Semua tulisan dari Syafinuddin Al-Mandari

Lahir di Kasambang, 19-04-1973. Doktor Kajian Multidisiplin Ilmu Lingkungan. Ketua Umum PB HMI MPO 2001-2003. Dosen Universitas Paramadina Jakarta. Penulis buku: HMI dan Wacana Revolusi Sosial (2003), Demi Cita-cita HMI; Catatan Ringkas Perlawanan Kader dan Alumni HMI Terhadap Rezim Orba (2003), Demokrasi dalam Cengkraman Orde Baru (2004), dan Strategi Kebudayaan dan Kesadaran Ekologi (naskah siap terbit). Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI) Depok, Jawa Barat, Periode 2020-2023. Kiwari, beliau Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Syarikat Islam 2021-2026.

Meniada di Hari Fitri

Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab.

Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan awam. Kenyataannya, banyak orang yang bekerja keras hanya untuk mengukuhkan eksistensi dirinya. Abraham  Maslow dalam teorinya tentang hirarki kebutuhan, sesungguhnya memperkuat perasaan khalayak banyak ini. Mulai kebutuhan fisiologi, rasa aman, dicintai, dihargai, hingga aktualisasi diri semuanya adalah konsep pengukuhan eksistensi diri. Begitu juga Mc Clelland yang justru lebih menegaskan tentang pengukuhan diri. Berdasarkan teori-teori tersebut kadang untuk mencapai kebutuhan aktualisasi diri itulah manusia harus saling meniadakan.

Apakah puncak tertinggi capaian manusia harus dengan meniadakan orang lain? Dapatkah capaian tertinggi itu diraih bersama? Pendapat yang pertama meyakini bahwa dengan meniadakan orang lain maka dirinyalah yang akan muncul sebagai peraih kemenangan atau ketinggian derajat. Inilah ekspresi individualisme; sebuah paham yang memuja diri. Pendapat kedua meyakini bahwa tanpa meniadakan orang lain, ketinggian derajat dapat diperoleh dengan bersama orang lain. Inilah keyakinan sosialisme; sebuah paham yang diasaskan pada kebersamaan manusia.

Konsep pertama menganut basis pemikiran tentang keterceraian manusia, sedangkan konsep kedua meyakini kesatuan umat manusia. Kedua konsep tersebut sebenarnya memiliki hakikat yang sama dalam konteks kedirian manusia. Kedua konsep ini berpengaruh terhadap cara manusia memperlakukan diri dan lingkungan sekitarnya.

Pandangan Agama

Kedua konsep di atas adalah pandangan materialisme yang saling bertentangan. Pertentangan tersebut telah berusia lama namun baru menemukan bentuk pertentangan terbuka satu sama lain tatkala perkembangan peradaban manusia memasuki era modern.

Individualisme berkembang menjadi kapitalisme sedangkan sosialisme berkembang menjadi komunisme yang selanjutnya menyeret dunia ke tingkat pergesekan antar negara. Dunia pernah menyaksikan dahsyatnya perlombaan senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet bersama sekutunya masing-masing yang akrab disebut dengan perang dingin. Usai perang dingin yang dianggap sebagai kekalahan blok sosialisme setelah runtuhnya Uni Soviet ternyata tidak menyebabkan urusan kemanusiaan menjadi lebih baik. Sungguh pun Francis Fukuyama menegaskan bahwa konsep kapitalisme adalah model paling sempurna dari tatanan akhir peradaban manusia, namun terbukti bahwa di bawah kendali kuasa modal internasional justru dunia kian menemukan ancaman serius.

Umat manusia memasuki jalan buntu ke arah masa depan peradabannya. Pengaruh tampilnya kuasa modal ke panggung peradaban manusia telah mendorong berkembangnya perlombaan materi. Ini tidak hanya berlaku di masyarakat perkotaan melainkan telah merambah ke pelosok-pelosok desa. Kebuntuan ini hampir tak ada jawabannya.

Pandangan agama memberi jalan keluar atas kebuntuan tersebut. Agama memperkenalkan definisi diri yang berbeda dengan kedua konsep di atas. Manusia adalah materi yang tercipta. Semula diri manusia itu tiada namun Tuhan berkehendak menciptakannya. Meski ia adalah materi namun Tuhan memberinya unsur lain yang membuatnya istimewa, yakni roh yang suci.

Aspek material manusia akan musnah, sedangkan aspek rohaninya akan abadi. Aspek materialnya adalah keterikatan, sedangkan rohaninya bebas. Ia bebas berkehendak dan memilih. Semua yang musnah adalah ketiadaan, sedangkan yang abadi adalah sebaliknya.

Kekeliruan yang dilakukan manusia adalah mencari kemuliaan lewat materi yang terikat dan musnah itu. Ada kesalahan persepsi bahwa manusia merasa eksis dan dapat mengaktualisasikan dirinya setelah menguasai materi. Dalam keadaan itulah keberadaan dan kemuliaan manusia menjadi sangat semu.

Idul Fitri

Uraian tentang pandangan agama di atas menggambarkan sifat dasar manusia. Islam menyebut bahwa manusia memiliki karakter dasar yang dinamai fitrah. Pada dasarnya manusia lebih cenderung kepada kebaikan dan kesucian. Persentuhannya dengan dunia materi telah menantangnya untuk berjuang mempertahankan fitrah itu. Tantangan terbesarnya adalah sifat mementingkan diri sendiri (egois). Sifat ini merupakan penyakit manusia yang dapat menjauhkan dirinya dari fitrah itu.

Mengendalikan diri hanya dapat dilakukan dengan meniada. Meniada bukanlah mengingkari apalagi membunuh diri, melainkan mengarahkannya ke jalur yang benar. Menurut kitab suci Islam, Alquran, salah satu cara meniada yang benar adalah berpuasa. Puasa dengan keyakinan dan penuh kesungguhan akan mengembalikan manusia kepada kesuciannya melalui pengampunan dosa. Utusan Tuhan, Muhammad saw., tentang capaian tersebut digambarkan laksana kesucian seorang bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Manusia yang bersih tanpa noda dan dosa.

