Semua tulisan dari Sulhan Yusuf

Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.

Tetra Sari Diri(?)

Tak sedikit kisanak dan nyisanak menohokkan tanya, kala saya mengada di persamuhan literasi, bagaimana proses kreatif menulis buku? Biasanya, saya ajukan respon, empat buku saya tidak pernah direncanakan mewujud buku. Pasalnya, sekotah buku lahir, karena akumulasi dari kumpulan tulisan. Berkat rajin menabung tulisan di celengan minda. Segenap minda, saya ikat lewat tulisan, lalu saya tabung dalam berbagai genre tulisan: fiksi (sastra) dan nonfiksi (opini).

Tulisan bergenre fiksi saya tuangkan berupa puisi dan epigram. Sedangkan opini saya ruangkan berbentuk esai. AirMataDarah (sehimpunan puisi), Tutur Jiwa dan Maksim Daeng Litere (keduanya epigram), sedangkan Pesona Sari Diri (sekumpulan esai). Uniknya, keempat buku tersebut, tiada pengantar dari saya selaku penulis. Cuman, pendakuan rasa terima kasih saja kepada semua pelibat lahirnya buku.

Kiwari, saya sering menyempatkan diri mengeja kembali keempatnya. Mencari benang putih pengikat minda secara keseluruhan. Subjektivitas saya merasai kesinambungan minda, kemudian terobjektivikasi dalam bentangan puisi, epigram, dan opini. Objektivikasi bisa nyata beragam, tapi subjektivikasi mampu tampak seragam: sari diri.

Berlapikan asumsi demikian, saya coba balik pembacaan. Saya mengeja seluruh prolog maupun epilog buku, didedahkan oleh sahabat maupun guru saya, guna menyerap subketivikasinya terhadap objektivikasi tuangan dan ruangan minda saya. Dan, subjektivikasi mereka lewat bentangan prolog-epilog, saya objektivikasi kembali. Reken-reken sejenis resensi terbatas atas prolog-epilog keempat buku. Jadi, bukan semacam resensi atas buku sendiri. Melainkan, sekadar mencari keterkaitan dari penulis prolog-epilog, kemungkinan adanya benang merah: sari diri.

AirMataDarah, terbit 2015, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.  Ada dua sosok pemberi pengantar. Alto Makmuralto, selaku penyunting sekaligus bertindak representasi penerbit. Dul Abdurrahman, selakon sastrawan dan kritikus sastra. Subjektivikasi keduanya, akan saya nukilkan secara bebas.

Dul Abdurrahman mengemukakan argumen, pada umumnya, jenis sajak terbagi atas sajak pastoral dan sajak prelude. Sajak pastoral lebih condong menggunakan gaya bahasa denotatif. Sajak pastoral melukiskan sesuatu apa adanya. Jenis sajak ini menghindari simbol-simbol atau metafora. Sajak pastoral lebih gampang dinikmati, dan juga gampang dipahami.

Sajak prelude tidak lagi melukiskan apa adanya, tapi sudah menggunakan simbol-simbol tertentu serta ragam gaya bahasa lainnya seperti personifikasi dan metafora. Jenis sajak ini menggunakan bahasa konotasi, sehingga untuk memahaminya butuh interpretasi. Sajak-sajak lirik-sufistik sebagai bentuknya.

Lalu bagaimana dengan puisi-puisi dalam AirMataDarah? Dul menegaskan, sebagaimana halnya dengan penyair-penyair kontemporer lainnya, Sulhan Yusuf terlihat memadukan keduanya. Ataukah boleh jadi, Sulhan Yusuf masih mencari model tanda tangan yang pas baginya, kelak akan menjadi ciri khasnya sendiri.

Dul mengibaratkan AirMataDarah seperti Rumah Kebahagiaan dan Keabadian. Di dalamnya terdapat perabot-perabot pengabdian, keikhlasan, keselarasan. Ada juga asesoris kebijaksanaan. Rumah Kebahagiaan yang ditawarkan, serupa Rumah Keabadian, ditumbuhi jejeran pohon-pohon rindang yang menciptakan kesejukan. Bukan dijejali oleh rombongan binatang yang penuh kegaduhan. Semakin tua sebuah pohon, maka akarnya semakin dalam mencengkram bumi. Bahkan, semakin kuatlah ia dalam kehidupan. Sebaliknya, hewan begitu bermusuhan dengan waktu. Semakin bertambahnya waktu, maka semakin tua dan lemahlah dia, dan juga semakin dekatlah kematian. Bagi hewan, waktu ibarat jarum-jarum kematian yang setiap saat bisa menusuk.

Alto pun ikut bertutur, pada puisi-puisi Sulhan akan kita jumpai kata-kata seperti: azali, pejalan, maqam, keabadian, ruhani, jiwa, dan semacamnya. Bukankah kata-kata semacam itu sangat identik dengan dunia para pesuluk? Ya, benar. Dan karena itu patut diduga jikalau Sulhan sesungguhnya adalah seorang pesuluk. Hanya saja ia berpura-pura menjadi pedagang buku, pecandu kopi pahit, penggila Koes Plus dan Arsenal, serta pegiat facebook yang unyu-unyu. Begitulah memang kiranya penganut suluk Malamatiyah.

Tutur Jiwa, terbit 2017, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.  Alwy Rachman, lebih akrab saya sapa Kak Alwy, seorang budayawan, mengistilahkan pengantarnya sebagai pracitra. Berlapis-lapis kisah terdedahkan, hingga saya bisa mendapatkan subjektivikasinya. Bila saya ekstrak durasi waktu menanti, sekira lebih setahun. Setiap saya sua, beliau selalu bilang sementara dibaca. Dan, saya tiada lelah menanti pracitra itu.

Sekali waktu, saya bertandang ke ruang kerjanya di Lephas Unhas. Tiba-tiba beliau menyampaikan bahwa sudah selesai. Jujur, saya seperti mau terbang, untung saja ada langit-langit ruangan menjadi perintang. Pendakuannya, ketika menuliskan pracitra, Kak Alwy hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Namun, merahiminya di pikiran butuh waktu lama.

Kak Alwy kemudian menabalkan kepada saya, ia menemukan istilah untuk jenis tulisan-tulisan dalam Tutur Jiwa, “Literasi Paragraf Tunggal”. Baginya, belum pernah menemukan jenis tulisan semacam itu. Jadi, beliau mendaku, ia menemukan istilah sedangkan saya membikin bentuknya. Kami tidak pernah mengumumkan sebagai genre baru dalam penulisan sastra. Cuman, menurut Kak Alwy: unik.

