Semua tulisan dari Sopian Tamrin

Pengajar Sosiologi di FIS UNM, aktif di KNPI Sulssl, MASIKA Orda Makassar dan Pegiat Literasi Edu Corner.

Bertrand Russel; Berpuasa Tanpa Agama

Mengapa pekerjaan mulia dan spiritual selalu harus dikaitkan dengan agama tertentu. Bisakah kita berbuat demikian tanpa pandang bahwa ini ajaran agama apa. Jika Russell bisa bertuhan tanpa agama maka saat berpuasa ia pun lakukan tanpa agama.

Apakah puasa memang hanya dilakukan oleh agama tertentu? Dalam ajaran Kristen baik Protestan maupun Katolik, para penganutnya melakukan puasa sebelum kedatangan hari paskah. Bahkan mereka melakukan melebihi dari puasa bulan suci Ramadan yakni selama 40 hari. Bukan hanya itu agama Budha dan Hindu pun melakukannya dengan menyebut dengan istilah Upawasa. Juga mereka menahan diri pada segala hal yang bisa membatalkan puasa termasuk makan-minum dan perbuatan tidak sopan pada sesama.

Selain anjuran agama, sains juga banyak mengajurkan untuk puasa. Meskipun sains telah dianggap anggap oleh bapak sosiologi Auguste Comte jauh-jauh hari. Beberapa dukungan sains sebagai berikut; Profesor Alexis Sophorin dari Rusia menyatakan bahwa puasa akan menyembuhkan segala penyakit. Ia berfungsi mendetoksifikasi zat racun yang ada dalam tubuh. Gounelle Pye seorang ilmuan Prancis juga membuktikan dalam risetnya bahwa tidak ada obat terbaik yang bisa mengatasi masalah pencernaan selain puasa. Pendeknya puasa bukan hal baru dalam sains bahkan ilmu tradisional.

Penulis hendak menyuratkan bahwa ada semacam kecenderungan dalam melihat semua keluhuran dan kebaikan diklaim dimiliki satu agama saja. Sikap semacam ini amat berbahaya bagi eksistensi agama mana pun. Jika meminjam istilah Russell dalam pandangan yang melihat sebab ketidakbahagiaan maka ini bisa disebut selfisme dalam beragama. Keakuan yang berlebih dalam beragama akan mengancam kemajemukan di ruang sosial. padahal justru pada agamalah kita berharap memproleh sumber nilai untuk saling-menghargai satu sama lain. Tetapi kenapa justru banyak yang mengatasnamakan agama sebagai legitimasi untuk merendahkan ajaran lain? Nah itu pada orang yang menganut agamanya bukan agamanya. Menurutku.

Belajar Kebahagiaan dari Russell

Bagi Russell untuk memproleh kebahagiaan maka kita harus bisa mengurangi berbagai keinginan. Lebih ekstrem lagi Arthur Schopenhauer menilai keinginan sebab manusia menuai ketidakbahagiaan. Jika Russell hanya menyarankan kita menguranginya beberapa keinginan untuk memproleh kebahagiaan justru Schopenhauer menghendaki kita menghilangkan keinginan untuk menghindari pederitaan.

Bapak psikoanalisis Sigmund Freud juga telah memproklamirkan bahwa kita punya kecenderungan untuk memproleh kenikmatan sebaliknya juga sekaligus menghindari penderitaan. Hanya saja Freud berbeda dengan Russel dan Schopenhauer karena justru menurutnya menahan bisa menimbulkan penyakit karena impuls tak bisa dipenuhi. Terus, apakah setelah kita memenuhi impuls itu otomatis kita bisa meraih kebahagiaan? Menurut Jasques Lacan, tidak. Memenuhi satu objek keinginan hanya akan melahirkan hasrat yang lain dan ketika hasrat lain itu pun terpenuhi maka muncul hasrat yang lain lagi, begitu seterusnya. Itulah sebabnya untuk saat ini penting untuk mengikuti nasehat Russel dibanding Freud jika tak ingin terjebak dalam lingkaran keinginan.

Saya ingin menyampaikan semacam pepatah namun lupa milik siapa, kira-kira kurang-lebih begini, “Pada jiwa sempit ia akan lebih sempit dari jarum. Pada jiwa yang luas ia akan lebih luas dari samudera.”

