincang ibu Isa bercerita bahwa dia memiliki dua orang keponakan yaitu Fikram dan Ikram yang ternyata belum sekolah.
Ibu Isa sudah lama tinggal di Kampung Karabba ini. Ia berasal dari Pangkep dan sudah menetap di sini sekitar 40 tahun bersama ibunya dan para saudaranya. Ia bisa dibilang penduduk awal dari Kampung Karabba ini, karena saat itu rumah yang ada masih bisa dihitung jari atau sekitar sepuluh rumah saja.
Di keluarga ibu Isa bisa dibilang dari segi ekonomi cukup kurang. Kata ibu Isa “bukan gak ada tetapi kurang”. Di keluarga mereka anak-anak yang sedang bersekolah tidak ada yang mendapat beasiswa dari pemerintah. Dulu sempat dapat keponakan ibu Isa yang bernama Ilham di bangku kelas 4 SD tetapi dia hanya dapat tiga kali.
Untuk keperluan sehari-hari mereka hanya dibantu oleh menantu yang bekerja sebagai buruh di Pelabuhan Kota Makassar. Fikram yang masih berusia 7 tahun, salah satu dari si kembar sering ikut kerja di orang lain, seperti kerja bangunan angkat batu. Upah yang di dapat tidak seberapa dan terbilang kecil hanya untuk uang jajan saja.
Menurut Ibu Isa si kembar ini memiliki keinginan yang besar untuk sekolah. Mereka sering ikut belajar di temannya bahkan sampai mau ikut pergi ke sekolah. Mereka tidak merasa capek dengan belajar, justru mereka malah senang. Kemauan mereka untuk sekolah sangat besar, tetapi lagi-lagi terhalang oleh masalah ekonomi.
Lalu di hari yang berbeda saya bertemu dengan Pak Ansar di rumah beliau langsung. Bapak dari Fikram dan Ikram yang belum sekolah. Saya berbincang dengan beliau tentang mengapa anaknya tidak bersekolah.
Pak Ansar berusia 36 tahun dan bekerja sebagai buruh lepas di Pelabuhan Kota Makassar. Jadwal kerjanya tidak menentu tergantung panggilan saja. Penghasilannya pun paling tinggi dapat seratus ribu setiap hari dan itu hanya cukup untuk keperluan makan mereka.
Beliau menikah di umur 30 tahun dengan seorang janda. Rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Tepat setelah melahirkan Fikram dan Ikram di usia yang masih belia, ibunya pergi meninggalkan mereka. Sampai sekarang belum diketahui pasti penyebab ibunya meninggalkan anak dan suaminya.
Untuk mendapat perhatian dari Fikram dan Ikram ibunya kembali berkunjung dan mencoba berbagai cara agar anaknya ikut padanya. Salah satunya dengan sering berkunjung melihat anaknya. Namun sekitar setahun belakang ini ibunya sudah tidak pernah kembali mengunjungi mereka.
Pak Ansar merupakan tamatan SD. Ia sudah lama menetap di Kampung Karabba ini. Rumah yang mereka tempati juga milik mereka sendiri. Di rumah itu hanya dihuni oleh Pak Ansar beserta dua anaknya dan nenek. Keseharian mereka tidak banyak karena di pagi hari ia sarapan dengan kue dan ditemani kopi. Berangkat kerja jam delapan pagi dan pulang di malam hari. Untuk uang jajan anaknya pun bisa dibilang cukup tinggi. Setiap hari mereka dikasih uang senilai dua puluh ribu.
Kedua anak mereka belum sekolah dikarenakan terkendala di persoalan administrasi. Akta kelahiran maupun Kartu Keluarga (KK) sampai saat ini belum ada. Sebelumnya si kembar ini memiliki akta kelahiran, tetapi saat itu telah dibawa oleh ibunya dan tidak diketahui di mana akta itu sekarang. Mereka sempat ingin buat kembali tetapi dari RT setempat meminta biaya senilai empat ratus ribu dan itu nominal yang cukup besar bagi Pak Ansar. Namun beliau ingat jika ditanya soal tanggal kelahiran anaknya dan di mana anaknya dulu lahir.
Ibunya tinggal di Pulau Badi’ Kabupaten Pangkep bersama kedua anaknya di suami sebelumnya. Tetapi berbeda dengan ibunya, kakak tirinya itu sering berkunjung ke rumah anak kembar ini untuk memberi uang belanja.
Di rumah Pak Ansar juga listriknya hanya disambung dari rumah Ibu Isa, kakaknya. Apalagi kalau Pak Ansar tidak ada penghasilan dalam beberapa hari, yang menutupi kebutuhan sehari-hari mereka adalah Ibu Isa. Seperti dibelikan beras dan ikan.
