Tak sedikit kisanak dan nyisanak menohokkan tanya, kala saya mengada di persamuhan literasi, bagaimana proses kreatif menulis buku? Biasanya, saya ajukan respon, empat buku saya tidak pernah direncanakan mewujud buku. Pasalnya, sekotah buku lahir, karena akumulasi dari kumpulan tulisan. Berkat rajin menabung tulisan di celengan minda. Segenap minda, saya ikat lewat tulisan, lalu saya tabung dalam berbagai genre tulisan: fiksi (sastra) dan nonfiksi (opini).
Tulisan bergenre fiksi saya tuangkan berupa puisi dan epigram. Sedangkan opini saya ruangkan berbentuk esai. AirMataDarah (sehimpunan puisi), Tutur Jiwa dan Maksim Daeng Litere (keduanya epigram), sedangkan Pesona Sari Diri (sekumpulan esai). Uniknya, keempat buku tersebut, tiada pengantar dari saya selaku penulis. Cuman, pendakuan rasa terima kasih saja kepada semua pelibat lahirnya buku.
Kiwari, saya sering menyempatkan diri mengeja kembali keempatnya. Mencari benang putih pengikat minda secara keseluruhan. Subjektivitas saya merasai kesinambungan minda, kemudian terobjektivikasi dalam bentangan puisi, epigram, dan opini. Objektivikasi bisa nyata beragam, tapi subjektivikasi mampu tampak seragam: sari diri.
Berlapikan asumsi demikian, saya coba balik pembacaan. Saya mengeja seluruh prolog maupun epilog buku, didedahkan oleh sahabat maupun guru saya, guna menyerap subketivikasinya terhadap objektivikasi tuangan dan ruangan minda saya. Dan, subjektivikasi mereka lewat bentangan prolog-epilog, saya objektivikasi kembali. Reken-reken sejenis resensi terbatas atas prolog-epilog keempat buku. Jadi, bukan semacam resensi atas buku sendiri. Melainkan, sekadar mencari keterkaitan dari penulis prolog-epilog, kemungkinan adanya benang merah: sari diri.
AirMataDarah, terbit 2015, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Ada dua sosok pemberi pengantar. Alto Makmuralto, selaku penyunting sekaligus bertindak representasi penerbit. Dul Abdurrahman, selakon sastrawan dan kritikus sastra. Subjektivikasi keduanya, akan saya nukilkan secara bebas.
Dul Abdurrahman mengemukakan argumen, pada umumnya, jenis sajak terbagi atas sajak pastoral dan sajak prelude. Sajak pastoral lebih condong menggunakan gaya bahasa denotatif. Sajak pastoral melukiskan sesuatu apa adanya. Jenis sajak ini menghindari simbol-simbol atau metafora. Sajak pastoral lebih gampang dinikmati, dan juga gampang dipahami.
Sajak prelude tidak lagi melukiskan apa adanya, tapi sudah menggunakan simbol-simbol tertentu serta ragam gaya bahasa lainnya seperti personifikasi dan metafora. Jenis sajak ini menggunakan bahasa konotasi, sehingga untuk memahaminya butuh interpretasi. Sajak-sajak lirik-sufistik sebagai bentuknya.
Lalu bagaimana dengan puisi-puisi dalam AirMataDarah? Dul menegaskan, sebagaimana halnya dengan penyair-penyair kontemporer lainnya, Sulhan Yusuf terlihat memadukan keduanya. Ataukah boleh jadi, Sulhan Yusuf masih mencari model tanda tangan yang pas baginya, kelak akan menjadi ciri khasnya sendiri.
Dul mengibaratkan AirMataDarah seperti Rumah Kebahagiaan dan Keabadian. Di dalamnya terdapat perabot-perabot pengabdian, keikhlasan, keselarasan. Ada juga asesoris kebijaksanaan. Rumah Kebahagiaan yang ditawarkan, serupa Rumah Keabadian, ditumbuhi jejeran pohon-pohon rindang yang menciptakan kesejukan. Bukan dijejali oleh rombongan binatang yang penuh kegaduhan. Semakin tua sebuah pohon, maka akarnya semakin dalam mencengkram bumi. Bahkan, semakin kuatlah ia dalam kehidupan. Sebaliknya, hewan begitu bermusuhan dengan waktu. Semakin bertambahnya waktu, maka semakin tua dan lemahlah dia, dan juga semakin dekatlah kematian. Bagi hewan, waktu ibarat jarum-jarum kematian yang setiap saat bisa menusuk.
Alto pun ikut bertutur, pada puisi-puisi Sulhan akan kita jumpai kata-kata seperti: azali, pejalan, maqam, keabadian, ruhani, jiwa, dan semacamnya. Bukankah kata-kata semacam itu sangat identik dengan dunia para pesuluk? Ya, benar. Dan karena itu patut diduga jikalau Sulhan sesungguhnya adalah seorang pesuluk. Hanya saja ia berpura-pura menjadi pedagang buku, pecandu kopi pahit, penggila Koes Plus dan Arsenal, serta pegiat facebook yang unyu-unyu. Begitulah memang kiranya penganut suluk Malamatiyah.