Bisakah Kita Menyebutnya Kebaikan Tanpa Agama

Kita seringkali gagal menuai hikmah dari orang lain hanya karena fokus memperhatikan asal-usul kebaikan itu. Kita tatkala terbiasa mengategorisasi orang-orang berdasarkan aspek yang nampak dan segalanya yang simbolik. Kebiasaan ini juga akan bermuara pada perjumpaan kita pada sisi distingsi dengan yang lain. Keberlainan dan pembeda-bedaan akan seringkali dijumpai jika kita selalu bertolak dari kemilau kostum seseorang.

Jika meminta Russel mengambil sikap dalam hal ini maka ia memungkinkan mengajukan pertanyaan bisakah kita berbuat baik tanpa melihat apa seseorang. Bisakah kita berbuat baik tanpa harus tahu apa agama? Tanpa tahu warna kulitnya? Atau tempat asalnya? Jika hal ini tidak bisa dilakukan maka begitu banyak kebaikan yang tertunda hanya karena hal semacam itu.

Bagaimana mungkin kita bisa menguji kelapangan jiwa kita jika berbuat baik itu harus mempersoalkan semua sisi terluar seseorang. Kalaupun kita berbuat baik karena itu maka juga akan miskin cinta. Menurut Fukuyama kebaikan yang hanya bisa dilakukan pada sesama kelompok yang sama maka itu kategori tingkat percaya yang paling lemah. Semakin luas jangkauan kebaikan maka semakin tinggi tingkat kepercayaan kita pada yang lain. Inilah juga satu masalah kita saat ini, terlalu tinggi rasa curiga dan ketidakpercayaan kita pada yang lain. Sampai tidak disadari bahwa hal tersebut membatalkan kita menjadi orang baik.

Sepertinya semakin sulit kebaikan dilakukan bagi orang-orang yang beragama jika berpusanya saja sampai tenggorokan. Inilah yang saya maksud sebagai gila terhadap surga namun lupa berbuat baik di bumi. Menutup tulisan ini saya ingin mengutip Shawn Achor dalam bukunya yang berjudul The Happiness Advantage bahwa sala-satu yang bisa membuat kita bahagia apabila punya kebiasaan berbuat pada orang lain. Perbuatan baik akan melapangkan jiwa dan menutup persepsi buruk terhadap yang lain. Oh iya ini sebenarnya adalah THR (tulisan hari raya) yang saya janjikan sebagai sedekah ramadan pada Kalaliterasi.com dan Guru Han.

Ary dan Sisi Lain dari Kebebasan Berpendapat dan Berorganisasi

Sebelum serius membaca, saya merasa perlu untuk menyampaikan bahwa tulisan ini bukan resensi namun sebatas respon kilat dari permintaan penulis, M Yunasri Ridho, saat menghadiahkan karyanya padaku beberapa waktu lalu, yang berjudul Kebebasan Berpendapat dan Berorganisasi.

Sebagai awalan saya ingin memulainya dengan menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diberkahi kapasitas bicara, setiap individu menyalurkan kegelisahan, menunjukkan keinginan melalui bicara. Konon menurut salah satu filsuf bahwa puncak kecerdasan manusia adalah kapasitas retorik. Olehnya itu sebagai sebuah penciri khas makhluk bernama manusia maka hukum sudah semestinya memberikan keluluasaan potensi ini mengaktual pada setiap individu. Itulah sebabnya hukum tidak hanya memberikan kesempatan untuk itu namun juga berkewajiban melindunginya.

Bahwa hukum tidak bisa memalingkan diri dari aspek mendasar publik. Hukum itu sudah semestinya akomodatif dalam mewadahi mengaktualnya potensi dasar manusia untuk hidup sebagai individu maupun sebagai warga (sosial). Yah artinya hukum itu substansinya memberikan kepastian bagi setiap orang menjalankan hak/kebebasannya dengan jalan sebaik dan sebenarnya. Hak itu inheren pada diri individu maupun yang sosial. Artinya secara eksistensial manusia menjadi utuh apabila masih atau sedang bersama haknya dan setiap mengekspresikan hak maka dibatasi dengan hak yang sama yang melekat pada invidu lainnya. Sama halnya kebebasan sekaligus terbatasi dengan kebebasan lainnya.