Bantuan dari pemerintah pun bisa dibilang jarang masuk. “Kalau adapi lebih na baru pi didapat, kalau tidak ada ya tidak ada,” tutur Pak Ansar. Menurut Pak Ansar, RT setempat lebih mengutamakan keluarganya sehingga bantuan tersebut tidak di dapat secara merata. Bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) buat lansia pun sekitar setahun belakang ini sudah tidak ada. Sebagai anak Pak Ansar sudah berusaha dengan mendatangi kantor terkait. Sampai pada suatu waktu ia mendengar orang lain mendapat bantuan PKH. Ia kembali mengecek ternyata masih kosong dan menunggu sampai 1 tahun tetapi tidak kunjung dapat juga bantuan.
Bantuan pemerintah itu sangat penting bagi mereka. Apalagi di keluarga mereka terdaftar 3 orang yang seharusnya mendapat bantuan tetapi sudah lebih dari setahun bantuan tidak kunjung cair. Orang yang membantu mereka mengurus pencairan bantuan saat itu menghilang dan nomor teleponnya pun sudah tidak bisa dihubungi.
Gilang Mahardhika
Gilang berusia 11 tahun dan anak kedua dari tiga bersaudara. Berbeda dengan saudaranya, Gilang memilih berhenti pada saat kelas empat SD. Alasannya, ia tidak ingin menyusahkan orang tuanya. Namun Gilang masih ada keinginan untuk melanjutkan sekolahnya.
Kedua orang tua Gilang sudah lama berpisah. Tepat saat Gilang duduk di bangku kelas satu SD. Saat ini Gilang tinggal bersama ibu, kakek dan kedua saudaranya. Meski sudah berpisah, ayahnya tetap menafkahi anak-anaknya, dengan mengirim uang setiap dua bulan. Ibunya bekerja sebagai buruh rumput laut dengan bekerja enam hari dalam seminggu.
Di Kampung Karabba ini bisa dibilang lingkungan baru bagi Gilang. Ia sebelumnya tinggal di Kelurahan Buloa dan pindah pada saat duduk di bangku kelas empat SD. Saat ini Gilang mengisi kegiatannya dengan membantu ibunya mencari ikan lalu meminta bantuan orang lain untuk menjualnya. Dari hasil jualan ikan tersebut mereka bagi dua. Hobi Gilang tidak jauh-jauh dari laut. Ia senang memancing. Terkadang ia hanya menangkap ikan lalu melepasnya kembali. Ia juga biasa mencari kepiting untuk dimakan di rumah.
Gilang belum bisa membaca meskipun ia berhenti sekolah saat kelas empat SD. Namun ia bisa kalau soal berhitung. Walaupun berhenti sekolah dia masih ikut belajar bersama saudaranya di rumah.
Perasaannya sedih saat berhenti sekolah. Saat sekolah dulu, ia juga sempat dapat beasiswa dari sekolah. Cerita dari adiknya, saat Gilang memutuskan untuk berhenti ia sempat dicari oleh guru di sekolah. Pasalnya ia berhenti secara tiba-tiba.
Orang tua bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, tetapi terkadang pendidikan di rumah lebih dibebankan pada ibu karena ibu dianggap lebih dekat dengan anak. Tetapi sebenarnya pendidikan adalah tanggung jawab bagi kedua orang tua. Namun tidak semua orang tua memiliki kebiasaan dan pola pendidikan yang sama dalam mendidik anak mereka. Tidak semua orang tua memiliki kebiasaan dan mengambil sebuah keputusan dan sikap. Sehingga beberapa orang tua dianggap kurang dan tidak memperhatikan anak karena kesibukan mereka mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan hidup.
Selain faktor ekonomi, faktor lainnya ialah lingkungan sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat faktor lingkungan juga pastinya berpengaruh. Lingkungan sosial meliputi kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dapat mempengaruhi perkembangan anak, perilaku anak, serta pertumbuhan anak.
Menurut saya penting bagi anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Apalagi anak-anak di Kampung Karabba memiliki motivasi yang tinggi dalam melihat pendidikan tetapi selalu terkendala di biaya pendidikan. Dari kasus Fikram dan Ikram pemerintah setempat semestinya memberikan kemudahan pelayanan administrasi sebagai syarat untuk sekolah bukan sebaliknya membebankan mereka dengan biaya pengurusan administrasi yang tinggi. Lalu untuk keadaan Gilang, pihak sekolah seharusnya berupaya untuk mengajak Gilang kembali untuk bersekolah. Apalagi dengan kondisi ia saat itu masih menerima bantuan beasiswa dari pemerintah. Di sinilah pentingnya posisi orang tua untuk memberikan motivasi kepada anak tentang pentingnya pendidikan.
Mahasiswa MBKM Mandiri-Perkumpulan Jurnal Celebes
Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FIS-H) Universitas Negeri Makassar