Ah, lebih elok bila saya ajukan saja penggalan pracitra Kak Alwy. Di rentang panjang peradaban, sejak dulu hingga kini, “kisah” selalu didudukkan di kedalaman wajahnya yang jamak: sebagai  mata air, sebagai nyala api inspirasi, sebagai refleksi, dan sebagai percakapan yang melingkar. Di percakapan yang melingkar itu pula, manusia menggerakkan kedirian dan eksistensinya. Di satu momen, manusia berada di ketinggian, dan di momen lain ia menemukan dirinya di kerendahan.

Di momen gerak ke ketinggian dan ke kerendahan inilah sekumpulan literasi “Tutur Jiwa”, ditulis oleh Sulhan Yusuf, sejatinya dicerap. Di kerendahan, Sulhan Yusuf membincang manusia melalui satir yang santun, bukan sarkasme yang kasar. Satir santun dialamatkan kepada politikus, kepada demokrasi, dan kepada kekuasaan. Di ketinggian, Sulhan Yusuf berkisah tentang cinta, tentang persahabatan, dan tentang kedirian, tentang hak, dan tentang jiwa.

“Tutur Jiwa” adalah literasi “paragraf tunggal”. Uniknya, Sulhan Yusuf di sini menjalankan perilaku tulis “paragraf tunggal” untuk menciptakan “rongga yang luas” untuk menyimpan kisah. Apa pun tajuknya, apa pun ruang hidupnya, siapa pun aktornya, kisah yang dibangun Sulhan Yusuf berujung pada “jiwa”. Lebih unik lagi, Sulhan membangun kisah lewat “genre percakapan”, suatu genre yang sejauh ini dipercaya oleh sastrawan untuk menggerakkan jiwa pembaca.

“Tutur Jiwa” berdiri di atas “keselamatan jiwa”, sebagai representasi dari takjub manusia atas pesona “jiwa”. Berisi diskripsi atas manusia yang bergerak di ketinggian dan kerendahan untuk paham perjalanan lelah manusia mencari “The Soul of soul” (Jiwa dari segala jiwa).

Pesona Sari Diri, terbit 2019, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Dua sosok pengapit, Bahrul Amsal menyodorkan prolog dan Muhajir MA mendedahkan epilog. Keduanya aktivis di Paradigma Institute, pengelola kelas menulis, sekaligus jejeran redaktur Kalaliterasi.com.  

Bahrul menorehkan ungkapan, Pesona Sari Diri, saya kira adalah pembuktian. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada penulis sendiri. Ini mungkin cenderung personal. Tapi, apa yang lepas dari personalitas? Tanpa personalitas yang kukuh –suatu titik subjektivitas— semuanya bakal mudah menguap. Saya kira beragam tulisan di buku ini adalah energi luar biasa, dilambari dari kekuatan diri yang dahsyat.

Itulah sebabnya, esai-esai dari buku ini tiada arti tanpa kemendasaran “diri”. “Diri” di sini tentu tidak semata-mata entitas biologi belaka. Bukan pula sekadar hubungan fisiologis yang menghasilkan gerak mekanik laiknya mesin. Namun, jauh dari tilikan materialistik, “diri” adalah suatu asal tempat berpijak “kesadaran”. Titik alamat yang menimbulkan keinsafan insani (cukup diri).

Maka, ketika keinsafan ini menjadi aktual, beragam fenomena tidak lagi menjadi data-data indrawi yang berhamburan di selaksa ruang waktu, melainkan berubah, bertransformasi, bergerak, berpindah, dan berkembang dalam kemendasaran diri penulis. Melihat, mengamati, merefleksi, dan menuangkannya ke dalam tulisan adalah buah dari semua itu.

Muhajir, memungkasi Pesona Sari Diri dengan epilog. Saya nukilkan saja sari patinya. Sebagai orang modern, kita terlalu sibuk menapaki keseharian. Jadwal-jadwal padat mengintai hidup kita. Pekerjaan remeh-temeh memenuhi rutinitas kita. Namun, justru karena itu kita gagal menyelami kedalaman. Setidaknya, ada dua bentuk kedalaman yang gagal disentuh manusia karena diterungku oleh keseharian: pertama, momen pengalaman eksistensial yang bersifat pra-preflektif. Kedua, momen permenungan yang bersifat reflektif.

Jika yang pertama menjauhkan manusia dari Ada-nya, maka yang kedua menjauhkan manusia dari pesan-pesan moral, hikmah, falsafah. Itu karena kesibukan praktis membuat kita jauh dari kontemplasi. Sehingga akal budi kita tidak jernih memandang jutaan hikmah pada hal-hal yang tampak.

Sulhan memang adalah aktivis literasi yang tulen. Pemahaman terhadap arti penting literasi, karena literasi membahagiakan jiwa. Satu pesan yang sangat dalam, lahir justru dari penjara keseharian. Sejatinya, Sulhan menghadapi keseharian yang dangkal dan remeh-temeh bukan sebagai rutinitas biasa saja. Namun, sebagai jalan menyelami kedalaman, menyingkap pesan-pesan kehidupan. Keseriusan Sulhan memahami keseharian, barangkali bisa diartikan sebagai sebuah ajakan untuk sesekali berkelana di alam permenungan.

Kehadiran Pesona Sari Diri akhirnya jadi penegasan, betapa keringnya pengetahuan kita, saat menyadari ada banyak hal yang tidak kita ketahui, justru tertuang dalam kumpulan esai ini. Barangkali, kita terlalu sibuk berputar-putar di permukaan, hingga tak kunjung sampai di kedalaman.

Maksim Daeng Litere, terbit 2021, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Muhammad Nur Jabir, Direktur Rumi Institute Jakarta, membentangkan prolog, memahkotai dengan sederet penjelas penuh makna.

Tarian pena dari Muhammad Nur, penuh pesona. Saya ajak saja untuk mengikuti penggalan-penggalan tuturnya. Ada saat kata-kata mekar di dalam hati sanubari seseorang. Kata-kata itu tak hanya menemukan kehidupan, tetapi juga menemukan maknanya yang paling batin, seolah berada di taman surgawi, memetik buah makna keindahannya yang paling indah. Saat kata tak lagi menemukan makna, kata itu sudah menemukan ajalnya. Walau tak mati, tetapi tak bertuan dan tak bersinggasana. Kata-kata itu hanya keluar dan masuk tanpa arah di setiap lidah seseorang.

