Views: 9,167
Tempo hari, seorang perempuan manis bertanya kepada saya tentang yang mana sih Islam yang baik itu? Maka saya pun kaget. Soalnya dia bertanya lewat chat di Mesengger yang tentu saja adalah ruang sempit untuk menjawab sebuah pertanyaan kompleks sejak ribuan tahun lalu. (Mungkin) seperti itulah wajah keberagamaan sekarang, serba instan dan sederhana. Makanya ulama besar seperti Felix Siaw, “bosku”, bisa demikian terkenal dan digilai oleh ukhti–ukhti dan juga ikhwan-ikhwan. Kutipan-kutipannya itu loh, bikin otak dan hati buta, tak butuh berpikir lebih dalam lagi; semacam kesederhanaan yang meringkus akal sehat.
Selain itu, diskusi kami sebenarnya bukan perihal ‘Islam’, tetapi sesuatu yang lebih sakral; tentang perasaan kemanusiaan yang kita sepakati sebagai agape (semacam cinta yang sudah koyak). Maka dia pun memelintirnya ke arah ‘Islam yang baik’. Saya sempat menawarkannya untuk bertemu dan berdiskusi saja, tapi dia yang seperti “puncak gunung salju di Himalaya”, tetap dingin tak bergeming; “Tidak,” katanya. Lalu saya pun menawarkannya sebuah esai sederhana, jawabannya sih tetap tidak, “Lewat Messengger saja,” tulisnya. Oleh sebab itu, saya pun menuliskannya kalimat-kalimat sederhana lewat Messengger, bahwa, “Islam itu adalah tentang kedamaian dan juga keadilan.”
Namun hari ini, saya tak begitu nyaman dengan jawaban di atas. Islam (bagi saya) jauh lebih luas dan kompleks. Kompleksitas inilah yang membuat saya kesusahan menjawab pertanyaan teman yang saya panggil ‘Putri Salju’ itu. Sebab Islam harus dilihat dari segala aspek dong, yakni aspek teologi, aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisisme, aspek falsafah, sejarah, ataupun budaya. Demikianlah yang dikatakan Harun Nasution, untuk menghindari kekeliruan/kesalahpahaman dalam membaca Islam. Sehingga, Islam tidak sesederhana kutipan-kutipan Felix Siaw “Bosku”, yang dengannya (mungkin) kita sudah ‘rela mati’. Jihad di jalan Allah demi harga diri Islam.
Islam sebagai ‘pengetahuan’ yang kompleks itu dengan demikian perlu menjadi usaha (Jihad) yang intens dan terus-menerus untuk kita pelajari. Proses belajar (membaca) tentang semua aspek itu penting untuk menghindari kesalapahaman atau pengetahuan yang tidak lengkap (salah) tentang Islam.
Tapi tentu saja, kita tidak mungkin bertemu dan belajar bersama, dalam ruang romantisme yang teduh. Berdiskusi dan bercerita tentang Islam pada sebuah sore di beranda rumah dengan segelas kopi dan bunga-bunga. Engkau sudah demikian tegas dan yakin menolak untuk mimpi-mimpi sederhana itu. Sehingga saya hanya bisa menuturkan sedikit saja perihal Islam, sejauh yang saya baca.
***
Ada dua hal yang bisa kita jadikan sandaran teoritik (saya sebenarnya agak malas bicara teoritis sih, takut dianggap sok tahu, tapi tak apalah, kita kesampingkan dulu persepsi itu). Yang pertama adalah rukun Islam dan yang kedua adalah hadis Nabi.
Islam tentu saja bermula dari lima rukun Islam. Seseorang dikatakan ‘Islam’ ketika seseorang itu mengikrarkan kalimat syahadat (percaya pada satu Tuhan dan Muhammad adalah utusannya), melaksanakan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan menunaikan ibadah haji di Mekkah. Itulah hakikat formal jika hendak dikatakan islam. So, selama seseorang menjalankan lima perintah di atas dengan baik, maka dia sudah termasuk Islam yang baik (taat).
