Semua tulisan dari Saffana Mustafani

Saffana Mustafani, mahasiswa Psikologi UNM. Dan, bergiat di organisasai pecinta alam, MARABUNTA Fakuktas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM)

Fatherless

Dewasa ini banyak istilah psikologis yang populer di kalangan masyarakat, seperti healing, toxic relationship, ansos, burn out, mindfulness, self diagnose dan masih banyak lagi. Kepopuleran istilah psikologis tersebut tidak jauh dari dampak bermedia sosial.

Individu yang saat ini tiap waktu memakai smartphone-nya untuk menjelajah dunia maya, kerap kali bertemu dengan istilah-istilah psikologis yang telah disebutkan. Tentu hal ini merupakan suatu kemajuan, di mana masyarakat sudah lebih aware dengan kesehatan mental mereka.

Di mata masyarakat, psikologi yang mempelajari mengenai ilmu kejiwaan dan perilaku merupakan suatu ilmu yang menarik. Terlebih jika ilmu tersebut menjelaskan mengenai kepribadian, hingga asal-usul mengapa seseorang berperilaku tertentu.

Salah satu istilah yang cukup menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah istilah fatherless. Fatherless merupakan kondisi di mana seseorang kehilangan sosok ayah dalam kehidupannya. Kehilangan sosok ayah dapat diartikan tidak adanya ayah secara fisik maupun psikis. Kondisi ini dapat terjadi dikarenakan ayah yang meninggal dunia, perceraian, hingga tidak berpartisipasinya ayah dalam tumbuh kembang anak.

Banyak orang tua yang belum menyadari bahwa peran ayah dalam keluarga bukan hanya mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Namun, juga untuk memberi contoh konsep maskulitinas terhadap sang anak, baik laki-laki maupun perempuan.

Pada anak laki-laki, sifat maskulin diharapkan bisa lebih dominan, dibanding dengan sifat feminim. Hal ini agar anak laki-laki dapat menjadi sosok berani, mandiri, dan tegas dalam kehidupannya. Sebagai sosok yang akan menjadi kepala keluarga, hal yang wajar jika laki-laki mesti memiliki sifat berani, mandiri dan tegas, agar dapat memberi rasa aman dan nyaman dalam keluarganya.

Manakala anak laki-laki tidak diberi contoh akan konsep maskulinitas pada dirinya sejak kecil, ia akan cenderung pasif, bergantung dengan orang lain, sulit membuat keputusan, bahkan bingung mengenai identitas gendernya.

Anak laki-laki yang tumbuh bersama sifat feminim dominan dari Ibu, ataupun kakak perempuannya, sulit untuk menentukan bagaimana sifat maskulin yang seharusnya dominan dari dalam dirinya. Anak laki-laki dengan sifat feminim yang lebih dominan, akan cenderung menunjukkan sifat dan sikap serupa.

Sehingga, tidak jarang jika anak laki-laki dengan sifat feminim yang dominan, akan mengikuti lingkungan dengan sifat yang dominannya pula, dalam hal ini bergaul dengan anak perempuan. Bergaul atau berteman dengan lawan jenis sebenarnya bukanlah hal yang mesti dijauhkan dari anak, akan tetapi anak mesti diperkenalkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan apa identitas gender mereka.

Bergaulnya dengan anak perempuan tentu membuatnya semakin tidak mengenal bagaimana sifat maskulin yang sebenarnya. Sifat maskulin yang semakin redup ini, tentu cukup meresahkan bagi tumbuh kembang anak, salah satu dampaknya ialah terjadinya krisis identitas atau anak sulit mengenali identitas gendernya.

Bahkan, anak yang tidak mempunyai kelekatan dengan ayah, akan cenderung mencari sosok yang dapat berperan menjadi ‘ayah’ di dalam hidupnya, di mana dapat memberikan rasa aman dan nyaman.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sundari, A. R., dan Herdajani, F pada tahun 2013, hilangnya sosok ayah pada perkembangan anak dapat menyebabkan anak mempunyai kepercayaan diri rendah, bersikap agresi, malu, kesepian, hingga rendahnya kontrol diri.

