Semua tulisan dari Syahrul Alfarabi

Pernah Aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah Takalar. Laki-laki penyuka kopi dan buku.

Aporia

Seorang teman sering bilang bahwa dia kadang mengalami kebingungan (aporia) ketika teman dan keluarganya bertanya “kapan kamu nikah? “. Sebuah pertanyaan abadi nan klasik dalam kabut modernitas kemanusiaan saat ini. Apatah lagi ketika musim nikah seperti saat sekarang ini. Pertanyaan itu akan selalu berhembus seperti angin sepoi-sepoi melalui telinga kita. Tapi justru kita menganggapnya badai yang tak punya akhir cerita.

Dan saya hanya bisa tersenyum sebagai tanda menghibur kepada teman saya dan tentu saja tidak bisa berkomentar banyak. Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang paling dihindari oleh beberapa orang. Saya tidak tahu persis alasannya. Mungkin karena pertanyaan itu menghadirkan sebuah ‘kekosongan’ yang menakutkan dan mencemaskan. Kita dibuat terhenyak. Diam.

Seorang lelaki tua yang hidup di Yunani pada tahun 470-399 SM justru sangat senang dan berbahagia pada pertanyaan-pertanyaan. Namanya Socrates, seorang yang bertubuh pendek, brewokan, dan botak. Dia tidak begitu populer. Namun lelaki tua ini sangat berbahagia dengan pertanyaan-pertanyaan. Baginya, lewat pertanyaan, kita bisa menunjukkan ‘ketidaktahuan’ manusia.

Ketidaktahuan mungkin adalah sebuah kemewahan pada sebuah zaman informasi  yang cepat saat sekarang ini. Dari sana, kita sesaat terhenti dan sadar, bahwa tidak semua pertanyaan dapat (harus) kita jawab. Kebijaksanaan bukanlah tentang mengetahui segala sesuatu. Seperti Socrates, kebijaksanaan adalah ketika kita tahu bahwa kita tidak tahu apa-apa.

Saya kira, kebijaksanaan Socrates penting dihadirkan pada zaman ‘serba tahu’ sekarang ini. Tidak hanya digunakan untuk mengahadapi pertanyaan ‘kapan nikah?’ tapi juga penting dalam cara kita beragama. Ketidaktahuan ini akan menjadi sebuah  ‘berkah’, semacam kondisi terbaik dalam hidup.

Karen Armstrong dalam Twelve Steps to a Campassionate Life menyebutnya sebagai langkah ke 7 menuju hidup berbelas kasih. Menurutnya, agama berada pada kondisi terbaiknya ketika membantu kita untuk ‘bertanya dan menjaga rasa takjub’ kita (pada tuhan), dan bisa berada pada keadaan paling buruk ketika mencoba menjawab pertanyaan itu secara otoritatif dan dogmatis.

Hal yang disampaikan Armstrong akan muncul dalam pertanyaan yang mencoba mencari jawab tentang Tuhan yang transenden. Sebuah jawaban entah. Jawaban yang tidak punya ukuran defenitif yang pasti. Karenanya, mereka yang memaksakan jawab akan jatuh pada dogmatisme kaku hingga pada berhala palsu.

Mistikus China, Zhuangzi (370-311 SM), seorang guru zaman Aksial percaya bahwa satu-satunya yang bernilai untuk dikatakan adalah sebuah tanya yang membenamkan pendengarnya ke dalam keraguan dan ketidakpastian numinus. Armstrong menyebutnya sebagai ‘sains kasih sayang’, semacam sikap ‘melupakan’ atau ‘mengosongkan’ diri dan memberikan ruang pada yang lain.

Konon, pada saat itu, kita tak akan melihat segala sesuatu (harus selalu) dengan ego pengetahuan atau tafsir kita. Memaksakan kehendak dan keyakinan kita pada yang lain. Tetapi kita akan melihat dan menganggap orang lain sebagai ‘aku’ dalam interaksi sosial. Dengan demikian, kita akan merasakan derita mereka sebagai derita kita, tangis mereka sebagai tangis kita. Semacam prinsip kesatuan dalam semesta.