Bagian awal buku ini, saya merasakan penulis begitu berhasrat untuk menyakinkan kita bahwa kebebasan itu suatu faktor fundamental kita sebagai manusia. Penulis mengutip banyak varian konsep tentang kebebasan sebagai upaya mendudukkan secara terminologis. Hemat saya, penulis ingin kita bersepakat lebih awal dalam memahami kebebasan untuk bisa lanjut bicara lebih kompleks lagi dari implikasi kehadiran kebebasan. Artinya meskipun penulis bicara soal kebebasan namun definisi tentang kebebasan tidak bisa serta merta ditafsirkan secara bebas.

Penulis yang berlatar sebagai aktivis ini memperjelas bahwa buku ini bukan sekadar permainan tafsiran yang bergantung di awan. saya menyebutnya sebagai lembaran atas pengalaman yang hidup pada relung kepala dan dada lelaki ramah bernama Ary. Beliau, hemat saya satu tipikal mahasiswa di masanya yang terbilang sudah langka ditemukan. Meskipun dikenal tegas dan kritis namun tidak frontal, hehe itu observasi prematur saja. Beliau tetap mengedepankan kemampuan dialogis, dan seringkali mengonfirmasi pendapatnya sebelum dinyatakan dihadapan umum. Yah saya ingin menyematnya sebagai mahasiswa organik pada masanya.

Berbicara harus mampu dilihat sebagai suatu peristiwa aktualitas kemanusiaan. Penulis menilai bahwa ruang akademislah yang paling memungkinkan yang bisa mengaktualkan potensi tersebut. Itulah sebabnya penulis tertarik menelisik perspektif mahasiswa khususnya komisioner LK terkait soal kebebasan di ruang kampus. Memilih informan ini tentu atas dasar bahwa mereka representasi dari mahasiswa yang berhubungan langsung dengan aktivitas berbicara dalam kampus. Sepertinya juga penulis melihat kampus sebagai konteks ontologis yang menjadi miniatur ruang demokratis yang diharapkan bisa menggambarkan proses pemenuhan kebebasan.

Buku ini digelisahkan sebagai pribadi aktivis namun ditulis sebagai mahasiswa yang memenuhi prasyarat untuk sarjana. Bahkan bisa dikata lahirnya buku ini karena pertautan kedua konteks itu. Hemat saya ini salah satu jalan kebebasan kreatif yang dianjurkan untuk dicontoh. Maksudnya menulis tugas akhir (skripsi) tidak sekadar membunuh kewajiban ilmiah melainkan menjadikan satu panggilan jiwa untuk pada insan yang katanya akademis.

Melaksanakan kebebasan tidak bermakna kita akan melakukan apapun yang kita kehendaki. Namun ia tetap pada cara-cara yang bermartabat dan bertanggung jawab karena kebebasan itu soal hak mulia sebagai manusia. olehnya itu tidak boleh dilaksnakan namun sekaligus menafikan kemulian yang lain pada diri yang lain.

Saya tidak berupaya memberikan gambaran dari maksud yang disajikan persis sebagaimana dalam pikiran Bung Ary. Secara sederhana saya juga ingin menyampaikan bahwa penting pemahaman tentang kebebasan untuk tidak disalapahami oleh mahasiswa. Agar kita tidak menjadikannya sebagai alibi untuk apapun yang kita kehendaki. Kebebasan adalah jalan untuk menunjukkan penciri kemanusiaan kita yang aktif dan mengaktual namun tetap dengan cara yang mulia. sungguh tindakan yang menjadi dasar membangun relasi berakar dari setiap pemahaman seseorang. Sehingga pada akhirnya kita tidak mencederai kebebasan atas nama kebebasan.

Mungkin bisa jadi bahan diskusi kita bahwa masalah kebebasan tidak hanya bisa disederhanakan pada satu jenis aktivitas, misalnya demonstrasi ataupun kegiatan tertentu mahasiswa. Namun harus dipandang secara keseluruhan untuk sekadar menemukan bahwa juga masih banyak bagian atau ruang kebebasan sebagai mahasiswa yang tidak terisi dengan baik. Jangan sampai kita terlalu jauh bicara soal kebebasan sebagai hak mendasar namun kita luput menjalankan kewajiban dengan baik.

