Semua tulisan dari Rivaldy Hapili

Mohamad Rifaldi Hapili. Seorang pria asal Tanah Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Sehari-harinya sibuk menulis berita di Televisi Republik Indonesia Stasiun Gorontalo. Beberapa waktu luang sering dimanfaatkan untuk berbagai cerita di Gagasan Institut. Saya juga aktif mengajar di Universitas Hijau Hitam Kawasan Sulawesi Utara dan Gorontalo. Tabik. Sukur Moanto..

Lebih Dari Sekedar Tubuh (Cerita tentang mitos kemuliaan perempuan)

Sebagai seorang mahasiswa disalah satu kampus ternama, di kawasan Indonesia Timur, Anggun  memang memiliki kebanggan besar. Meskipun ia sendiri tidak memiliki pemahaman yang memadai, tentang rasa kebanggan itu. Yang jelas ia bangga dengan kampusnya. Mungkin, perasaan ini seperti cinta, yang seringkali tak memiliki alasan yang jelas. “Pokoknya, aku bangga dengan kampus ini,” gumam Anggun.

Tentu, kebanggan ini berasal dari berbagai pengalamannya, menghabiskan waktu di kampus, yang membuatnya dikelilingi teman-teman baik, dan menghiasi hari-harinya dengan canda tawa. Anggun menyadari, meskipun sebenarnya kehidupan kampus adalah wahana ilmu pengetahuan, namun rasa-rasanya ia begitu nyaman dengan kondisi ini. Kuliah, belajar, dan diskusi seperlunya, serta bersenang-senang, dengan kekonyolan masing-masing.

Sebagai perempuan muda dan berkulit putih, Anggun juga sering menggunakan jilbab, dan pakaian yang menutupi kulit serta lekuk tubuhnya. Anggun menganggap, tubuhnya merupakan simbol kesucian. Setidaknya, itulah kesimpulan yang bisa ia pahami, dalam setiap ceramah agama, tentang kesucian dan kemuliaan perempuan. Anggun selalu berusaha sejauh mungkin, untuk menjaga tubuhnya, agar tidak dijamah oleh lelaki yang bukan muhrimnya. Ia percaya, bahwa menjaga tubuhhnya untuk tidak dilihat, apalagi disentuh oleh lelaki, merupakan bagian dari usaha untuk menjaga kesucian yang merupakan bentuk kemuliaan seorang perempuan.

Tubuh dan Kesuciannya

Kesucian tubuh perempuan, seringkali digambarkan seperti sebuah permen, yang terbuka dari bungkusnya, dan dikerumuni oleh banyak semut penerkam. Berbeda jika permen itu, tertutup dengan bungkusnya. Tak peduli seenak dan semanis apapun permen itu, semut tak akan bisa menjangkau, dan menerkam permen itu. Tentu ini sebuah analogi yang sangat mudah dipahami, untuk menggambarkan kesucian perempuan. Seorang perempuan yang tertutup dengan jilbab dan pakaiannya, akan lebih mudah terlindungi dari sentuhan siapapun. Mudah untuk berpikir, bahwa berhasil menjaga kesuciaan, akan memperoleh kemuliaan, sebagai perempuan.

Dalam nuansa agama, konsep kesucian memang cenderung luas dan lebih dalam dari pemahaman yang berkembang di masyarakat. Diberbagai fatwa agama, lelaki diminta untuk menjaga perilaku dan pandangan, agar mencegah terjadinya tatapan menarik hingga sentuhan, antara lelaki dan perempuan yang bukan jodoh (suami-istri). Bahkan, seorang lelaki diancam dengan model penyiksaan yang pedih, diakhirat kelak, ketika ia dengan sengaja, menyentuh kulit perempuan. Sebegitu berbahaya apakah, hingga seorang lelaki yang menyentuh tubuh perempuan, akan mendapatkan siksaan yang pedih di akhirat?

Pemahaman ini, membuat Anggun mengerti, bahwa menjaga tubuh dari sentuhan lelaki, sangat penting bagi seorang perempuan, dan merupakan sebuah keharusan. Begitu besarnya akibat yang diberikan kepada lelaki yang menyentuh tubuh perempuan, membuat perempuan menyadari, betapa mulianya kesucian tubuhnya. Tak jarang, bagi perempuan yang begitu mendalami ajaran agama, ia begitu menyesal jika kulitnya disentuh lelaki. Tentu tak bisa terpikirkan, jika sentuhan ini, sampai membuah keperawanannya hilang.