Memang tak mudah. Merawat laku kemanusiaan dan spiritual semacam itu sama saja dengan meniadakan diri di tengah gemuruh badai eksistensi saat ini. Semua orang ingin bicara, semua kawan ingin didengar dan menyumbangkan buah pikiran dan ide-ide mereka. Tapi tentu saja tidak harus dengan sikap memaksa dan ‘menghegemoni’ suara-suara lain, hingga melakukan tindak dan aksi kekerasan.

Jika sikap ‘mengosongkan’ dan ‘melupakan’ diri menjadi salah satu prinsip hidup bermasyarakat, maka tidak mustahil akan tumbuh sikap saling menghargai, berbelas kasih, dan mencintai antar sesama manusia tanpa kebencian dan sikap memaksakan kehendak dan keyakinan. Sebuah laku menghargai antar sesama. Menghargai segala yang beda. Dan bukan sikap yang ingin menguasai dengan intensi yang ngeri. Intensi yang kadang melebihi batas-batas kemanusiaan.

 

Iman Kepada Media

Kemarin saya diminta oleh panitia LK 2 Psikologi UNM membawakan materi tentang ‘Hegemoni Media’[. Kegiatan yang bertempat di STIE AMKOP Makassar menghadirkan beberapa pemateri yang punya perjalanan dan karya intelektual yang begitu berpengaruh. Tersebutlah nama besar seperti pak Alwy Rahman, Alto Makmuralto, Bahrul Amsal sampai Aan Mansur. Sedangkan saya – Syahrul Al Farabi – sama sekali jauh dari hal itu. Oleh sebabnya, sampai sekarang, saya masih bertanya-tanya, atas dasar apa si panitia ikut menyelipkan nama saya di sana?

Tapi saya sudah jadi bubur. Eh, maksud saya, nasi sudah jadi bubur. Saya mengikuti permintaan teman-teman panitia. Dengan demikian, sejak empat hari yang lalu , saya disibukkan bertanya sana sini kepada senior dan membaca beberapa buku terkait ‘Hegemoni Media’. Sebutlah misalnya Eriyanto dengan Analisis Wacana-nya,  Franz Magnis Suseno  Dalam Bayang-bayang Lenin, dan beberapa artikel tentang framing dan teori kritis. Itulah sedikit modal dasar saya bicara di depan teman-teman mahasiswa Psikologi. Dan supaya ndak malu-maluin amat, saya sertakan juga beberapa keping tulisan di bawah ini tentang Hegemoni, yang saya beri judul ‘Iman kepada Media’.

*

Iman adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan sebuah ketundukan kepada Tuhan yang Maha Esa. Iman menjadi sebuah sistem kepercayaan yang hendak mendeklarasikan sebuah kebenaran pada sesuatu yang Transenden. Hari ini kita menyebutnya Tuhan. Segala sistem kepercayaan ini didasarkan pada teks kitab suci (Al Qur’an) ataupun Sunnah Rasul. Dari sanalah segala informasi kepercayaan dijadikan dasar hingga akhirnya dipercaya, diyakini, dan jadi pedoman hidup hingga akhir zaman.

Nah, di era modern seperti saat sekarang, di mana teknologi semakin berkembang, cepat, dan canggih, iman telah mengalami pergeseran. Kalau sebelumnya kita menyandarkan segala sistem kepercayaan (iman) kepada kitab suci dan segala tingkah laku Rasul, hari ini mungkin iman telah bergeser kepada ‘sebuah alat’ yang bisa mendefinisikan tentang dunia dan segala isinya ; Media. Melalui alat baca inilah, sebuah ideologi ataupun ajaran disisipkan untuk diyakini seperti wahyu yang diturunkan oleh Tuhan dari langit. Seperti sebuah kebenaran, yang tak punya cela dan cacat untuk dikritik lagi. Selesai. Final dan objektif. Dengan demikian, kita hanya butuh tunduk dan patuh.