Andai manusia menyerahkan diri kepada Tuhannya, maka ia akan menemukan eksistensi yang sebenarnya. Meniada yang sesungguhnya adalah kembali kepada Tuhan. Manusia meniada dari dunia materinya untuk mengada dalam Tuhannya. Meniada di hari Fitri adalah cara manusia untuk eksis dalam keabadian Tuhannya.

Kredit gambar: CNN Indonesia

Otoritas (Bag.1)

Otoritas makin terasa diperlukan kehadirannya ketika silang pendapat belangsung dalam masyarakat. Ini disebabkan oleh perlunya suatu kepastian dalam setiap perkara yang sedang diperselisihkan.

Begitu juga dengan pengaturan hajat hidup orang banyak, memerlukan otoritas yang dipatuhi. Tanpa otoritas, tiap-tiap person yang merasa memiliki kompetensi akan menyatakan pendapat secara terbuka. Akibatnya, dapat menambah ramai silang pendapat tersebut, sekaligus membuatnya berkepanjangan.

Selain itu, konsepsi otoritas sosial adalah landasan utama tertib sosial. Tanpanya, akan terbuka peluang terpecahnya kelompok-kelompok sosial secara tajam. Tanpa kepatuhan terhadap satu pemegang otoritas akan membuka peluang lahirnya kekuatan jahat berjubah kemaslahatan publik.

Masyarakat tanpa pemegang otoritas yang dipatuhi pada hakikatnya bukanlah suatu masyarakat. Ia adalah kumpulan individu yang terkuasai atau sedang bergantung kepada pihak lain.

Masyarakat dengan otoritas sosial di dalamnya masih jauh lebih baik. Sebaliknya masyarakat yang berjalan tanpa otoritas akan lebih buruk. Sungguh pun terlihat lemah dalam berbagai faktor pendukung material, masyarakat otoritas sosial yang dipatuhi masih jauh lebih unggul.

Kepatuhan terhadap pemegang otoritas adalah modal sosial terbaik. Di sana akan lahir trust; keterpercayaan dan rasa percaya. Francis Fukuyama menjelaskan bahwa rasa percaya atau kepercayaan (trust) tersebut adalah modal sosial.

Ditegaskannya bahwa betapa pun rusaknya suatu bangsa jika di dalamnya masih ada trust maka peluang memperbaikinya terbuka lebar. Ketika di dalam masyarakat tidak dapat lagi ditumbuhkan rasa saling percaya atau tiadanya pihak yang dapat dipercayai maka betapa pun besarnya suatu bangsa ia pada akhirnya akan runtuh.

Tuhan menguji manusia dengan otoritas itu. Nabi-nabi tidak diturunkan  ke dalam masyarakat yang rendah kompetensinya. Kaum ‘Ad dan Tsamud dikabarkan Alquran sebagai teknokrat papan atas. Kaum inilah yang mendirikan bebangunan kokoh dalam kota.

Begitulah seterusnya kaum Nabi Luth, Bani Israil, hingga Kaum Quraisy adalah para ilmuwan dari berbagai keahlian. Seni seperti sastra dan ilmu-ilmu lain, filsafat, dan ilmu terapan dalam bidang pertanian, pedagangan, tenun, dan sebagainya telah berkembang pesat.

Kekurangan mendasar kaum para nabi dari zaman ke zaman adalah mismanajemen. Salah satu wujudnya adalah berlarutnya polemik pemikiran yang menjadi sasaran empuk para tiran. Masyarakat yang menumbuhkan tiran inilah yang menjadi problem besar dalam sejarah umat manusia.

Para nabi datang sebagai person otoritatif. Satu-satunya yang dapat mengungguli kompetensi para tiran itu adalah nabi-nabi. Mereka diutus Tuhan sebab mereka memiliki kompetensi yang perfect dalam kemasyarakatan. Mereka datang dengan kemampuan mengoperasikan, membumikan, menatakelola termasuk mengadminitrasikan keadilan di dalam masyarakat.

Seluruh nabi diberikan otoritas oleh Tuhan untuk untuk memandu manusia. Mereka dijamin kompetensinya untuk mengantar orang perorang serta masyarakat (ummah) guna mencapai kebahagiaan, kesempurnaan, keselamatan, dan keabadian.

Memang benar bahwa masyarakat dalam catatan sejarah klasik hingga fakta sosial kontemporer memberikan bacaan tentang adanya otoritas itu. Otoritas itu nyata di berbagai tempat. Meski begitu, kecacatan otoritas itu dapat dipersoalkan. Ada otoritas naif!

Otoritas Naif adalah kewenangan yang disematkan pada seseorang namun tidak kompatibel dengan kompetensi yang dimilikinya. Boleh juga dikatakan naif tatkala cakupan otoritasnya yang tak bersesuaian dengan kecakapan dan ilmu, serta segala sesuatu yang menjadi modal sang pemilik otoritas.

Bentuk otoritas naif lainnya adalah pelaku diskriminasi dan tiran. Tidak ada satu masyarakat yang berkenan memberikan kewenangan politik kepada seseorang jika secara sadar di dalamnya mengandung diskriminasi dan tirani. Semua masyarakat yang pernah diperintah oleh tiran atau diatur oleh penguasa diskriminatif pastilah melalui paksaan dan tekanan. Itu sebabnya sejarah mengenal pemberontakan.

Person tanpa kompetensi hanya akan menghasilkan banyak keputusan yang sia-sia bahkan merugikan. Person diskriminatif dan tiran hanya akan melahirkan penderitaan publik. Dengan demikian, ketaatan terhadapnya bukanlah suatu keperluan mendasar dalam suatu masyarakat melainkan sekadar untuk mengakhiri suatu ketidakpastian secara instan.