Tentu hal ini tidak diharapkan terjadi pada diri anak laki-laki maupun perempuan. Maka dari itu, peran ayah dalam keluarga sangatlah penting. Ayah yang dapat memberi contoh bagaiman konsep maskulinitas pada diri, dan memberi kelekatan pada anak, akan menjadikan individu menjadi sosok yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Laki-laki yang memiliki sifat maskulin dominan, dan perempuan yang memiliki sifat feminim dominan.

Akan tetapi, sifat maskulin tidak semestinya menguasai diri laki-laki seutuhnya, begitu pula dengan perempuan. Anak laki-laki juga mesti memiliki sifat feminim dalam dirinya, agar dapat berperilaku lembut, memiliki empati, sabar, merawat dan sifat ‘keperempuanan’ lainnya. Sederhananya, seorang laki-laki yang diibaratkan menggunakan logika, mesti mempunyai perasaan pula dalam menentukan jalan hidupnya.

Hal ini serupa dengan konsep anima, dan animus yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung, salah seorang tokoh psikoanalisis. Anima dan animus merupakan salah satu bagian dari arketipe dalam konteks collective unconscious  atau ketidaksadaran kolektif yang biasa dikenal juga sebagai alam bawah sadar.

Anima merupakan bagian feminim dari dalam diri laki-laki, sedangkan animus merupakan bagian maskulin dari dalam diri perempuan. Seorang laki-laki mesti mengenali dan mengendalikan sisi feminim dalam dirinya agar tidak lebih dominan. Hal ini pula yang dapat membuat seorang laki-laki dapat lebih memahami dan menghargai perempuan.

Maka dari itu, peran ayah dalam tumbuh kembang anak yang kerap kali dipandang sebelah mata, sebenarnya memiliki peran penting. Meskipun budaya di Indonesia masih terbelenggu dengan patriarki, sudah sewajarnya kita sebagai individu yang lebih sadar, mesti membebaskan dari lingkaran setan yang sudah dibangun secara turun menurun.

Dalam Selimut Polusi

 

Baru-baru ini terdengar kabar mengenai Pegunungan Himalaya nampak di India bagian Utara sejak kurang dari tiga puluh tahun yang lalu. Jujur saja, saya sangat terperanjat mendengar kabar itu. Pastilah polusi di India sudah sangat mencekik paru-paru, dugaku. Perasaan saya bercampur aduk. Di satu sisi hati terasa terkoyak melihat semakin mewabahnya Covid-19, dan di sisi lain sangat bersyukur karena dengan WFH (Work From Home) membuat bumi kian membaik.

Peristiwa mengenai Pegunungan Himalaya membuat saya mengingat kepingan masa lalu. Setiap hari, sekitar pukul 6 pagi, saya akan melihat bayangan sebuah gunung di ujung jalan lorong rumah. Saya selalu bertanya-tanya, apakah benar itu sebuah gunung? Dan jika benar, gunung apa yang berada di tengah kota Makassar ini? Anehnya, ketika matahari sudah sedikit lebih naik, gunung itu akan menghilang. Kemana perginya? Entahlah.

Hingga suatu saat saya menanyakan hal ini kepada seorang dewasa yang saya sendiri lupa siapa sosok itu. Saya menanyakan gunung apa itu? Dan kenapa gunung itu tiba-tiba tak terlihat? Mungkin karena ia sendiri tak tahu dan tak ingin terdengar tidak tahu apa-apa, maka ia mengatakan bahwa gunung itu adalah gunung sampah di pusat pembuangan akhir yang terletak di Antang, salah satu nama jalan di Kota Makassar. Sebagai bocah, tentu saya menerima informasi itu. Mungkin itu sebabnya, kenapa saat matahari telah begitu nampak, gunung tersebut menghilang. Tak lain tak bukan karena sampah-sampah tersebut telah dimusnahkan! Ah… begitu naif.