Saya lebih senang menyebut bentuk kepercayaan (iman) di atas sebagai bentuk hegemoni. Pada poin ini, kita harus berkenalan dengan Gramsci. Laki-laki bongkol dari pulau Sardinia ini “membangun sebuah teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan” (Eriyanto, hal.103). Pada tahap ini media bekerja, bagaimana dia (media) menguatkan posisi sebuah kelompok dan merendahkan kelompok lain.

Masih menurut Gramsci, kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya menguasai melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan  relasi produksi, tetapi juga melalui kekuatan (force) dan hegemoni. Yang pertama menggunakan daya paksa lewat aturan-aturan yang mengikat untuk ikut dan patuh atas segala syarat atau nilai-nilai tertentu, yang kedua lebih bersifat ‘sukarela’. Gramsci menyebutnya sebagai ‘kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok yang dikuasai. Penguasaan ini, bisa dengan jalan politik, kepemimpinan intelektual, moral sampai agama. Ciri dari hegemoni ini adalah ia menciptakan cara berpikir yang dominan, rasional, paling benar, dan menegasi kelompok lain.

Demikianlah ritual hegemoni itu lahir. Ia berjalan melalui proses yang halus dan tampak wajar. Semua orang menganggapnya benar dan tidak usah dipertanyakan lagi. Media adalah dunia yang menjadi lahan subur berkembangnya ritual hegemonik tersebut.

*

Secara umum, media dalam menyebarkan doktrinnya menggunakan medium/pemakaian bahasa. Bahasa menjadi representasi dari kenyataan atau sebuah peristiwa. Mohammad A.S Hikam melalui ‘mulut’ Eriyanto membaginya dalam tiga cara pandang. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Menurut pandangan ini, bahasa dilihat sebagai perantara antara manusia dan objek di luar dirinya. Bahasa yang memuat pernyataan-pernyataan logis, sistematis, dan terukur adalah bahasa yang tidak butuh lagi tafsir yang sifatnya subjektif. Bagi penganut paham ini, benar dan salah hanya dilihat dari bangunan semantiknya.

Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme yang punya persinggungan dengan fenomenologi. Aliran ini menolak positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme menganggap subjek (dalam hal ini si penyampai berita) punya peran sentral. Alasannya, subjek memiliki kemampuan kontrol terhadap setiap kepentingan/maksud dalam setiap wacana. Namun bagi saya , subjek dan bahasa secara bersama-sama punya peran sentral dalam pembentukan wacana. Lewat medium bahasalah segala kepentingan mewujud dan jati diri subjek terepresentasikan.

Pandangan kritis menjadi pandangan ketiga yang mengoreksi pandangan konstruksivisme. Apa yang menjadi kritik adalah hubungan proses produksi dan reproduksi wacana yang tidak berimbang, baik secara historis maupun institusional. Dengan demikian, pandangan ini tidak hanya melihat hubungan tata bahasa, pernyataan-pernyataan, ataupun makna yang punya tujuan tertentu, tetapi lebih jauh menganalisis konteks dan praktik kekuasaan.

*

Analisis Wacana Kritis

Bagaimanakah sebaiknya berhadapan dengan berbagai macam wacana yang diproduksi oleh media? Itu adalah pertanyaan umum yang hadir dari diskusi LK2 kemarin. Oleh sebabnya, saya hanya menyarankan untuk bersama-sama membaca dua alat analisis. Yang pertama adalah Critical Discourse Analisis atau Analisis Wacana Kritis dan kedua Analisis Framing. Namun, pada tulisan ini, saya tidak akan menyinggung perihal ‘framing’. Selain kekurangan referensi, konsep framing terbilang detail dan spesifik menganalisis media dalam memilah dan memotong realitas, yang kemudian akhirnya melemparnya ke publik. Sedangkan untuk teori analisis wacana kritis, saya hanya akan menyinggung teori Fairclough dari sekian banyak teori yang ada.

