Semua tulisan dari Subarman Salim

Penulis adalah peminum kopi, yang selalu berharap menemukan surga di setiap buku. Selain menulis, kadang ikut jadi peneliti, pernah mencoba jadi blogger tapi gagal. Pernah kuliah di Universitas Negeri Makassar jurusan Pendidikan Sejarah dan Universitas Hasanuddin jurusan Antropologi.

Menggugat Kemewahan di Paris dan London

Bagaimana menjadi miskin dan hidup seperti gelandangan? Lupakan apapun semua tentang definisi miskin. Kemiskinan stuktural atau kultural, pada akhirnya hanya konsep, setidaknya bagi George Orwell, yang hidup di pertengahan abad XX. Hidup bersama mereka yang tidak punya makanan, dan tak punya tempat rebahan. Orwell paham lebih dalam bentuk-bentuk kemiskinan. Juga para gelandangan, dengan segala stereotype yang melekat kepada, termasuk pemabuk, para homeless, dan para plongeur, mereka adalah orang-orang yang tidak diakui negara, tersingkir dari ruang publik, di London dan Paris. 

Orwell sangat detail menulis bagaimana orang-orang miskin dari berbagai profesi -atau lebih tepat dari berbagai jenis, hidup di Paris dan London. Beberapa hal yang seperti tak terpisahkan pada sosok miskin: bau busuk, wajah kusut, jarang mandi dan tidak punya pakaian ganti. Rougier dan pasangannya, tetangga kamarnya, menurut Madame F, pemilik salah satu bistro (kost) di Paris, bahkan tidak berganti baju selama empat tahun. Pasangan itu menjalani pekerjaan sebagai penjual kartu pos, -kartu pos porno.   

Dalam “Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London” (TTPL), Orwell mengisahkan dirinya yang bekerja sebagai plongeur, pencuci piring restoran. Plongeur mungkin secara ekonomi berada di lapisan paling bawah di antara orang-orang miskin di Paris, tapi plongeur adalah kurungan bagi tubuh, dan sama sekali tak punya kesempatan untuk berpikir.

Entah bagaimana caranya, George Orwell bisa begitu kuat menahan diri untuk tidak menghadirkan plot thriller. Padahal, untuk kepentingan pembaca, ia punya segala hal untuk mengeksploitasi ceritanya menjadi lebih dramatik. Tokoh yang dihadirkannya tercipta seperti apa adanya. Mungkinkah karena ia benar-benar mengalaminya, -tersungkur dan terhina di Paris dan London? -seperti yang juga pernah dialami oleh Om Pramoedya Ananta Toer, selama 14 tahun penjara di Pulau Buru, dan berhasil menyelesaikan tetralogy Buru dan beberapa karya lainnya.

Orwell menghadirkan pertanyaan mengenai definisi kemewahan, atau apapun yang orang-orang sering menyebutnya sebagai mewah. Mewah oleh dan bagi siapa? Itu perlu dibahas, kata Orwell, sebagaimana kemiskinan, yang seringkali definisinya disusun dari peneliti atau dari lembaga statistik.

Mempertanyakan kembali definisi mewah mungkin sama urgensinya dengan memeriksa kembali apa yang telah terlanjur diberi kategori remeh-temeh. Yang remeh, seperti makanan sisa, roti yang telah mengering, mantel butut, sepatu yang bagian depannya berlubang, tapi bagi gelandangan, itu semua adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Perlu untuk mempertanyakan kembali apa itu kemewahan. Karena definisi mewah itulah yang akhirnya menghadirkan pekerjaan plongeur di Paris atau penarik andong di negeri Timur, yang dianggap Orwell sebagai negeri tempat orang-orang yang malas menggunakan kakinya untuk berjalan.

Plongeur ada ribuan di Paris. Mereka bekerja setidaknya 15-17 jam per hari. Nyaris tanpa jam istirahat. Saat mereka tidur adalah saat-saat di mana mereka benar-benar berada di ujung lelah. Mereka bisa benar-benar mengerti arti penting dari makanan, karena hampir selalu makan pada saat lapar. Jadi, membayangkan jam istirahat saat makan pun adalah sebuah kesimpulan yang terburu-buru. Karena waktu untuk makan hampir setara dengan waktu yang dihabiskan untuk mengisap sebatang rokok. Plongeur hanya bisa menemukan jam-jam istirahat jika tiba saat mereka dipecat..!

Plongeur, dalam pembagian tugas, berperan mencuci piring restoran dan hotel, itu terdengar biasa saja. Tapi pekerjaan itu, dengan segala konsekuensi yang melekat pada posisinya yang amat vital dalam pelayanan, adalah budak era modern. Mereka tidak hanya harus melakukan banyak hal di waktu yang sama dan cepat, mereka pun harus mendengar makian dan berbagai jenis umpatan dari rekan kerja atau pelayan atau dari para koki yang terkadang lebih memilih tak berteman, ketika saat-saat memo pesananan makanan datang menumpuk.

Lalu apa hubungannya plongeur dengan definisi kemewahan? Sepintas, kita bisa menyebutnya sebagai jenis pekerjaan, yang memang harus ada, karena ada orang yang punya banyak uang dan harus terlihat sibuk dan harus menyantap makanan mahal, dan tentu tidak punya waktu untuk mencuci piring bekas makannya. Memang, mereka yang makan di warung pinggir jalan pun tidak perlu mencuci piringnya. Harga makanannya sudah termasuk penggunaan piring, sendok, dan air minum yang disediakan oleh warung.