Makna ibarat jiwa bagi kata-kata dan kata-kata seperti tubuh. Jiwa yang indah akan melahirkan kata-kata indah. Semakin indah dan lembut jiwa seseorang, semakin indah kata-kata yang akan keluar dari lisannya dan akan semakin dalam maknanya. Harmoni keindahan antara jiwa, kata, dan makna semakin menjelma. Menembus setiap hati para pendengarnya.

Segala keharmonian itu berasal dari keluasan jiwa. Dan keluasan jiwa berakar dari sebuah pengalaman atas sesuatu, entah pengalaman tentang kehidupan atau pengalaman tentang pencarian makna. Tetapi tentu tak semua pengalaman itu berhasil menemukan kata dan seuntai kalimat. Kekayaan pengetahuan seseorang juga memberi pengaruh penting dalam merangkai suatu pengalaman menjadi kata-kata.

Pada akhirnya, Maksim Daeng Litere mengajak kita semua untuk berdialektika dengan kata dan makna. Dialektika ini tentu terjadi di dalam jiwa yang tenang, agar mampu menghidupkan jiwa-jiwa yang lain. Dunia sekarang ini butuh pemaknaan yang menghidupkan, bukan sekadar kata yang tak punya jiwa dan hampa. Walau terlihat indah tetapi tak memberikan apa pun kecuali kehampaan.

Daeng Litere adalah pejuang makna. Sudah menyerahkan seluruh makna hidupnya dalam membangun literasi. Para pejuang makna adalah para pejuang peradaban. Tak akan ada imbalan yang setimpal dengan apa pun bagi para pejuang peradaban. Dan satu-satunya yang dibutuhkan dalam membaca Maksim Daeng Litere adalah permenungan.

Sekotah penulis prolog dan epilog, telah membabarkan subjektivikasinya terhadap objektivikasi di empat buku saya. Simpai simpulan gegabah dari saya, ada benang merah dari para pembabar tentang keberagaman ungkapan, meski tiba pada maksud: soul (jiwa) atau kedirian. Pun, saya temalikan dengan benang putih: sari diri.

Kuntum Mawar Jingga di Tanah Tua

Seorang penghadir bertanya, “Mengapa bunga mawar yang ada di sampul buku berwarna jingga?” Tanya penasaran itu terlontar, tatkala satu hajatan literasi, “Bedah Buku Kuntum Mawar” dihelat di salah satu kafe, De Taman, Bantaeng. Sebagai pembedah, tercantum Sulhan Yusuf, selaku pendiri Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dan pemantiknya, tiada lain penulisnya sendiri, Sri Rahmi, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Berlangsung sejak pukul 20.30-23.00 WITA, pada Kamis, 6 Oktober 2022.

Sri Rahmi selaku penganggit Kuntum Mawar, mendedahkan mindanya, mulai dari perkara proses kreatif kepenulisannya, sampai pada tradisi literasi dirinya. Proses kreatif berpadu tradisi literasi pada dirinya, telah melahirkan anak-anak ruhani, enam judul buku, sejumlah dengan anak biologisnya, enam lelaki.

Inspirasi Bunda, Perempuan yang Keluar dari Mihrab, Mawar Merah di Tapak Tauhid, Tuhan di Bilik Suara, Tahun Corona, dan Kuntum Mawar, adalah sederet buku anggitannya. Lima buku pertama, belum pernah disawalakan di Bantaeng, sebagai kampung halamannya. Buku keenamnya, menemukan takdirnya untuk dipercakapkan di depan puluhan orang, berbagai latar belakang sebagai penghadir.

Didapuk sebagai pembedah, saya langsung menyambar beberapa pantikan dari Sri Rahmi, lebih populis disapa Bunda Rahmi. Saya pun memulai dengan menyodorkan kerangka percakapan dalam dua lema pembatas, konteks dan konten Kuntum Mawar.

Konteks kelahirannya, lalu dipercakapkan cukup unik. Tergolong peristiwa garib. Khususnya dalam sudut pandang geliat literasi yang lagi moncer di Bantaeng. Betapa tidak, Bunda Rahmi seorang politisi, tapi menulis buku. Jumlahnya pun bukan kaleng-kaleng, enam judul. Dan, pengakuannya akan lahir lagi anak-anak ruhani berikut pada setiap tahunnya. Meskipun kelihatannya, anak-anak biologisnya sudah purna.

Peristiwa langka. Demikian penabalan saya. Sebab, galibnya ada banyak buku yang lahir terkait dengan seorang politisi, tapi bukan dia yang tulis, melainkan ghostwriter. Politisi penulis beda dengan penulis politisi. Bunda Rahmi, seorang politisi penulis. Faktanya? Ia duduk di kursi legislatif Kota Makassar dua periode dan legislatif Provinsi Sulawesi Selatan dua periode. Dan, ada enam buku ia lahirkan selama periode perpolitikannya.

Arkian, saya mengulik konten Kuntum Mawar. Isi buku, terdiri dari tujuh bagian. Keping-Keping Inspirasi Bunda, Suatu Hari di Rumah Bunda, Sahabat Sepanjang Perjalanan Bunda, Episode di Jalan Dakwah Bunda, Rumah Berdaya Bunda, Hidup Sehat Ala Bunda, dan Bunda dalam Sastra, itulah bagian sekotah bagian terpatri dalam  pagina demi pagina, setebal 208 lembar.

Saya mengeja dengan khusyuk dalam durasi sangat pendek. Setengah hari, nyaris tanpa jeda. Melintas-lintas dari tema ke tema maupun dari penggalan esai dan sederet puisi. Saya memanjat mindanya, tiba pada simpai pucuk simpulan: sangat personal bukunya.

Memang terkesan sangat personal, tapi beberan makna-makna dipaparkan bisa bersifat lintas personal. Inilah pesonanya. Mengapa? Sebab bisa saja, peristiwa yang disuai Bunda Rahmi, sama dengan yang dijumpai orang lain, tapi selaksa makna dia lahirkan lewat paparan narasi ringan nan padan.