Mendengar berita mengenai Pegunungan Himalaya, membuat saya teringat kembali pada gunung di ujung lorong rumah. Akibat polusi membuat gunung itu hilang. Itu masuk akal. Mengingat Kota Makassar merupakan salah satu kota yang begitu padat, begitu macet, dan begitu banyak asap kendaraan yang tiap hari beroperasi. Sekeping memori kembali menampakkan diri, satu peristiwa ketika saya hendak pergi ke sekolah. Pagi itu pagi biasa. Pagi yang sibuk untuk gadis SMA di tingkat akhir.

Saat berada di tengah Jalan Pangerang Pettarani, salah satu jalan besar di Makassar, saya tiba-tiba tidak bisa melihat kendaraan jauh di depan. Jarak pandang saya tertutup oleh sesuatu seperti… asap. Saat itu saya begitu takut. Melihat hal ini membuat hati tak karuan. Mengira-ngira apa gerangan yang terjadi? Kemudian saya tengoklah ke belakang. Sama saja. Saya tak bisa melihat jauh ke belakang, tak seperti hari-hari sebelumnya. Tahulah saya betapa tercemarnya udara di planet ke tiga tata surya ini.

Sebulan yang lalu, saya menyadari satu hal yang membuat manusia metropolitan dibutakan olehnya. Udara di kota dan di pedesaan sangat berbeda. Jauh berbeda. Ya, saya yakin semua orang tahu ini. Namun, saya baru saja benar-benar merasakan perbedaannya. Saya beberapa kali pergi jauh dari pusat kota, pergi ke daerah-daerah dengan maksud menulusuri alamnya. Ketika saya berjalan jauh di sana, tentu saya merasa capek, namun capek saya dikarenakan kaki yang lelah berjalan jauh. Beda hal ketika saya berjalan beberapa kilometer di kota Makassar. Capeknya terasa dua kali lipat, ditambah dengan udara yang kotor membuat paru-paru saya bekerja lebih keras. Memompa kiri dan kanan. Menyemangati satu sama lain. Seolah mereka menjerit pilu, meminta untuk tidak menghirup polusi lebih banyak.

Pertanyaan pun muncul. Apakah selama ini kita menyadarinya? Ataukah teriakan pilu paru-paru kita tenggelam oleh kenikmatan menggunakan sarana yang kita gunakan selama ini?

Ah… satu hal paling saya dambakan adalah mengendarai sepeda untuk menjalani aktivitas. Selain mengurangi polusi, kita juga akan berolahraga. Sayang sekali, jalanan di pusat kota benar-benar tidak mendukung pengendara sepeda. Bagaimana tidak, setiap mengendarai sepeda di jalan raya yang padat, membuat jantung saya berdebar lebih cepat. Berbeda ketika saya bersepeda di Bantaeng, salah satu kabupaten terbersih di Sulawesi Selatan. Rasa nyaman dan aman ketika berkendara sepeda membuat saya lebih memilih transportasi itu untuk menjelajahi kotanya Bantaeng. Udara yang bersih, lingkungan yang bersih, dan jalanan yang tertib membuat hati ini begitu iri. Kapan ibu kota Sulawesi Selatan seperti itu?

Penuh rintangan benar menjadi sosok pro lingkungan di tempat buta akan lingkungan. Meski kehadiran saya belum bisa mengurangi polusi di kota Makassar, saya tetap mengajak teman-teman terdekat untuk melakukan hal kecil. Suatu hal kecil yang dapat menyelamatkan kota kelahiranku ini. Ya, benar. Hal kecil itu adalah tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan plastik, dan selalu menyediakan botol air minum sendiri.

Meski saya tidak punya power untuk menampar satu persatu orang yang mencemari lingkungan, setidaknya saya bisa mulai menghasut orang-orang di sekitar saya untuk sadar. Sadar akan hal kecil ini. Apakah hal kecil ini terlalu kecil sehingga mereka tidak bisa menyadarinya? Entahlah. Namun saya yakin, dengan memperlihatkan perilaku seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan plastik, dan menggunaan botol air minum sendiri, lambat laun akan membuat orang di sekitar saya akan menyadarinya. Yah.. meskipun lamban. Namun, bukankah butuh proses dalam mencapai sesuatu? Mungkin inilah prosesnya. Proses yang panjang dan begitu berliku. Mungkin, kau juga bisa memulai proses ini. Benarkan?