Menurut Fairclough, analisis wacana kritis melihat wacana – pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, hal 7). Sebagai praktik sosial, wacana menjadi semacam diskursus berhadapan dengan segala situasi, institusi ataupun struktur sosial di masyarakat. Pada tahap ini, Fairclough mengintegrasikan analisis wacana berdasarkan linguistik dan pemikiran sosial-politik demi perubahan sosial. Melalui model ini, Fairclough berusaha melihat bagaimana sebuah wacana terbentuk dan bagaimana semaksimal mungkin menggunakan wacana tersebut sebagai alat perubahan sosial.

Ada tiga dimensi penting dalam teori Fairclough : text discourse practice, dan sociocultural practice. Teks dianalisis secara linguistik, misalnya kosakata, aturan penggunaan kalimat ataupun tata bahasa. Analisis ini bertujuan melihat hubungan linguistik dan  semantik yang kemudian membentuk suatu pengertian sehingga menunjukkan muatan ideologis tertentu.

Berbeda dengan teks, discourse practice melihat bagaimana sebuah teks diproduksi dan dikonsumsi. Setiap teks ataupun wacana punya pola yang berbeda dalam proses produksi. Pola ini punya mekanisme yang spesifik dan teratur di mana setiap wartawan mesti mengikuti pola ini. Demikian juga dengan pola konsumsi teks akan berbeda berdasarkan konteks sosial. Seorang petani akan punya kecenderungan membaca berita yang berbeda dengan seorang politisi di perkotaan.

Sedangkan sociocultural practice lebih menekankan pada segala konteks di luar teks. Segala kejadian atau peristiwa di luar teks sangat mempengaruhi bagaimana sebuah teks dibangun. Menurut Fairclough, kondisi sociocultural ini mempengaruhi teks secara langsung namun tetap dipengaruhi atau dimediasi dalam pola hubungan discourse practice. Misalnya bagaimana sebuah teks harus diproduksi ataupun bagaimana wajah masyarakat yang akan mengonsumsi berita tersebut.

Demikian sebagian catatan kecil dari teori Fairclough. Karangan sederhana ini hanya mewakili satu dari sekian banyak teori tentang analisis wacana kritis. Buku yang bisa menjadi pengantar adalah Eriyanto Analisis Wacana ataupun Analisis Framing. Buku Idi Subandi Ibrahim yang menulis Budaya Populer sebagai Komunikasi atau Deddi Mulyana yang menulis Bercinta dengan Televisi. Beberapa buku tersebut cukup komprehensif dalam mengkaji ‘Analisis Wacana’.

Sebagai penutup, penting sebagai pembaca untuk senantiasa mengambil jarak dan curiga pada setiap teks yang lahir dari rahim seorang penulis. Kecurigaan ataupun daya kritis ini bisa dalam bentuk opini yang cerdas dalam melihat dan membaca segala bentuk wacana yang hegemonik. Kecurigaan dan daya kritis ini juga diharapkan melahirkan fungsi batas faktual, dalam bahasa St. Sunardi, semacam pelampauan positivitas (text) menuju after-humanistic.

Trims.

Ilustrasi: https://digitalculurejamrhetorics.wordpress.com

Yang Membunuh dan Menghidupkan: Catatan Tersendiri untuk Puisi Rindu Asran Salam

Tahukah engkau apa itu rindu?

Ia berjarak tak berjauhan, jua tak berdekatan

Tahukah engkau apa itu rindu?

Ia derita yang panjang, jua bahagia tak berkesudahan

Tahukah engkau apa itu rindu?

