Semua tulisan dari Shah Priyanka Aziz

Hanya ampas kopi di dasar gelas yang sebentar lagi luruh terbilas mengalir masuk lubang limbah tempat cuci piring.

Orang Pintar dan Mereka yang Menelan Tanpa Mengunyah

Andaikan saja kau kenal seorang yang cerdas. Cerdasnya di sini bisa mungkin persepsimu saja, atau memang ia cerdas betulan. Lebih mudahnya, misalkan saja ia sudah tembus magister atau doktor, itu. Dari cerita-cerita juga hal-hal yang kau lihat langsung, ia dikenal paham sengkarut kuasa, punya pengaruh, banyak kenal dengan orang penting, pernah masuk ruang-ruang yang tak biasa, punya karya-karya monumental meski tak banyak, berintegritas dan teguh profesionalisme, serta pengalaman-pengalaman lainnya yang bisa bikin sesiapapun berdecak senyaring cicak.

Ia juga kau kenal cerewet, banyak omong, dan gemar menggunjing. Yang karena pengalamannya, tentu, omongan dan gunjingannya bukan hal-hal remeh. Tapi di satu ruang tertentu, yang publik tapi bukan fana bukan pula nyata, ia agak lain. Omongannya diirit-irit. Idealismenya tetap teguh, tapi tendensinya sedikit janggal.

Tendensinya yang janggal, menurutmu, pasti lahir dari pemahaman yang ditarik dari kekayaan pengalamannya yang tak biasa. Ia tahu banyak hal, kau tahu itu. Perspektifnya pasti lebih banyak. Sudut yang bisa digamitnya pasti lebih luas. Kau tak punya masalah di situ. Masalahmu ada di yang satu: omongannya yang diirit.

Lagi-lagi kau mafhum, orang yang sudah punya banyak pengalaman akan punya lebih banyak referensi. Tempaan itu bikin otaknya lebih cepat mengolah informasi, menjalin pola, menghubungkan yang satu dengan yang lain, hingga akhirnya intuisinya menunjuk satu titik dan lahirlah kesimpulan. Di ruang yang publik tapi bukan fana bukan pula nyata itu, ia, si cerdas ini, kau lihat lebih sering langsung ke kesimpulan. Jarang sekali ia kau lihat berpayah-payah menjelaskan bagaimana pola dijalin, bagaimana yang ini bisa berefek ke situ, mengapa ini mengapa itu, dan runut-runut penalaran penting lainnya.

Dengan sosoknya yang seakan melegenda, ia tentu punya banyak pengikut di ruang maya itu. Dengan satu dua kalimat simpulan, yang runut penalarannya sering tak disertakan dan karenanya terkesan jadi semacam simplifikasi saja, jadilah itu semacam dogma yang dipercaya pengikutnya. Serupa rapalan mantra. Tersuntik masuk langsung tanpa disaring di nalar. Tak lupa dijempoli disertai emosi tertentu, bahkan kalau perlu disebarkan. Jadilah kalimat itu semacam kredo.

*

Ulasan soal penarikan kesimpulan macam itu, ditulis bagus oleh Malcolm Gladwell lewat bukunya, Blink. Gladwell menyertakan contoh kasus bagus semisal lirikan mata telanjang sedetik-dua detik dari seorang pengamat seni senior bisa lebih akurat memastikan sebuah patung yang didaku asli ternyata palsu, ketimbang penyelidikan seorang geolog yang memakai mikroskop elektron.

Saya jadi ingat pengalaman saya (spontan bergabung dengan massa aksi, seperti kebetulan lewat saja) memagari aksi para supir pete-pete terkait protes mereka terhadap niatan kampus membatasi moda itu beroperasi masuk areal kampus Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu. Mengawal massa yang tidak sempat lama diedukasi dan diorganisir, tentu punya risiko tersendiri. Aksi yang dihelat di depan Rektorat itu bisa saja pecah ricuh jika kawan-kawan tak selalu sigap mengingatkan massa bahwa ada provokasi di antara mereka. Ya, dengan aba-aba yang biasa itu—sambil bertepuk tangan: “Hati-hati… hati-hati… hati-hati provokasi.” Kami mudah saja mengenali biang ricuh itu dari gelagat dan tampakannya. Setelah upaya provokasinya gagal, ia saya lihat segera keluar dari kerumunan massa dan pergi berkumpul duduk bersama kawanan Satpam sambil pura-pura meminjam korek dan menggaruki betisnya yang tak gatal.

Bagi yang biasa terlibat dalam aksi-aksi lapangan semacam itu tentu punya kepekaan tersendiri. Bisa mengenali provokator hanya dari pakaiannya, tahu kapan massa perlu didinginkan, tahu di mana sudut-sudut intel ditempatkan juga gerak-geriknya, dan tentu bagi yang provokator, mereka tahu bagaimana bikin ricuh hanya dengan satu gerakan atau seruan sepele.