Hal kedua yang bisa menjadi jawaban adalah hadis terkenal Rasulullah ketika ketemuan dengan Jibril. Dalam hadis, Rasulullah menjawab tiga pertanyaan Malaikat Jibril. Perihal pertanyaan “Islam”, “iman”, dan “ihsan”, Nabi memberikan jawaban sebagai berikut—saya kutip langsung saja dari buku Toshihiko Izutsu The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam:
(1). Islam adalah kamu menyembah Tuhan dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, kamu melaksanakan salat, membayar zakat, dan melaksanakan puasa Ramadan.
(2). Kepercayaan ‘iman’ ialah kamu percaya kepada Tuhan, Malaikat-Nya, Kitab-kitabNya, pertemuan dengan Dia (di akhirat), Utusan-Nya dan hari kebangkitan.
(3). ‘Kesempurnaan’ ihsan yakni, menjadi muslim yang sempurna ialah kamu menyembah Tuhan (selalu) seakan-akan kamu melihat-Nya, apabila kamu tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.
Demikianlah tanya-jawab antara Rasulullah dengan Malaikat Jibril. Tanya-jawab yang hendak mengajarkan tentang konsep keber-Islaman. Konsep yang memuat sebuah sistem. Di mana tingkatan tertinggi adalah ihsan, tengah-tengah adalah iman, dan selanjutnya adalah Islam. Dengan demikian, seperti yang dijelaskan juga oleh Ibn Taymiyyah bahwa setiap muhsin (orang yang ihsan) adalah seorang yang mu’min (orang yang iman, atau percaya), dan setiap mu’min adalah seorang yang muslim ( orang islam, atau muslim) tetapi tidak setiap mu’min adalah muhsin, dan tidak setiap muslim adalah mu’min.
Dari penjelasan di atas, ihsan mengandung maksud yang lebih luas di antara dua kata sebelumnya –iman dan Islam. Ihsan mengandung makna yang dimiliki oleh kata iman dan Islam. Semacam bentuk sempurna dari dua kata tersebut. Tetapi pada kenyataanya, orang yang muhsin itu lebih sedikit dibanding yang mu’min dan muslim. Demikian juga orang yang mu’min, lebih sedikit dibanding yang muslim. Muslimlah (orang yang memenuhi kriteria Islam) yang lebih banyak dalam keberagamaan kita sekarang.
Secara kualitas, ihsan berada pada tingkatan tertinggi dibandikan iman dan Islam. Tetapi secara kuantitas, ihsan jauh lebih sedikit dibanding keduanya. Menjadikan kuantitas sebagai kebanggaan dalam beragama sah sah saja. Tetapi menjadikannya sebagai pembenaran mutlak juga sedikit keliru. Apalagi jika sampai memaksakan sesuatu pada minoritas, misalnya pada keimanan ataukah pada yang muhsin.
***
Lalu bagaimana harusnya bersikap ataupun menunjukkan wajah Islam yang baik pada saat sekarang ini? Menurut saya, seperti itulah kira-kira pertanyaan yang akan muncul kalau kita sedikit meneruskan diskusi. Dan menurut saya, itu pertanyaan yang cerdas, senantiasa mengaitkan (kontekstualisasikan) keislaman untuk menjawab persoalan-persoalan sekarang.
Yang pertama, kalau kita hendak membaca situasi/masalah sekarang, kita harus berada di luar lingkaran masalah itu dulu. Dengan mengambil jarak dari masalah (politik dan keyakinan keberagamaan) saat ini, kita akan dengan mudah menemukan secercah pencerahan. Kalaupun tidak, minimal kita tidak terjebak dulu di antara keduanya, agar kita bebas/merdeka dalam berpikir.