Makin tenggelam dalam pusaran Kuntum Mawar, saya mengeja lalu membatin. Bunda Rahmi, sungguh mempersoalkan objek bersifat fenomenal, dengan sentuhan subjek berlapik nomenal. Menggugat diri pemburu citra lalu mengajak  menjadi diri apa adanya. Dari diri bentukan fenomena ke sari diri nomena. Persona yang bertualang kembali ke persona yang azali.

Sejurus dengan persona paripurna, diri telah menaklukkan cakrawala, bukan cakrawala menenggelamkan diri, meminjam ungkapan filosof-penyair Anak Benua India-Pakistan, Sir Muhammad Iqbal.

Sungguh, saya kagum bin takjub, dengan pendar-pendar narasi Kuntum Mawar. Betul-betul mawar yang tampakan lahiriahnya memukau karena citra indahnya, sekaligus batiniahnya harum mewangi menerungku rasa. Seolah William Shakespeare  menyata, “Apalah arti sebuah nama? Andaikan kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”

Andaikan Kuntum Mawar disodorkan apa adanya, tanpa dicantumkan Bunda Rahmi sebagai penulis berlatar politisi, maka saya tidak percaya, buku ini ditulis oleh seorang politisi. Jujur, hingga esai ini saya torehkan, isi kepala plontos saya masih penuh keheranan. Jika keheranan saya ini berlanjut, bisa-bisa rambut saya tumbuh kembali.

Beruntung para penghadir di acara bedah buku, sebab ke-politisi-an Bunda Rahmi tak terlalu dipercakapkan. Lebih berwajah serupa pegiat literasi dengan kesejatian literer. Hadir dengan isi kepala, bukan isi kantong.

Bagi saya, ini serupa harapan baru, menjadi politisi, tidak mesti dengan modal berkantong tebal. Namun, menawarkan sekantong minda, tak kalah menariknya, walaupun tidak populis. Seorang politisi menyata dengan pikirannya, masih penting dan perlu.

Lalu, bagaimana dengan pertanyaan seorang penghadir tentang mawar jingga? Bunda Rahmi bertutur, dulunya ia bersosiaslisasi dengan mawar merah. Kiwari, melata di jagat dengan mawar jingga. Sebentuk perubahan. Karena perubahan merupakan keniscayaan. Merah ke jingga, sesederhana itu?

Saya mau bantu jawab, termaktub dalam Kuntum Mawar, pagina 120, pada tulisan, “Perubahan, sebuah Keharusan”.  Bunda Rahmi menulis, “Kenapa oranye? Oranye merupakan kombinasi antara warna merah dan kuning. Warna oranye memberi kesan hangat dan bersemangat serta merupakan simbol dari petualangan, optimisme, percaya diri, dan kemampuan dalam bersosialisasi.”

Ditegaskanya, “Warna oranye adalah peleburan dari warna merah dan kuning, sama-sama memberi efek yang kuat dan hangat … Nah, konon oranye ini disukai milenial. Karena Indonesia mengalami bonus demografi di tahun 2020-2035, puncaknya di 2030.”

Keren bingits bukan? Saya ingatkan, oranye itu kata lain dari jingga. Anehnya, saya lebih jatuh hati pada kata jingga. Amat elok bila saya tandaskan, kuntum mawar jingga di tanah tua. Mengapa? Bunda Rahmi mengada di Butta Toa, tanah tua Bantaeng bermodalkan sekuntum mawar jingga, penanda kekuatan dan kehangatan.

Kemah Literasi di Wisata Pendidikan

Sedianya, putri ketiga saya mengantar ke perwakilan bus di bilangan utara Kota Makassar. Namun, tak jadi jua. Perkaranya, sejak ia pulang dari acara mendiksar adik-adiknya di Mapala Marabunta, Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM), kurang sehat. Sudah hampir sepekan ia batuk, flu,dan hangat-hangat tahi ayam badannya. Dugaan saya, cuasa di lokasi diksar, Malino, kurang bersahabat. Atau sebaliknya, ia agak gagap membaca iklim.

Jurus jitu pun keluar. Minta tolong pada pasangan saya agar memesankan ojol. Menghampiri pukul 09.00, saya meninggalkan mukim menuju perwakilan PO. Bintang Prima di Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 12, Kapasa, Tamalanrea, Makassar. Tepatnya, di depan Raider TNI AD.

Waima busnya berangkat pukul 9.30, saya lebih cepat ke perwakilan. Maklum, cuasa Kota Makassar tak menentu. Terik dan mendung makin sering bertikai. Tak mengenal waktu. Akibatnya, awan menangis. Hujan turun tiba-tiba. Sering orang menyebutnya sebagai bagian dari perubahan cuaca atau anomali iklim.

Setengah jam lebih, Pak Ojol memangsa waktu. Mungkin bisa lebih cepat, tapi rutinitas kemacetan kota, tak bisa dihindari. Sebagai bagian dari cara menghibur diri, kami bercakap-cakap, meski suara kendaraan kadang menenggelamkan suara kami. Apatah lagi, berkali-kali ada motor dan mobil, suara mesinnya meraung tak karuan.

Pak Ojol sudah menekuni profesinya sekira lima tahun. Sebelumnya, ia juga pengojek nonojol. Kami bercakap tentang keluarganya, asal muasal kampung halamannya, dan daerah-daerah mana saja ia pernah kunjungi. Mungkin ia terpancing bercerita, sebab ia tahu saya akan keluar kota.

Begitu tiba di perwakilan, saya turun dari sadel motor, sembari berucap terima kasih. Saya tidak langsung meninggalkannya, tapi membiarkan ia berlalu terlebih dahulu. Arkian, saya langsung ke loket tiket, memastikan kepastian jadwal pemberangkatan.

Lalu, mau ke mana sebenarnya? Saya akan ke Belopa, Kabupaten Luwu. Persisnya di areal Wisata Pendidikan, Desa Bone Lemo, guna menghadiri acara kemah literasi dan beberapa agenda bertajuk literasi lainnya. Lalu, lanjut bersafari literasi di Kota Palopo, Sulawesi Selatan.

Sungguh, saat ini lumayan sulit mencari bus berangkat pagi ke Kabupaten Luwu. Beberapa PO (Perusahaan Otobus) saya kontak, tak menyediakan armada pagi. Umumnya tersedia malam hari. Sangat berbeda dengan berpuluh tahun lalu. Semisal tahun 90-an hingga beberapa tahun lalu, hampir semua PO menyediakan armada berangkat pagi, siang dan malam.