Hal-hal yang berada di ranah ‘lapangan’ ini, seolah tak punya penjelasan pasti. Meminta penjelasan ke pelaku-pelakunya pun sama saja, tak memperjelasnya pula. Sebagian mungkin menjawab: “Ya hanya insting saja.” Tapi ia bukan barang yang tak mensyaratkan sesuatu pun, ia punya penjelasan, dan itu pasti. Itulah: pengalaman.

Untuk kesimpulan hal-hal ‘lapangan’ mungkin begitu—seakan tak bisa dinalar, lebih soal insting, buah latihan atau praktik tak sebentar. Tapi untuk kasus teks, tulisan, ia bersyarat lain. Berefek lain.

*

“Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!” [Wiji Thukul]

“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” [Milan Kundera]

“Didiklah rakyat dengan organisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan.” [Pramoedya Ananta Toer]

Militansi dan heroisme tumbuh dari jargon dan slogan. Dangkal? Kekanak-kanakan? Tidak juga. “Hito no gendouryokutte taigai youchi nandenai no?”, ‘Bukankah hal kekanak-kanakanlah yang umumnya menggerakkan orang-orang?’, kata seorang middle-blocker tim bola voli SMA, Tendou Satori (Haruichi Furudate, Haikyuu!!). Tiga nama di atas beserta seruannya tak berhenti diulang-ulang sebagai bahan bakar aktivisme. Setelah militansi dan heroisme tersemai, kemudian apa? Jargon dan slogan itu harus tak sekadar berhenti di ‘didengar, dibaca, lalu terbakar’, tapi mesti dipikir-pikir.

Apa itu laku subversif? Mengapa dituduh subversif? Kenapa mesti dilawan? Lupa yang bagaimana yang dimaksud di situ? Apa hubungannya kekuasaan dengan lupa? Bagaimana kekuasaan membuat kita lupa? Bagaimana cara mengorganisir? Sikap etis macam apa yang perlu dibawa dalam laku berorganisasi? Bagaimana perlawanan mendidik penguasa? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sukar menunggu rumusan jawab.

Misalkan sudah terjawab, terus sudah? Belum. Pemahaman itu lalu dibawa ke kerumitan lain yang lebih, ialah realitas medan. Yang ide diboyong ke yang materi. Dari abstrak ke konkret. Di sinilah terjadi itu: apa yang kau pikirkan belum tentu menjadi, mesti diusahakan, dicari dibikin jalannya.

Bila satu hal belum selesai dibayangkan di kepala, bagaimana bisa ia luwes dalam gerak? Melangkah ke ‘keruwetan 3.0’ tanpa tuntas di 1.0 dan 2.0? Jangan bercanda!

Di situlah berbahayanya ‘kata-kata yang diirit-irit’ tadi. Ia bisa begitu saja diterima tanpa dipikir. Diamini bahkan sebelum dibayangkan. Didiktekan, macam imla, jadilah kedangkalan.

*

Edukasi, adalah upaya menarik keluar apa yang ada di dalam, kemudian mengembangkannya, membebaskannya. Bukan sekadar memasukkan apa yang dari luar ke dalam. Itu penetrasi—fase paska ereksi pra ejakulasi—, eh, indoktrinasi. Satu hal diberitahukan hanya untuk diamini. Penalaran berlebih tidak dikehendaki.

Banyak faktor yang bisa menyebab ini. Selain karena memang ada pengujar yang sengaja mengirit ujarannya, lebih penting dari itu, adalah kita, si penerima informasi. Membiasakan diri bergelut mematuhi hal-hal yang tekstual saja, hanya tentang dan seperti apa yang tertera tertulis saja, tanpa menyertakan penalaran kontekstual dan situasional, bikin Anda lebih berisiko diindoktrinasi. Efek itu bisa juga kena pada kita jika kita hanya mau membiasakan diri bergulat dengan hal-hal ideasional dan abstrak, serta menjauhkan diri dari yang konkret dan materiil.

Begitulah. Ia yang cerdas itu, yang sadar tak sadar punya banyak pengikut yang rela menunggui tiap katanya, dengan mengirit ujarannya—sengaja mengesampingkan eksplanasi yang perlu, sesungguhnya sedang menciptakan domba-domba penurut, yang rela membebek mengangguk menurut saja. Mereka yang hanya terus disuap tanpa ma(mp)u berpikir mandiri. Berhadapan dengan mereka tak seperti berhadapan dengan subjek berkesadaran, melainkan hanyameminjam Dietrich Bonhoeffer, seorang penentang Hitler—slogan dan semboyan-semboyan.

Outputnya, lahirlah—yang pernah saya temui misalnya—pemuda-pemuda yang tiap kali melihat ribut-ribut dalam kampus akan berseru: “Ini pasti settingan! Konspirasi!” Tapi begitu diminta jelaskan mengapa-bagaimananya settingan itu, tak mampu dia. Atau juga kawan-kawannya yang lain yang sering mengumpati kekejian birokrat kampus, rutin berseru ‘lawan’ dan ‘revolusi’, tapi diam tak berkutik begitu masuk ruang Komisi Disiplin.