Argumen Orwell sejalan dengan pemikiran Marx yang melihat adanya nilai lebih dari faktor produksi. Baginya, kemewahan telah menggeser makna sebenarnya dari makan karena lapar, menjadi makan demi gengsi, demi kelas sosial, demi agar terlihat kaya, demi punya kuasa, atau demi hanya terlihat lebih, seolah-olah.

Lalu, apa yang sebenarnya orang-orang harapkan dari sebuah kemewahan? Mengapa ada orang yang karena hidupnya yang mewah, justru menghadirkan neraka bagi yang lainnya? Bandingkan dengan Paddy -tokoh gelandangan di London, yang karena strategi bertahan hidup, ia mengirit uang dengan cara ekstrim. Ia menganggap makan sekali sehari adalah sebuah kemewahan. Dan jenis kemewahan Paddy itu adalah hanya roti dibalur margarin dan teh dalam gelas besar.

Paddy tak menyesal, tak merasa malu, tak takut, dengan hidup yang dijalaninya. Ia tak kasihan pada dirinya sendiri. Ia menerima nasibnya, dan bahkan menciptakan filosofi untuk hidupnya: bahwa ia menjadi pengemis, katanya, bukan salahnya, dan ia tak mau menyesal atau marah karena itu (hal.240). Ia siap dengan segala konsekuensi hidupnya karena menyadari ia adalah musuh masyarakat. Dengan pemikiran seperti itu, ia malah menganggap berterima kasih adalah sebuah Tindakan tidak perlu, bahkan hina.

… Ia mau diberi amal, asal ia tak diharapkan berterima kasih untuk itu. Namun, ia tak suka amal yang bersifat religius, karena ia tak mau menyanyikan nyanyian pujian untuk sepotong roti. Ia punya beberapa prinsip lagi, misalnya, ia sering menyombong bahwa tak pernah sekalipun dalam hidupnya mengambil puntung rokok bekas, meski kelaparan. Ia menganggap dirinya berada di kelas yang lebih tinggi daripada pengemis biasa, yang, katanya, hina dan masih tahu berterima kasih. (Hal.240-1)

Ambiguitas dihadirkan Orwell ketika ia mengisahkan seorang pemabuk yang begitu keranjingan dengan ideologi komunis, dan anehnya ia menjadi begitu rasis saat dilanda mabuk setelah menenggak lebih sebotol brandy. Mungkin tidak banyak orang di dunia ini, mereka yang bisa menertawai penderitaan, dan bahkan bisa menjadi lebih rasional ketika sedang terpuruk, sesuatu yang seringkali kita dengar dari pemikiran kaum Stoa, yang mampu melihat realitas dari kejauhan, -lebih obyektif melihat derita.  

Tapi, berapa banyak orang yang bisa melihat kehidupan menggunakan kacamata kaum Stoa? Orwell menulis:

“Orang-orang berpendidikan, sebaliknya, mampu hidup dengan ketiadaan kegiatan, yang merupakan salah satu akibat utama kemiskinan. Namun, seorang seperti Paddy, yang tak punya cara untuk mengisi waktu, sama menderitanya dengan anjing yang dikerangkeng. Itulah mengapa omong kosong kalau dibilang bahwa mereka yang hidupnya “jatuh” harus dikasihani. Orang yang pantas dikasihani adalah orang yang memang sudah jatuh sejak awal, dan hanya bisa menghadapi kemiskinan dengan pikiran kosong dan tak berdaya.” (261)

Orwell menemukan bentuk kemiskinan pada wajah-wajah gelandangan yang ambigu, yang harus berjalan sepanjang waktu sebagai akibat dari diskriminatifnya penerapan hukum di London. Jika kamu tak punya rumah untuk tidur, pemerintah menyediakan wisma, dan karena ada ratusan orang dalam ruang aula, maka cukup beruntung jika mampu memejamkan mata sejam atau dua jam.

Di London, siapapun bisa dilaporkan ke polisi jika ia meminta uang dua sen ke orang yang tak dikenalnya. Tapi, orang bisa meminta uang kepada siapapun atas nama amal dan agar Tuhan memberkati, agar masuk surga. Di London, Orwell menemukan bentuk kemiskinan pada wajah-wajah gelandangan yang ambigu. Karena, satu-satunya hal yang dipedulikan adalah apakah pekerjaan itu mendatangkan banyak uang atau tidak. Persis seperti apa yang masih bisa ditemukan hari ini. Uang akan mengangkat status sosial dan tentu akan mempengaruhi penilaian orang, -tanpa perlu mengetahui apa pekerjaan kamu, atau bagaimana kamu memperoleh uang. (hal.249-251) 

“Seorang pengemis bekerja dengan berdiri di jalan di bawah panas dan hujan dengan pembuluh darah yang mekar di kakinya, dengan bronkitis yang parah, dan seterusnya. Mengemis adalah sebuah pekerjaan yang wajar; tidak ada gunanya, memang—tetapi, banyak juga pekerjaan terhormat yang tidak ada gunanya. Dan sebagai makhluk sosial, pengemis tak lebih asusila daripada orang-orang dengan pekerjaan lain. Ia jujur bila dibandingkan dengan kebanyakan penjual obat, berbudi luhur bila dibandingkan dengan pemilik koran Minggu, baik hati bila dibandingkan dengan penjual keterangan soal pacuan kuda—singkatnya parasit, tetap parasit yang tak berbahaya.” (hal.250-1)