Cara menentukan pemangku otoritas sangatlah berpengaruh dalam perbincangan tentang ini. Secara mekanistik, konsep tentang pengangkatan pemangku otoritas sudah dikenal luas. Namun yang jauh lebih penting adalah dua faktor; kesadaran beserta kesukarelaan atau keterpaksaan dengan berbagai variannya.

Keterpaksaan dengan berbagai variannya inilah yang menghasilkan otoritas naif tersebut. Apapun bentuknya, jika proses pemerolehan serta penerapan otoritas itu mengandung keterpaksaan publik maka ia mengandung kecacatan pada saat yang sama.

Meski demikian, betapapun naifnya, keberadaan sistem sosial dengan otoritas yang dipatuhi, masih jauh lebih bagus dibandingkan ketiadaannya atau atau ketidakpatuhan terhadapnya. Banyak negara atau satuan sosial lain akhirnya redup dan tidak memiliki kehormatan tatkala di dalamnya tidak tumbuh sistem otoritas yang kuat.

Kasus Covid-19 sudah memperlihat bukti betapa negara yang diatur dengan sistem otoritas sosial yang kuat. Otoritas itulah yang menjadi alasan segala silang pendapat dalam masyarakat menemukan muara penguraian problem secara baik.

Lebih jauh daripada itu juga otoritas akan menjadi titik tolak untuk orientasi besar manusia dan masyarakatnya di masa depan. Masyarakat tak sempurna tanpa konsep otoritas yang berjalan di atasnya atau bekerja aktif di dalamnya.

Wallahu a’lam.

Sumber ilustrasi: Detik.com

 

 

29

 

 

Sudut Pandang Baru Kesalehan Sosial

Kesalehan sosial pernah menjadi perbincangan utama tiga puluhan tahun lalu di kalangan aktivis Islam. Betapa tidak, telah berjalan di era itu suatu fenomena sosial yang menampakkan banyaknya manusia saleh, namun abai terhadap urusan masyarakat.

Salat, munajat, dzikir, kebersihan diri, dan semacamnya dipraktikkan banyak orang namun  rendah efeknya terhadap masyarakat. Abai terhadap kaum papa, tidak ramah yatim, rendah kesetiakawanan sosial, dan semacamnya adalah fenomena yang muncul di tengah masyarakat. Itu hanya mementingkan kesalehan individual (pribadi). Inilah yang dikecam dalam teks Al-Ma’un pada kitab suci Alquran. Ini pulalah yang melecutkan perbincangan kesalehan sosial sebagai kecaman terhadap kesalehan pribadi saja.

Tinjauan Ulang

Uraian di atas mengantar suatu pemahaman bahwa kesalehan individual adalah segala perbuatan baik yang berdampak baik kepada pelakunya sahaja. Kesalehan sosial adalah segala perbuatan yang tidak hanya berdampak baik kepada pelakunya, namun juga untuk sekalian orang banyak atau masyarakat.

Tinjauan pertama! Kalau diperhatikan secara saksama pengertian kesalehan sosial di atas mengandung kelemahan. Konsep ini hanya memperlihatkan dampak kesalehan yakni kepada masyarakat, padahal pelakunya adalah individu; individual. Jika dirumuskan dengan tegas, maka akan lahir konsep berikut; “Kesalehan sosial adalah perbuatan individual yang berdampak sosial”. Rumusan ini menegaskan nihilnya kesalehan sosial di dalamnya. Kesalehan yang itu adalah kesalehan individual belaka, bukan kesalehan sosial.

Mungkin orang yang berderma membangun fasilitas umum akan disebut sebagai pengamal kesalehan sosial. Ini karena perbuatan baiknya itu memiliki dampak sosial yang tinggi. Tidak salah bahwa dampak baiknya adalah untuk masyarakat. Apakah ini adalah perbuatan individu atau perbuatan sosial? Secara esensial, ini hanyalah perbuatan individual.

Tinjauan kedua! Lebih mendalam lagi, jika dilihat perbuatan baik seseorang yang berdampak sosial itu ternyata masih mengandung masalah untuk dapat disebut kesalehan individual berdampak sosial. Ini dilihat pada kemanfaatan baik yang disasarnya. Benarkah yang memperoleh dampak baiknya itu adalah sosial (masyarakat), atau orang perorang dalam masyarakat.

Apakah perbuatan berdampak sosial itu adalah hanya perbuatan mementingkan orang lain belaka, atau perbuatan yang mementingkan urusan suatu masyarakat? Seharusnya, perbuatan berdampak sosial adalah perbuatan yang bukan hanya berdampak pada orang seorang dalam suatu masyarakat melainkan masyarakat secara utuh.

Kesalehan Sosial

Uraian di atas hanya hendak menegaskan mengenai lemahnya cara pandang tentang kesalehan sosial yang hidup di tengah masyarakat selama ini. Kelemahannya adalah munculnya suatu kapitalisasi perilaku yang berdampak kepada beberapa gelintir orang bahkan juga terhadap perkumpulan, organisasi, bahkan masyarakat dan bangsa tertentu. Kapitalisasi atas perbuatan baik kepada individu baik satu maupun beberapa individu, serta suatu perkumpulan (community) ataupun masyarakat (society).

Ini dipandang bermasalah karena menyangkut “saham”. Jatuh ke dalam perspektif dan konsepsi saham atau kapital. Kapital individual yang diklaim sebagai kapital sosial. Bahayanya adalah timbulnya kelas akibat –privilage– tertentu terhadap individu berjasa tadi. Berpotensi melahirkan semacam monumen individual dalam jejak-jejak kebaikannya terhadap orang lain ataupun masyarakat.

Mungkin inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad saw pernah meruntuhkan sebuah mesjid. Mesjid _Dlirar_ (Dhirar_) tidak diperbolehkan ditempati beribadah sebab terbukti didirikannya untuk memonumenkan jasa seseorang. Inilah kesalehan individual belaka meski berdampak sosial.