Ilustrasi: http://harvardpolitics.com/harvard/47852/

Itu bukan Hoax, Partai Itu memang Tak Pernah Mati

Seorang kawan yang lumayan lama tidak ketemu, di satu obrolan bertanya pada saya, “Eh, tau ko itu tentang Pemuda Pancasila, Pemuda Karya, atau semacamnya?” Terang saya kaget. Tak biasanya ini, pikir saya. Tapi sebenarnya cukup terduga, sebab sebelumnya kami mengobrol panjang soal-soal organisasi paramiliter lainnya. Ternyata ia sempat ke Medan sekian waktu. Sebelumnya ia juga bercerita tentang Kepala Pemerintahan di sana yang setiap berakhir masa jabatan selalu ‘gol’. Gol adalah istilah di sana untuk masuk bui. Seperti biasa: perkara korupsi-kolusi-nepotisme. Ia juga bercerita tentang para ‘pengaman’ di sana yang diistilahi ‘Ketua’. Pengaman di situ bukanlah pengaman resmi alat negara, tapi yang di luar itu. Memang bukan, tapi berkaitanlah mereka itu. Kalau pernah baca beberapa teori sosial, cultural studies, atau sedikit tentang politik negara, pasti pahamlah bagaimana organisasi paramiliter baku rangkul dengan elite kekuasaan.

Organisasi paramiliter, Medan; tak ada lain yang melintas di ingatan saya mula-mula selain Jagal—The Act of Killing. Tapi judul itu saya tidak sodorkan langsung. Belakangan. Saya hanya sedikit memberi gambaran soal organisasi-organisasi yang memang dirangkul elite guna menciptakan semacam ilusi. Ilusi, bikin konflik terus horisontal (rakyat vs rakyat), yang semestinya vertikal (rakyat vs penguasa). Itu hanya satu dari beberapa fungsi lainnya. Secara gamblang bisalah dilihat dalam Jagal. Berselang sekian minggu, saya tak tahu, apa kawan saya itu sudah menontonnya apa belum.

Dan linimasa sosmed (sosial media) beberapa bulan terakhir memang berkaitan dengan itu. Linimasa diselipi lagi dengan kabar kebangkitan PKI. Ini respon dari boomingnya pembahasan Istirahatlah Kata-kata (dan peringatan sepuluh tahun Aksi Kamisan), atau cuma efek dari perkara rectoverso palu-arit di uang baru? Entahlah. Lagian, kabar-kabar macam ini sudah konsisten hadir selepas Gestok. Jadi tidak bisa dibilang ‘tiba-tiba’.

Yang menarik dari ini, tentu saja adalah kawan-kawan yang ikut percaya dan menyebarkan kabar tersebut. Beberapa dari mereka saya tahu memang tak pernah betul-betul membaca riset sejarah atau analisis kultural. Beberapa lainnya mungkin pernah membacanya, mungkin tak cukup banyak, jadi memilih untuk menyangkalnya. Seorang di antaranya bahkan—ini kalau saya tak salah ingat—pernah saya pinjami DVD film Jagal Joshua Oppenheimer itu. Bayangkan, orang yang sudah menonton Jagal masih bisa termakan kabar kebangkitan PKI?!

Saya jelas tak habis pikir. Di film itu jelas sekali dipampangkan bagaimana para jago yang memusuhi PKI itu memalaki lapak dagang orang-orang Cina—yang hari-hari ini banyak dikabarkan akan membahayakan negeri ini—; merendahkan perempuan; keterkaitan mereka dengan elite eksekutif maupun legislatif; kongkalikong mereka dengan salah satu bos media cetak; juga tentu yang jadi fokus kamera: si preman bioskop Anwar Congo—dan kawannya, Adi Zulkadry—itu bilang: ‘Kalau orang bilang PKI Gerwani kejam, kita jauh lebih kejam sebenarnya’. Yang kemudian di scene-scene lain mereka peragakan cara menginterogasi, menyiksa, bahkan membunuh. Cerita lain tentang darah dari mayat-mayat yang anyir dan repot dibersihkan yang akhirnya membuatnya memilih cara membunuh menjerat leher dengan kawat—lebih senyap dan nirdarah.

Kawan saya yang satu itu juga gemar protes soal kemandirian ekonomi, bagaimana modal asing menguasai negeri ini, juga mengamini ujaran Rocky Gerung yang itu: ‘Negara punya segenap alat untuk berbohong secara sempurna’. Kalau percaya Negara bisa berbohong atau menipu rakyat di soal-soal lapangan kerja dan medan ekonomi, kenapa tak bisa curiga bahwa kabar kebangkitan komunisme yang ditiup-tiupkan Menteri Pertahanan dkk-nya yang jelas-jelas bagian dari Negara itu juga adalah bohong dan tipu belaka?

Sepertinya memang benar. Karena Negara bisa berbohong dengan sempurna, maka kita warga negara sudahlah pasti tertipu secara sempurna pula. Menteri Pertahanan atau Panglima atau Purnawirawan TNI lainnya bilang komunisme dan separatisme bangkit, warga negara mestilah percaya saja. Oke, siap laksanakan, Jenderal!