 

Kredit foto: Mauliah Mulkin

 

 

 

Kepingan Lupa Gadis Kecil dan Seekor Kelinci

Apa yang pertama kali kau ingat ketika seseorang memintamu menceritakan masa kecilmu?

Kepolosan, kebebasan, dan segudang imajinasi akan menjadi pilihan jawaban saya. Polosnya seorang anak yang hanya ingin bermain sepanjang hari, hingga tenggelam dalam dunianya sendiri. Terkadang, jika saya melihat seorang anak sedang bermain dengan mainan sederhananya, luapan emosi pada masa kecil akan menghampiri, kepingan-kepingan memori kala itu berlomba-lomba untuk diingat kembali.

Saya suka anak kecil. Melihat mereka bermain dan menciptakan dunianya sendiri terkadang membuat saya tersenyum. Tak jarang saya bisa menatapnya begitu lama. Sungguh penasaran apa yang akan dilakukan berikutnya. Memerhatikan setiap gerak-geriknya. Begitu indah. Begitu elok. Mereka tak menyadari keelokannya, namun itulah yang membuat mereka elok. Dikarenakan sebuah kepolosan.

Bagi mereka, orang dewasa merupakan sosok yang sangat sempurna dalam fase kehidupan, begitu sibuk, dan rumit. Saya setuju dengan hal ini. Terkadang, saya berpikir bahwa menjadi orang dewasa sangat membosankan. Melakukan rutinitas itu-itu saja. Itulah mengapa jika seseorang bertanya kepada saya mengenai pekerjaan apa yang kelak menjadi pilihan saya, saya akan menjawab, “Yang penting bukan PNS, pekerjaan yang lebih banyak di lapangan kalau bisa,” Belum menjadi PNS saja sudah membuat pening. Meski kata mereka menjadi PNS akan menjanjikan. Namun, percayalah, kebahagiaan tak dapat diukur dengan status PNS kita.

Meski saya masih berada di fase dewasa awal, saya sudah merasakan yang namanya memilah-milih perilaku. Namun, tentu saja ada beberapa hal yang tidak saya setujui. Selama apa yang saya lakukan tidak menyinggung orang lain, dan tidak melenceng dalam tata krama, saya akan melakukan hal tersebut. Meski akan disebut kekanak-kanakan, masa kecil kurang bahagia, dan sebagainya. Bukan karena masa kecil kurang bahagia, lantas kita tidak boleh melakukan sesuatu hal yang menurut orang lain kurang pantas dilakukan oleh seorang dewasa awal. Justru karena saya begitu menikmati masa kecil saya yang penuh dengan imajinasi, dan kebebasan, sehingga masa kecil saya tak akan tenggelam begitu saja.

Saya kembali mengingat masa kecil saya ketika membaca buku berjudul But I Still Love You. Buku But I Still Love You merupakan buku ilustrasi mengenai seorang gadis kecil berpipi tembam, dengan kepang duanya yang begitu khas, serta bulu mata lentik, dan selalu ditemani oleh kelinci gemuk untuk berpetualang di dalam dunianya, yaitu dunia yang hanya bisa dinikmati pada masa kecil. Buku ini penuh dengan ilustrasi yang begitu indah, menggambarkan setiap kepingan masa kecil begitu detail dan menarik. Di setiap lembarnya akan diisi oleh sebuah ilustrasi dan sepenggal kalimat mengenai ilsutrasi tersebut. Kalimatnya begitu sederhana, layaknya seorang anak kecil dengan segudang kepolosannya.