Tubuh perempuan, memang dianggap sebagai sesuatu yang begitu sakral. Disitu terdapat keindahan, dan tanggung jawab besar, yang bahkan bisa meruntuhkan langit dan bumi. Begitu kira-kira agama memandang tubuh perempuan, secara filosofis. Dikalangan masyarakat sendiri, konsep ini dipahami sebagai sebuah kesucian, yang harus benar-benar dijaga oleh perempuan. Dalam tubuh perempuan, ada kesucian yang bersemayang. Apabila tubuh itu disentuh dan kehilangan keperawanan, maka kesucian perempuan pun hilang bersamanya. Hal inilah yang membuat, perempuan menjaga tubuhnya. Karena jika tidak, maka kesucian direnggut, dan kemuliaannya sebagai perempuan, juga ikut lenyap.

Anggun dan banyak perempuan lainnya, meyakini konsep kesucian dan kemuliaan perempuan seperti ini. Menjaga tubuh, agar tetap dinilai suci, merupakan hal wajib yang harus dilakukan. Jika tidak, maka harga diri sebagai perempuan, bisa hilang dalam sekejap. Tak peduli apapun alasannya. Tubuh sangat penting untuk dijaga.

Mempertahankan Tubuh dan Kesucian

Hingga suatu saat, Anggun mendapatkan perilaku keji dari seorang lelaki, di kampus yang dibanggakannya itu. Ia dijegal oleh seorang lelaki, saat selesai mengerjakan beberapa tugas kampus di salah satu gedung perkuliahan. Suasana kampus yang sepi, dan langit yang mulai menghitam, dimanfaatkan dengan baik oleh lelaki itu, untuk memanggil Anggun mendekat ke tempatnya yang sunyi, dan tengah sendirian. Merasa tidak enak, Anggun pun mendekat, dan berbincang santai.

Beberapa saat kemudian, alur pembicaraan mulai mengarah ke pembahasan yang seksis. Anggun merasakan itu dengan baik. Sebagai perempuan yang sudah cukup dewasa, ia mengerti dengan narasi yang diucapkan lelaki paruh baya itu. Ia pun mulai merasa risih, dan memutuskan untuk menjauh, dan segera pulang ke rumahnya.

Mendapati suasana seperti ini, sang lelaki pun dengan sigap, menarik tubuh Anggun, dan menyeretnya ke salah satu ruangan yang cukup dekat, namun tersembunyi. Tubuh yang tidak lebih kuat dari lelaki, membuat Anggun dengan mudah ditarik, dan masuk ke tempat yang diinginkan lelaki itu.

Ia meronta sejadi-jadinya. Ia berteriak sekuat tenaga, namun tak kunjung ada pertolongan. Lagi-lagi, suasan yang sunyi, dan lokasi kejadian yang cukup tersembunyi, membuat perlawanan Anggun sia-sia dibekam oleh tubuh kekar dan kuat oleh lelaki itu. Anggun pun mulai menyadari, bahwa kemampuan perlawanan dari tubuhnya mulai terasa hampir mencapai puncak. Tubuh yang Lelah dihantam banyaknya tugas dan aktivitas perkuliahan, tentunya tak memberikan harapan yang lebih besar, untuk melakukan perlawanan dan terlepas dari bekaman lelaki bejat tersebut.

Akhirnya, dengan tubuh yang kerkulai lesu dan lemah, Anggun menyadari bahwa tubuhnya sedang diganyang oleh lelaki tersebut, dengan penuh nafsu. Ia melihat dengan jelas, bagaimana mulut dan tangan lelaki itu, begitu lincah menjelajahi seluruh bagian tubuhnya. Tubuh yang lunglai, bersandar dengan lemah, dilantai yang lembab. Suara dan tenaganya sudah habis untuk melakukan perlawanan. Satu-satunya yang tersisa, hanyalah hati yang terus meronta, dan perasaan yang berharap datangnya pertolongan, entah dari mana pun itu.

Tak berlangsung lama, Anggun menyadari bahwa keperawanannya telah hilang. Tubuhnya bergetar dingin, keringatnya terus bercucuran, dan hatinya yang terus memaki perlaku bejat si lelaki. Hingga semuanya pun selesai, Anggun berjalan dengan lunglai, menuju ke rumahnya. Tubuhnya yang lemah, perasaanya yang hancur, membuatnya tidak bisa berbuat banyak saat tiba dirumah, selain mengurung diri di kamar mandi, menyalakan air, dan menangis sejadi-jadinya.

Ia begitu merasakan, betapa langit dan bumi runtuh dalam sekejap. Keperawanannya telah hilang, kesuciannya telah direnggut, dan kemuliaannya telah sirna. Baginya saat ini, tak ada lagi yang bisa dipikirkan, selain penyesalan atas peristiwa terburuk yang menimpa dirinya, di kampus yang begitu ia banggakan.