Rasa-rasanya perlu nanti diinventarisir kontradiksi-kontradiksi dan keanehan-keanehan para pemamah hoax dan pengudap rutin fallacy ini.

Selain Jagal dan Senyap (The Look of Silence), video lain yang otomatis muncul di ingatan pas lihat kawan-kawan saya itu adalah dokumenter singkat Mubyarto Institute, Menuju Ekonomi Pancasila (nonton di sini). Kalau malas menontonnya dari ujung ke ujung, cobalah langsung lompat saja ke menit 14 detik 37. Meski mungkin akan kehilangan lebih dari separuh konteks dan substansi video itu, tapi tak apa.

Di bagian yang saya sarankan itu diisi testimoni Revrisond Baswir. Ia menjabarkan titik-titik waktu dan runut peristiwa yang mengiringi yang terjadi di kurun masa sekitaran proklamasi. Mulai dari kolonialisme pra 17 Agustus, proklamasi itu sendiri, agresi militer sesudahnya, Konferensi Meja Bundar, dll. Jalinan itu ia runut guna menunjukkan bagaimana kapitalisme global tak ikhlas lihat Indonesia merdeka.

Tuturannya akhirnya sampai di tahun 1965, tepatnya penandatanganan UU No. 16 (Agustus) tentang pemutusan segala rupa penanaman modal asing di Indonesia. UU ini adalah puncak kegeraman Soekarno akan seluruh intervensi asing di bumi Indonesia. Beberapa bulan sebelum itu, tepatnya di bulan April, ia sebenarnya sudah meneken semacam ‘ketetapan pengantar’ untuk ‘banting stir berdiri di atas kaki sendiri’ (TAP MPRS No. VI/1965).

UU No. 16/1965 itu adalah kulminasi juga akumulasi dari segenap kegerahan Soekarno setelah bertahun-tahun sejak proklamasi selalu saja diganggui bajingan kolonial-imperial yang tak rela Indonesia berdikari. Ya, akumulasi. Selain Ketetapan MPRS No. VI/1965, gelagat gerahnya Soekarno dapat kita lacak sekian tahun sebelum itu. Pada tahun 1959 ia mengusul pembubaran Konstituante yang lalu diikuti penegasan Manipol USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Setahun setelahnya, 1960, ia membubarkan PSI dan Masyumi akibat tokoh-tokoh terasnya terlibat pemberontakan yang konon dimodali asing. Di tahun 1964, di peringatan kemerdekaan yang ke-19, Soekarno menyerukan Vivere Pericoloso, mari hidup menyerempet bahaya, sebuah seruan yang intinya: Revolusi jauh dari usai. Karena itu segenap kita mesti terus bergiat. Seruan inilah yang kemudian direspon LEKRA dengan gerilya yang lebih sedap lagi di medan kebudayaan.

Pidato itu semacam alarm. Alarm bagi segenap elemen revolusioner bangsa untuk bangun. Terus bergerak. Itu juga seperti peringatan, bahwa Nekolim (neokolonialisme-imperialisme) akan terus mencoba merangsek masuk, bahkan akan lebih parah. Dalam pidato itu berkali-kali Soekarno mengingatkan akan Romantik-Dinamik-Dialektik. Bangsa ini sudah melewati banyak dan tetap tegak. Agresi militer Belanda satu-dua, pengkhianatan PRRI-Permesta, sabotase, subversi, dan intervensi Nekolim. Ini sedikit kutipannya:

Nah, apa jang saja tjeritakan di atas ini adalah pengalaman beberapa tahun jang lalu; hampir-hampir sadja kita keblinger samasekali, hampir-hampir sadja kita ‘op drift’ samasekali, hampir-hampir sadja kita mati-kutu samasekali, —kalau kita tidak lekas-lekas banting setir ke djalan-benar kembali—, dan dengan itu memberi kembali kepada Revolusi Indonesia ia punja Romantik, Dinamik, dan Dialektik.

Dengan koreksi banting setir ini, kita kembali beri kepada Revolusi Indonesia ia punja djurusan, ia punja arah, ia punja Direction.”

Pidato itu seperti penegasan kembali perasan konsep Trisakti yang sudah digaungkannya setahun sebelumnya. Istilah banting-setir dan perasan konsep Trisakti itulah yang kemudian jadi roh TAP MPRS No. VI/1965.

Dan seperti kata Revrisond, hanya berselang lima minggu sejak 23 Agustus, tanggal UU No. 16/1965 itu diteken, yang di dalamnya mencabut UU Penanaman Modal Asing (1958) juga menegaskan kembali Pasal 10 TAP MPRS No.VI/1965 yang berbunyi ‘Melaksanakan nasionalisasi dan bila perlu menyita semua perusahaan asing yang bermusuhan, hingga tercapai kebebasan penuh di bidang ekonomi dan distribusi’ (yang berarti kembali pada Pasal 33 UUD 1945), terjadilah itu Gestok—sebutan lainnya Gestapu atau G30S.

Bayangkan, hanya kurang lebih lima minggu, lebih kurang 38 hari.