Jika pelakunya individu belaka maka betapa pun tidak hanya berdampak kepada pelakunya sahaja, kesalehan itu secara esensial adalah kesalehan individual. Begitu juga, meski dampak baik kesalehan itu dirasakan banyak orang, belumlah tentu boleh disebut sebagai dampak sosial. Orang banyak tidak selalu harus identik dengan sosial.

Apakah sosial itu? Seharusnya sosial adalah suatu entitas kebersamaan yang utuh dan mandiri atau memiliki diri. Ia laksana individu utuh. Kalau individu itu dilahirkan, diasuh, dididik, dibesarkan, menjadi dewasa, mengalami sakit, lemah, kuat, sedih, bahagia, susah, senang, sehat, sakit, hidup, dan mati, maka sebuah masyarakat (sosial) seharusnya juga demikian.

Demikian juga, ketika individu itu memiliki ideologi, menganut prinsip-prinsip, mengakui dan menolak konsep-konsep kehidupan tertentu, memiliki perasaan dan cita-cita maka sebuah masyarakat juga harus demikian. Andaikata tidak demikian maka kemungkinan akan terjadi suatu kumpulan manusia mandiri yang hanya memiliki ikatan-ikatan rapuh dalam kumpulannya itu. Dus, meski ia diklaim sebagai masyarakat, esensinya ia adalah individu yang sedang berkumpul belaka. Kehilangan karakter!

Di atas inilah perbincangan kesalehan sosial patut dikembangkan. Adalah sia-sia upaya menumbuhkan kesalehan sosial di luar dari konsep ini. Mengapa demikian? Sebab ketiadaan masyarakat sebagai suatu entitas sosial sejati, hanya akan diterkam oleh kuasa modal dalam kumpulan orang-orang.

Kesalehan sosial haruslah perbuatan baik entitas sosial sejati (masyarakat) yang mandiri. Ia tidak terjajah oleh kepentingan individu-individu “raksasa” yang memanggul modal dan misi kemewahan pribadi.

Jauh lebih dalam lagi bahwa suatu sintesa individu dalam masyarakat akan bermasalah jika salah meletakkan ikatan sosialnya. Bahwasanya pada diri manusia ada aspek jiwa dan badan, manakah yang mengalami sintesa dalam ikatan-ikatan sosial? Kegagalan dan meyakini konsepsi ini akan menyebabkan terjadinya kekeliruan seeseorang menjalankan misi individual dan sosial.

Sulitnya mengangkat diskursus ini ke tengah publik disebabkan oleh lemahnya perspektif sosial yang sedang berlaku. Selama ini hanya populer cara pandang materialis melalui analisis August Comte, Emile Durkheim, dan para pemikir sosiologi modern lainnya.

Melalui konsep-konsep sosiologi modern diketahui hanya ada dua perspektif besar yakni individulah yang sejati sedangkan masyarakat hanya bentukan, dan yang kedua bahwa masyarakatlah yang sejati, sedangkan aspek individual terbentuk oleh efek sosial belaka. Buku Society and History (1985) yang merupakan pemikiran filsafat sosial Muthahhari (1919-1979) lama sekali mengurai kritik atas dua kutub konsepsi sosial ini.

Kedua konsep ini sebenarnya memiliki varian konsepsional lainnya yang kurang tepat diuraikan di sini. Prinsipnya adalah dikotomi kesejatian individu maupun masyarakat telah berefek besar dalam sejarah umat manusia. Selain itu, sangat lama keduanya mengambangkan visi kemanusiaan sejati dan kemasyarakatan manusia yang luhur.

Penganut kesejatian individu telah mendorong umat manusia pada pembentukan ikatan sosial yang diperah. Begitu pula penganut kesejatian masyarakat telah menghilangkan keluhuran individu manusia.

Prinsipnya, masyarakat yang diklaim oleh dua cara pandang tersebut bukanlah representasi suatu kesejatian sosial. Ia hanyalah perkumpulan rapuh karena hanya menghimpun jasad-jasad manusia berikut tujuan ekonomi-politiknya belaka. Bahkan, konsep tentang kesejatian masyarakat tidak memberikan ruang kepada anggotanya untuk memiliki pendirian dan mengembangkan kebebasan untuk mencapai misi individualnya, termasuk dalam konteks spiritual.

Uraian di atas memperlihatkan betapa rumitnya mengangkat kesalehan sosial sebagai diskursus perbaikan peradaban manusia. Satu-satunya cara adalah mengakui bahwa masyarakat memiliki karakteristik sebagai berikut; 1) memiliki kesejatian yang mandiri (bukan bentukan dan kumpulan semu), 2) tiap individu itu sejati dan mandiri namun memiliki jiwa kemasyarakatan yang fitrawi. Ia bermasyarakat bukan karena pilihan dan paksaan, melainkan karena secara alamiah ia adalah entitas berjiwa kemasyarakatan. 3) individu yang ada di dalamnya saling mengikat dan bertaut melalui spirit (jiwa) kemasyarakat fitrawi tersebut, dan bukan hanya relasi-relasi ekonomi-politik belaka.

Berhimpunnya masyarakat dengan ikatan jiwa kemasyarakatan tersebut akan memberi ruang untuk pengembangan diri anggota masyarakat secara bebas, namun gampang mematuhi etika sosial dan tujuan-tujuan luhurnya. Dengan demikian perhimpunan mereka dalam ikat tersebut menjelmakan sebuah society sejati yang mandiri, laksana individu yang memiliki spirit, moralitas, prinsip-prinsip, pendirian-pendirian, ideologi, dan cita-cita bersama serta sistem sosial yang baik.

Hanya dengan perspektif inilah kesalehan sosial dapat dikembangkan. Kesalehan atau kebaikan-kebaikan individu yang berdampak sosial, lahir bukan karena terdorong oleh kepentingan individual belaka melainkan suatu perbuatan masyarakat sejati dan mandiri tersebut.

Masyarakat yang demikian ini lahir dengan lahirnya individu-individu saleh yang masing-masing mengikat jiwa kemasyarakatannya, seperti sistem etik dan pendirian-pendirian, keyakinan terhadap Tuhan. Ia juga berkembang dengan ideologi dan cita-cita bersama.

