Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab.
Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan awam. Kenyataannya, banyak orang yang bekerja keras hanya untuk mengukuhkan eksistensi dirinya. Abraham Maslow dalam teorinya tentang hirarki kebutuhan, sesungguhnya memperkuat perasaan khalayak banyak ini. Mulai kebutuhan fisiologi, rasa aman, dicintai, dihargai, hingga aktualisasi diri semuanya adalah konsep pengukuhan eksistensi diri. Begitu juga Mc Clelland yang justru lebih menegaskan tentang pengukuhan diri. Berdasarkan teori-teori tersebut kadang untuk mencapai kebutuhan aktualisasi diri itulah manusia harus saling meniadakan.
Apakah puncak tertinggi capaian manusia harus dengan meniadakan orang lain? Dapatkah capaian tertinggi itu diraih bersama? Pendapat yang pertama meyakini bahwa dengan meniadakan orang lain maka dirinyalah yang akan muncul sebagai peraih kemenangan atau ketinggian derajat. Inilah ekspresi individualisme; sebuah paham yang memuja diri. Pendapat kedua meyakini bahwa tanpa meniadakan orang lain, ketinggian derajat dapat diperoleh dengan bersama orang lain. Inilah keyakinan sosialisme; sebuah paham yang diasaskan pada kebersamaan manusia.
Konsep pertama menganut basis pemikiran tentang keterceraian manusia, sedangkan konsep kedua meyakini kesatuan umat manusia. Kedua konsep tersebut sebenarnya memiliki hakikat yang sama dalam konteks kedirian manusia. Kedua konsep ini berpengaruh terhadap cara manusia memperlakukan diri dan lingkungan sekitarnya.
Pandangan Agama
Kedua konsep di atas adalah pandangan materialisme yang saling bertentangan. Pertentangan tersebut telah berusia lama namun baru menemukan bentuk pertentangan terbuka satu sama lain tatkala perkembangan peradaban manusia memasuki era modern.
Individualisme berkembang menjadi kapitalisme sedangkan sosialisme berkembang menjadi komunisme yang selanjutnya menyeret dunia ke tingkat pergesekan antar negara. Dunia pernah menyaksikan dahsyatnya perlombaan senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet bersama sekutunya masing-masing yang akrab disebut dengan perang dingin. Usai perang dingin yang dianggap sebagai kekalahan blok sosialisme setelah runtuhnya Uni Soviet ternyata tidak menyebabkan urusan kemanusiaan menjadi lebih baik. Sungguh pun Francis Fukuyama menegaskan bahwa konsep kapitalisme adalah model paling sempurna dari tatanan akhir peradaban manusia, namun terbukti bahwa di bawah kendali kuasa modal internasional justru dunia kian menemukan ancaman serius.
Umat manusia memasuki jalan buntu ke arah masa depan peradabannya. Pengaruh tampilnya kuasa modal ke panggung peradaban manusia telah mendorong berkembangnya perlombaan materi. Ini tidak hanya berlaku di masyarakat perkotaan melainkan telah merambah ke pelosok-pelosok desa. Kebuntuan ini hampir tak ada jawabannya.
Pandangan agama memberi jalan keluar atas kebuntuan tersebut. Agama memperkenalkan definisi diri yang berbeda dengan kedua konsep di atas. Manusia adalah materi yang tercipta. Semula diri manusia itu tiada namun Tuhan berkehendak menciptakannya. Meski ia adalah materi namun Tuhan memberinya unsur lain yang membuatnya istimewa, yakni roh yang suci.
Aspek material manusia akan musnah, sedangkan aspek rohaninya akan abadi. Aspek materialnya adalah keterikatan, sedangkan rohaninya bebas. Ia bebas berkehendak dan memilih. Semua yang musnah adalah ketiadaan, sedangkan yang abadi adalah sebaliknya.
Kekeliruan yang dilakukan manusia adalah mencari kemuliaan lewat materi yang terikat dan musnah itu. Ada kesalahan persepsi bahwa manusia merasa eksis dan dapat mengaktualisasikan dirinya setelah menguasai materi. Dalam keadaan itulah keberadaan dan kemuliaan manusia menjadi sangat semu.
Idul Fitri
Uraian tentang pandangan agama di atas menggambarkan sifat dasar manusia. Islam menyebut bahwa manusia memiliki karakter dasar yang dinamai fitrah. Pada dasarnya manusia lebih cenderung kepada kebaikan dan kesucian. Persentuhannya dengan dunia materi telah menantangnya untuk berjuang mempertahankan fitrah itu. Tantangan terbesarnya adalah sifat mementingkan diri sendiri (egois). Sifat ini merupakan penyakit manusia yang dapat menjauhkan dirinya dari fitrah itu.
Mengendalikan diri hanya dapat dilakukan dengan meniada. Meniada bukanlah mengingkari apalagi membunuh diri, melainkan mengarahkannya ke jalur yang benar. Menurut kitab suci Islam, Alquran, salah satu cara meniada yang benar adalah berpuasa. Puasa dengan keyakinan dan penuh kesungguhan akan mengembalikan manusia kepada kesuciannya melalui pengampunan dosa. Utusan Tuhan, Muhammad saw., tentang capaian tersebut digambarkan laksana kesucian seorang bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Manusia yang bersih tanpa noda dan dosa.
Andai manusia menyerahkan diri kepada Tuhannya, maka ia akan menemukan eksistensi yang sebenarnya. Meniada yang sesungguhnya adalah kembali kepada Tuhan. Manusia meniada dari dunia materinya untuk mengada dalam Tuhannya. Meniada di hari Fitri adalah cara manusia untuk eksis dalam keabadian Tuhannya.
Kredit gambar: CNN Indonesia
Lahir di Kasambang, 19-04-1973. Doktor Kajian Multidisiplin Ilmu Lingkungan. Ketua Umum PB HMI MPO 2001-2003. Dosen Universitas Paramadina Jakarta. Penulis buku: HMI dan Wacana Revolusi Sosial (2003), Demi Cita-cita HMI; Catatan Ringkas Perlawanan Kader dan Alumni HMI Terhadap Rezim Orba (2003), Demokrasi dalam Cengkraman Orde Baru (2004), dan Strategi Kebudayaan dan Kesadaran Ekologi (naskah siap terbit). Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI) Depok, Jawa Barat, Periode 2020-2023. Kiwari, beliau Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Syarikat Islam 2021-2026.