Ada banyak jenis pekerjaan yang digambarkan oleh Orwell sebagai pekerjaan yang hanya layak untuk para pengangguran. Tapi, pekerjaan idaman pengangguran itu pun tak pernah benar-benar memberikan biaya pengganti untuk tenaga dan waktu. Ia mencontohkan, pekerjaan sandwich man, yang bekerja sepuluh jam sehari dengan menyebar brosur dari produk tertentu, tapi mereka tak boleh bermalasan, karena tiap saat akan ada pengawas yang akan membuat laporan apakah mereka bekerja cukup keras. Pesannya, ketika kamu melihat seorang yang membawa brosur, berbaik hatilah dengan menerima brosurnya, karena dengan begitu, ia akan dianggap sudah bekerja. (hal.260)

Buku ini kembali menegaskan kepiawaian Orwell dalam menulis sisi kehidupan yang tak biasa. Orwell selalu menghadirkan dunia ganjil, yang tak sempurna, yang mengusik kemanusiaan. Karenanya, kalau ingin memahami bagaimana politik diamalkan, bacalah Animal Farm. Dan, kalau ingin mengerti mengapa dan bagaimana kekuasaan dipertahankan, bacalah 1984. Dan, jika itu semua belum cukup membuatmu mengerti bagaimana dunia ini bekerja, segeralah buka lembaran TTPL. Mungkin dengan TTPL, kamu akan memahami kapan baiknya kamu tidur dan mengapa seseorang harus makan. Dan, dari yang telah dikisahkan Orwell, kita akan tahu ada saat tertentu makian berulang-ulang lama-lama akan kehilangan maknanya, sebagaimana ucapan terima kasih, bagi para gelandangan yang dipaksa mendengar khutbah hanya karena mereka butuh segelas teh, dan sepotong roti berpoles mentega.

Tentang buku:

Judul buku: Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London

Penulis: George Orwell

Penerbit: Diva Press, Yogyakarta, 2019 – 312 halaman

Peresensi: Subarman Salim

Facebook: Subarman Salim

Instagram: uba_band

Mimpi-mimpi Aneh Vegetarian

Pernahkah anda mencoba melampaui batas? Sebuah obsesi atau sesuatu yang kerap berwujud selayak hantu yang terus membayang? Keinginan keras menghasilkan karya luar biasa, menaklukkan batas-batas imajinasi? Mencoba mencicipi dosa? Bercinta dengan perempuan atau lelaki asing?

Obsesi, serupa perpaduan hasrat melampaui batas dengan mimpi-mimpi traumatik, hadir serupa taman labirin yang menjebak namun menantang untuk dimasuki.

Novel Vegetarian karya Han Kang adalah kisah obsesi seorang perempuan berpantang makan daging. Dalam perjalanannya, ia terkurung dalam drama, obsesi, lalu dihantui trauma dan penglihatan-penglihatan aneh. Kekerasan dan kepolosan, tantangan dan petualangan terjalin epik dalam kisah yang berlatar budaya Korea ini.

“… Inilah gambaran penyatuan kejam yang paling buruk, sekaligus paling indah.”(hal.139) Kalimat yang menggambarkan sebuah peristiwa-hubungan yang terobesesi oleh karya seni bebas berlatar bisikan mimpi-mimpi traumatik, namun betatapun ia adalah hasil karya terindah, tetap saja harus berhadapan dengan norma. Novel ini, seperti pendapat British Council Literature, adalah gabungan indah antara kekerasan dan kepolosan.

Novel ini disetting dengan plot rumit, tidak sekadar maju mundur. Penulis menyelipkan narasi-narasi pengalaman mimpi yang irasional-imajinatif, dengan kalimat-kalimat puitis nan dramatik. Mimpi-mimpi dihadirkan seakan memandu jalinan cerita yang memaksa pembaca menyusun rangkaian tafsir.

Penulis memulai ceritanya dengan menempatkan suami dari Si Vegetarian sebagai orang pertama. Istri yang biasa-biasa saja. Tidak cantik, tidak menarik, tidak emosional, tidak cerdas, dan pendiam, mungkin hanya lelaki kurang jauh bergaul bisa terpikat dengan perempuan seperti itu. Setidaknya, kalimat ini mewakili bagian awal dari novel, dari sudut pandang lelaki, suami Young Hye.

Perempuan biasa, jauh dari predikat posesif, tak pernah cemburu, lebih banyak diam. Hidup tanpa kejuta dan tuntutan. Sebenarnya, baginya, ini anugerah sekaligus petaka.

Tentu saja ia, suami Si Vegetarian, menikmatinya, tak diganggu oleh telepon berkali-kali seperti yang dialami oleh teman-teman kantornya. Ia juga merasa bersyukur, tak pernah terlibat perkelahian berkala di rumah. Hanya soal no bra, yang membuatnya kerap tersadar bahwa istrinya memang lain dari perempuan dewasa lainnya.

Tapi tokoh rekaan dalam kisah Vegetarian itu melengkapi deritanya, kala harus bertahan hidup dengan istri yang memutuskan tak lagi makan daging. Mungkin yang paling prinsipil bagi lelaki dewasa normal adalah ketika si istri tak lagi bergairah untuk berhubungan badan.