Kiwari, hanya PO Bintang Prima yang ada. Itu pun hanya satu bus. Kalau mobil nonbus banyak, tapi bukan tipe saya. Naik bus lebih santai dan leluasa menyerap energi perjalanan. Sebab, setiap orang punya cara mempersonalisasi rentang waktu, sekaligus mensubjektvikasi deretan objek perjalanan.

Bagi saya, perjalanan ke daerah mana saja, bagai membaca kitab suci. Bentangan ayat-ayat Tuhan jelas terpatri dalam dinamika sosial dan indahnya sajian alam. Inilah alasan utama saya, mengapa selalu memilih perjalanan siang. Sebab, jikalau perjalanan malam, semestinya ditempuh dalam senyap, tapi kebisingan senantiasa menari-nari sepanjang perjalanan.

Mendekati pukul 20.00, saya sudah tiba di Belopa, ibu kota Kabupaten Luwu. Seorang kawan, Asran Salam, pendiri Rumah Baca Akkitanawa (RBA), menjemput di tempat janjian. Tepat di depan Pertamina Belopa. Saya langsung dibawa ke warung makan, guna bersantap malam. Saya membatin, tanda-tanda kehidupan amat jelas. Waima saya tahu persis, kawan pegiat literasi ini, bukanlah sosok yang tergolong berdompet gemuk.

Di warung makan, saya mengontak dua kawan lama yang mukim di Belopa. Ikbal Daud dan Zaenal Abidin. Ada kerinduan pada dua sosok ini. Pasalnya, ketika dua orang ini kuliah di Makassar, termasuk aktivis mahasiswa, yang salah satu tempat singgahnya di mukim saya. Berlaksa detik kami tunaikan dalam percakapan. Nostalgia menggelandang ala aktvis mahasiswa, terkadang membikin kami tertawa lepas, saat mengenang beberapa kekonyolan saat melatai dunia kemahasiswaan.

Usai makan dan silaturahmi, mendekati pukul 22.00, bersama Asran dan seorang kawan fasilitator, Aziz Aripuddin, menerobos malam, berkendara motor menuju Desa Bone Lemo. Lebih dari 40 menit jarak tempuh, sejauh hampir 20 km. Kami tiba di rumah kepala desa, Baso Gandangsura, lebih akrab disapa Ubas.

Terjadi percakapan intim dengan Ubas. Meski jarang sua secara fisik, kedekatan minda nyaris tak berubah. Masih bening pikirannya. Kebiasaan menyeruput kopi dan mengisap rokok tiada surut. Kala ia menawarkan kopi, saya langsung menyela, agar kopinya nirmanis. Saya leluasa memohon kopi pahit, sebab manisnya kehidupan telah menerungku saya. Kopi memang pahit, tapi manisnya kehidupan telah mencampahnya.

Guna menandai perjumpaan, di sela percakapan dan seruput kopi, saya menyampaikan salam dan titipan dari dua orang kepala desa di Bantaeng. Keduanya menitipkan buku yang telah diterbitkan, anggitan masyarakat desanya. Sirajuddin Umar, Kepala Desa Labbo, bersalam lewat judul, Literasi dari Desa Labbo. Sedangkan Amiluddin Aziz, berkirim urita melalui buku, Menulis Desa Membangun Indonesia. Pun, tak ketinggalan, saya menghadiahkan dua buku saya, Pesona Sari Diri dan Maksim Daeng Litere.

Ubas adalah salah seorang sahabat karib saya yang menunaikan amanah selaku kepala desa. Ia juga pernah jadi anggota DPRD Kabupaten Luwu. Modalnya selaku aktivis mahasiawa semasa masih kuliah di Makassar dan pengalamannya menjadi aktivis pemberdayaan masyarakat, sudah lebih dari cukup untuk mengimajinasikan cita desanya. Hebatnya lagi, saya tidak putus kontak hingga kini, sehingga saya makin punya jejaring berbagi pengalaman dengan beberapa kawan muda, yang juga menjadi kepala desa di beberapa kabupaten.

Mendekati pergantian hari, saya, Asran dan Aziz, saya pamit ke Ubas, saya melanjutkan perjalanan ke lokasi perkemahan literasi, namanya Wisata Pendidikan Bonelemo. Jarak rumah Ubas dan lokasi perkemahan, dapat ditempuh sekira 10 menit. Ketika tiba di lokasi, bertepatan dengan selesainya beberapa mata acara pembukaan dan orientasi acara.

Tajuk acara kemah literasi yang diadakan oleh Rumah Baca Akkitanawa ini, sebentuk open recruitmen relawan literasi. Nama kegiatannta cukup keren, Sekolah Relawan Literasi (Relasi) Tema kegiatan menegaskan, “Mencari Relawan untuk Gerakan Literasi”. Berlangsung selama tiga hari, Jumat-Ahad, 24-26 Juni 2022.

Saya diajak bergabung sebagai salah seorang pengisi acara. Saya didapuk untuk mengantarkan satu topik percakapan seputar, seperti apa relawan literasi. Pada sesi ini, tak lupa saya tabalkan tutur penguat buat bergiat, dari buku anggitan saya, Tutur Jiwa.

Saya menajamkan tutur, “Jangan bicara perjuangan manakala belum ada suka di dalamnya. Usah bilang pengorbanan jikalau tak tampak rela di atasnya.Sukarela adalah buah dari perjuangan-pengorbanan.Moga kesukarelaan tidaklah mati di negerimu, sebab itu sama artinya semesta sudah bubar.”

Selebihnya, saya lebih banyak melarutkan diri dalam buaian keindahan lokasi kemah. Memandangi hamparan sawah, menyerap aura sejuknya udara, menyelami suara aliran sungai. Juga, bercakap-cakap dengan beberapa kawan fasilitator dan panitia.

Di malam kedua, Ubas, sang kepala desa, menyambangi kami di lokasi perkemahan. Kembali saya dan beliau bercakap secara intim. Saking khusyuknya percakapan kami berdua, hingga menembus pukul 03.00 dini hari.

Ubas membabarkan begitu banyak minda terhadap desanya. Saya pun ikut menguatkan imajinasinya dengan cara berbagi pengalaman selama saya mendampingi beberapa kepala desa di Bantaeng. Khususnya terkait dengan imajinasi desa literasi dan literasi desa.