Buku ini ditulis oleh Coniglio. Dalam bahasa Italia, Coniglio berarti kelinci. Entah mengapa dia tak menuliskan nama aslinya. Namun, saya suka dengan namanya. Coniglio. Sungguh misterius. Hal ini mengingatkan saya dengan buku Harry Potter. Bukankah awalnya J.K Rowling tidak menggunakan nama aslinya? Mungkin Coniglio terinspirasi olehnya. Mungkin.

Coniglio merupakan seorang seniman yang menyampaikan kebahagiaan melalui gambar gadis berpipi tembam, dan kelinci gemuk. Mungkin akan ada dua pertanyaan yang timbul ketika membaca buku ini. Pertama, mengapa wajah gadis kecil ini, sama sekali tidak diperlihatkan? Bahkan kelincinya pun! Yang tampak hanya bulu mata lentiknya. Begitu juga dengan semua orang dalam buku ini. Tak pernah menampakkan wajah mereka.

Kedua, mengapa seorang gadis kecil dan kelinci? Baiklah, mungkin karena Coniglio seorang perempuan, maka gambarnya pun seorang anak perempuan. Atau bisa jadi, gadis tersebut merupakan perwujudan dari Coniglio sewaktu kecil. Persoalan kelinci, mungkin karena nama samarannya kelinci sehingga ia pun memilih kelinci. Atau bisa jadi, karena ia memilih kelinci sebagai teman dari gadis kecil itu, maka dia memilih nama Coniglio. Mengapa? Entah. Coniglio tak pernah menceritakannya. Baik dalam buku maupun artikel di internet. Itu sudah jadi ciri khasnya. Dan itu juga yang menjadi bumbu penyedap dari ilustrasinya. Sebuah kemisteriusan.

Selain itu, gambar-gambar Coniglio telah dinikmati oleh sekitar 10.000.000 kali oleh pengguna Naver Grafolio, kemudian gambarnya tersebut diterbitkan ke dalam satu buku, yaitu buku ini. Naver Grafolio merupakan sebuah situs yang memuat banyak ilustrasi dari banyak ilustrator. Lebih mirip Pinterest, tetapi Naver Grafolio seperti versi koreanya. Untuk mengunduh gambar di Naver Grafolio ini, kita mesti mempunyai akun Naver, Weibo, ataupun facebook.

Buku yang diterbitkan oleh Naura Books dengan jumlah halaman 218, akan membuat pembacanya mengingat-ngingat kembali sepenggal masa kecilnya yang tenggelam begitu dalam, gambar yang menarik akan mengilustrasikan betapa seorang gadis kecil begitu menikmati dunianya, dengan segala macam emosi di setiap kisahnya. Bahagia, haru, sedih, takut, dan segala macam emosi akan ditampilkan di setiap lembarnya, membuat saya sebagai pembaca begitu menikmatinya.

Ketika melihat buku ini, saya begitu tertarik dengan sampulnya. Berwarna biru muda dengan gambar seorang gadis kecil berkepang dua, berpipi tembam, dan bulu mata lentik yang sedang bergandengan dengan seekor kelinci gemuk, sederhana namun begitu menarik. Menurut saya, sampul buku merupakan pandangan pertama pembaca mengenai buku tersebut. Semakin menarik sampul buku, maka akan menarik pandangan pertama pembaca untuk membaca buku tersebut.

Awalnya, saya mengira buku ini adalah sebuah novel, melihat dari kalimat pada judul buku yang tak jarang ditemuai pada sebuah novel. Ketika membuka selembar demi selembar, jujur saya sedikit kecewa. Hal ini dikarenakan saya tak begitu menyukai kalimat puitis. Ketika melihat isi buku ini yang berisi sepenggal kalimat, membuat saya mengira bahwa buku ini merupakan buku yang berisi puisi-puisi pendek.

Namun, saya keliru. Selain gambar yang begitu indah, kalimat yang ada di dalam buku ini begitu sederhana. Lalu saya mencoba membaca selembar-dua lembar. Kemudian, saya membaca ‘Prolog’, dan saat itulah saya mengetahui bahwa buku ini merupakan gambaran masa kecil dari sekian banyak orang. Dituangkan dalam sebuah gambar yang begitu detail, dengan tambahan gambar imajinasi sang gadis yang begitu liar.