Kerja ekonomi-politik adalah format pelayanan sosial yang secara esensial merupakan ekpresi dari ideologi, sistem etik, pendirian, cita-cita yang menjadi ikatan antar individu tersebut. Walhasil, kesalehan sosial yang dimaksud dalam artikel ini adalah social services (pelayanan-pelayanan sosial) melalui kebijakan politik dalam tipologi kemasyarakatan yang terbentuk dari ikatan jiwa kemasyarakatan tiap-tiap individu yang baik. Kebalikannya adalah kejahatan sosial. Kejahatan sosial bukanlah perilaku buruk seorang individu yang berdampak sosial. Kejahatan sejenis ini tetaplah kejahatan individu. Hukumannya dijatuhkan kepada pelakunya.

Kejahatan sosial adalah kebijakan publik yang menyengsarakan umat manusia. Dirancang oleh suatu sistem sosial mandiri dan mengabaikan kepentingan manusia. Hukuman akan ditimpakan kepada masyarakat tersebut.

Imaji kemasyarakat yang demikian ini dapat ditemukan pada suatu bangsa. Dalam bangsa tersebut dapat saja ada generasi yang memiliki ikatan jiwa kemayarakatan yang luhur dan menelurkan berbagai kerja-kerja publik yang positif. Inilah kesalehan sosial itu. Demikian juga mungkin ada generasi yang berhimpun dalam persekongkokan jahat dalam ikatan jiwa kemasyarakatan yang buruk, jika mewujudkan kejahatannya maka ia bukan kejahatan individual melainkan kejahatan sosial. Dosa sosial!

Dan Dialah Yang Mahatahu.

 

Sumber gambar: Kompassiana.

Memaklumi Kapitalisme

“Suasana tahun baru 1994 di Kapal Umsini riuh seperti layaknya pesta ganti tahun. Saya tidak meninggalkan deck tempat saya tidur. Saya terganggu dengan sebuah artikel yang mengulas tesis Samuel P. Huntington. Saya menganggap ini penting karena artikel itu dimuat di sebuah jurnal terkemuka saat itu, Ulumul Quran. Kaum kapitalis kini hendak membuka front baru tatkala merasa telah digjaya menggulung kekuatan kaum komunis dengan runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet.

Catatan di atas adalah sebagian coretan saya ketika masih aktif di HMI Koordinator Komisariat Universitas Hasanuddin.  Kritik ideologi menjadi bagian dari denyut gerakan kampus saat itu. Fakta kesenjangan yang dibuka oleh Orde Baru amat jelas. Ketidakpuasan rakyat luar Jawa atas ketimpangan pembangunan menjadi bahan perbincangan sehari-hari. Kapitalisme menjadi ideologi yang ditampilkan sebagai pesakitan.

Persepsi itu terpelihara sampai selesainya reformasi politik di Indonesia, Mei 1998. Hampir tidak ada pembelaan yang memadai dari pendukung tesis Huntington tentang kemenangan kapitalisme terutama di kalangan aktivis. Tiga tahun kemudian, Juan J. Linz dan kawan-kawan menulis buku yang cukup provokatif berjudul “Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat”. Linz menguliti demokrasi sebagai sistem yang dipercaya oleh prinsip demokrasi untuk mengatur keadilan sosial.

Namun tak berselang lama, saya melihat buku berjudul “Membela Kapitalisme Global”. Bahkan penulisnya pun tak saya baca. Saya secara apriori menganggap buku itu adalah kumpulan pemikiran yang ngawur. Kebencian terhadap kapitalisme sudah demikian mengakar dalam pikiran saya. Sampai suatu hari di sebuah kampus, saya menemukan buku itu lagi. Johan Norberg, penulis muda (saat itu) dengan amat percaya diri membuka diskursus untuk membela konsep kapitalisme. Bertambah lagi satu naskah yang mencoba menguatkan tesis Huntington. Baginya, kapitalisme adalah berkah, bukan sesuatu yang perlu dimusuhi.

Delapan tahun kemudian, majalah Prisma terbit lagi. Edisi yang berjudul “Senjakala Kapitalisme dan Krisis Demokrasi” membaca kapitalisme sebagai suatu eksperimentasi tata kelola kesejahteraan sosial yang justru membentangkan kesenjangan. Tentu saja ini terkonfirmasi dengan kasus resesi yang melanda Amerika Serikat sekitar sepuluh tahun lalu. Wall Street sebagai pusat perguliran modal dan dapat disebut sebagai simbol kapitalisme dunia pernah mengalami goncangan yang amat dahsyat. Banyak pihak sudah membuat pernyataan tentang perlunya mengevaluasi secara serius konsep kapitalisme.

Namun yang terjadi justru menyimpang dari perkiraan tersebut. Goncangan yang sangat dasar pada sendi-sendi kapitalisme tidak segera menyebabkannya terkubur. Alih-alih terkubur, justru kemampuan kapitalisme merajai kehidupan dalam berbagai medan kini terlihat jelas. Setidaknya, kritik atas menganganya kesenjangan memang tak dapat dijawab dengan baik oleh konsep kapitalisme tersebut namun tawaran dari konsep sosialisme atau basis ideologi lain belum kunjung dapat menyetarainya.

Mungkin gagasan Norberg dalam buku Membela Kapitalisme Globa” ini kembali perlu ditelaah secara hati-hati, jernih, dan lebih teliti. Pasalnya, Norberg memiliki tinjauan yang cukup menarik. Ia menyajikan banyak data mengenai perkembangan dunia dalam kurun 1968-1998. Baginya, kapitalisme bukan seperti yang dibesar-besarkan oleh kritikus ideologi yang bertengkar selama ini, baik yang pro maupun konra. Norberg antara lain menyatakan, “Kapitalisme yang saya maksud bukanlah sistem ekonomi yang secara khusus mengatur kepemilikan model dan sistem investasi, sebab hal tersebut juga dapat dijumpai dalam ekonomi yang terpimpin.”