Keesokan harinya, Ahad, tidak ada lagi acara formal. Kegiatannya hanya makan-makan ikan bakar dan mandi-mandi di sungai, hingga tengah hari. Jelang Asar, acara dinyatakan selesai. Namun, sebelum ditutup, Asran meminta kepada saya untuk memberikan semacam refleksi untuk para calon relawan dan segenap penghadir acara.

Saya pun menabalkan beberapa simpaian simpulan. Hendaknya, komunitas literasi, Rumah Baca Akkitanawa, tetap memelihara keunikan setiap personilnya. Sebaiknya tumbuh bersama dengan keunikan masing-masing. Persis seperti hutan yang ada di lokasi perkemahan. Setiap pohon tumbuh dengan sari dirinya, sehingga lebatnya hutan menjadi indah karena keragaman pohonnya.

Tak elok satu komunitas, pengurusnya bertindak bak menggunduli hutan, lalu dijadikan kebun, yang hanya menanam tanaman tertentu, menyeragamkan tanaman. Kebun memang menghasilkan cuan dan tuan, tapi tidak menjanjikan keharmonisan semesta.

Saya mengunci penabalan dengan mengajak penghadir, agar menengok ke sekeliling, tampak persawahan dan sungai. Ada area yang masih berbentuk hutan dan ada yang sudah digunduli buat dijadikan kebun.

Arkian, saya mengajukan pertanyaan mana yang lebih elok bukit yang lebat pepohonannya dan yang sudah gundul? Saya tidak minta jawaban. Cuman memberikan isyarat agar memandang kepala saya yang gundul. Senyum, tawa, dan kekeh penghadir menghidu pucuk hajatan.

Usai acara penutupan, kami meninggalkan lokasi perkemahan, Wisata Pendidikan Bonelemo. Jelang sore kami tiba di markas besar Rumah Baca Akkitanawa, Pattedong, Belopa, Kabupaten Luwu. Malamnya, kami habiskan bincang-bincang lepas, sembari merefleksikan acara perkemahan, sekaligus mengimajinasikan beberapa agenda ke depan.

Tidak sampai larut. Kami memilih istirahat. Apatah lagi, esoknya, saya akan melanjutkan perjalanan ke Kota Palopo, serupa safari literasi, sebab beberapa agenda literasi telah menanti. Ah, tiga hari tiga malam di Luwu, tunai sudah.

Han Mira Kun

Sejumlah penghadir terkesan dengan tayangan twibbon ucapan selamat atas peluncuran buku, Empati untuk Kebaikan Baru, di Aula KPU Bantaeng, 25 Desember 2021. Ketika salah satu gambar menunjukkan seeokor kucing ikut memberikan ucapan selamat, tidak sedikit penghadir heran bin takjub. Lebih dari seorang ikut tersenyum lalu terkekeh. Lainnya, menabalkan ungkapan,  “Wow.. ommale, kungai nakke jeka. Oh mama, saya suka ini.”

Berlaksa detik usai hajatan, tidak sedikit yang mencari tahu dan bertanya, kenapa ada kucing? Siapa punya kucing itu? Sebagai penanggung jawab helatan, saya lalu mengajak yang bersangkutan agar mendekat. Lalu, saya memberikan penjelasan singkat, kucing tersebut merupakan kucing piaraan saya sekeluarga di mukim, Kota Makassar. Kucing itu mewakili, tepatnya salah seorang putri saya mewakilkan dirinya pada kucing itu.

Bagi kami di rumah, sudah sejak lama selalu ada binatang piaraan. Pernah ada kelinci, pun hamster. Bahkan ada putri saya, pernah membawa seekor anak anjing, titipan temannya buat dipiara. Namun, tidak berlanjut. Pasalnya, binatang ini kurang bisa diakrabi. Mungkin dikarenakan tradisi memelihara anjing tidak tumbuh sejak dini dalam keluarga besar kami. Alasannya sederhana, terkait dengan pemahaman keagamaan yang rumit jika tinggal bersama anjing.

Kucing peliharaan kami ini, agak unik. Mulai dari proses adopsi hingga tumbuh kembangnya. Sebelumnya, anak-anak di mukim suka pelihara kelinci, tapi usianya kadang tidak panjang. Padahal, pemeliharaannya sudah maksimal. Pernah seekor kelinci piaraan harus dibawa ke dokter hewan karena sakit. Ketidaksusesan memelihara kelinci, akhirnya beralih ke kucing. Jenisnya pun hanya kucing kampung.

Tatkala memelihara hewan piaraan, khususnya kucing, awalnya kami memperlakukan biasa saja. Berlangsung secara alamiah. Maklum, mukim kami di pinggiran bagian selatan Kota Makassar. Ada banyak kucing liar atau kucing kampung sering bertamu. Pastinya mencari makan. Ada interaksi, saling mengakrabi. Selanjutnya, ada yang mulai tinggal, meskipun masih sebatas di luar mukim.

Keakraban dengan kucing makin hari makin meningkat. Waima, ada anggota keluarga yang masih jaga jarak. Maklum, ia penderita asma akut, gangguan pernapasan. Secara teoritis harus menghindari kucing, sebab bisa menjadi pemicu kambuhnya asma. Sudah puluhan kucing kampung menjadi bagian dari keluarga kami. Pada setiapnya, ada nama dan hikayat masing-masing.

Nah, mungkin perlu saya kemukakan manfaat punya hewan peliharaan. Apa pun jenisnya. Dari berbagai sumber yang sempat saya telusuri, tersimpai pada beberapa pengetahuan, dapat meningkatkan kekebalan tubuh, meredakan stress, dan mendukung tumbuh kembang anak. Selain itu, dapat menemani lansia, memantik pemeliharanya untuk senantiasa aktif bergerak, dan meningkatkan kemampuan berinteraksi.

Bila hewan piaraan itu berbentuk kucing, seperti kucing kampung di mukim kami, maka ada ada beberapa kemewahannya. Mudah diperoleh, itu sudah pasti. Ia makan apa saja, perawatannya mudah, dan tahan penyakit. Lincah dan aktif, serta pemburu hama terutama tikus.