Ia air mata yang tak menetes, jua tawa tak bersuara

Tahukan engkau apa itu rindu?

Ia intensi tanpa pretensi, jua perintah tak menyuruh

Tahukah engkau apa itu rindu?

Ia durasi, jua singkat

Tahukah engkau apa itu rindu?

Entahlah yang tak berkesudahan

1

Konon, ketika seorang penulis mewartakan segala pengalaman psikologisnya ke dalam sebuah teks, pada saat itu, pengalaman itu juga telah dibunuh dan dibungkam. Hilang. Di sana, tak ada lagi suara (hati) penulis. Sebab teks kadang adalah bahasa bisu kesunyian. Oleh sebabnya, teks butuh untuk dibaca. Menghidupkan dan menghadirkan kembali ‘perasaan penulis’ dengan wacana baru. Dengan makna makna baru.

Kegiatan memberikan (menambahkan) makna ini juga boleh dikata adalah kegiatan menebak-nebak saja. Sebab mustahil mengetahui maksud sebenarnya dari seorang pengarang. Hal inilah (dalam interpretasi) yang disarankan oleh Schleirmacher dengan validasi “divinatoris” terhadap apa yang ia sebut dengan gramatikal. Dari sanalah dimulainya sebuah proses membaca (memahami).

2

Selain sebagai tindak memahami, membaca puisi juga amat penting ketika hati diliputi gersang modernitas ataupun kekeringan oleh segala sains yang positivistik. Modernitas yang hanya dikepung oleh aktifitas fisik-kerja. Positivisme yang terjebak pada objektivitas cogito. Di sana, jiwa kosong, manusia yang tak lagi punya rasa pada estetika, apalagi meneguk spiritualitas. Estetika (dan juga spiritualitas) inilah yang dihadirkan lewat puisi, yang memuat simbol dan juga metafora lewat bahasa literer. Saya tidak akan bicara lebih jauh perihal metafora dalam tulisan ini. Sebab hal demikian tak begitu dominan muncul pada sebuah puisi yang akan saya omongkan nanti. Yang justru nampak sangat kentara dalam setiap penggalan kalimatnya justru teks puisi yang filosofis-kontradiktif.

Filosofis dikarenakan keseluruhan teksnya menghadirkan tanya dan jawab. Pertanyaan tentang rindu yang punya banyak makna. Dan makna-makna yang muatannya berlawanan satu sama lain. Dalam kaidah linguistik, hal demikian tak lagi sesuai aturan gramatikal. Sebab grammar hendak menemukan meaning di antara jalinan-jalinan teks. Tapi tentu saja tak demikian denga puisi. Di situlah saya kira “wajah” penting sebuah karya sastra. Wajah yang tak bisa diringkus dengan mudah oleh objektifitas sains/pengetahuan.

3

Mereka yang membaca (apalagi mencintai) puisi, juga secara otomatis akan mencintai keindahan dalam makna yang dikandungnya. Kecintaan ini, menurut hemat penulis, akan sedikit banyak menangkal “radikalisme” yang kini sedang menjadi populer dikalangan masyarakat (Islam) kita. Meskipun baru hipotesis, tak ada salahnya membumikan puisi pada seluruh lapisan masyarakat, di kota ataupun di desa, dari anak kecil hingga orang tua. Berusaha menelusuri setiap susunan indah diksinya dan berusaha jatuh tercelup pada kedalaman maknanya.

Metafora adalah salah satu unsur penting pembangun puisi. Di sana imajinasi akan bebas bergerak kesana kemari membayangkan segala semesta. Meskipun dalam puisi Rindu di atas, unsur metaforisnya tidak begitu tercermin, tetapi lebih kepada susunan larik yang berisi “bunyi” yang menentramkan. Serupa mantra yang dibaca oleh para saman.