Kebebasan yang saya maksud termasuk membaca misi awal keislaman Rasulullah. Pada masa awal kerasulan Muhammad Saw, misi beliau adalah ketauhidan, mengesakan Allah Swt. Beliau mengajarkan Islam yang hanif. Mengajarkan Islam sebagai fitrah kemanusiaan. Bahwa manusia di mata Tuhan adalah sama derajatnya. Demikianlah misi beliau, sebagai rahmat seluruh alam.
Itulah misi awal kenabian sewaktu di Mekkah. Tetapi misi kemudian berubah ketika Nabi dimusuhi/tak berterima oleh orang-orang Mekkah. Nabi kemudian hijrah ke Madinah. Di tempat ini, suatu organisasi (kita menyebutnya sekarang institusi pemerintahan) pertama kali dibentuk. Institusi/lembaga ini disebut umat (ummah). Seperti yang diceramahkan oleh Nurcholis Majid, umat inilah yang dibolehkan berperang (dengan terpaksa) karena pada waktu itu, keselamatan Nabi dan pengikutnya selalu terancam. Maka dimulailah cikal bakal bertumbuhnya umat, yang kemudian melahirkan tensi atau ketegangan antara Islam itu sendiri sebagai ajaran dan umat sebagai wadah ajaran.
Apa yang menjadi persoalan kemudian adalah, lebih dominannya pembelaan terhadap umat dibandingkan dengan Islam itu sendiri. Di mana kelompok lebih diutamakan/dibanggakan dibandingkan ajaran Islam (tauhid) itu sendiri sebagaimana awal misi kenabian Muhammad Saw. Lebih menonjolkan ‘wajah kelompok’ inilah yang disebut komunalisme. Sikap (keberislaman) ini berbahaya sebab punya kecenderungan untuk melakukan ‘pembenaran’ pada kelompoknya sendiri dan menganggap kelompok di luar mereka sebagai pihak yang salah/keliru. Lebih jauh lagi, hal ini bisa memicu perselisihan, sebagaimana telah banyak ditunjukkan dalam sejarah.
Lalu apakah kita yang mengaku Islam harus diam saja kalau agama kita dihina? (kalaupun betul dihina).
Kita boleh saja marah atau memilih diam (sabar) saja. Tapi kemarahan yang tidak memicu perpecahan. Kemarahan yang masih mengedepankan nalar yang sehat. Kita harus lebih mengutamakan kedamaian, sebab makna dasar Islam dari kata salam yang berarti damai, atau lebih spesifik lagi aslama yang berarti menerima, menyerah atau tunduk (kepada Tuhan), definisi ini saya kutip dari “Om” Google.
Kita juga harus jeli dan sensitif dong, bahwa masalah yang belakangan ini terjadi sebenarnya bukan murni masalah keagamaan, tetapi juga masalah politik (Pilkada Jakarta dan Pemerintahan Jokowi-JK). Dan politik adalah lumpur hitam yang kotor kata seorang Soe Hok Gie. Lumpur yang bisa mengotori baju agama kita. Pada tahap itulah, kita, tak seharusnya menunjukkan wajah keberagamaan yang berlebihan (liar), tetapi sebaliknya, wajah keberagamaan yang cerdas tak mudah terprovokasi oleh para elit politik.
Wah… ini bisa panjang ngomongnya. Sudah dulu nah. Saya bikin kopi dulu, soalnya kamu selalu saja ngeles menyeduhkan kopi buatku. Alasannya masih sama, kamu tetap tak punya ‘perasaan’ apa-apa. Kopi yang diseduh dengan perasaan demikian, akan menjadikan hidup seperti tak punya gairah. Sebatas hitam ampas kopi, berakhir dengan tangis. Menurut saya demikian. Kamu tetap menolak bicara, bukan?
Nuun.
Bahan Bacaan:
Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya jilid 1.UI Press.2001
Toshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic Theology : A Semantical Analysis of Iman and Islam.Tiara Wacana.1994.
Nurcholis Madjid, Atas Nama Pengalaman ; Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi.Dian Rakyat.2009.
Pernah Aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah Takalar. Laki-laki penyuka kopi dan buku.