Bayang-bayang peristiwa itu, terus menari di pikirannya. Anggun tak bisa menyembunyikan penyesalan dan sakit hatinya, karena peristiwa itu. Ia tak kuasa menahan mulut dan tubuhnya untuk meronta, dan menceritakan kebengisan ini, kepada beberapa kawan yang dipercayainnya. Sontak, peristiwa ini membuat teman-temannya marah, dan membuat permasalahan ini, gempar dikalangan mahasiswa. Selain sebuah Tindakan kekerasan seksual, pelakunya juga merupakan seorang kakak tingkat, yang cukup terkenal dan disegani banyak mahasiswa lainnya. Meskipun kita menyadari, bahwa siapa dan bagaimanapun status sosial seseorang, ia tetaplah pelaku kejahatan seksualitas.

Demi Nama Baik Kita Semua

Setelah kabar tak sedap ini beredar begitu cepat dikalangan mahasiswa, pihak birokrasi kampus segera melakukan pemanggilan, dan penanganan terhadap kasus kekerasan seksual ini. Anggun menyadari, meskipun penanganannya terbilang lambat, karena dirinya sudah sejak lama memasukan pelaporan ini kepada pihak kampus, namun ia tetap berharap besar, pihak kampus dapat mengambil langkah bijak, untuk memberikan hukuman, dan setidaknya memberikan ketenangan kepadanya, sebagai seorang korban.

Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Bukannya malah mengambil langkah tegas secepat mungkin, untuk menangkap dan memberikan sanksi kepada pelaku. Pihak birokrasi kampus, masih melakukan koordinasi dengan seluruh pihak terkait, meski seluruh bukti telah terpampang jelas, dan ketentuan hukumannya pun telah diatur dengan rinci dalam tata cara penanganan kasus kekerasan seksual, di lingkungan kampus. Alasannya, tak perlu diragukan lagi. “Kami lakukan ini, demi nama baik kampus dan martabat kita semua,” ungkap pimpinan kampus dengan lembut.

Setelah beberapa saat, Anggun kembali menerima beberapa pertanyaan tajam dan sinis, dari beberapa petinggi di kampus. Ia memahami, bahwa berbagai pertanyaan itu, ditunjukan untuk mengetahui dengan baik, bagaimana kelalaiannya dalam menjaga diri, tubuh dan kesucian, serta kemuliaannya sebagai perempuan.

Nyatanya, kampus dengan segudang prestasi dan rating di atas rata-rata pun, tak mampu memahami persoalan ini secara sederhana. Lagi-lagi, ada harga diri dan martabat kampus yang dipertahankan. Bagi birokrasi kampus, ini bukan sekedar kasus kekerasan seksual. Lebih dari itu, terbukannya kasus busuk seperti ini, di kampus yang terkenal, akan sangat merusak citra dan moralitas kampus, bersama orang-orangnya.

Dengan pengalaman puluhan tahun menjadi Dosen, beserta buku dan berkas yang bertumpuk di meja mereka, tak mampu memahami bahwa, ada kemanusiaan yang rusak, dan hati yang gelap, untuk berempati terhadap penderitaan seseorang.

Kampus pun mengambil langkah damai, dengan berharap bahwa aktivitas kuliah bisa kembali lancar, Anggun dan lelaki bejat itu bisa berdamai, dan suasana kampus kembali steril, serta  mahasiswanya kembali sibuk mengerjakan banyaknya tugas perkuliahan. Kampus pun tak memberikan hukuman tegas, karena sang lelaki yang cukup terkenal. Menghukumnya akan menimbulkan berbagai pertanyaan kepada pihak kampus, yang membuat birokrasi terus tenggelam dengan masalah tersebut.

Teguran internal diberikan kepada sang lelaki, agar tidak mengulang kesalahannya lagi. Sementara Anggun, diminta bersabar, dan lebih berhati-hati jika beraktifitas di kampus yang telah sunyi.

Seperti banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual lainnya, Anggun juga tidak menerima perlakuan adil. Kampus yang begitu dibanggakannya, berubah menjadi sarang para manusia munafik, busuk, dan terus menyuburkan perilaku keji.

Dilema Perlawanan

Anggun merasa kampus tak kunjung berperilaku adil, dalam menangani kasusnya. Perasaan sakit hati, mendorongnya untuk terus berjuang, mencari keadilan. Ia menginginkan adanya sikap tegas, dari pihak kampus, untuk menghukum mereka yang bersalah.

“Jika tak mendapatkan sikap tegas, maka perilaku seperti ini pasti akan terus berulang,” gumam Anggun.

Baginya, keperawanan yang telah direnggut oleh lelaki itu, tak bisa ternilai dengan apapun. Itu merupakan simbol kesucian dan kemulian seorang perempuan, yang telah dirampas dan dirusak dalam sekejap.