Tanpa sadar, saya membuka lembar-lembar tersebut hingga pada halaman terakhir. Waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan buku ini sangat singkat. Namun, saya kembali membuka lembaran-lembarannya. Menikmati kembali tiap ilustrasi yang disajikan oleh penulis, dan kembali jatuh ke dalam imajinasi seorang gadis dan kelincinya. Meski kalimat yang ada di dalam buku ini sangat pendek, namun ilustrasi yang diberikan begitu menarik. Sehingga kita hanya perlu memerhatikan setiap ilustrasinya. Seolah gambar-gambar tersebut bercerita mengenai segudang kepingan memori masa kecil. Sebuah cerita yang tak cukup bila hanya dituangkan ke dalam kata-kata.

 

Judul Buku        : But I Still Love You

Penulis               : Coniglio

Penerjemah        : Listya Ayunita Wardadie

Penerbit             : Noura Books, Agustus 2019

Tebal                  : 218 Halaman

 

 

Sang Sendu dan Para Pendosa

Mengapa bayi menangis ketika dilahirkan?

Satu hal yang mesti kita sadari dalam hidup ini adalah kehadiran Sang Sendu. Ia telah menyertai kita sejak mula kelahiran. Sang Sendulah yang pertama kali menyapa kita. Ia juga satu-satunya yang mengerti apa yang kita rasakan. Di saat semua orang mendendangkan kebahagiaan, menyambut calon pendosa baru, Sendu senantiasa merangkul dan memeluk kita. Namun, mengapa terkadang kita tak menghargai Sendu? Berharap ia tak menghampiri kita. Lupakah kita akan kehadirannya dulu?

Penyesalan terbesar manusia sebagai pendosa adalah lahir di dunia ini. Hal inilah yang membuat calon pendosa bertemu untuk pertama kali dengan Sang Sendu. Sendu berbisik, memberitahu calon pendosa bahwa ia berada di tempat yang begitu kejam. Begitu keji. Di mana semua orang berlomba-lomba menjadi yang terbaik, hingga sekitarnyapun diluluhlantakkan. Saling menunjukkan pamornya. Saling menusuk satu sama lain. Saling membunuh untuk mendapatkan sebuah pengakuan sementara.

Berusaha mengusai semua yang bisa dikuasainya. Calon pendosa menangis. Ia tak sanggup mendengar perkataan Sang Sendu. Meluapkan segala emosi dan penyesalannya melalui air mata. Sebuah tangisan yang dianggap sebagian orang atau bahkan setiap orang sebagai nyanyian kebahagiaan. Namun tidak bagi calon pendosa. Ia tak bahagia. Ia menangis. Tangisnya telah disalahartikan.

Mereka –siapapun itu, mengatakan jika calon pendosa tidak menangis saat dilahirkan, umurnya tidak akan bertahan lama. Itu karena calon pendosa bersyukur telah memilih pilihan yang tepat untuk tidak terlahir di dunia ini. Maka dari itu ia tak menangis, Sang Sendu tak mengunjunginya. Ia memilih terlelap kembali, bersiap untuk berjumpa dengan Sang Kuasa.

Konon sebelum dilahirkan di dunia ini, kita akan diberikan pilihan. Pilihan ingin menyentuh dunia atau tetap berada di samping Sang Kuasa. Entah mengapa sewaktu itu saya memilih pilihan pertama. Tak teringat sedikitpun alasan mengapa saya memilih pilihan tersebut. Begitu pula kau. Kita sama-sama seorang pendosa yang lupa akan alasan kita sendiri. Alasan mengapa memilih pilihan yang berat.

Apakah sebelum dilahirkan, kita diberi gambaran mengenai kehidupan yang akan kita jalani kelak? Jika benar, mungkin itu bisa menjadi suatu alasan mengapa kita memilih pilihan pertama. Namun, bagaimana dengan mereka yang melihat kehidupannya sebagai seorang sengsara? Mengapa mereka masih memilih pilihan yang berat itu? Entahlah.