Dalihnya, ia tak suka daging. Bahkan suaminya pun dituduhnya bau daging, aromanya ia baui keluar dari pori-porinya. Pernah ia mencoba memaksa berhubungan badan, namun istri seperti kehilangan gairah. Meski akhirnya ia berhasil setelah percobaan ketiga. Tapi, hanya kehampaan. Si istri hanya menatap lamat-lamat, dengan tatapan kosong menembus langit-langit. Ia menyadari satu hal yang ganjil juga menyedihkan, ia telah memperkosa istrinya.

Si istri, setelah sekian kali didesak mengapa ia jadi vegetarian, jawabannya karena berawal dari mimpi. Mimpi yang menyudutkan, enigmatik, namun sekaligus menyeramkan.

Apakah vegetarian sebegitu menyeramkan? Bahkan secara naluriah, manusia adalah pemakan daging. Daging adalah sumber protein, sumber kekuatan. Tentu pengecualian jika perspektif vegetarian dilihat sebagai dorongan untuk mempercantik tubuh, diet. Karena, jika vegetarian dilihat sebagai bagian dari kampanye ‘naturalisasi’, upaya membangun-mempertahankan keseimbangan alam, justru lebih terdengar utopis ketimbang melihatnya sebagai sebuah niat baik idealisme.

Tentu saja, kekuatan novel ini bukan muncul dari ide vegetarian dan kampanye back to nature. Novel ini layak dibicarakan oleh karena kemampuannya menyajikan cerita rumit, dengan menghadirkan perspektif orang pertama dari banyak tokoh, secara bergantian.

Tak ada tokoh yang secara tegas selaku protagonist juga antagonis. Pembaca bisa memilih sendiri kepada siapa mereka ingin bersimpatik atau menaruh dendam. Tapi, justru novel ini menjadi lebih manusiawi. Pembaca yang berharap menemukan sosok ideal, pahlawan, ataupun panutan, jelas tak akan menemukannya di dalam lembaran-lembaran ini.

Sekuel kedua diberi judul ‘Tanda Lahir Kebiruan’ adalah lompatan cerita, sekaligus menjadi kekuatan penulis. Orang pertama beralih ke suami kakak ipar -dari orang pertama di sekuel pertama. Di bagian ini menjadi tantangan penulis untuk menghadirkan kisah dari perspektif yang berbeda.

‘Tanda Lahir Kebiruan’ adalah kisah dunia dari seorang seniman pelukis surealis. Dengan pilihan ini, penulis berhasil membuat kisah perselingkuhan menjadi tak biasa. Ada jiwa merdeka dan bangunan keberanian yang diciptakan oleh penulis dalam sosok sang pelukis, yang akhirnya membawanya mampu melampaui batas.

Ia masuk ke dalam labirin imajinasinya sendiri, dan mungkin tak akan kembali lagi… “Semuanya berakhir seperti itu. Sejak hari itu hidup mereka tidak bisa kembali seperti sebelumnya.” (hal.166)

Si pelukis tanpa kendala berarti berhasil menelanjangi sang adik ipar untuk kemudian dijadikan sebagai obyek lukisan bunga. Tapi, lagi-lagi karena dorongan mimpi, lukisan-lukisan tubuh pada akhirnya menjadi medium untuk mengantar si pelukis memenuhi obsesinya merengkuh Tanda Lahir Kebiruan.

Tapi si istri, In Hye, kakak si Vegetarian, tak paham seni. Bahkan dalam keseharian, ia adalah istri yang terlalu sempurna bagi seorang suami yang lebih sering pulang larut karena proyek yang tak kunjung selesai. Tak mungkin In Hye memaklumi perselingkuhan. Alih-alih membiarkan diri larut dalam kutukan takdir , ia memilih untuk segera bertindak taktis, menghukum para pelanggar moral, mengantar keduanya (dua orang yang dekat dan dikasihinya) ke rumah sakit jiwa.

Mengapa si pelukis nekat melampaui batas. “Ia menyukai semua hal dalam diri adik iparnya, mulai dari matanya yang tidak berkelopak, suara kaku dan canggung yang tak bernada manja dan sengau seperti suara istrinya, gaya berpakaian sederhana, bahkan sampai tulang pipinya yang menonjol.” (hal.75) Sebuah gambaran yang kontras dengan apa yang dipersepsikan oleh suami dari adik iparnya.

Jadi, definisi cantik tidak pernah identik, atau sama sekali tak bersifat universal.

Si pelukis, oleh Han Kang dihadirkan sebagai pelukis obsesif lebih dari sekadar idealis, yang untuk kelangsungan hidup rumah tangganya lebih banyak bergantung dari usaha istrinya. Han Kang dengan jujur menggambarkan betapa seniman idealis akan selalu terancam untuk hidup miskin, hehe.

Bagian ketiga diberi titel Pohon Kembang Api. Lebih banyak membahas soal penderita schizophrenia. Tak ada lagi drama, mungkin lebih tepat jika bagian ini berjudul karma. Pilihan menjadi vegetarian membuat Young Hye makin kehilangan tubuhnya. Ia divonis menderita anoreksia.

Novel ini berhasil menghadirkan kisah epik campuran drama-horor. Indah sekaligus menegangkan. Mungkin yang kurang adalah bagian akhir yang dibiarkan melayang dan tokoh yang dibuang begitu saja.