Tutur Jiwa, terbit 2017, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Alwy Rachman, lebih akrab saya sapa Kak Alwy, seorang budayawan, mengistilahkan pengantarnya sebagai pracitra. Berlapis-lapis kisah terdedahkan, hingga saya bisa mendapatkan subjektivikasinya. Bila saya ekstrak durasi waktu menanti, sekira lebih setahun. Setiap saya sua, beliau selalu bilang sementara dibaca. Dan, saya tiada lelah menanti pracitra itu.
Sekali waktu, saya bertandang ke ruang kerjanya di Lephas Unhas. Tiba-tiba beliau menyampaikan bahwa sudah selesai. Jujur, saya seperti mau terbang, untung saja ada langit-langit ruangan menjadi perintang. Pendakuannya, ketika menuliskan pracitra, Kak Alwy hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Namun, merahiminya di pikiran butuh waktu lama.
Kak Alwy kemudian menabalkan kepada saya, ia menemukan istilah untuk jenis tulisan-tulisan dalam Tutur Jiwa, “Literasi Paragraf Tunggal”. Baginya, belum pernah menemukan jenis tulisan semacam itu. Jadi, beliau mendaku, ia menemukan istilah sedangkan saya membikin bentuknya. Kami tidak pernah mengumumkan sebagai genre baru dalam penulisan sastra. Cuman, menurut Kak Alwy: unik.
Ah, lebih elok bila saya ajukan saja penggalan pracitra Kak Alwy. Di rentang panjang peradaban, sejak dulu hingga kini, “kisah” selalu didudukkan di kedalaman wajahnya yang jamak: sebagai mata air, sebagai nyala api inspirasi, sebagai refleksi, dan sebagai percakapan yang melingkar. Di percakapan yang melingkar itu pula, manusia menggerakkan kedirian dan eksistensinya. Di satu momen, manusia berada di ketinggian, dan di momen lain ia menemukan dirinya di kerendahan.
Di momen gerak ke ketinggian dan ke kerendahan inilah sekumpulan literasi “Tutur Jiwa”, ditulis oleh Sulhan Yusuf, sejatinya dicerap. Di kerendahan, Sulhan Yusuf membincang manusia melalui satir yang santun, bukan sarkasme yang kasar. Satir santun dialamatkan kepada politikus, kepada demokrasi, dan kepada kekuasaan. Di ketinggian, Sulhan Yusuf berkisah tentang cinta, tentang persahabatan, dan tentang kedirian, tentang hak, dan tentang jiwa.
“Tutur Jiwa” adalah literasi “paragraf tunggal”. Uniknya, Sulhan Yusuf di sini menjalankan perilaku tulis “paragraf tunggal” untuk menciptakan “rongga yang luas” untuk menyimpan kisah. Apa pun tajuknya, apa pun ruang hidupnya, siapa pun aktornya, kisah yang dibangun Sulhan Yusuf berujung pada “jiwa”. Lebih unik lagi, Sulhan membangun kisah lewat “genre percakapan”, suatu genre yang sejauh ini dipercaya oleh sastrawan untuk menggerakkan jiwa pembaca.
“Tutur Jiwa” berdiri di atas “keselamatan jiwa”, sebagai representasi dari takjub manusia atas pesona “jiwa”. Berisi diskripsi atas manusia yang bergerak di ketinggian dan kerendahan untuk paham perjalanan lelah manusia mencari “The Soul of soul” (Jiwa dari segala jiwa).
Pesona Sari Diri, terbit 2019, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Dua sosok pengapit, Bahrul Amsal menyodorkan prolog dan Muhajir MA mendedahkan epilog. Keduanya aktivis di Paradigma Institute, pengelola kelas menulis, sekaligus jejeran redaktur Kalaliterasi.com.
Bahrul menorehkan ungkapan, Pesona Sari Diri, saya kira adalah pembuktian. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada penulis sendiri. Ini mungkin cenderung personal. Tapi, apa yang lepas dari personalitas? Tanpa personalitas yang kukuh –suatu titik subjektivitas— semuanya bakal mudah menguap. Saya kira beragam tulisan di buku ini adalah energi luar biasa, dilambari dari kekuatan diri yang dahsyat.
Itulah sebabnya, esai-esai dari buku ini tiada arti tanpa kemendasaran “diri”. “Diri” di sini tentu tidak semata-mata entitas biologi belaka. Bukan pula sekadar hubungan fisiologis yang menghasilkan gerak mekanik laiknya mesin. Namun, jauh dari tilikan materialistik, “diri” adalah suatu asal tempat berpijak “kesadaran”. Titik alamat yang menimbulkan keinsafan insani (cukup diri).
Maka, ketika keinsafan ini menjadi aktual, beragam fenomena tidak lagi menjadi data-data indrawi yang berhamburan di selaksa ruang waktu, melainkan berubah, bertransformasi, bergerak, berpindah, dan berkembang dalam kemendasaran diri penulis. Melihat, mengamati, merefleksi, dan menuangkannya ke dalam tulisan adalah buah dari semua itu.