Mungkin ada alasan lain. Alasan yang menjadi pertimbangan kita mengapa ingin mencoba hal duniawi. Alasan yang awalnya kita ketahui. Mungkin detik-detik sebelum dilahirkan, alasan kita disimpan dan dijaga oleh Sang Kuasa. Dia Maha Kuasa. Dapat melakukan segala kuasaNya, termasuk mengambil alasan kita yang begitu berharga. Kita tak dapat menolak. Itulah mengapa Dia disebut Sang Kuasa.

Setidaknya sekarang saya sudah tahu. Pertanyaan apa yang akan pertama kali kulontarkan jika berhadapan denganNya. Meminta kembali alasan yang telah disimpan dan dijagaNya. Kuyakin Sang Kuasa tidak akan memberikannya begitu saja. Setahu saya Sang Kuasa menyukai perilaku-perilaku baik.

Mungkin, kita bisa memberikan hal yang disukai Sang Kuasa. Sebagai alat tukar untuk mendapatkan alasan mengapa kita memilih sebagai penikmat duniawi dan seorang pendosa. Ini saran dariku. Jika kau ingin mengikutinya, silakan. Tetapi, jika kau tidak peduli akan alasan tersebut, kau bisa mengacuhkannya. Namun satu hal yang saya yakin benar, alasan itu telah menunggu dirimu. Menunggu untuk diingat kembali.