Bagaimanapun, berkat Vegetarian, Han Kang didaulat sebagai Man Booker International Prize, sebuah predikat untuk karya sastra bagi guru besar di Jurusan Penulisan Kreatif, Institut Seni Seoul.

Tentang buku:

Judul: Vegetarian

Penulis: Han Kang

Penerbit: Changbi Publisher, Inc – PT Bentara Aksara Cahaya, 2017 – 222 halaman

Kejahatan Perang (yang Belum Diakui) Belanda

Sampai saat ini, Belanda masih enggan menggunakan istilah ‘kejahatan perang’ untuk menggambarkan apa yang telah mereka lakukan selama berkuasa di negeri Hindia Belanda. Mereka lebih memilih istilah ‘kekerasan eksesif’, hanya kasus yang menyangkut ekses, sesuatu yang di luar kendali. Ungkapan yang halus.

Padahal, menurut Gert Oostindie, setidaknya terdapat 110 kasus yang berdasarkan definisi Konvensi Jenewa, telah cukup memenuhi kategori tindakan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh Belanda, tepatnya pemerintah Hindia Belanda.

Penggunaan ‘kekerasan eksesif’ lebih mengarah ke implikasi sebuah peristiwa, atau rangkaian persitiwa. Tentu tak cukup untuk memahami bagaimana situasi perang dan korban yang berjatuhan. Perang dan implikasinya, tentu tak bisa dipisahkan.

Kenyataan lain, dekade terakhir, pemerintah Belanda telah membuka sebuah proyek besar untuk meriset topik sensitif ini. Tapi, lagi-lagi terlihat masih berani move on dari apa yang bisa mereka pahami tentang perang dan kejahatan-kejahatan yang tercipta saat perang.

Ini tentu saja bukan debat soal pemilihan kata. Perang, jika di masa itu adalah pilihan, siapapun yang terlibat tidak boleh melepaskan diri dari segala implikasinya. Kita tahu, Amerika menulis perang kolonialnya dengan Perang Vietnam, atau Prancis membahas bentrok dengan tanah jajahannya dengan Perang Aljazair. Tentu agak aneh, ketika mendengar Belanda menyebut perang kolonialnya dengan istilah ‘politionele actie’ (aksi kepolisian), bukan perang Indonesia. Padahal, yang terjadi Belanda telah melakukan dua kali agresi militer, setelah Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaannya.

Dua kali agresi militer bahkan tak cukup untuk memahami bagaimana upaya Belanda untuk kembali menduduki tanah jajahannya, rekolonisasi. Sulawesi dan Jawa Barat, adalah dua wilayah yang pernah menjadi saksi bagaimana kekejian praktek genosida, atas nama perang.

Korban 40 ribu jiwa dan eksekusi Rawagede

Jika dunia mengutuk apa yang telah dilakukan oleh pasukan SS Nazi di belahan dunia Eropa, maka seharusnya dunia pun tak mendiamkan apa yang telah dilakukan oleh Depot Speciale Tropen (DST/pasukan komando baret merah), pasukan elit terlatih di bawah komando Westerling.

SS Nazi yang menyisir orang-orang Yahudi, melakukan investigasi di tepi jalanan atau mengumpulkannya di sebuah lapangan, dan menghabisinya dengan peluru tajam. Di benua lain, pasukan DST juga memberondong rakyat sipil, perempuan dan anak-anak, demi mencari kelompok pejuang yang kerap melakukan penyerangan sporadis di pos-pos tentara Belanda.

Gambaran besar kejahatan perang yang telah dilakukan Belanda, untuk menyebut dua peristiwa besar dan telah dikenal umum adalah aksi pembersihan yang dikomandoi Kapten Raymond Westerling di Sulawesi selama Desember 1946 hingga Maret 1947 dan eksekusi Rawagede di Jawa Barat pada Desember 1947.

Untuk mengenang periode kelam itu, rakyat Sulawesi mengabadikan tragedi itu dengan sebutan ‘Korban 40 ribu jiwa’. Angka yang lebih berkotonasi mitos, mengingat tak ada catatan resmi dan valid tentang itu.

Di Jawa Barat, Eksekusi Rawagede juga menyisakan catatan hitam kejahatan perang. Pasukan Belanda melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap warga sipil. Pihak berwenang Belanda mengatakan 150 orang tewas dalam serangan itu. Namun, perhimpunan korban membantahnya, mereka menyebutkan sebanyak 431 orang kehilangan nyawa dalam eksekusi pasukan kolonial itu.

Pada sebuah persidangan yang digelar 2008 lalu di Den Haag, pihak pengadilan menyatakan Belanda telah bertindak salah dengan eksekusi itu, dan harus membayar kerugian sesuai ketentuan hukum. (antaranews.com, 15/9/2011)

Angka-angka boleh berbeda, namun eksekusi jalanan warga sipil adalah sebuah tindakan tercela, dan masuk kategori kejahatan perang. Di pengadilan itu, Belanda mengakui kesalahannya, namun tetap menghindari sebutan ‘kejahatan perang’.

Dua episode krisis itu belum termasuk aksi-aksi sporadis, gesekan personal, atau kekerasan struktural dan sistematis lainnya yang terjadi di pelosok, yang sebagian besar tak tertulis dalam buku laporan. Juga terutama ketika kita menilik jauh sebelum masa perang revolusi kemerdekaan.