Sebenarnya jika kita ingin melihat rangka dasar kapitalisme, ia tersusun oleh dua prinsip besar; individualisme dan liberalisme. Keduanya lahir berurutan dan sekuensial. Sesudah individualisme maka muncullah liberalisme. Kapitalisme memiliki idealita mengenai kebebasan dan kesempatan yang sama tanpa intervensi sama sekali. Itulah kapitalisme yang dibela oleh Norberg. Hampir sepanjang uraiannya dalam buku Membela Kapitalisme Global tersebut berbicara tentang kebebasan berusaha dan fakta-fakta tentang manfaatnya dalam peningkatan kesejahteraan manusia.

Menurut Norberg, konsep pertumbuhan ekonomi yang banyak dikritik, termasuk oleh kaum environmentalism yang menghendaki kelestarian dan keberlanjutan Sumber Daya Alam (SDA) adalah sesuatu yang salah kaprah. Memang benar bahwa ada eksploitasi dalam konsep pertumbuhan ekonomi tersebut, namun sebenarnya, kekuatan permodalan sangat mudah melakukan kompromi dengan suatu model valuasi ekonomi lingkungan hidup yang rasional dan terukur. Mungkin di sinilah Norberg yakin bahwa kapitalisme harus dibela. Kerusakan lingkungan menurutnya justru lebih banyak terjadi pada negara komunis dibanding negara kapitalis. Boleh juga ditambahkan bahwa negara yang tidak menerapkan kapitalisme seperti sesejati-sejatinya kapitalisme itulah yang akan mengancam lingkungan hidup.

Kapitalisme tidak datang untuk kaum kaya, melainkan memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk kaum miskin juga demi mengakses kesempatan berusaha yang sama. Tentu saja harus merangkak dalam tangga-tangga ekonomi dari dasar. “Dalam ekonomi pasar yang dinamis juga terdapat mobilitas sosial. Seseorang yang  miskin hari ini tidak mesti miskin esok. Ketiadaan hak istimewa yang legal dan pajak tinggi akan meningkatkan peluang orang dalam meningkatkan standar hidupnya melalui kerja keras, pendidikan, dan penghematan. Empat perlima jutawan Amerika memeroleh kekayaan melalui usahanya sendiri, dalam perbandingannya dengan mereka yang menjadi kaya berkat warisan,” tulis Norberg.

Pada pertengahan uraiannya, emosi seorang Norberg tidak dapat ditahan, nampaknya. Ia dengan amat menggebu menyatakan bahwa kebebasan inilah yang seharusnya disebut keadilan. Keadilan bukan distribusi yang diatur oleh otoritas diktatur. Memang Norberg sepertinya belum keluar dari diskursus bipolar antara kapitalisme dan sosialisme. Ia membantah juga mengenai ketimpangan distribusi. Baginya, kemiskinan yang terjadi pada banyak penduduk dunia yang miskin bukanlah akibat sebagian kecil yang kaya. Nampaknya ia juga tak setuju mengenai pemiskinan struktural melainkan gagalnya memanfaatkan kebebasan berusaha yang disiapkan oleh sistem kapitalisme ini.

Pemiskinan struktural memang bukan lahir dari adanya orang kaya, melainkan pada korupnya penguasa yang memiliki akses terhadap distribusi ekonomi dan investasi yang berada dalam otoritasnya. Inilah yang amat terasa emosinya dalam penjelasan-penjelasan Norberg. Kebijakan proteksi yang diterapkan berbagai negara dengan sistem kapitalis, menurut Norberg menyalahi pikiran dasar kapitalisme. Proteksi hanya akan menekan ekonomi dalam negeri untuk menemukan persaingan yang lentur dan ketahanan masa depan. Norberg tak luput membaca kasus bisnis kendaraan bermotor era Soeharto di Indonesia yang hanya mempergulirkan kekayaan dan permodalan di sekeliling keluarga presiden saja. Ini menjadi penjelasannya mengenai sistem proteksi.

Serangan lain kepada sistem kapitalisme adalah kelembagaan ekonomi dan perkreditan dunia. World Bank dan International Monetary Fund (IMF) sering disebut sebagai biang kerok krisis di berbagai negara. Pasalnya, lembaga-lembaga tersebut sering menyertakan berbagai syarat seperti, anggaran dana seimbang, inflasi rendah, persaingan yang terbuka, pasar terbuka, korupsi yang menurun, penguatan penegakan hukum, serta pengurangan anggaran militer untuk dialihkan ke pendidikan dan kesehatan. Melihat hal-hal yang lazim disebut sebagai rekomendasi World Bank  dan IMF sebenarnya bukan suatu yang buruk. Mengapa di negara berkembang rekomendasi itu dituding sebagai intervensi? Memang lembaga donor tersebut melakukan intervensi untuk memberi jaminan kembalinya piutang secara normal, alias kegagalan negara penghutang membayar hutangnya. Kegagalan membayar hutang umumnya disebabkan oleh kesalahgunaan atau adanya pemanfaatan hutang yang salah sasaran. Ambil contoh, korupsi dan kekeliruan prioritas pilihan pembangunan. Kalau negara penghutang mengalami lilitan korupsi ataupun kekeliruan memilih prioritas pembangunan maka apakah kapitalisme juga yang harus disalahkan?

Ketika kritikus kapitalisme bernama E.F. Schumaker menggaungkan konsep bahwa teknologi sederhana dan tepat guna jauh lebih bermanfaat dan dibutuhkan dibanding yang canggih dan rumit, maka Norberg menyatakan pembelaannya. Schumaker menyatakan bahwa kecil itu indah, sedangkan Norberg menegaskan bahwa besar itu indah. Monopolilah yang harus ditakuti, bukan ukuran dan tingkat kerumitan. Begitulah sekali lagi Norberg menyatakan pembelaan terhadap kapitalisme, dan sekali lagi, kesan saya terhadap Norberg bahwa kapitalisme yang benar adalah kesungguhan untuk menjalankan asas liberalism. Jika dicampur dengan kecurangan, maka kapitalisme hanya tertinggal cangkangnya, dan kehilangan isinya.