Dan setelah-setelahnya, kita bisa runut. Maret 1966, Supersemar keluar (‘surat perintah pengamanan’ yang lebih suka disebut orang-orang sebagai ‘surat peralihan kuasa’). November 1966, diteken tiga UU berbau Nekolim: UU No. 7 (Indonesia mengangsur kembali utang-utang Pemerintah Kolonial Belanda), UU No.8 (menyetujui keanggotaan Indonesia dalam Asian Development Bank), dan UU No.9 (masuknya kembali Indonesia dalam IMF—International Monetary Fund). Januari 1967, UU Penanaman Modal Asing dibikin ulang. Maretnya, Soekarno resmi dicopot. Yang paling legendaris, Konferensi Investasi di Jenewa, Swiss, 2-4 November 1967. Di forum itulah segenap sektor strategis Indonesia (keuangan, pajak, tambang, pangan, industri) dipilah-bilah demi para investor.

Selepas itu, daftar investasi bisa ditambah jadi lebih panjang lagi ke bawah, lengkap dengan pembungkaman-pembungkaman (juga cap-cap ‘komunis’) terhadap para pemrotesnya oleh instrumen ‘pengaman’ dan ‘pengayom’ khas Orde Harto.

Demikianlah. Sepertinya kita sudah mesti masuk ke sesi penutup yang berisi saran dan kesimpulan.

Saran:

Sebelum masuk dan tenggelam lebih dalam di dunia per-sosmed-an yang isinya penuh bola liar kabar, propaganda, penggiringan, dan analisis sepotong-sepotong dari para—katanya—analis, ada baiknya Anda menepi, menghabiskan waktu lebih banyak atau menenggelamkan diri lebih lama dalam buku-buku riset sejarah dan cultural studies dari para peneliti yang namanya sudah diakui di medan akademik, yang tesis-tesisnya sudah diuji di ruang-ruang akademik. Atau sekalian berpusing-pusinglah membacai teks-teks teoritik-filosofis biar benteng nalar lebih kokoh.

Saya tahu itu mungkin jadi saran yang sia-sia. Sebab, seperti ditulis AS Laksana, “Orang-orang yang telanjur berumur 20 tahun saya pikir tidak perlu didorong-dorong untuk gemar membaca. Anda tahu, pada umur 20 tahun, orang yang tidak gemar membaca akan lebih senang disuruh push-up lima puluh kali sehari ketimbang dipaksa membaca satu buku sebulan. Orang-orang berumur 40 tahun akan lebih suka belajar agama. Kalaupun mereka mulai melirik bacaan, mereka akan memilih bacaan-bacaan menjelang ajal. Jadi, tidak usah dipaksa mereka membaca buku-buku apa pun selain kumpulan doa-doa mustajab.”

Jadi, saran itu mungkin lebih tepat diperuntukkan ke yang lebih muda. Atau bisa masuk jadi satu poin metode parenting bagi calon Bapak-Ibu menyiapkan buah hatinya kelak.

Tapi, tak ada salahnya juga dicoba. Toh pemuda-pemudi 20 tahun ke atas yang konon di tangannya tergenggam arah bangsa itu, sayang sekali kalau tak mengerti kemelut masa lalu yang efek terusannya kelihatan di masa yang dihidupinya sekarang.

Kesimpulan:

Ribut-ribut tolol soal PKI yang belum mati dan bersiap bangkit kembali itu ada baiknya tidak usah dibantah. Sebab, PKI memang tidak pernah mati. Ia akan ada terus di ingatan tiap-tiap yang belajar sejarah sebagai: tumbal yang mesti digerek demi melapangkan jalan masuk modal asing yang menggerogoti negeri ini sampai hari ini.

Jadi, kalau ada seorang yang mengaku pengamat intelijen bilang bahwa ada rapat-rapat PKI rutin di Istana, UU Desa adalah bentuk baru komunisme (neo-komunisme), atau kebangkitan gerakan petani menolak sawah mereka direbut pabrik dan bandara adalah hasutan komunis, tahulah kita itu demi apa, berkait ke mana, dan ‘keuntungan’nya dinikmati siapa.

Ilustrasi: https://www.teepublic.com/kids-t-shirt/1117861-digital-communist

Asal Sitir

Beberapa hari lalu, saya menulis satu respon dan koreksi terkait tak mampunya orang kebanyakan memahami metafor, perumpamaan, dan pesan-pesan implisit (baca di sini). Itu saya tulis selepas melihat satu kiriman di linimasa Facebook yang terkesan menggugurkan pesan “menginjak atau membakar kitab suci itu sama sekali tidak menghina Tuhan, dst…” dengan menyamakannya dengan kasus “bagaimana kalau skripsi atau karya ilmiahmu diinjak dan diludahi di depanmu? Kau pasti marah, kan?”