Banyak orang juga berpikir, bahwa seorang perempuan yang tak mampu mempertahankan keperawanannya seperti ini, adalah perempuan jalang yang tak suci dan hilang kemuliaannya.

Namun, alih-alih mendapatkan dukungan dari pihak kampus dan masyarakat. Anggun justru menerima narasi yang menyakitkan, dan membuatnya dilema luar biasa. Disisi lain, ia ingin memperjuangkan haknya, namun bertabrakan dengan martabanya yang terus terancam.

Mudah untuk mengetahui, bahwa masalah kekerasan seksual, adalah hal yang tabu, sekaligus sangat menarik untuk diketahui oleh banyak orang. Kenapa sangat tabu? Karena seksualitas adalah sesuatu yang sangat intim, yang seharusnya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Dan kenapa sangat menarik, karena keperawanan, dianggap sebagai simbol kemuliaan perempuan. Tentu, perempuan yang tidak lagi mulia, akan mudah dianggap sampah, dan orang lain akan berpikiran berkali-kali, jika harus berurusan bahkan menjalin hubungan serius dengan perempuan seperti itu.

Dengan kondisi batin yang masih terus tertekan, Anggun menerima nasihat dari berbagai Dosen di kampusnya, untuk menghentikan persoalan ini, dan kembalilah untuk fokus menyelesaikan kuliah. “kuliah yang benar, dan cepat. Ketika lulus, jadilah perempuan sukses, dan kau bisa berkuasa, untuk menghukum mereka, para predator seksual,” begitu kira-kira, narasi Dosen, saat menasehati Anggun.

Kebimbangan mulai bergelora dengan kuat di dalam dadanya. Jika kasus ini terus diperbesar, maka akan semakin banyak, mahasiswa dan masyarakat mengetahui, bahwa ia adalah korban kekerasan seksual, yang kini tak lagi suci, karena keperawanannya telah hilang. Namanya akan disebut-sebut, sebagai perempuan tanpa kemuliaan, yang tak pantas untuk diikuti oleh orang lain. Bahkan, bisa-bisa harus dijauhi.

Nama Anggun mulai ramai diperbincakangkan, baik oleh mahasiswa dan masyarakat di kampungnya. Ia diketahui, sudah dalam kondisi yang tidak perawan, tidak suci, dan berlumuran dosa dan kehinaan. Anggun pun terus merasa bimbang, sembari batinnya terus bergejolak. Rasa-rasanya, dengan banyaknya tekanan ini, ia tak mampu lagi melawan. Bukan hanya melawan tersangka, dan pihak kampus yang harusnya bertanggung jawab, ia juga tak mampu menahan pandangan buruk dari masyarakat, tentang kesuciannya yang telah hilang dan direnggut oleh lelaki sialan itu.

Terbukannya kasus Anggun secara umum, dapat membuat dirinya didiskriminasi, akibat kehilangan keperawanan, kesucian dan kemuliaan sebagai seorang perempuan. Dimasyarakat kita, kesucian seorang perempuan, sangat lekat dengan tubuh, yang berarti ketika tidak mampu dijaga oleh perempuan itu, maka ia tak lagi memiliki kehormatan sebagai perempuan.

Tentunya, sebagai seorang perempuan, Anggun sangat malu, jika kabar tentang keperawannya yang telah direnggut ini, beredar terus dikalangan mahasiswa dan masyarakat. Pilihan untuk menghentikan penanganan kasus, dan menutup masalah ini, menjadi satu-satunya opsi, yang nampaknya bisa menjaga Anggun, dari pandangan diskriminatif. Langkah seperti ini, nampaknya layak diambil, jika seseorang hidup dalam masyarakat yang cukup awam, dan dikuasai oleh pola pikir patriarki.

Dengan penuh tekanan dan ketabahan, Anggun menghentikan dan menutup kasusnya. Ia berharap, kasus ini bisa hilang dari permukaan, dan tak akan banyak yang mengetahui, bahwa keperawanannya telah hilang, dan martabatnya sebagai perempuan, akan tetap terjaga dengan baik.

Sejak saat ini, ia tidak lagi bangga dengan kampusnya, yang ternyata cacat dalam berempati terhadap penderitaan mahasiswanya. Sifat mudah berempati dengan penderitaan seseorang, memang luput diajarkan di ruang-ruang perkuliahan, oleh para Dosen dengan deretan gelar yang dimilikinya. Bahkan, mereka sendiri nampaknya, masih belum mudah bersikap demikian.