Sudahkah kita mengisi diskusi di ruang kelas dengan baik dengan ketajaman analisis ilmu masing-masing? Sudahkah kita mengisi kursi-kursi kosong pada perpustakaan dan duduk berjam-jam membaca buku yang mulai berdebu? Setiap tahunnya ada program kreativitas mahasiswa sudahkah kita membuat karya yang diakui secara nasional? Dan begitu banyak ruang produktif lainnya tidak kita masukkan sebagai jalan kebebasan lain. Adek Ary, ini soal perspektif bukan berarti sepenuhnya saya menolak titik pandangmu. Namun saya hanya mencoba membuka fakta lain agar selalu ada alternatif dalam mengaktualkan kebebasan dalam kampus.

Sekali lagi Saya isyaratkan bahwa ini bukan sebuah resensi, jadi Anda bebas untuk tidak membacanya termasuk bebas mengoloknya dalam bentuk balasan tulisan. Oh, iya, terimakasih atas bukunya. Dengan menunaikan tulisan ini maka berakhir pula janjiku padamu. Salam dariku, terus baik dan ramah.

Mahasiswa, Demokrasi dan Perspektif Terhadapnya

Sungguh kehormatan bagi saya, sebagai penulis awam dan pemula tentu menuai bahagia dan rasa puas jika tulisan saya dibaca oleh yang lain. Apalagi jika ada yang dengan bersungguh-sungguh menanggapi dan memberikan kritik. Hemat saya ini langkah maju bagi aktivitas menulis khususnya bagi saya. Menurut Karl Popper, pengetahuan yang baik adalah ia yang punya tingkat presisi yang tajam. Bukan tanpa kritik melainkan ia yang terbuka untuk dikritik. Olehnya itu saya menganggap ini sebagai proses dialektika yang perlu untuk direspon baik.

Sebelum saya menanggapi artikel Kakanda Muhammad Ferdhiyadi (MF), Menakar Nalar Demokrasi Rakyat dan Mahasiswa, sebagai tanggapan terhadap tulisan saya, perkenaan menghaturkan rasa terimakasih yang penuh hormat pada saudaraku, .

Bismillahi Rahmani Rahim.

Tanggapan pertama dalam tulisan saya berkenaan dengan pernyataan “rakyat masih gagap dan mentalitasnya rentan dengan berbagai penyimpangan politik”. Pernyataan di atas dianggap akan menggeneralisasi kondisi masyarakat seperti itu adanya. Yah tentu secara konseptual relasi politik yang ideal ketika politisi berhasil mengakomodasi problem masyarakat untuk diberikan jalan keluarnya. Sedangkan kondisi masyarakat kebanyakan justru membangun komunikasi dengan politisi dengan kepentingan jangka pendek yang pragmatik.

Saya tidak perlu tajam menanggapi ini karena dalam beberapa bagian justru Kakanda MF mengiyakan kondisi tersebut sebagai realitas di tengah masyarakat. Pertama dalam tulisannya, justru beliau yang lebih berani menyebut masyarakat sebagai objek pasif bahkan pelengkap dalam sebuah demokrasi. Justru beliau sendiri yang menegasi maksud kritiknya terhadap tulisan saya. Bukan hanya itu. Dia juga membenarkan bahwa masih ada masyarakat yang memanfaatkan nasibnya pada momentum Pemilu. Teks menggantukan saya ganti memanfaatkan karena terminologi itu justru lebih parah dari yang saya gambarkan.

Pada paragraf ketiga saya belum menemukan kritik yang tajam yang mengarah pada pernyataan saya. Malahan beliau memberikan penguatan pada kondisi masyarakat yang demikian. Saya juga menemukan pernyataan yang cukup pesimis dari Kakanda MF, bahwa Pemilu bukanlah sesuatu yang sakral dan bisa mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Pernyataan beliau justru memperlemah kebermaknaan Pemilu dalam negara yang melaksanakan prsoses demokrasi. Hemat saya justru pernyataan seperti ini perlu diperjelas apalagi kita hidup di negara demokrasi dan Pemilu tak lama lagi.