Sekilas, penganalogian itu benar. Tapi kurang tepat. Itu benar secara harfiah. Secara tekstual ia setara. Tapi kita tahu, pesan soal kitab suci itu bukan pesan tekstual belaka. Itu pesan bermakna hakikat yang dalam. Jika Anda dengan cerdas bisa bilang kitab suci tak mungkin bisa jadi subjek karena ia bukan makhluk, jadinya tak mungkin berbohong dan menipu, maka tak eloklah pula mencoba menganalogikannya dengan skripsi.

Sebenarnya, koreksi saya itu bergandengan dengan koreksi yang lain, yang menurut saya berangkat dari kesalahan pemahaman yang serupa. Di tulisan saya sebelumnya, saya tak hanya menyinggung kegagalan memaknai pesan “menginjak kitab suci” itu, tapi juga soal “Tuhan tak perlu dibela”.

Ramai kita lihat pesan Gus Dur itu ditabrak-tabrakkan dengan punya Buya Hamka yang “jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan”. Sekali lagi, sekilas praktik saling berbalas quote ini benar. Dan lagi-lagi, secara harfiah belaka, tekstual saja.

Ketika melihat orang-orang yang saling berbalas memakai quote itu, benak saya bilang, “Sejauh mana mereka sudah menyelami pikiran Buya Hamka dan Gus Dur sehingga bisa menabrak-nabrakkannya sedemikian seakan-akan keduanya memang saling bertentangan dalam pandangan keberislaman dan menegasi/meniadakan/menihilkan satu sama lain?”

Pertanyaan bernada keheranan sekaligus kejengkelan saya itu mendapati pembenarannya beberapa hari lalu. Selain quote yang itu, quote lain yang coba diperhadap-hadapkan seakan-akan saling menegasi satu sama lain adalah juga ucapan milik Habib Rizieq dan Gus Mus. Habib Rizieq dengan anjurannya untuk turun aksi bela Ilam, sedangkan Gus Mus ucapannya “yang menghina agamamu tidak bisa merusak agamamu, yang bisa merusak agamamu justru perilakumu yang bertentangan dengan ajaran agamamu”.

Tidak lama setelah meme tanding-tandingan quote itu disebar, Gus Mus langsung bereaksi. Melalui akun Facebooknya beliau menulis,

Silakan ambil fotoku. Tapi mbok tolong jangan dishare dengan embel-embel tulisan (baik yang disimpulkan dari perkataanku, sebagian perkataanku, atau apalagi yang sama sekali bukan perkataanku). Tolong jangan bawa-bawa namaku untuk berkelahi. Aku tidak suka berkelahi dengan siapa pun dengan alasan apa pun. Aku mencintai kalian semua”.

Satu respon yang terduga dari seorang kiai yang jika kita amati gumulannya bersama umat ataupun tulisan dalam buku-bukunya selalu menganjur dan menunjukkan potret Islam yang sejuk dan kasih mengasihi. Setelah membaca kiriman Gus Mus itu saya lalu membatin, “Jika saja Gus Dur masih hidup, ia tentu akan berkata serupa.” Tapi kemudian kubatalkan pikiran itu setelah kuingat pembawaan Gus Dur yang hobi melucu itu. Pasti beliau tak akan ambil pusing sambil bilang, “Gitu aja kok repot!”

Melalui tulisan ini saya tidak hendak menjelaskan konteks dari ucapan Gus Dur dan Buya Hamka itu sehingga semestinya ia tak boleh diadu-adu sedemikian. Melalui ini saya hanya hendak menggelarkan satu kesalahan serupa, yang menurut saya mirip dengan kegagalan memaknai metafor. Yang ini, berhulu dari kemalasan dan ketakpedulian menyelami konteks, sehingga pesan hanya mampu dibaca secara tekstual yang pada akhirnya hanya melahirkan kedangkalan pemahaman. Menyitir hanya karena suka kalimatnya.

***

Masih ingat Al Muzammil Yusuf? Ia anggota DPR Fraksi PKS yang berhasil memantik gemuruh takbir di rapat paripurna DPR pertengahan Oktober lalu (lihat videonya di sini). Sebelum rapat dimulai ia melakukan interupsi untuk membacakan semacam penegasan sikap juga tanggapannya atas dugaan laku penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta. Apa yang ia bacakan sebenarnya bukan tulisannya pribadi, tapi semacam surat terbuka dari seorang dokter muda berprestasi, Gamal Albinsaid. Video rekaman aksi Muzammil beserta transkripnya itu pun ramai dibagikan dan dirayakan. Jangan tanya penampakan linimasa saya setelah rekaman itu dirilis. Bukan main penyebaran dan caption-caption yang mengiringinya.

Sekilas, lagi-lagi cuma sekilas, apa yang Muzammil bacakan di forum itu tidak bercela. Ia menjabarkan potret toleransi beragama juga anjuran untuk melakukannya secara proporsional. Proporsional, maksudnya bertoleransi tanpa melangkahi batas-batas ajaran Islam yang ada secara tegas.

Selain itu, ia mengutip publikasi UNESCO ‘Tolerance: The Thresold of Peace’, pesan Buya Hamka yang sudah kusebut di muka, juga quote dari Bill Maher (“Don’t get so tolerant that you tolerate intolerance) dan Ayaan Hirsi Ali (“Tolerance of intolerance is cowardice).