Mitos Kesucian

Apa yang dialami oleh Anggun, merupakan potret buruk, yang seringkali menimpa perempuan di negeri ini. Perempuan yang rentan dengan kekerasan seksual, malah harus menerima rasa sakit yang berlapis-lapis, karena ketidakmampuan dirinya untuk melawan, dan dipaksa untuk bersikap baik-baik saja. Padahal, ada dada yang begitu sesak, batin yang begitu hancur, dan harga diri yang sia-sia.

Kasus seperti ini, memang sering terjadi dalam masyarakat yang didominasi oleh pola pikir patriarki. Perempuan kerap kali menjadi obyek kesalahan. Patriarki, memang selalu memposikan perempuan sebagai mahluk kedua, yang jauh dari kesetaraan. Alhasil, jika cara pandang patriarki terus digunakan dalam menyelesaikan sebuah perkara, perempuan akan selalu mendapatkan dalih, untuk disalahkan. Meskipun sebenarnya, ia adalah korban. Namun, bisa dengan mudah, menjadi penyebab, dan pelaku utama dalam setiap kesalahan.

Tubuh perempuan begitu diagungkan, dan disimbolkan sebagai kesucian yang hakiki. Kehilangannya, sama seperti kehilangan kemuliaan sebagai perempuan. Cara pandang seperti ini, membuat perempuan sangat menjaga tubuhnya. Keperawanan adalah sesuatu yang mahal. Kepemilikannya, membuat perempuan punya harga yang tinggi. Jika tidak, maka sebaliknya. Perempuan hanya akan dianggap, sebagai sebuah tubuh tanpa ada kemuliaan.

Menjaga tubuh, tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Tentu banyak alasan, yang membuat perempuan kehilangan keperawanannya. Salah satunya seperti Anggun, yang kehilangan keperawanan, dengan cara yang kejam dan tak direlakannya. Ada juga yang rela kehilangan keperawanan, karena bertarung dengan keperluan hidup. Apakah mereka, tak lagi mulia, karena kehilangan keperawanan?

Perempuan begitu takut, untuk mengungkapkan pelecehan dan kekerasan seksual yang diterimanya. Alasanya tak lain adalah, ketakutan menerima pendangan buruk, dan dianggap kehilangan kesucian, serta mahkota sebagai perempuan. Apalagi, jika diketahui banyak orang. Perempuan akan semakin malu, dan terpuruk. Alhasil, pilihan satu-satunya, adalah memilih diam dan bersabar, dengan tekanan batin yang diterima, kala melihat pelaku kekerasan tersebut, berleha-leha didepan matanya. Sambil berharap, ada balasan dari Tuhan yang maha esa.

Kondisi ini nampaknya menjadi masalah runyam, dan sulit dilihat oleh masyarakat kita. Kesucian perempuan, tidak hanya sekedar tubuh. Ia lebih besar dari lapisan kulit yang merona. Dan lebih mulia, dari segupal daging di dalam celana.

Pemujaan terhadap keperawanan, menjadikan kemuliaan perempuan, bersandar pada sesuatu yang fana. Ia benar, kulit dan keperawanan, adalah raga, yang dalam falsafah penciptaan manusia, ia berasal dari lempur busuk (tanah). Maka sudah sepantasnya, ketika manusia meninggal, kulit yang mulus, serta tubuh yang seksi itu, akan kembali menjadi tanah, seperti sediakala.

Namun sayangnya, perempuan yang telah kehilangan keperawanannya, telah dianggap tak berharga, menjadi sisa, atau sampah dan barang bekas. Mudah untuk kita menemukan, bagaimana para perempuan yang ditinggal suaminya, disebut sebagia janda, yang hina dan rendahan. Mereka menjadi sasaran para istri, yang takut suaminya tergoda. Yah, karena jika suaminya berpindah hati, maka para istri inilah, yang juga akan menjadi barang bekas.

Kenapa seperti itu? Yah lagi-lagi, karena kita menganggap kemuliaan perempuan, hanya sebatas pada keperawanan, yang menjadi simbol kesucian. Maka, ketika tak lagi perawanan, perempuan harus menerima konsekuensi dari pandangan seperti itu. Menyakitkan memang, tapi itulah realitasnya.

Kondisi ini berbeda dengan seorang lelaki. Tak peduli, seberapa banyak ia gonta-ganti pasangan, dan seberapa banyak perempuan yang ditidurinya. Ia tetap spesial, karena kemuliaan dan kesuciannya dianggap tidak terletak pada keperjakaan. Namun pada kerja keras, dan tanggung jawabnya. Berbeda dengan perempuan, sekeras apapun kerja dan kasih sayangnya, ia tetaplah barang sisa, yang kehilangan kesucian. Apapun penyebabnya.

Lagi-lagi ini adalah cara pandang patriarki, yang sangat meminggirkan perempuan, sebagai mahluk yang dipilih Tuhan, menjadi kesempurnaan bagi semesta.