Pada paragraf ke empat saya tidak menanggapi karena memang saya sulit menemukan irisan yang kuat atas tanggapan pernyataan. Bagian itu tak lebih dari penguatan beliau meskipun saya anggap tidak terlalu berkorelasi, yang kontradiktif dengan pernyataan saya yang dikritik. Saya tidak ingin menyatakan keliru namun itu bukan prioritas saya dalam kesempatan ini. Nah, pada bagian selanjutnya, tepatnya paragraf kelima saat beliau menjelaskan tentang perilaku politik masyarakat Tallo, justru itu adalah satu di antara banyaknya kondisi yang ada di tengah masyarakat yang saya anggap “gagap”. Mengapa? Karena masyarakat menganggap Pemilu adalah salah satu cara untuk memperoleh uang. Lucunya lagi bahwa itu dinilai hal yang lumrah oleh Kakanda MF dan seakan tidak pragmatis. Asumsinya bahwa itu cara bertahan hidup dan strategi. Sepertinya cara pandang semacam ini yang perlu didiskusikan lebih panjang.

Sekali lagi saya sepertinya tidak mendapatkan kritik tajam terhadap pernyataan yang ditanggapi beliau. Mengapa? Karena Bukannya Kakanda MF memberikan fenomena yang menguatkan argumentasinya dalam mengeritik tulisan saya malahan beliau balik membuktikan fakta yang ia minta sendiri. Untuk itu tentu saya terimakasih karena tidak bersusah-payah mencari-cari faktanya.

Oh, iya, maaf jika saya langkahi paragraf enam karena hemat awam, saya tidak terlalu pas dan tak terlalu berhubungan. Sedangkan pada paragraf ketujuh saya hanya menanggapi perihal kesadaran masyarakat. Hemat saya itulah pentingnya masyarakat sadar agar proses perjumpaannya dengan politisi tidak terdustai berkali-kali dan ini saya juga sempat uraikan pada tulisan yang ditanggapi. Hanya saja kesadaran itu diperlukan terintrupsi dari berbagai jaringan termasuk di dalamnya mahasiswa.

Nah, pada paragraf kedelapan saya menemukan satu tanggapan perihal tulisan saya “mahasiswa harus hadir menambal kegagapan politik masyarakat awam”. Yah tentu. Bagi saya apapun bentuk kebocoran harus ditambal. Pernyataan ini yah miriplah dengan teriakan salah satu capres, bocor…bocor..bocor… hehe. Pernyataan menambal berarti ada bagian tertentu di mana masyarakat melakukan penyimpangan politik misalnya saja money politic dan sahabat-sahabatnya. Ini artinya saya tidak menjustifikasi secara umum bahwa masyarakat semuanya demikian. Makanya sedari awal kata masyarakat saya lekatkan awam untuk menghidari ‘over generalisasi’.

Adapula tanggapan mengenai mahasiswa yang harus hadir di antara masyarakat dan politisi. Yah tentu yang penulis maksud di situ terminologi ke-MAHA-an dari mahasiswa. Penulis menyebutnya sebagai segmentasi rasional. Mana mungkin penulis menempatkan konsep itu bukan pada makna idealnya. Jika bukan konsep idealnya maka akan merusak struktur dan pesan tulisan.

Kalaupun ada problem yang melanda mahasiswa, saya kira itu menjadi catatan bagi mahasiswanya agar bisa kembali pada jalan yang lurus. Hehe…kok gitu sih. Maksudnya kembali pada identitas yang MAHA dan RAKUS (rasional, analitis, kritis, universal, sistematis). Adapun satu metodologi yang disampaikan oleh Kakanda MF perihal mahasiwa penting untuk hadir tengah problem masyarakat tentu saya bersepakat dan hal tersebut sudah sering saya sampaikan beberapa tempat. Olehnya itu yang lebih penting lagi adalah mengakselerasi penyelesaian problem mahasiswa agar bisa secepatnya terlibat berkonstribusi di tengah masyarakat termasuk dalam perbaikan fenomena politik. Memang mahasiswa bukan satu-satunya segmentasi rasional namun yang rasional itu paling tidak pernah jadi mahasiswa. Toh pembeda mahasiswa dengan masyarakat awam bukan hak suaranya di TPS melainkan upaya untuk cerdas dan mencerdaskan termasuk dalam proses politik.

Demikian tanggapan balik saya atas respon positif dari pembaca kakanda MF. Semoga tetap berkenaan memberikan kritik pada setiap tulisan awam saya. Salam hangat.