Manfaat memelihara hewan piaraan, khususnya kucing kampung, telah menubuh pada kucing kami yang paling mutakhir ini. Ia bukan kucing pertama kami, tapi hasil pilihan dari sekian banyak kucing di sekitar mukim. Awalnya, ia berindukkan seekor kucing yang dipungut oleh salah seorang dari kami. Sang induk sudah berkali-kali beranak-pinak. Saking seringnya, sehingga sudah melebihi populasi yang kami inginkan. Sudah cenderung mengganggu, kadang mereka menghadirkan suasana kurang nyaman. Terutama kencing dan berak di sembarang tempat.

Tindakan pun diambil. Ada musyawarah bersama anggota keluarga. Kata mufakat lahir, mengungsikan semuanya, kecuali menyisakan satu. Sang induk yang beranak empat, diungsikan bersama tiga anaknya. Dengan pelabur yang cukup, kami ungsikan di tempat strategis, memungkin mereka tetap survive. Toh, kucing kampung bin liar, punya sederet kemampuan untuk tetap hidup. Dan, tidak menutup kemungkinan dapat rumah baru.

Tinggallah seekor anak kucing. Masih belia sekali. Kucing ini dirawat sedemikian intens, hingga makin hari makin menunjukkan sari dirinya selaku kucing kampung. Putra bungsu saya memberi nama: Mira. Saya lalu mengatakan kurang tepat, sebab ia berjenis kelamin jantan. Putra saya tetap yakin seekor betina. Mungkin karena saya melihat bakal biji pelir di bawah lubang duburnya, tapi putra saya justru melihat bakal puting di perutnya.

Si Mira pun bertumbuh. Semakin kentara biji pelirnya dan semakin tidak menunjukkan tanda-tanda punya puting. Percakapan pun berlangsung buat memperkarakan nama yang kurang elok. Kucing jantan tapi dipanggil betina, aneh bukan? Persepakatan bulat, nama Mira tetap dipertahankan. Cuma perlu ditambahkan. Usulan dari putri ketiga saya, agar ditambahkan Kun. Jadilah Mira Kun. Lama kelamaan, putri kedua saya menambahkan lagi satu kata di depannya, mewujudlah Han Mira Kun. Saya menduga, putri saya itu jatuh hati pada Guru Han, sosok penutur dalam buku saya, Tutur Jiwa.

Kiwari, Han Mira Kun benar-benar telah menjadi anggota keluarga. Bahkan, ia telah masuk jadi anggota grup WA kami, yang berisikan enam orang. Nama grup pun dialamatkan padanya, “Hanmirakun Daily”. Ia senantiasa nongol di grup. Pasangan saya paling rajin mengunggah tingkah lakunya. Padahal ia paling rentan berdekatan dengan kucing. Sejak pasangan saya ikut program olah napas, buteyko, sepertinya berdekatan dengan kucing sudah bukan masalah. Malah si Mira telah jadi kawan setianya.

Setiap ada unggahan tentang si Mira, pastilah anggota grup bersahut-sahutan komentarnya. Terkadang ada yang minta divideokan, sebab mukimnya jauh di kota lain. Saya sendiri, kala sedang di rumah, sering main bersama. Ia kadang menemani saya tatkala menulis atau baca buku. Paling suka jika saya baring santai sambil dengar musik lewat ponsel, ia juga ikut menikmati musik. Han Mira Kun memang hanya kucing kampung, tapi tidak kampungan.   

Lalu, bijimane si Mira bisa ikut menampang di twibbon ucapan selamat kala peluncuran buku? Saya kutipkan saja unggahan seorang gadis bermukim di Bali, putri kedua saya, Nabila Az-Zahra, lewat akun medsosnya, “Karena jarang berfoto, maka fotonya diwakilkan oleh kucing yang kuanggap adik sendiri. Kesayangan kami di rumah, Han Mira Kun.”

Empat Belas Ribu Empat Ratus Detik Lebih

Tas selempang berisi laptop dan sebuah buku ketinggalan di mobil angkutan umum. Untungnya, sopir mobil tersebut saya kenal. Maklum saja, saya sudah berlangganan cukup lama. Lebih dari lima tahun. Ini hanya salah satu mobil langganan. Paling tidak, ada sembilan sopir yang siap saya kontak, tatkala akan melakukan perjalanan dari Makassar ke Bantaeng atau sebaliknya. Bergantung  waktu yang saya akan pilih.

Kali ini, saya berangkat siang dari Bantaeng ke Makassar.  Sopir menjemput saya sekitar pukul 15.14 Wita. Saya kebagian tempat duduk paling belakang. Satu resiko dari telat kontak sopir, sehingga penumpang lain sudah menempati kursi depan dan tengah. Mobil tidak segera berangkat. Ada beberapa penumpang lainnya dijemput.

Posisi tempat duduk paling belakang, pojok kanan pula, ada plus minusnya. Saya pun selalu berusaha menikmatinya. Kondisi semacam ini hanya pengulangan dari ratusan perjalanan saya pergi-pulang, Makassar-Bantaeng. Naiklah penumpang pertama, tapi menunggu agak lama. Entah apa ritus pemberangkatan dari seorang gadis anak kuliahan. Mobil baru saja berangkat, eh ada yang ketinggalan. Mobil balik lagi ke rumahnya. Segera saja ada aura kurang nyaman saya rasakan. Semacam kesal, tapi teratasi dengan adem.

Penumpang berikutnya, pasutri dengan seorang putranya, masih kecil dan berpotensi rewel di perjalanan. Sebelum naik di mobil, kami harus menunggu lebih lama dari penumpang sebelumnya. Pasalnya, ketika sopir mengontak calon penumpang, si istri memberi tahu, suaminya pergi salat Asar  berjemaah di masjid. Saya sudah mempersiapkan diri dalam larutan penantian ini, sebab toa masjid baru saja mulai melantangkan azan.

Setelah pasutri itu berjalan ke mobil, dari mulut lorong, mata saya tertuju pada lelaki paru baya. Suami dari ibu muda dan ayah dari anak kecil itu. Penampilannya menunjukkan, ia seorang pemburu pahala salat berjemaah. Pastilah beda dengan saya dan sopir, dua lelaki tak terlalu perhatian pada janji pahala berlipat dari salat berjemaah. Soalnya, saya menjamak waktu Duhur dan Asar, sebab perkiraan saya, mobil akan berangkat seperti biasa, sekitar pukul empat belas lewat sedikit. Sedang si Sopir, pasti belum tunaikan Asar.