Penulis menyebutnya sebagai mitos kesucian. Bagi penulis, kemuliaan seorang perempuan, lebih dari sekedar tubuh dan keperaawanannya. Perempuan dianggap suci, ketika hatinya bersih dan memiliki kesungguhan dalam memberikan kasih sayang. Kesucian ini sangat sempurna, dan lebih dari sekedar kenikmatan tubuhnya.

Perempuan bisa kehilangan keperawanan dengan berbagai cara, tetapi tidak dengan kerelaannya. Ia bisa memberikan keperawanan, dengan tanpa kerelaan. Selain Tuhan, dirinyalah yang tahu, bagaimana semesta berguncang hebat, akibat ketidak relaan ini.

Tubuh dan keperawanan, memanglah sangat penting bagi perempuan. Tetapi mengukur kemuliaan dan kesucian, apalagi martabatnya, tidak cukup jika hanya bersandar pada raga seperti itu. Ia lebih dari sekedar materi, yang selalu erat dengan kepuasan dan kenikmatan nafsu.

Memiliki hati yang bersih, jiwa yang sehat, serta kasih sayang dan ketulusan yang tiada habisnya, adalah kemuliaan dan kesucian perempuan, yang tak akan pernah mampu diukur. Ia lebih dari sekedar perawan atau tidak. Dan ia lebih berharga dari sekedar tubuh, dan berbagai mitos kesuciannya.

Kita menyadari, bahwa menjaga tubuh dan kemurniannya, adalah hal yang harus dilakukan. Tetapi, menjadikannya sebagai standar untuk melihat kesucian dan kemuliaan perempuan, adalah sebuah kedangkalan berpikir. Atau bahkan, kita tak pernah berpikir, bahwa tubuh adalah raga yang fana. Sedangkan suci dan kemuliaan, adalah perwujudan jiwa yang terus melakukan perbaikan.

Perempuan punya hak untuk selalu melawan. Ia selalu punya alasan, untuk dihormati dan membangun kisah yang baru. Kemuliaannya akan bersinar cerah, ketika ia mampu melawan, dan memperjuangkan haknya selayaknya manusia lain. Perempuan tak bisa dibungkam oleh mitos kesucian, yang mengelilinginya. Dan yakinlah, Tuhan tahu benar, tentang itu. Bahwa tubuh, akan kembali ke tanah. Sedangkan jiwa yang bersih, serta hati yang tulus, akan terbang mengarungi semesta, menuju keagunggan Ilahi.

Terimakasih untuk para perempuan yang berani manabrak mitos, merobek tirani, dan melawan pembodohan. Kalian berkontribusi, dalam mencerdaskan dan mendewasakan bangsa ini.  

Tabik.

Ketidakjujuran Mahasiswa dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

 

Gerakan mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi dan ketimpangan yang terjadi, turut hadir dan selalu mewarnai dinamika perjalanan kebangsaan Indonesia. Tidak jarang, dalam setiap peristiwa penting pembangunan bangsa, peran pemuda dalam hal ini sebagai seorang intelektual mahasiswa selalu terlibat dengan peran yang begitu krusial. Gerakan ini selalu hadir dari aksi kecil hingga aksi demonstran yang mengundang gejolak besar bagi bangsa. Tujuanya jelas, untuk mencapai keadilan dengan keadaan yang mensejahterakan rakyat, meskipun sering berbeda dalam hal gagasan dan gerakan secara konkrit.

Sejak awal mulai muncul spirit untuk mendirikan sebuah bangsa, gerakan mahasiswa hadir untuk mengawal spirit tersebut. Namun, hingga kini persoalan bangsa tentang ketimpangan, ketidakadilan, kemiskinan, hingga tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan sila penutup dari pancasila, sulit untuk dikatakan berhasil. Bagaimana bisa, pada tahun 2016 hingga 2018 terdapat 22 juta masyarakat yang menderita kelaparan (Detik.com: 2019), kemiskinan yang kini mencapai 24,79 juta jiwa pada September 2019 (databoks:2020). Kekayaan 4 orang di Indonesia setara dengan 100 juta penduduk, ini membuktikan tingkat ketimpangan di Indonesia masih sangat tinggi (Makassar.terkini.id: 2020). Realita ini sangat berbeda dengan konsep kesejahteraan ketika Negara ini merdeka pada tahun 1945. Bahwa prinsip kesejahteraan adalah tidak ada kemiskinana di dalam Indonesia merdeka (Soekarno: 1945).