 

Sumber gambar: https://blogs.iadb.org/ideas-matter/en/a-unique-database-charts-latin-americas-deepening-democracy/

Mahasiswa dan Kosongnya Nalar Demokrasi

Tak bisa dinafikan, dinamika politik betul-betul menyita perhatian kita. Di mana-mana, percakapan kita akhir-akhir ini selalu terkait atau dikaitkan perihal eforia menyambut geliat demokrasi dalam tahun politik. Forum- forum diskusipun tiba-tiba ramai mengangkat tema bertajuk politik, mulai dari pemuda dan politik, politik milenial, atau politik dan hoaks. Dari sekian banyak variasi tema yang seringkali kita temui kata ‘pesta demokrasi’ menjadi satu di antaranya yang paling ramai. Juga tulisan ini coba menyinggung perihal tersebut berikut implikasinya.

Pesta dan Desakralisasi Demokrasi

Penulis terpantik untuk menelaah teks ‘pesta’ yang seringkali dilekatkan pada momentum pemilihan. Telaah ini coba menemukan kedalaman teks ini pada konteks proses demokrasi. Hemat penulis, sedari awal kita telah mendesakralisasi proses demokrasi dengan mengasosiasikannya sebagai pesta. Bagi penulis, pesta itu cenderung dilaksanakan dengan eforia lagi tanpa nalar. Ini menjadi penting karena nalar satu kebutuhan mendasar untuk demokrasi kita agar bisa bertumbuh dan bermartabat.

Jika kita cari teks yang dipertimbangkan untuk dilekatkan pada perayaan Pemilu di negeri ini. Penulis lebih memilih kata ritual demokrasi, sekaligus untuk membangun makna kedalaman dan kesakralan proses demokrasi kita. Melalui teks ritual maka yang biasanya masyarakat yang menyikapi Pemilu sekadar penggugur kewargaan akan berubah menjadi tanggung jawab personal, sosial dan spiritual.

Melekatkan kata ritual pada proses Pemilu, karena penulis anggap momentum tersebut amat sakral. Kurang sakral apalagi sebenarnya pemilu kita ini? Begitu banyak ritual yang masyarakat lakukan sekadar memastikan keselamatan sehari atau beberapa waktu menghindari kondisi tertentu. Bagaimana dengan Pemilu yang akan memastikan kehidupan satu bangsa selama lima tahun yang akan datang.

Pemilu penting untuk disakralkan agar kita terlibat dengan khikmat dalam menentukan pilihan. Jadinya kita tak sekadar masuk pada bilik suara dan memilih namun diawali dengan proses kontemplasi yang panjang dalam menentukan pilihan. Sedangkan hari pemilihan itu sendiri menjadi puncak perayaan yang penulis sebut sebagai ritual demokrasi. Hemat penulis soalan ini tidak terlalu susah karena masyarakat kita terbiasa menggelar ritual. Melalui pemaknaan sakral ini kita berharap bahwa pemilu melahirkan pemimpin politik yang paripurna. Karena pemimpin yang berkualitas hanya bisa dilahirkan dari proses memilih yang baik dan kita sudah memperbaiki proses memilihnya.

Problem dan Program

Pemilu dalam demokrasi adalah ruang untuk mempertukarkan problem masyarakat dengan program kandidat. Tidak cukup dengan kata mesra tapi harus dengan janji yang terukur agar kita tak terdustai berkali-kali. Di situlah seharusnya mahasiswa hadir mengisi ruang percakapan politisi (kandidat) dengan rakyat. Karena kalau hanya menyampaikan bahwa jika terpilih akan membuka lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, membela rakyat kecil Penulis kira tak perlu belajar politik puluhan tahun, anak SDpun bisa mengucapkan itu.

Mahasiswa mesti hadir dalam menambal kegagapan politik masyarakat awam. Ia tak boleh meng-amin-kan kebohongan politisi. Merekalah harapan dari segmentasi rasional yang bisa memperbaiki kualitas berdemokrasi.

Mahasiswa harus mewakili lidah rakyat agar bisa mengucapkan pahit dan pedisnya penderitaan rakyat. Ia perlu hadir mengisi nalar yang defisit pada ruang ‘antara’ dalam demokrasi (ruang antara politisi dan rakyat). Proses distribusi kedaulatan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat akan jalan jika mahasiswa berada ditengah-tengah. Mahasiswalah jembatannya yang akan menghubungkan segala percakapan politik politisi dan rakyat.