Buku ini dipungkasi oleh suatu pernyataan yang menurutnya menjadi tulang punggung kesalahan dalam memaknai kapitalisme. Kaum kapitalis keliru menjalankan kapitalisme sehingga menimbulkan ketidakadilan, demikian juga kaum antikapitalis salah kaprah menohok kaum kapitalis yang salah tersebut sebagai representasi konsep kapitalisme. Ia seolah ingin berteriak, “Hei, kapitalisme bukanlah standarisasi, melainkan liberalisasi!” Sambil mengutip kisah Halimah seorang penjual telur yang terhindar dari kecurangan setelah ia memiliki akses untuk mengetahui harga asli telur di pasaran. Ini memperlihatkan bahwa akses informasi secara bebas adalah kontribusi besar kapitalisme terhadap umat manusia.

Di sinilah saya merasa perlu memaklumi kapitalisme. Namun demikian, ini bukanlah suatu permakluman yang mati sehingga saya tidak menyisakan suatu diskursus untuk mengembangkannya menjadi penemuan lain dalam hakikat keadilan yang sebenarnya menjadi buhul utama problem ideologi ini. Norberg sendiri telah memberikan sebuah cara pandang sejak awal tulisannya. Ia mengakui bahwa pertanyaan mendasar mengenai manusia, masyarakat, dan kebebasan ternyata lebih rumit daripada yang dulu ia yakini. Artinya, segala diskursus dalam polemik kapitalisme global adalah bentuk reaksi manusia atas pandangan dunia. Wallahu a’lam.

Judul Buku: Membela Kapitalisme Global

Penulis : Jihan Norberg

Penerjemah: Arpiani dan Sukasah Syahdan

Penyunting: Sukasah Syahdan

Penerbit: Freedom Intitute

Terbit: 2001

Halaman: 432+XLVI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sarung

Sarung adalah busana yang amat lekat dengan bangsa kita. Dahulu, para pelajar mengenakan sarung di sekolah. Begitu juga dalam situasi resmi kerajaan-kerajaan di seantero Nusantara ini.

Dulu, kecuali rumpun bangsa-bangsa Melayu, tidak ada satu negara pun yang menjadikan sarung sebagai busana kebanggaannya dari seremoni budaya yang sakral, kegiatan resmi pemerintahan kerajaan, hingga ke ruang publik. Lihat bangsa-bangsa Eropa yang senang pakai celana panjang, Arab dan Persia dengan jubah (long dress) hingga bangsa Asmat yang mengenakan kulit dan daun kayu. Yaman akrab dengan sarung hanya dalam kegiatan biasa, tidak di tempat-tempat terselenggaranya kegiatan kenegaraan sakral.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, sarung menjadi simbol busana yang berderajat tinggi di pesantren. Santri dan kiyai mengenakannya tiap saat. Sarung pun diproduksi dengan macam-macam fungsi seperti untuk pakaian tidur, mandi, melayani tamu, beribadah salat, hingga mengikuti pesta dan menghadiri upacara sakral di istana-istana. Olehnya itu jugalah, jenis busana ini membuka sumber penghasilan rakyat terbesar melalui produksi tenun yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Teknologi sutera alam sudah lama merajai perdagangan dunia dan mengalahkan reputasi Cina, Arab, dan Eropa di zamannya.

Hingga suatu saat, datanglah Bangsa Eropa. Mereka memperkenalkan martabat baru. Kemajuan ditandai dengan penguasaan industri, sekolah modern, hingga makanan dan busana baru. Usaha-usaha rakyat diganti dengan pabrik megah, pesantren dengan pengajaran sambil lesehan diganti dengan duduk di atas kursi, kitab beraksara Arab dan aksara lokal (Jawi, Lontara, dan sebagainya) diganti dengan huruf Latin. Tak ketinggalan sarung diganti dengan celana panjang.

Suasana kantor dan sekolahan berubah total. Sarung berubah menjadi pakaian petani dan tidak layak dipakai di dalam suasana resmi. Budaya kita yang satu ini diabsorb oleh kedigjayaan Barat/Eropa. Berbeda dengan Bangsa Arab dan Persia yang masih memandang wajar memakai busana jubah dalam situasi resmi kenegaraan. Raja Arab bahkan memakainya sebagai simbol busana negara. Begitu juga Persia (Iran). Malaysia dan Brunei Darussalam masih mengenakan sarung yang dilipat namun hanya dililit menutupi panggul. Belakangan ini di Jakarta, sarung hanya dijadikan pengganti selendang layaknya budaya Betawi.

Sarung turun derajat menjadi busana jelata dan tidak layak menjadi busana terhormat di etalase pemerintahan. Pemakai sarung akan segera minder bertemu dengan orang yang mengenakan celana panjang yang telah diseterika rapi. Terlebih lagi kalau dihadapkan dengan celana loreng yang dikenakan para serdadu.

Suatu saat saya, sangat geram membayangkan tentang serdadu yang menyiksa jelata di hari kemerdekaan. Saya merasa rakyat ini masih dijajah oleh perbedaan busana. Kedongkolan ini terbawa sampai menjelang berangkat ke sekolah. Saya berangkat dengan menyiapkan sarung dan baju biasa dalam tas. Pakaian itu saya kenakan saat menjadi pembina upacara 17 Agustus di sekolah yang saya pimpin. Para guru amat kesal. Saya bisa lihat dari roman wajah mereka. Dari balik tembok ada orang yang melempar sandal ke arah saya. Jatuh tak jauh dari tempat saya berdiri. Saya tidak peduli. Hanya ini yang saya dapat lakukan sebagai solidaritas simbolik kepada sang jelata. Saya bagian dari jelata.