Fakta ini, bagi Oostindie seharusnya membuka mata pemerintah Belanda dan pihak-pihak yang ingin jujur dengan masa lalu. Hindia Belanda yang telah dikapitulasi oleh Jepang dan direbut oleh para pejuang kemerdekaan, tak mungkin dipisahkan dengan kebijakan-kebijakan perang yang dikeluarkan oleh pemerintah kerajaan Belanda.

Kesaksian perang pada sisi yang salah

Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia (1945-1950) memilih tetap menggunakan istilah ‘kejahatan perang’. Dia menganggap istilah ‘kekerasan eksesif’ lebih bersifat menutup-nutupi kenyataan. Baginya, pemerintah Belanda seharusnya bisa lebih terbuka untuk kepada dunia dengan sejarah yang pernah mereka lalui dan lakukan.

Sejarah seharusnya dikisahkan sebagaimana yang terjadi dan apa adanya untuk bahan refleksi generasi kini. Hari ini, tak ada yang bisa dihukum untuk kesalahan para serdadu bengis itu, kecuali untuk tak mungulangnya kembali, atas nama perang maupun demi negara.

Jadi, sebagai buku, karya yang dihasilkan dari kerja keras mengumpulkan memoar, catatan harian, ego dokumen, laporan administrasi, juga wawancara mendalam ini, penting untuk dijadikan referensi terkait perang dari perspektif penulis Belanda. Meski demikian, ini tetap bukan soal pertarungan eropasentris berhadapan dengan indonesiasentris.

Belanda salah dan kalah

Tak mungkin menghindari tuduhan kejahatan perang yang telah dilakukan Belanda. Dengan menggunakan subjudul ‘Kesaksian Perang pada Sisi yang Salah’, buku karya Direktur KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) ini mengakui hal itu.

Tapi, tetap saja buku ini penting, bukan hanya karena didukung oleh data komplit. Lebih penting dari itu adalah kesaksian sejumlah prajurit yang ikut berperang, atau yang terpaksa ikut terlibat perang, yang sebagian dari mereka masih remaja, adalah sisi lain yang masih tergolong jarang diungkap. Bahkan dintara mereka, beberapa saat sebelum bergabung dalam pasukan, belum pernah sebelumnya memegang senjata, alih-alih didikan militer.

Perang memang bukan hanya tentang tembak-tembakan. Kebijakan politik dan aturan-aturan yang mendasarinya, serta terutama adalah perspektif pemerintah adalah hal penting yang lebih menentukan jalannya perang.

Cerita serdadu Belanda selama perang dekolonisasi ini juga dilengkapi dengan ‘perang’ kebijakan dan upaya diplomatik di Belanda, yang tentu saja diperankan oleh para ‘kolaborator’ (istilah yang digunakan Oostindie) Soekarno dan kawan-kawan. Ketika kerajaan Belanda memutuskan untuk mengerahkan 220.000 serdadunya untuk perang rekolonisasi yang tak berhasil dimenangkannya, mungkin tak berlebihan jika mereka menyebutnya sebagai sesuatu yang ‘salah’ bukan kalah. Tapi, pengertian ‘salah’ boleh jadi tak akan didengar, andai mereka berhasil memenangkan perang.

Memang, butuh waktu untuk memahami sebuah peristiwa menjadi lebih jernih dan objektif. Tapi, sebuah kesalahan, bahkan itu sudah bisa disadari sebelum memutuskan untuk melakukannya. Mereka bisa melihat kembali ke abad XVII, saat VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), awalnya hanya perusahaan merapat ke bandar pelabuhan nusantara untuk urusan dagang. Perusahaan yang bahkan kebijakan-kebijakannya lebih banyak melampaui kewenangan sebuah negara. Saat mereka memaksakan monopoli, saat itu pula mereka memulai perang. Di situlah kesalahan bermula.

Buku ini direkomendasikan kepada mereka yang percaya bahwa perang, dengan alasan apapun, tak ada yang suci. Setiap berondongan peluru, bom yang dijatuhkan, rudal yang dilesakkan, akan selalu menambah daftar kejahatan kemanusiaan. Khusus untuk mahasiswa jurusan sejarah, ini adalah bacaan wajib.

Tentang buku:

Judul: Serdadu Belanda di Indonesia

Penulis: Gert Oostindie

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016 – 400 halaman

 

Razia Buku Kiri dan Realisme Spekulatif: Perang (terhadap) Pemikiran

Lagi hangat perdebatan para filsuf. Tentang sudut pandang baru, atau paradigma baru, sebuah gerakan, atau aliran baru. Mereka menyebutnya realisme spekulatif. Secara langsung menginterupsi postmodernisme atau kawannya yang lain, pascastruktruralis, yang anti-realis. Gerakan emansipasi. Bahwa, alih-alih menemukan kebenaran universal, bahkan yang mana ‘yang benar’ dan yang mana ‘yang belum benar’ pun kini masih perlu dan harus segera dipertentangkan kembali.

Realisme spekulatif: ‘perang’ pemikiran
Sebuah kabar gembira tentu saja, bagi pecinta literasi. Bahwa filsafat pun tak pernah benar-benar berada di titik aman. Tak ada yang anti-kritik dalam dunia ilmu, juga filsafat.

Di Goldsmith University of London tahun 2006 silam, gerakan filsuf ini dimotori oleh Quentin Meillassoux bersama koleganya. Saya tahu ini dari buku Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif Quentin Meillassoux karya Hizkia Yosie Polimpung. Buku ini ternyata lahir dari disertasi. Sebuah upaya serius untuk tidak ingin melihat dunia filsuf adem-adem saja. Tapi, sebenarnya realisme spekulatif adalah protes keras terhadap dunia filsuf yang terlanjur berada di zona kebenaran yang nyaman.