Muhajir, memungkasi Pesona Sari Diri dengan epilog. Saya nukilkan saja sari patinya. Sebagai orang modern, kita terlalu sibuk menapaki keseharian. Jadwal-jadwal padat mengintai hidup kita. Pekerjaan remeh-temeh memenuhi rutinitas kita. Namun, justru karena itu kita gagal menyelami kedalaman. Setidaknya, ada dua bentuk kedalaman yang gagal disentuh manusia karena diterungku oleh keseharian: pertama, momen pengalaman eksistensial yang bersifat pra-preflektif. Kedua, momen permenungan yang bersifat reflektif.
Jika yang pertama menjauhkan manusia dari Ada-nya, maka yang kedua menjauhkan manusia dari pesan-pesan moral, hikmah, falsafah. Itu karena kesibukan praktis membuat kita jauh dari kontemplasi. Sehingga akal budi kita tidak jernih memandang jutaan hikmah pada hal-hal yang tampak.
Sulhan memang adalah aktivis literasi yang tulen. Pemahaman terhadap arti penting literasi, karena literasi membahagiakan jiwa. Satu pesan yang sangat dalam, lahir justru dari penjara keseharian. Sejatinya, Sulhan menghadapi keseharian yang dangkal dan remeh-temeh bukan sebagai rutinitas biasa saja. Namun, sebagai jalan menyelami kedalaman, menyingkap pesan-pesan kehidupan. Keseriusan Sulhan memahami keseharian, barangkali bisa diartikan sebagai sebuah ajakan untuk sesekali berkelana di alam permenungan.
Kehadiran Pesona Sari Diri akhirnya jadi penegasan, betapa keringnya pengetahuan kita, saat menyadari ada banyak hal yang tidak kita ketahui, justru tertuang dalam kumpulan esai ini. Barangkali, kita terlalu sibuk berputar-putar di permukaan, hingga tak kunjung sampai di kedalaman.
Maksim Daeng Litere, terbit 2021, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Muhammad Nur Jabir, Direktur Rumi Institute Jakarta, membentangkan prolog, memahkotai dengan sederet penjelas penuh makna.
Tarian pena dari Muhammad Nur, penuh pesona. Saya ajak saja untuk mengikuti penggalan-penggalan tuturnya. Ada saat kata-kata mekar di dalam hati sanubari seseorang. Kata-kata itu tak hanya menemukan kehidupan, tetapi juga menemukan maknanya yang paling batin, seolah berada di taman surgawi, memetik buah makna keindahannya yang paling indah. Saat kata tak lagi menemukan makna, kata itu sudah menemukan ajalnya. Walau tak mati, tetapi tak bertuan dan tak bersinggasana. Kata-kata itu hanya keluar dan masuk tanpa arah di setiap lidah seseorang.
Makna ibarat jiwa bagi kata-kata dan kata-kata seperti tubuh. Jiwa yang indah akan melahirkan kata-kata indah. Semakin indah dan lembut jiwa seseorang, semakin indah kata-kata yang akan keluar dari lisannya dan akan semakin dalam maknanya. Harmoni keindahan antara jiwa, kata, dan makna semakin menjelma. Menembus setiap hati para pendengarnya.
Segala keharmonian itu berasal dari keluasan jiwa. Dan keluasan jiwa berakar dari sebuah pengalaman atas sesuatu, entah pengalaman tentang kehidupan atau pengalaman tentang pencarian makna. Tetapi tentu tak semua pengalaman itu berhasil menemukan kata dan seuntai kalimat. Kekayaan pengetahuan seseorang juga memberi pengaruh penting dalam merangkai suatu pengalaman menjadi kata-kata.
Pada akhirnya, Maksim Daeng Litere mengajak kita semua untuk berdialektika dengan kata dan makna. Dialektika ini tentu terjadi di dalam jiwa yang tenang, agar mampu menghidupkan jiwa-jiwa yang lain. Dunia sekarang ini butuh pemaknaan yang menghidupkan, bukan sekadar kata yang tak punya jiwa dan hampa. Walau terlihat indah tetapi tak memberikan apa pun kecuali kehampaan.
Daeng Litere adalah pejuang makna. Sudah menyerahkan seluruh makna hidupnya dalam membangun literasi. Para pejuang makna adalah para pejuang peradaban. Tak akan ada imbalan yang setimpal dengan apa pun bagi para pejuang peradaban. Dan satu-satunya yang dibutuhkan dalam membaca Maksim Daeng Litere adalah permenungan.
Sekotah penulis prolog dan epilog, telah membabarkan subjektivikasinya terhadap objektivikasi di empat buku saya. Simpai simpulan gegabah dari saya, ada benang merah dari para pembabar tentang keberagaman ungkapan, meski tiba pada maksud: soul (jiwa) atau kedirian. Pun, saya temalikan dengan benang putih: sari diri.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.