Apayang terjadi dengan gerakan mahasiswa, sehingga membuat masalah yang selalu berusaha dihilangkan selalu hadir, bagaikan telah menjadi kodrat bahwa pada setiap generasi yang memimpin bangsa, ketimpangan selalu terjadi. Hanya berganti wajah, namun selalu terjadi pada setiap generasi. Kita selalu berpikir bahwa sampai kapan tujuan dari gerakan mahasiswa akan benar-benar tercapai, apa yang salah dari gerakan ini hingga sekarang memasuki 75 tahun kemerdekaan bangsa, kata merdeka masih sulit terdengar ikhlas dan menggembirakan di mulut para masyarakat yang tinggal di pedesaan atau mereka yang tergolong sebagai rakyat miskin kota.

Masalah sebenarnya adalah krisis kejujuran yang masih sering melanda pibadi para mahasiswa, sehingga menyebabkan gerakan yang dulunya masif dilakukan untuk menentang ketidakadilan, menjadi sia-sia karena terputus ketika telah menjadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan, apalgi jika pekerjaan itu menjadikan dirinya sebagai pemegang sebuah tanggungjawab kemasyarakatan. Kejujuran ini menjadi modal bagi pribadi mahasiswa itu sendiri, agar gerakan selalu hadir dan bear-benar membawa perubahan yang nyata bagi negara. Kurang pintar dapat diobati dengan belajar. Kurang cakap, dapat diobati dengan pengalaman. Namun tidak jujur, sangat sulit untuk diobati (Moh. Hatta).

Praktik-praktik ketidakjujuran pada diri mahasiswa sangat terihat dalam segala aktivitas kecil yang dapat membentuk karakter dirinya saat menygenyam pendidikan di kampus sebagai tembok terakhir peradaban. Setiap tahun, masih ada praktik-praktik perpeloncoan maupun pembodohan yang dilakukan oleh mahasiswa lama (Senior) kepada mahasiswa yang baru (Junior) memasuki dunia kampus. Padahal, saat baru masuk dunia kampus, mereka sangat menolak perbuatan semena-mena oleh para senior, yang tidak berdasarkan pada nilai kemanusiaan dan intelektual. Tradisi menitipkan absen ketika dosen tidak masuk, masih sering terjadi di dunia kampus dengan alasan solidaritas dan persahabatan yang erat. Begadang hingga bangun kesiangan, serta ketinggalan kelas saat kuliah sering terjadi. Lalu dengan pongah mengatakan bahwa ilmu tidak didapatkan hanya didalam kelas, sembari menenangkan diri. Sangat lucu, ketika malamnya dihabiskan waktu untuk membicarakan gerakan krusial merubah bangsa Indonesia kearah yang lebih baik, namun bangun kesiangan dan membiarkan gagasan itu hilang dan hanya menjadi sampah yang dimasukan kedalam kepala. Tidak hanya itu, ketidak jujuran ini juga merembet saat mahasiswa ini masuk dalam sebuah organisasi mahasiswa. Jabatan kebagai pemimpin organisasi mulai dijadikan dalih untuk mencari pendekatan dan status yang aman dalam kampus. Alhasil, seluruh program yang sangat mudah diucapkan sebagai produk retorika yang manis saat di depan mahasiswa lain, hanya menjadi bualan semata. Tidak hanya itu, membuang sampah sembarangan ditengah riuhnya kampanye mahasiswa untuk menjaga lingkungan, masih sering terjadi.
Diskusi tentang kenegaraan terlalu mendominasi mulut dan pemikiran mahasiswa sehingga membuatnya lupa, bahwa masih ada ruang-ruang kecil yang bisa dijadikan celah untuk merubah bangsa ini menjadi lebih baik.

Hal di atas merupakan contoh yang masih banyak didapati terjadi di dunia kampus dan dilakukan oleh mereka yang mengaku diri sebagai aktivis mahasiswa. Padahal kejujuran diri yang sering mereka suarakan saat menggelar aksi demonstran kepada para wakil rakyat ini, sangat ampuh dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang konsisten dilakukan itu. Ketidakjujuran, selalu dipelihara oleh para mahasiswa yang sebenarnya meraka sudah tau bahwa hal yang meraka lakukan itu salah, namun tetap saja dilakukan dengan alasan bahwa hal sekecil ini, tidak akan terlalu berpengaruh sehingga dinikmati sebagai bagian dari kekonyolan dalam dunia kampus yang bisa dikenang dimasa tua. Inilah penyebab tradisi mahasiswa dalam kampus, selalu stagnan dan masih berputar-putar pada permasalahan pembentukan karakter mahasiswa.

Sejak negara ini didirikan, tantangan terbesar bangsa ini adalah terjadinya ketidak adilan, yang menjelman menjadi kebatilan, keburukan, eksploitasi, yang merupakan tindakan korupsi hingga menjadi bentuk kejahatan yang mengakibatkan masyarakat bodoh dan miskin. Korupsi waktu, korupsi tenaga hinggga korupsi uang Negara yang mengakibatkan uang yang bisa dijadikan untuk membantu masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah, habis dimakan oleh onkum pemegang kekuasaan sebagi tindakan untuk memperkaya diri sendiri.