Arkian, kegiatan menjemput calon penumpang masih menyisakan satu. Tampaknya, penumpang tipe ini lebih siap. Kala sopir mengontak, ia sudah berkemas. Betul saja adanya. Tidak butuh waktu lama. Seorang perempuan, usianya mungkin lebih tua dari ibu muda sebelumnya. Tuntas sudah aktivitas jemput-jemput penumpang. Durasi menjemput penumpang, memangsa waktu kurang lebih satu jam. Total penumpang lima orang dewasa dan seorang bocah. Dua lelaki dan tiga perempuan.

Mobil meninggalkan Kota Bantaeng, hampir pukul enam belas lewat lima belas menit. Di perbatasan kota, ada seorang lelaki, lebih muda dari saya berdiri di pinggir jalan. Si sopir meminggirkan mobil. Sepintas terjadi percakapan. Rupanya penumpang tujuan Makassar. Duduklah ia di samping kiri saya. Setiba di Kota Jeneponto, ada lagi tambahan penumpang. Seorang gadis, nyaris seusia dengan penumpang yang duduk di kursi paling depan. Dari gaya bepergiannya, saya menebaknya sebagai seorang mahasiswi. Ia duduk paling kiri di kursi belakang.

Selanjutnya, mobil melaju dengan kecepatan terukur. Tidak lambat, pun tak ugal-ugalan. Kungai nakke jeka sopirka. Saya suka sopir sepeti ini. Tipe sopir seperti begini gue bingits. Pantas dijadikan sopir langganan permanen. Apalagi, ketika perjalanan memasuki Kota Takalar, ia menghentikan mobilnya, meminggirkan tepat di depan salah satu masjid. Saya pikir ia mau kencing. Allamak, dia singgah salat Asar.

Segera saja pikiran takjub saya menyembul. Ada minda buat menabalkan pendapat, sopir ini telah mengedepankan kesalehan sosial lalu menunaikan kesalehan individual. Sesudah menuntaskan sekotah urusan penumpangnya, barulah ia salat. Jujur, saya kagum padanya. Makin kuatlah saya untuk menjadikannya sopir langganan permanen.

Anehnya, ketika si sopir menunaikan kesalehan individualnya, salat Asar, ada dua penumpang ketus padanya. Herannya dua lelaki selain saya. Lelaki paru baya, ayah si bocah dan penumpang samping kiri saya. Si ayah nyelutuk dengan kata-kata tak elok saya dengar, “Kenapa baru salat.” Lain lagi dengan lelaki satunya, ia segera mau turun, bermaksud pindah mobil, sebab ia berburu waktu. Saya mencegahnya, setelah ia bertanya akan singgah lagi makan atau keperluan lainnya. Ia tidak jadi turun.

Usai sopir tunaikan Asar, mobil melaju dengan kecepatan stabil. Tetiba saja si bocah mulai rewel. Ia mau makan somai. Sepanjang jalan merengek, membikin penumpang lain tak nyaman, termasuk kedua orangtuanya. Si ibu bocah lalu meminta kepada sopir agar berhenti jika ada penjual somai, demi memenuhi keinginan bocahnya.  Setelah sekian menit, berhentilah mobil buat beli somai.

Sialnya, mobil berhenti tak jauh dari salah satu toko swalayan. Turunlah dua emak, masuk ke toko swalayan. Anda tahu bila emak-emak bertemu toko swalayan bukan? Tuntas berbelanja, keduanya lanjut beli somai gerobak. Bertusuk-tusuk ia beli. Saya mah berusaha menikmati laku emak-emak itu, tapi penumpang samping kiri saya tak tahan. Sikap berburu waktu kambuh lagi. Setiap ia menengok ke saya, hanya senyum mengulum sebagai balasan. Saya hanya berpikir, lelaki satu yang ketus pada sopir saat berhenti salat, sikapnya sudah dibayar kontan oleh ulah bocahnya.

Pukul dua puluh lewat tujuh menit, mobil tiba di Makassar. Sebelum masuk Terminal Mallengkeri, satu terminal antar kota di bagian selatan Kota Makassar, tiga orang penumpang turun. Tersisa saya, pasutri dan bocahnya, serta penumpang kursi depan yang akan diantar ke tujuan masing-masing. Sebelum mereka turun, saya lebih dulu meminta turun, tidak harus diantar sampai ke mukim. Biar saya berjalan kaki saja. Toh jaraknya tidak seberapa jauh. Masih lebih jauh, manakala saya nyeker keliling Kota Bantaeng.

Kala saya berjalan kaki itulah, aneka simpulan perjalanan menggado-gado menghidu saya. Terutama beragamnya karakter penumpang. Dari yang cerewet hingga yang tak bicara sama sekali selama perjalanan. Pun yang hanya memikirkan diri sendiri, abai pada nasib penumpang lain. Saya lalu teringat dengan percakapan dengan pasangan beberapa waktu lalu, tentang warisan kebijaksanaan kuno, tentang sifat-sifat api, air, angin, dan tanah yang senantiasa menubuh pada seseorang.

Pada laku-laku dari para penumpang, sepertinya memverifikasi percakapan tersebut. Ada yang apinya muncul, dua orang semirip angin, lainnya memilih laiknya air. Adapun saya dan sopir layaknya seperti tanah, menerima apa adanya. Pembelajaran penting akan sifat-sifat  api yang membakar, air mengalir, angin nirtampak tapi adanya terasa, dan tanah melaku seadanya, sekotahnya tuntas dalam waktu empat ribu empat ratus detik lebih, atau dua ratus empat puluh menit lebih. Singkatnya, empat jam lebih. Padahal, durasi perjalanan bila normal, biasanya tuntas paling lama tiga jam saja.

Ketika masih khusyuk dalam renungan perjalanan di saat berjalan kaki, ada kegariban menerungku. Apa yang kurang dari bawaan saya? Ransel sudah di punggung. Ternyata tas selempang, berisi laptop dan sebuah buku berjudul, A Philosophy of Walking, anggitan Frederic Gros, ketinggalan di mobil. Tepatnya, terselip di pojok kanan kursi belakang. Segera saja saya kontak sopir langganan, menguritakan perkara ketertinggalan tas. Ia memberi jawaban kepastian akan amannya barang mewah saya itu. Dan, saya pun menjemputnya di Terminal Mallengkeri.