Meillassoux, kata Polimpung, berhasil membuka jalan untuk menggugat Kant hingga Hegel yang dicapnya sebagai pengusung korelasionalisme. Adalah sebuah hasil pemikiran yang nyaris menyentuh level dogma dengan adagium ‘pemikiran’ dengan objek (yang ada) tak bisa dipisahkan. Dengan sendirinya, menempatkan manusia sebagai pusat, ontoantropologi. Manusialah yang menentukan objek.

Lalu, apakah realisme itu? Setidaknya, menurut Polimpung, ada tiga aspek utama yang mencirikannya. Pertama, independensi, keberadaan objek yang terpisah dari subjek (pemikiran). Kedua, ada hubungan korespondensi antara subjek dengan objek. Dan ketiga adalah univokal, bahwa pengetahuan tentang objek hanya ada satu, tidak boleh ada ambiguitas dan pluralitas dalam kebenaran. Yang terakhir juga menegaskan bahwa (saat ada) temuan teori baru dengan demikian menggugurkan teori lama, dan seterusnya.

Spekulatif, kata yang mengikuti realisme inilah yang sedang digagas, atau setidaknya sedang renyah-renyahnya dikonsumsi oleh para filsuf.

Dikatakan spekulatif karena ia mencoba mengakses atau memikirkan sesuatu yang tak terpikirkan, hingga ia menjadi absolut atau ia ada di wilayah eksternal terhadap pemikiran, kata Polimpung. Meski dengan proposisi itulah ia pun mengkritiknya, sebuah keganjilan untuk memikirkan sesuatu yang tidak mungkin terakses oleh pikiran. Karena, ketika sesuatu sudah menyentuh pikiran, maka ia tentu tak lagi spekulatif, ia ada di ranah metafisik.

Tapi, bagi Meillassoux melalui After Finitude meyakini bahwa ‘masih ada cara bagi pikiran untuk bisa mengakses yang di luar –atau tanpa- pikiran ini,’ tulis Polimpung.

Menggagas hal baru yang sebelumnya dinilai tabu. Itulah kabar gembiranya, sebuah perayaan bagi pemikiran. Masih dan akan selalu ada keterbatasan bagi pemikiran. Bukan hanya soal apa yang bisa dijangkaunya, melainkan pada soal batasan-batasan yang tak seharusnya ada yang bersifat absolut, bagi pemikiran.

Apakah ia berhasil? Jika merunut riwayat pertarungan pemikiran, ontoteologi pernah begitu digdaya, bahwa segala konsep harus merupakan manifestasi dari Sang Ada (Tuhan). Ontoteologi begitu perkasa—berkat bantuan gereja—merepresi pemikiran nirontoteologi. Tapi sebagai sebuah gagasan, ia tetaplah membutuhkan kesadaran (subjek), dan ia harus manusia (anthropos). Maka lahirlah konsep ontoantropologi.

***

Razia buku kiri: perang terhadap pemikiran

Seolah tak mau kalah dengan debat para filsuf, perang pemikiran juga terjadi di Indonesia. Tapi perang yang terjadi jauh dari bentuk akademis yang berpusar pada pemikiran. Perang dalam makna harfiahnya, mereka menyerang, merazia dan membakar buku.

Perang terhadap pemikiran sedang dipertontonkan para pembenci ‘kelompok kiri’ sedang unjuk gigi. Mereka merazia lapak buku jalanan, hingga ke toko-toko buku. Ini adalah bukti, dogma kebencian yang diterima begitu saja, bahwa ‘aliran kiri’ adalah penjahat yang harus dilenyapkan sampai ke akarnya, sampai ke gagasannya, sampai ke pemikirannya. Mereka mengampayekan bahwa ‘kiri’ digerakkan oleh paham yang tak percaya Tuhan, jika pun ada sesuatu yang ‘baik’ yang mereka lakukan, itu hanya kedok agar mereka terlihat baik.

Di Probolinggo, Sabtu 27 Juli kemarin, bahkan pelapak dari komunitas Vespa, sempat dibawa ke markas Polsek untuk dimintai keterangan soal buku-buku kiri yang mereka gelar. Dan kemudian bukunya ditahan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) Probolinggo.

MUI ikut bereaksi untuk merazia buku kiri. Sebuah perkumpulan ulama, yang dalam pengertian awam adalah kumpulan orang-orang berilmu. Tapi mereka ikut merazia buku, produk ilmu.

Hari ini (4/8/19) di Makassar tak kalah miris, toko buku Gramedia Transmal, didatangi oleh sejumlah orang dari Ormas Brigade Muslim Indonesia yang mengklaim punya misi melenyapkan hasil-hasil pemikiran yang berbahaya bagi negara. Mereka berasalan, merujuk Tap MPRS No.XXV 1966 anti Marx-Lenin. Konyolnya, dalam videonya, mereka mengecam dan menyerukan bahaya penyebaran paham komunisme-leninisme sambil meneriakkan kalimat tauhid ‘Allahu Akbar.’