Sudah ketemu rancunya? Belum? Ok, saya coba gelarkan.

Publikasi UNESCO mungkin tak bermasalah. Ia memaparkan universalitas laku toleransi yang didasarkan pada realitas keberagaman dan hubungan sosial yang menjamin kenyamanan individu dan keharmonisan. Ia semacam panduan yang mesti dipahami oleh para dewasa, terutama guru-guru di sekolah, dan mesti diajarkan kepada anak-anak agar sejak dini mereka bijak menyikapi keberagaman.

Soal Buya Hamka, secara tekstual pesannya mudah dipahami. Beliau bicara soal ghirah. Kecemburuan, yang berujung pada semangat dan keinginan membela agama. Anjuran ini semestinya tidak dipakai untuk menegasikan ucapan Gus Dur soal Tuhan yang tak perlu dibela. Karena sesungguhnya dua ucapan itu memiliki sasaran tembak yang berbeda.

Nah, kerancuannya ada di dua nama lain yang quotenya disitir. Anda tahu siapa itu Bill Maher? Kalau Ayaan Hirsi Ali, pernah baca bukunya? Atau dengar ujaran-ujarannya di berita, televisi atau… youtube, misalnya?

Bill Maher, kalau bisa dibilang, adalah seorang entertainer. Ia punya acara televisi yang ia bawakan sendiri. Omongan-omongannya biasanya mengandung sarkasme dan satir, dan karena itu ia sering pula disebut sebagai komedian. Ia seorang liberal akut, dan seringkali mengkritisi Islam. Tentu, di titik intoleransinya, menurutnya. Namun kritiknya, tentu saja, hanyalah sebuah overgeneralisasi salah arah. Ia menyebut praktik hukum syariah Saudi yang mendiskriminasi perempuan sebagai representasi sejati dari ajaran Islam. Begitulah Islam. Begitu pula dengan isu radikalisme dan terorisme. Satu potret praktik keislaman ia pakai untuk memukul rata nilai Islam secara umum. Satu laku kritik yang justru lebih dekat pada paradoks hubungan AS dan Saudi: seolah-olah memaki-maki hukum syariah Saudi yang tak demokratis tapi berangkulan mesra di belakang. Ya demi apa lagi kalau bukan demi minyak.

Ayaan Hirsi Ali agak beda, tapi sebenarnya mirip saja. Ia adalah seorang aktivis perempuan yang di masa mudanya mengaku lari dari lingkungan keluarganya yang kolot di Afrika yang memaksanya menikah dengan seorang pria. Ia terkenal karena kritiknya untuk mereformasi Islam. Ia memfokuskan kritik dan ketaksetujuannya pada, misalnya, praktik ‘sunat’ perempuan, pemaksaan penggunaan hijab, yang menurutnya praktik yang lazim di lingkungan Islam yang kolot. Sekilas ini lumrah saja. Toh kritik atas isu-isu itu juga dilantangkan oleh para aktivis feminis lainnya. Tapi jika kita mau menukik lebih dalam, kritik-kritik Ayaan lebih ngeri. Jika apa yang Bill Maher lakukan bisa kita anggap sebagai ekspresi standar dari islamophobia paska 9/11, apa yang Ayaan serukan tak bisa kita sikapi setamsil itu.

Kritik dan ide reformasi islamnya bahkan menyasar ajaran-ajaran inti juga strategi penyebaran Islam yang dilakukan Nabi Muhammad, yang dianggapnya totalitarian. Ia tidak percaya dengan esensi damai dari ajaran Islam yang menurutnya hanya slogan belaka. Penerapan syariah niscaya totaliter, fanatik, dan diamini para bigot dan imbisil. Ayat-ayat Quran atau hadis dan riwayat yang menganjurkan kekerasan atau juga laku diskriminasi bagi perempuan, yang dalam Islam dipahami sebagai satu anjuran yang dipagari syarat-syarat dan kondisi tertentu (bisa dikenali dengan kata keterangan syarat ‘tapi’, ‘kalau’, ‘kecuali’), dipakainya sebagai dasar untuk menegaskan bahwa begitulah islam, niscaya totaliter dan tak adil pada perempuan.

Dengan latar belakang kedua tokoh tersebut yang demikian, ujaran mereka soal ‘tak menoleransi laku intoleran’ sebenarnya adalah arahan bagi sesiapapun untuk tak menoleransi laku intoleran yang mereka sematkan niscaya atau mayoritas dimiliki para muslim.

Dengan demikian, tak sepantasnya dan tak cocok ucapan mereka disitir dalam konteks membela Islam. Ada ketaksesuaian motif, latar belakang, dan konteks dari sitiran itu dengan yang hendak dimaksudkan Muzammil dan Gamal Albinsaid. Sitiran itu bisa benar ya kecuali PKS melalui Muzammil atau sebaliknya—atau Gamal Albinsaid sendiri—memang punya agenda penyeruan reformasi atas Islam.