Sumber gambar: https://www.deviantart.com/inuzukatxema/art/Baby-angel-615760870

Antara Demigod dan Yunani : Percy Jackson

Bagaimana jika ternyata kita bukan manusia biasa? Setengah dewa misalnya. Mungkin kalimat “tidak percaya” merupakan kalimat pertama yang terucap. Bagaimana mungkin ada manusia setengah dewa? Itulah yang dirasakan oleh Percy Jackson, karakter utama dalam cerita yang tertuang dalam buku Percy Jackson: The Lightning Thief. Seorang anak yang kehidupannya seperti manusia biasa pada umumnya. Bahkan jauh lebih buruk. Percy selalu membuat masalah di sekolah sehingga dia masuk ke asrama Akademi Yancy, sekolah swasta untuk anak bermasalah di New York Utara. Masalahnya adalah dia tidak bermaksud untuk bermasalah. Itu bukan kesalahannya meski memang itu adalah kesalahan dari dirinya. Bertahun-tahun dia harus melewati harinya dengan menyandang status anak paling bermasalah. Bahkan terkadang dia tak dapat membaca. Hal ini dikarenakan dia menderita disleksia. Usut punya usut, ternyata semua kejadian itu berakar oleh sebuah fakta. Fakta bahwa Percy adalah Demigod, sebutan bagi manusia setengah dewa. Setelah melalui berbagai macam kejadian yang menegangkan, ia akhirnya masuk ke perkemahan musim panas yang berisi anak sepertinya. Namun bukan itu pula permasalahan utamanya. Ia telah dituduh mencuri petir asali milik Dewa Zeus. Hal ini membuat Percy dan kawan-kawannya mesti mengembalikan barang yang bahkan membayangkannya pun tak pernah. Pengalaman-pengalaman baru kian menanti Percy serta kawan-kawannya. Menegangkan mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan pengalaman Percy. Buku ini merupakan buku pertama dari lima serial Percy Jackson and The Olympians. Setiap seri bukunya akan mengantarkan kita ke puncak permasalahan yang terdapat di buku terakhir, dan setiap serinya akan menyajikan berbagai peristiwa serta fakta menarik. Pengalaman-pengalaman serta pengetahuan baru mengenai Yunani Kuno disajikan begitu apik setiap seri bukunya. Hal inilah yang membuat saya terus membaca hingga buku terakhir dari serial Percy Jackson and The Olympians. Rasa penasaran terus menerus menggerogoti tubuh saya. Satu hal saya suka dalam buku ini adalah gaya bahasa sang penulis, Rick Riordan. Gaya bahasanya sebagai sudut pandang orang pertama benar-benar membuat kita merasakan apa yang dirasakan oleh Percy. Selain itu, Rick Riordan juga mendeskripsikan segala hal secara rinci sehingga kita mesti beradu dengan imajinasi sendiri. Penggambaran dewa-dewi Yunani Kuno yang begitu deskriptif membuat saya berpikir bahwa mereka benar-benar ada. Sungguh mendetail. Bahkan watak mereka pun digambarkan dengan sangat baik olehnya. Di dalam buku ini, disediakan berbagai macam peristiwa di luar nalar kita. Selain itu, protagonis dan antagonis dalam buku ini terkadang tidak jelas, tapi kadang pula disebut secara gamblang. Sehingga alurnya begitu mengalir dan begitu nyata. Tidak dibuat-buat dan dipaksakan. Pendapat saya mengenai isi buku ini hanya dua kata. Luar biasa! Dengan membaca buku ini saya mengetahui semua hal yang berbau Yunani dan Romawi Kuno. Terkadang saat sedang membaca, saya mesti menyediakan smartphone untuk siap mencari kata-kata baru dan berbau Yunani, atau sekadar mencari gambar sesuatu. Dengan begitu saya bisa lebih menghayati buku ini dan memahami apa yang dimaksud oleh penulis. Akan tetapi hal itu dapat menjadi kekurangan buku ini. Begitu banyak kata-kata yang berbau Yunani yang tidak saya ketahui. Mungkin untuk kasus saya, akan terselesaikan dengan bantuan dari mesin pencarian. Namun bagaimana dengan orang lain, mungkin saja mereka terlalu malas untuk mencari arti kata tersebut, sehingga mereka memakai prinsip “nanti juga paham” yang membuat mereka membaca buku ini tanpa mengerti arti kata tersebut. Hal ini dapat mengurangi keapikan buku ini, karena saya merasa kita mesti memahami setiap butir kalimatnya agar dapat menghayati cerita yang disajikan oleh sang penulis. Jadi saya sangat merekomendasikan smartphone selalu siap sedia jika buku ini sedang di baca agar lebih memudahkan untuk mencari kata-kata baru. Setelah sukses besar dengan bukunya, akhirnya Percy Jackson: The Lightning Thief diangkat ke layar lebar. Awalnya saya sangat antusias. Membayangkan bagaimana keseruan filmnya. Saya pun sempat teringat oleh seri buku Harry Potter yang diangkat ke layar lebar, buku dan filmnya benar-benar membuat mind blowing (luar bisa, red). Namun sayangnya saya mesti menerima kenyataan pahit. Film yang disajikan benar-benar membuat saya kecewa. Dari editannya mungkin sudah memenuhi standar. Namun, apa yang saya imajinasikan pada bukunya begitu berbanding terbalik. Mungkin hal ini bukan kesalahan dari pembuat filmnya. Namun tetap saja saya merasa kecewa. Selain itu penggambaran tokoh Percy Jackson sebagai anak berusia 12 tahun diperankan oleh Logan Lerman. Dan jelas Logan Lerman bukan anak berusia 12 tahun, atau sekitar 12 tahun. Inilah salah satu kekecewaan terbesar saya. Penggambaran Percy Jackson sebagai seorang anak 12 tahun tidak digambarkan dengan baik. Padahal penokohan peran utama merupakan sesuatu yang sakral, dan sutradaranya tidak mengindahkan hal ini. Akan tetapi, meski filmnya tidak sesuai dengan harapan saya, saya masih tetap menyukai buku ini. Buku ini merupakan buku favorit saya. Dan saya sangat merekomendasikan buku ini bagi kalian yang ingin mengetahui hal-hal mengenai mitologi Yunani Kuno dengan cara yang menyenangkan. Selain itu, buku ini merupakan buku wajib bagi kalian yang menyukai genre fantasy.