Tentunya kita tidak melupakan tujuh kasus korupsi terbesar di Indonesia. Korupsi Jiwasyara yang diperkirakan kerugian Negara lebih dari Rp.13,7 triliun, Bank Centuri yang menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp.7 triliun, Pelindo II sebesar Rp.6 triliun, Kotawaringin Timur Rp.5,8 Triliun, BLBI sebesar Rp.4,58 triliun, E-KTP sebesar Rp.2,3 triliun dan Hambalang sebesar Rp.706 miliar, hingga penagkapan Bupati Kutai Timur yang diduga menerima suap Rp.2,1 miliar, serta kasus korupsi lain yang berapapun itu, tentunya akan tertimpa besar kepada masyarakat (Kompas.com: 2020). Karena anggaran yang seharaunya bisa untuk menanggulangi kemiskinan di sebuah daerah, hanya dipergunakan oleh segelintir elit.

Mereka yang terlibat dalam kasus besar ini, bukanlah orang biasa yang tidak memiliki bekal pengalaman maupun ilmu mumpuni, yang biasa kita katakan bukan anak kemarin sore. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka, adalah orang-orang berilmu yang pernah mengenyam bangku perkuliahan, hingga didominasi oleh mereka yang dulunya sebagai aktivis mahasiswa yang lantang dalam menyuarakan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Namun, setelah mereka mendapatkan kekuasaan, justru mereka melakukan hal yang selalu mereka tentang saat menjadi mahasiswa, dengan tentunya memperpanjang barisan perbudakan.
Akar dari masalah ini tentunya, adalah kejujuran yang masih sangat kurang dalam diri mahasiswa, dan tidak menjadikanya sebagai sebuah prinsip yang teguh. Kejujuran tidak berhasil tertanam dalam karakter mahasiswa, saat dirinya belajar di dunia kampus. Akibatnya, saat menjadi penguasa, pengkhianatan intelektual terus dilakukan hingga mengakibatkan masyarakat menderita. Sikap adil sejak dalam pikiran (Pramoedya: 1980) tidak berhasil melekat dalam diri mahasiswa, saat dirinya melepas status sebagai mahasiswa. Revolusi diri belum dilakukan, sehingga akan sulit untuk melakukan revolusi sosial (Ali Syariati: 1979). Ketidakjujuran ini membawa Indonesia sebagai Negara dengan posisi korupsi yang sangat tinggi, akibat ulah para anak bangsa yang sulit untuk jujur, mengakui kesalahan, memperbaiki dan tidak akan mengulainya.

Sebauh konsep merawat generasi mahasiswa benar-benar dilakukan. Mahasiswa harus membentuk kejujuran dirinya, sejak berada dalam proses pembelajaran di kampus, memulai langkah tersebut dengan gerakan kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, tidak melakukan hal yang berakibat buruk seberapapun kecilnya, dilakukan secara konsisten hingga membantuk jati diri yang jujur dan perduli akan perbaikan nasib bangsa.
Lingkungan mahasiswa sangat berpengaruh (Jalaluddin Rakhmat: 1985) dalam pembentukan karakter, sama halnya ketika memperjuangkan aspirasi masyarakat yang harus dilakukan secara kolektif dan masif. Lingkungan kampus harus bersih dari segala macam tindakan pembodohan, dehumanisasi yang menyebabkan karakter tidak jujur terjadi di mahasiswa. Jika lingkungan yang baik ini telah tercipta, tentunya mahasiswa bisa fokus untuk banar-banr belajar, sambil menunggu waktu generasinya akan memimpin bangsa, dan membawanya menjadi bangsa yang terbaik dengan mewujudkan kesejahteraan sosial.

Akhirnya, mahasiswa sebagai generasi penerus wajib untuk memiliki karakter yang jujur sebagai modal untuk memimpin bangsa ini kedepan. Presiden tidak selamanya adalah Jokowi, sama seperti tidak selamanya generasinya yang akan mengisi kursi pemerintahan. Pergantian generasi yang memimpin bangsa, menjadi hal yang pasti. Akan tiba masanya generasi kita yang akan memimpin bangsa ini. Tentunya sangat penting untuk merawat generasi hingga membawa modal kejujuran untuk menjalankan tanggungjawab yang besar. Masa depan pemberantasan korupsi secara sektoral dan menyeluruh, menjadi tugas dan tanggungjawab bersama yang benar-benar terwujud, sebagai sebuah prestasi bangsa yang tidak ternilai harganya. (rvlHapili)