Tahun 2018 lalu, saya terkejut setelah tahu bahwa Capres Joko Widodo memilih KH Maruf Amin sebagai pendampingnya dalam pilpres. Saya bergumam dalam hati bahwa jika mereka berdua terpilih, maka negeri ini akan diwapresi oleh wapres bersarung. Entah wapresnya yang turun derajat, atau sarung mulai dikembalikan sebagai busana khas bangsa kita.

Mei tahun lalu, media nasional seperti Republika, Tempo, dan sebagainya ramai memberitakan gagasan Presiden Jokowi untuk mencanangkan hari khusus pakai sarung. Akan ada satu hari semua diharuskan mengenakan sarung. Maksud menggeliatkan pariwisata melalui promosi sarung mungkin sudah tersimpan dalam gagasan ini. Boleh juga untuk memberi rasa konfidensi kepada para kiai yang lebih akrab dengan busana sarung, tak terkecuali wapres terpilih.

Mungkin dengan masuknya sarung sebagai busana “baru” dalam situasi resmi akan menjadikan Gajah Duduk dan produsen sarung lainnya sebagai industri bermasa depan bagus. Tekstil nasional akan dikembangkan lebih maju lagi.

Ini juga sekaligus untuk membendung persepsi rendah tentang sarung. Saya pernah tersinggung atas ucapan seorang akademisi Iran yang mengejek saya karena salat Duhur mengenakan sarung. Ia membisikkan kepada seorang kawan saya bahwa ia seperti sedang melihat saya laksana orang yang hendak “mendekati istrinya” di ranjang pada malam hari. Begitu rendahkah sarung di mata dunia?

Semua tergantung bangsa ini menyikapinya. Apakah ia akan ditempatkan sejajar dengan busana lain atau tidak? Apakah ia hanya dianggap pantas untuk dikenakan di hari lebaran sehingga pejabat tinggi pun merasa perlu mengincar produk Gajah Duduk terbaik jelang lebaran? Apakah sarung hanya lekat dengan pakaian umat Islam dan Hindu sebab hanya sedikit gereja yang akrab dengan jamaah bersarung? Entahlah! Semua sangat tergantung pada persepsi.

Bahasa industri hanya ingin mengatakan bahwa persepsi tentang sesuatu akan menentukan ia layak diberi harga tinggi atau tidak. Ia layak mendulang uang atau tidak. Produk yang dibatasi penggunaannya akan terbatas pula nilai ekonomisnya. Makin luas penggunaannya makin tinggi pulalah nilai ekonomisnya. Sarung pernah berada di simpang jalan. Ketika Maruf Amin sedang diuji kemauannya mendobrak persepsi yang rendah tentang sarung. Apa lacur, sarung tetaplah sarung yang berada di dalam batang limbik kaum modernis.Sang Wapres bercelana panjang, kemeja, atau jas, bahkan kadang dilengkapi dengan dasi.

Kapitalisasi sarung dan peluang bisnisnya tak berhasil diangkat ke simbol pakaian resmi yang disejajarkan dengan yang lain. KH Habib Lutfi bin Yahya, Ketua Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (Jatman) tatkala dipanggil oleh presiden sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ternyata tak juga berminat mempertahankan sarung sebagai busana yang layak digunakan dalam suasana kehormatan di istana dan kegiatan resmi pemerintahan. Persis sama dengan KH Ma’ruf Amin, sarung diletakkannya di kelas-kelas pesantren. Saat dilantik, beliau terlihat mengenakan busana layaknya para pejabat lain. Sebutan “kaum sarungan” kian tak menuai perbaikan kelas di dalam  persepsi sosial kita.

Baik KH. Ma’ruf amin, Sang Wapres, maupun KH. Habib Lutfi bin Yahya luput memperhatikan peluang besar sarung menjadi pakaian kebesaran baru bangsa Indonesia. Peluang melebarkan pasar kembali surut, dan jangkauan penggunaan sarung tertahan lagi di halaman pesantren. Padahal kalau ini dikembangkan terus maka memungkinkan inovasi desain busana suatu saat nanti akan memaksa Trump atau para penerusnya bangga mengenakan sarung. Mengapa? Jangan bayangkan bahwa berbusana sarung di ruang resmi kenegaraan akan sama santainya santri yang sedang duduk menghapal pelajaran diniyah di beranda masjid pesantren! Cobalah bayangkan suatu desain busana yang berbasis sarung dengan berbagai modifikasi elegan dan layak dipandang dalam suasana formal!

Kabar baik buat petani tentu saja karena perkembangan industri tekstil akan diikuti permintaan bahan baku. Petani kapas dan peternak ulat sutera tentu akan bergeliat. Penggerak industri hijau pun akan merancang tumbuhnya kegiatan pertanian ramah lingkungan dengan menggiatkan tani organik. Semua dipicu oleh sarung.

Tampilnya KH. Ma’ruf Amin dan KH. Lutfi bin Yahya ke panggung politik nasional pernah memberi peluang bagi busana sarung untuk menggebrak dua segmen sekaligus; budaya dan industri. Ini disebut peluang karena kedua sosok ini dikenal sangat konsisten bersarung saat masih menjadi tokoh masyarakat atau tokoh organisasi masyarakat Islam. Menghadiri acara resmi kenegaraan pun keduanya tak pernah menyesuaikan busananya.

Kini, state terbukti lebih sakti! Tokoh society harus tampil menyesuaikan diri tatkala menjadi pejabat dalam panggung state. Market tak bisa berbicara banyak. Padahal andai saja wapres meminta suatu desain elegan agar beliau tetap memakai sarung dalam suasana formal, demikian juga Habib Lutfi bin Yahya, tentu saja pengena sarung tidak lagi akan dilempari sandal seperti saat upacara protes di sekolah kami beberapa tahun lalu, melainkan akan tampil gagah bermartabat. Lemparan sandal akan berubah menjadi lemparan uang. State, society, and market akan berkonfigurasi mengusung bersama satu model kewibawaan baru; sarung! Wallahu a’lam bisshawab.