***

Hanya ada dua kemungkinan laku penyitiran yang meleset macam begini: 1) si penyitir memang tak tahu sama sekali, baik siapa yang ia sitir atau konteks kalimat yang disitirnya; atau 2) ia benar-benar tahu, dan karena benar-benar tahu maka ia hendak membelokkannya, mengaburkan sebagiannya yang justru ide pokok dari yang disitir.

Saya menduga, untuk kasus surat terbuka dokter Gamal Albinsaid itu, masuk dalam kategori pertama. Mungkin saja ia hanya mengetik kata kunci ‘tolerate intolerance’ atau ‘tolerance of intolerance’ di google lalu muncullah itu Bill Maher dan Ayaan. Meski saya tahu ini dugaan yang terlalu lancang untuk saya tudingkan ke dokter Gamal, merunut prestasi juga karir akademiknya yang cemerlang.

Sedang kategori kedua, tak ada lain yang bisa saya jadikan contoh selain tulisan berjudul ‘Maaf’ yang dilepas resmi awal Mei kemarin. Tulisan itu adalah respon si penulis, yang lebih dikenal sebagai seorang begawan, terhadap tekanan publik kepada Presiden selaku perwakilan Negara untuk ‘meminta maaf’ kepada korban ’65.

Dalam tulisan itu beliau menyitir umpatan Marx terhadap Negara yang cenderung bias kelas karena didominasi oleh kelas borjuis dan karenanya tak layak jadi representasi dari keseluruhan elemennya untuk melegitimasi pikirannya tentang Negara yang punya sifat ‘tak utuh’, ‘partikular’, dan ‘berubah-ubah’ sehingga Presiden hari ini tak serta merta ikut menanggung dosa Negara terdahulu yang tak ia pimpin, dan karenanya menggugurkan kemestiannya untuk meminta maaf atas dosa tersebut.

Di akhir tulisan itu pun terasa ada pengaburan dan pembelokan maksud dari ucapan Oey Hay Djoen, seorang tokoh PKI dan Lekra, yang “Apa hak moral kita untuk menolak memberikan maaf..” yang ia ucapkan menanggapi tampikan Pram atas permohonan maaf Gus Dur. Ucapan Oey itu berada dalam konteks mengomentari penolakan Pram memberi maaf atas permintaan maaf Gus Dur selaku Presiden, dan bukan berarti mengimpaskan syarat keadilan yang mesti dipenuhi Negara, dalam hal ini pemulihan status para korban, pelurusan sejarah, dan pengungkapan kebenaran (juga penegakan hukum bagi para pelaku seperti dituntut Pram), yang menurut sang begawan mestinya tak perlu ada lagi (syarat itu). Karena menurutnya, pemberian maaf yang bersyarat bukanlah maaf yang sebenar-benar maaf.

Begitulah. Laku itu, bahasa kasarnya, mengutip/menyitir sesuatu bukan untuk menegaskannya, tapi justru untuk membubarkan, mengaburkan, bahkan membunuhnya.

***

Sebagai solusi, jujur saya tak punya untuk masalah kategori kedua, selain saran untuk si pelaku agar segera bertobat dan berhenti membelok-belokkan atau mengaburkan konteks sitiran. Stop tipu-tipu!

Sedang untuk kita para pembaca, saya hanya bisa menyarankan untuk membaca satu buku: ‘Kekerasan Budaya Paska 1965’ tulisan Wijaya Herlambang. Di buku itu, selain dipaparkan bagaimana ragam teknik membaca teks, utamanya karya sastra, dan efek langsung tak langsung sadar tak sadar yang bisa ditimbulkannya, juga ada penjabaran cukup rinci mengenai peta konflik nasional maupun internasional yang memayungi praktik ‘kekerasan’ lewat teks macam itu. Dengan membaca buku itu, kita akan jadi lebih awas menghadapi teks-teks macam itu.

Sedang untuk permasalahan kategori pertama, tiada lain solusinya adalah meng(k)aji. Tak lupa sertakan kerakusan membaca, kesabaran menelusuri kabar—yang awalnya diterima di hilir—sampai ke hulunya, kerendahan hati untuk bertanya pada yang lebih paham, juga—tentu—kesediaan dan kebesaran hati untuk memilih diam saja bila tak mengerti, apa lagi jika kabar-kabar yang kerap bikin jempol Anda tak sabar untuk segera membaginya itu adalah kabar-kabar sensitif yang bisa berefek besar bagi khalayak.

O iya, solusi lain terkait itu adalah bergiat-giat mempelajari mantik dan logika. Biar tak keliru menarik silogisme, punya kepekaan pada metafor, serta ada kejeli-jernihan menyelami konteks.

Ah, begitu selesai membaca ulang tulisan ini dari mula sampai ‘kejeli-jernihan menyelami konteks’ di atas, saya merasa lancang betul. Padahal, apalah saya ini, hanya ampas kopi di dasar gelas yang sebentar lagi luruh terbilas mengalir masuk lubang limbah tempat cuci piring.

Ilustrasi: http://intisari-online.com/