Mengapa mahasiswa? Karena merekalah yang dianggap bisa menjaga rakyat dari godaan pragmatisme politik. Dalam konteks demokrasi di Indonesia rakyat terlalu sulit dibiarkan berjuang sendiri. Mentalitas masyarakat kita masih rentan dengan berbagai penyimpangan politik. Masih terlalu mudah tergoda dengan kenikmatan sesaat serta pragmatis. Bisa dikata mental berdemokrasi rakyat masih berada pada usia anak-anak. Mengapa? Karena Jika disuguhkan sesuatu maka dengan mudahnya mereka mengikut.

Fenomena semacam ini penulis maknai sebagai tahap mentalitas demokrasi epitumia yaitu fase demokrasi yang masih bergerak pada tataran perut ke bawah. Inilah level terendah dalam berpolitik bahkan pada bagian ini kita tak bisa mencapai kesejahteraan bersama karena semua akan sibuk dengan perutnya masing-masing. Baik dari politisi begitupun dengan rakyat itu sendiri.

Dalam beberapa forum saya seringkali menyampaikan bahwa kita terlanjur cacat memahami politik. Tidak lagi sebagaimana konsep idealnya melainkan menjelma menjadi alat pemuasan hasrat kuasa. Jika Aristoteles menilai politik sebagai jalan untuk berbeda dengan binatang maka pada banyak faktanya politik justru benar-benar menjadikan politisi seperti binatang.

Politik menjadi pembeda dengan binatang apabila politisi menegasikan diri dan mendahulukan kemaslahatan publik. Sebaliknya akan seperti binatang jika ia mengorbankan kepentingan publik demi memuaskan dirinya sendiri. Memang pada dasarnya konsep politik itu baik hanya saja semua akan kembali pada perilaku aktornya masing-masing. Wallauallam bissawab.

 

Sumber gambar: https://news.okezone.com/read/2019/02/25/605/2022529/ternyata-1-dari-10-percakapan-di-medsos-berisi-ajakan-golput

Pilpres dan Matinya Pilihan Politik

Pilpres kali ini adalah ujian besar bagi bangsa ini. Kita diuji betul bagaimana bisa berbesar hati dengan segala macam perbedaan kita menilai kandidat. Selain itu Pilpres saat ini akan beririsan dengan problem subtansial, yakni kebermaknaan memilih. Apakah sebenarnya kita masih memiliki kesadaran dalam memilih. Jika memang masih ada, maka dari manakah kesadaran itu berasal?

Kebermaknaan memilih kali ini terancam punah bukan karena TPS akan ditiadakan ataupun KPU membatalkan melainkan karena kematian pilihan bagi masyarakat. Apakah kita benar-benar sadar memilih kandidat kita? Atau kita sebenarnya sedang tenggelam dalam ketaksadaran berjamaah atau collective unconscious seperti kata psikoanalis Carl Jung?

Sadar dan Kebermaknaanya

Secara harfiah sadar diartikan mawas diri (awareness). Sedangkan Dalam Oxford English Dictionary; kesadaran setidaknya mengandung makna pengetahuan atau keyakinan internal, keadaan mental yang sedang menyadari sesuatu (awareness), atau mengenali tindakan atau perasaan sendiri (direct awareness). Selain itu sadar juga bisa fahami sebagai kondisi di mana seorang (aktor) memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus eksternal.

Bagaimana makna sadar dalam perihal politik saat ini? Kembali kita refleksi apakah kita punya pilihan politik? atau sebenarnya pilihan kita tak lain hanyalah sesuatu arahan eksternal yang tanpa kesadaran. Jika iya, maka kita terjebak pada pilihan palsu (psuedo choise). Penulis sementara mempersepsikan itu tanda kematian aktor sebagaimana yang dianasir oleh Slavoj Zizek. Sebenarnya kita tidak benar-benar punya pilihan secara merdeka melainkan memilih karena impuls kuat dari luar yang diintrodusir oleh kepentingan politik.

Jika fenomena ini ditelisik dalam perspektif Zizekian maka, pilpres betul-betul digerakkan oleh dessire machine. Mesin ini berupaya merekayasa pilihan politik melalui citra, simbol dan bahasa. Jika kita pinjam istilah Slavoj Zizek, pemilih saat ini sedang menjadi liyan (yang lain) bagi dirinya sendiri. Kita tak punya pilihan secara independen melainkan dari sesuatu yang lain. Coba perhatikan bahasa yang kita punya, bukankah ia sekadar bahasa yang kita konsumsi di media sosial. Kita telah kehilangan cara berbahasa sendiri dalam melihat diri sendiri dalam memilih.