***

Perang (terhadap) pemikiran

Apakah realisme spekulatif itu akan berhasil menghadirkan aliran baru? Biarlah itu tetap jadi pekerjaan filsuf. Sejauh ini, yang paling penting bagi dunia akademik adalah pentingnya menghidupkan terus perang gagasan, bahwa para pemikir tak boleh berada pada titik jumud.

Perang pemikiran adalah bukti ilmu tak akan pernah mati. Namun perang terhadap pemikiran mungkin adalah cara paling primitif bagi manusia yang tak memiliki akses yang cukup terhadap ilmu. Memerangi gagasan adalah wujud fasis yang bahkan akan membenarkan pembunuhan fisik dan pikiran.

Karenanya, jika dengan ontoantropologi, Palimpung menyerukan ‘filsuf sedunia bersatulah’, maka dengan maraknya kembali razia buku kiri, kita seharusnya serentak berseru: ‘wahai manusia, berpikirlah!

Sumber gambar: https://www.urbanomic.com/document/speculative-solution-meillassoux-hecker/

Sapi Malas Petani

Sebelum ada traktor, kehidupan petani tidak sepelik ini. Sapi-sapi selalu patuh dan taat diajak membajak sawah. Sebelum ada mesin perontok bulir padi, hidup petani adem ayem. Orang-orang datang membantu menuai padi, tanpa perlu kesepakatan mereka dapat berapa.

Tapi modernisme membuat perbedaan mencolok. Modernisme menjanjikan efisiensi dan efektivitas, tapi justru menghadirkan kehampaan.

Sapi malas

Sapi-sapi yang dahulu, hampir semua rumah di kampung ini terikat di kolong rumah belakang, kini tak lagi bisa ditemui. Sapi-sapi yang dahulu menjadi teman petani membajak sawah, kini pergi jauh ke areal peternakan. Yang tersisa hanya sapi-sapi malas, yang kerjanya hanya makan, minum dan pup. Sapi malas itu akan dijual seharga jutaan oleh pemiliknya. Tapi, sapi tetaplah sapi, ia tunduk pada keinginan tuannya. Yang membuat mereka malas adalah tuannya sendiri.

Tanpa sapi, petani mengandalkan mesin traktor yang canggih. Sekali dorong, traktor bisa menyelesaikan kerjaan sapi. Dengan traktor, tak perlu menunggu berhari-hari untuk melihat tanah di sawah itu berubah menjadi lumpur. Meski tidak semua petani bisa membelinya.

Pergeseran siklus

Saat musim tanam tiba, siklus hidup di kampung juga banyak mengalami pergeseran. Jika dahulu, ada ritual khusus, yang dihadiri warga kampung sebelum turun sawah, kini tradisi itu perlahan-lahan ditiadakan. Mereka sepakat menyebutnya dengan istilah kuno, ketinggalan zaman. Tak perlu ritual atau menunggu kesepakatan mengenai jadwal yang tepat. Buat mereka, lebih cepat lebih baik, apalagi siklus hujan kian tak menentu.

Dahulu, menanam padi tidak hanya dilakukan serempak. Menanam padi adalah pemandangan kehidupan kampung yang riuh, ramai dan dilakukan tidak sendiri-sendiri. Bahkan, yang tidak memiliki lahan sawah pun tidak pernah ketinggalan untuk turun ke sawah, melebur dalam kubangan lumpur.

Dahulu, ada gairah yang hidup saat musim tanam. Di pematang, para petani melepas lelah dengan mengepulkan asap tembakau sambil berkelakar. Mereka datang saling membantu dengan sukarela. Tak ada yang dibayar, kecuali penganan seadanya dan segelas kopi.

Tapi waktu seperti mengubah segalanya. Siklus tanam bersama itu telah hilang. Petani kini sibuk dengan sawahnya masing-masing. Bukan tidak peduli dengan yang lain, tapi para petani lebih fokus pada lahan garapannya untuk segera diselesaikan. Mereka mengejar target produksi yang telah dikalkulasi untuk membayar pupuk, pestisida, bibit, traktor, dan bersyukur kalau sisanya dapat dipakai hidup menunggu musim panen selanjutnya.

Musim panen juga mengalami perubahan. Tak ada lagi waktu senggang. Beberapa petak sawah yang biasanya butuh waktu seminggu untuk selesai dipanen, kini dengan bantuan mesin perontok padi, berpetak-petak padi bisa selesai sehari, langsung dikepak dalam karung.

Memang masih ada diantara mereka melibatkan orang lain, tapi polanya berbeda. Mereka ikut memanen karena menginginkan upah. Segalanya dihitung dengan uang. Dan hanya sedikit waktu yang tersisa untuk bersenda gurau, semua diburu target.

Perubahan siklus

Sapi malas dan perubahan siklus adalah revolusi petani yang telah mengubah kehidupan kampung. Seperti orang-orang kota, sibuk. Mereka menjadi efektif, dengan pola hidup yang efisien. Tak ada waktu senggang. Segera setelah panen, lahan sawah kembali diairi. Sawah kembali digarap oleh traktor, dan seterusnya.

Tapi sapi malas itu bukan murni kesalahan petani. Petani meninggalkan sapi, karena mereka dikejar oleh pemenuhan kebutuhan. Mereka butuh uang untuk membayar cicilan motor, membeli sayuran, membeli air galon, membayar tagihan listrik, televisi kabel, uang sekolah, pulsa dan kuota. Petani itu juga berharap bisa membangun rumah permanen yang terbuat dari batu dan semen.


sumber gambar: galeri-nasional.or.id