BUMI PEMBODOHAN
/1/
Pada waktu yang paling bodoh kuminta hidupku ditarik kembali ke masa kecil. Menghitung jari dan langkah kaki tiap kali kembali dari bermain-main.
Di sore hari. Aku pulang dengan wajah yang basah: menangis. Menjadi tak peduli.
/2/
Kadang-kadang aku berlagak sebagai tamu untuk diri sendiri. Pengunjung dan yang dikunjungi adalah sosok yang sama. Dan aku tak lagi pernah membiarkan orang lain lewat di depan istanaku. Istana yang ditinggalkan akal sehatnya.
Jika sekadar memorak-porandakan taman dengan lampunya yang kedinginan, aku juga bisa. Tapi aku merasa rugi membuang waktu dalam sendiri seperti itu.
Maka kupalangi jalannya sesuka hati. Dan aku benar-benar tak peduli.
/3/
Aku menjadi lebih bodoh lagi dari yang terkira saat dunia di kepalaku berbalik membelakangi kata dan cebiran orang lain, mengikuti saat dimana hujan yang memayungi desaku lebih pantas dijuluki duri. —Duri yang hidup dari dalam tubuh, tubuh yang tak peduli dengan siapa: dengan hidup orang lain.
“Aku begini karena si tua yang sudah lama mati.” cibir batinku dalam pilu mengenaskan ini.
Yang kucibir kembali, pula adalah seisi kepala mereka yang menjalar, yang diwariskan dari kepala ke kepala. Para tokoh: mereka yang ditugaskan memajang rapi kepentingan. Hingga kami berhasil jauh lebih bodoh saat ini.
Dan bodohnya lagi, kenapa ini harus terjadi atas kami yang baru mengenal bentuk dan isi?. Sungguh kami masih anak-anak dalam berpikir, dalam menyimpulkan.
/4/
Tak sulit untuk mengoceh, dengan perintah-larangan yang lebih banyak mengambil tempat di dunia ini. Padahal yang kukira, selama ini dunia tak lagi-lagi meminta isi, setelah orang-orang bodoh menyesaki posisi di antara mereka yang pura-pura pintar namun membodohi seenaknya.
/5/
Jika begini, jalanan ke masa depan dunia ~akan semakin gelap. Dunia terancam dibodohkan secara rapi dan teratur. Dan kembalilah dunia ditakut-takuti oleh bayangan suram generasi dan peradaban.
Lalu apa yang membayang hingga kini? —jika kita berjalan ke perbatasan hari?
Semoga kita tersadar, dan semakin sadar.
Tentang kita yang akan mati dalam merugi.
Bontonompo Gowa, 2017
WAKTU
Sejak kedatangan malam
Dari terjualnya siang oleh senja
Juga kepergian malam
Sejak siang menebus kelam lewat fajar
Bahkan setiap saat kita diingatkan
Aku yang berjalan
Aku yang sedang duduk
Tertidur dan terjaga
Masih sukar mengundang peka
Jika kesibukan menggerogotimu yang sedang luang
Atau membiarkanmu tergesa-gesa mengejar kepergiannya
Kehilangannya adalah penyesalan
Serupa kayu
Yang menjadi rata
Oleh api yang melompat memeluk kayu
Menggunakannya dengan bijak adalah kebahagiaan
Tak ubahnya seperti air
Mengalir membasahi kerongkongan
Dan mengusap air mata
Sisa tangis dahaga
Makassar, 2015
GELANG
Berhentilah merengek di pembaringan waktu
Dan tak usah kau tanyakan pada leluhurku
Sebab aku, akan menceritakan semuanya kepadamu
Tentang kisah yang berjalan: mengikutiku.
Aku adalah serpihan cerita
Lingkaran yang terpasang bersama kutukan
Terkungkung di setiap pos pendakian
Terpasung menjadi saksi dari sejuta janji.
Aku adalah serpihan cerita
Ku muntahkan keluhku di depan cermin kehidupan
Berharap ia bisa mengerti
Tentang aku yang tak bebas bersama mereka.
Selamanya aku jadi pemalu
Tak mampu menatap mata yang menatapku
Meski aku sebenarnya datang bersama tuanku.
Makassar, 2015
APA YANG TERTINGGAL
“Kemenangan milik kita dan tanah ini tanah merdeka”
Ternyata—kalimat itu masih ada.
Tanah bermartabat di keberagaman hidup berbudaya
Bersih dan telah suci dari wajah menyeramkan para penjajah.
Tanah surga yang kaya raya
Berlimpah sumber daya.
Bukan bendungan atau jembatan
melainkan seperangkat pemikiran
Sebuah warisan; dengan sejuta penderitaan
Yang lebih menyeramkan
Syahdan, ketakutanku adalah ketakutan semua orang
Yang benar, fisik mereka telah tiada
Tapi racunnya masih subur terjaga
Dan kini ia masih sibuk menjarah.
Samata Gowa, 2016
DUPLIKAT HARAPAN
Telah datang kepadaku, penebus kata dari rumpun yang terpisah.
Menggelinding; jauh di antara jarak dan waktu yang mati suri.
Dia adalah aku, yang terkisah bersamamu
Diri yang pernah mengagumimu di balik kata “tidak”
Dia yang ku kisahkan sebagai diriku sendiri
Duduk menunggu; setiap kata yang melintas di penghujung waktu.
Apa mungkin aku yang tak terbiasa?
Hingga kalimatku menjadi kaku oleh kerinduan,
Sedang jemariku sibuk menuang sajak di atas kertas
Menggemuruh ….
Menyeruak di antara sepi hendak membunuh,
Aku masih bisa tersenyum—menahan rinduku serta
Kesyukuranku tetap terjaga. Dan cara—masih berpihak kepadaku.
Bontonompo Gowa, 2015
Nama asli Muh Syakir Fadhli. Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Alauddin Makassar, bergiat di Forum Lingkar Pena UIN Alauddin. FB: Shakir Bisa Tonjhie atau surel muh.syakirfadhli@yahoo.co.id