Ada sesuatu yang lain yang sedang mengonstruksi hasrat kita, yah hasrat untuk memilih. Media sosial menjadi moda produksi bahasa dalam merekayasa sang subjek dalam mengambil keputusan untuk memilih siapa. Inilah yang dimaksud psikoanalisis marxian, Zizek sebagai desir de l’autre yakni hasrat kita tereferensikan dari yang lain.

Bahasa Otentik yang Hilang

Masyarakat tidak memiliki bahasa sendiri bagaimana ia harus memilih pemimpin. Percakapan kita hanyalah perpanjangan framing media. Masyarakat betul-betul berjarak dengan dirinya yang bertubuh politik. Padahal pada momentum seperti inilah maka potensi zoon politicon itu diletupkan.

Kita menjadi berpolitik karena punya cara sendiri dalam memilih bukan malah diseragamkan oleh media. Idealnya memilih pemimpinnya berdasarkan bahasa yang berbeda, mengapa? Karena mereka punya permasalahan yang berbeda? Masyarakat masing-masing punya konteks problem sosial, ekonomi yang khas. Nah yang khas itulah menjadi sunyi senyap terdengar saat-saat ini. padahal itulah yang benar-benar otentik yang masih dimiliki masyarakat dalam berkomunikasi secara politik terhadap calon pemimpinnya.

Jika masyarakat tidak terbangun dari ketaksadarannya hari ini maka secara semiotik sebenarnya kita tidak memiliki referensi untuk mengintrupsi proses pemerintahan kemudian hari. Mengapa? Karena sedari awal kita kehilangan cara membangun keterikatan politik dengan sang kandidat melaui bahasa. Itulah yang membuat mereka terkadang semena-mena karena kita memilihnya berdasarkan bahasa yang mereka produksi tentang dirinya sendiri.

Mungkinkah kita masuk dalam swalayan untuk berbelanja sesuatu tanpa mengenal merek produk yang akan kita beli? Terus dari mana kira-kira kesadaran yang kita punya terhadap merek produk tersebut jika bukan dari iklan? Nah, sebenarnya kita memilih produk tersebut bukan karena kita yang menghasrati melainkan karena bahasa hasrat dalam iklan yang terus diproduksi akhirnya membentuk semacam kesadaran. Mengerti kan? Inilah yang penulis maknai sebagai kematian pilihan politik, karena sebenarnya yang kita miliki hanya sebatas bahasa media terhadap si kandidat. Bukankah itu bahasa yang mereka miliki sendiri? Persis saat di atas panggung sang kandidat kemudian berteriak ingat pilih saya nanti.

Yang Hidup yang Berkreativitas

Aktor hanya bisa disebut aktor apabila bisa memproduksi makna sendiri. Sosiolog jerman Max weber menilai bahwa penanda aktor yakni vertehen artinya ia yang bisa mendefiniskan setiap makna secara kreatif. Aktor adalah ia yang mengkreasi makna bukan ia yang mengkonsumsi makna. Secara sosiologis kita terlalu konsumtif dalam politik dibanding produktif. Konsumsi adalah penanda esensial dari kebinatangan sedangkan manusia ditandai dengan produksi. Olehnya itu esensi manusia dalam berpolitik adalah apabila ia secara terus menerus memproduksi makna agar tidak teralihkan pada ekspektasi yang banal. Inilah yang dimaksud dalam karya terbaru Yasraf Amir Piliang sebagai ‘Medan Kreativitas’.

Dalam berpolitik kreatifitas harus tumbuh bukan dilumpuhkan karena itulah satu-satunya harapan kita dalam berdemokrasi. Dengan demikian, maka kita bisa benar-benar bebas dalam memilih berdasarkan cara dan kebutuhan kita masing-masing. Bukan berdasarkan kebutuhan politisi, karena dengan kreativitas kita baru bisa bermakna baru bisa hidup kembali. Dalam politik, politisi mati berkali-kali untuk hidup kembali namun itu tak boleh terjadi pada rakyatnya. Nalar rakyat harus tumbuh jika kita berharap berjumpa diakhir pilpres dengan bahagia.

 

Sumber gambar: https://www.theodysseyonline.com/teenagers-and-politics