Tetapi tentu saja puisi Rindu yang ditulis oleh seorang Asran bukanlah mantra. Sebab mantra tak memperhatikan lagi makna. Hanya ada suara-suara. Biji teks di mana kita bisa mendengar biji kerongkongan, patina konsonan, keganasan vokal, seluruh stereofani karnal: artikulasi tubuh, lidah, bukan artikulasi makna, bahasa. Yang barusan itu adalah kata-kata Roland Barthes, seorang scholar bahasa pada bagian akhir The Pleasure of the Text.

Dalam mantra, keindahan tak ditemukan lagi pada teks atau pesannya, keteraturan tata bahasa, atau metafora. Tapi keindahan (kenikmatan) itu didapat dari “wilayah pengalaman” saat sebuah teks keluar dari segala ikatan-ikatan. Dalam bahasa St. Sunardi, saat sebuah teks berhasil mengantar orang untuk bertemu dengan tubuhnya sendiri.

4

Ohh..iya. Sekadar info saja, apresiasi (omong – omongan) tentang Rindu ini lahir kala hujan turun pada sebuah sore yang ganjil. Mungkin kalian tahu sendiri, hujan adalah waktu terbaik membaca puisi. Kita akan disesaki oleh gelombang suka cita yang tak terjelaskan. Keduanya adalah perpaduan yang membuat pagi dan sore hari seperti mimpi yang mistik. Kita berada pada ruang masa lalu dan masa depan pada waktu yang bersamaan. Dan pada saat itu hadir, kita seperti bukan siapa siapa.

Tahukah engkau apa itu rindu?

Ia berjarak tak berjauhan, jua tak berdekatan”/

 

Rindu dengan demikian, telah mengutakatik dimensi ruang-waktu. Ruang-waktu tak menjadi spesifik materi ataupun angka angka. Kalaupun harus dipaksakan, maka angka-angka tersebut adalah angka gaib. Begitu engkau menuliskannya, dia akan raib. Hilang.

5

‘’tahukan engkau apa itu rindu?”

Rindu juga adalah sebuah derita panjang tak berkesudahan. Di mana segala sedih jelma air mata. Kehilangan jadi sunyi yang nestapa. Ataupun perpisahan menjadi penantian tanpa jeda. Tapi perasaan tak mengabadi. Dia seperti badai yang tak berkesudahan. Darinya (rindu) jelma segala episode tak jelas dan tak tentu. Manusia dibawa pada sebuah kemungkinan-kemungkinan tak pasti. Dengannya, kita seperti diselimuti oleh semacam harapan dan juga jeda. Dari dua kata itu, harapan dan jeda, akan membentuk semacam refleksi kebahagiaan yang tak biasa. Dengannya kita bisa membaca hidup, meskipun samar-samar saja. Memberinya makna, sambil menyeruput teh panas dipagi hari. “Ia derita yang panjang, jua bahagia tak berkesudahan/” Begitu romantis. Demikianlah bait kedua puisi itu bertutur.

6

Dalam beberapa bait puisinya, sang penulis juga seakan mewartakan “kebajikan dan kebijakan” dalam membangun relasi antara laki-laki dan perempuan. Relasi kasih yang “intensi tanpa pretensi, jua perintah tak menyuruh”. Bagaimana sebuah perasaan cinta yang tak henti hentinya dihadirkan, tetapi bukan perasaan posesiv yang membuat pasangan menjadi tak nyaman. Atau bagaimana sang laki laki menjadi pemimpin, tetapi tidak menjadi penguasa mutlak pada perempuan. Pola hubungan yang hendak dihadirkan adalah pola yang diskursif dan komunikatif. Tidak satu arah. Keduanya hadir sebagai kelengkapan satu sama lain. Demikianlah penulisnya memberi makna “rindu”.

7

Saya menduga, puisi ini ditulis ketika sang penulis berada pada sebuah momen di mana dia duduk diam dalam sunyi rumahnya atau pada sebuah ramai yang mencekam keseharianya. Di sana rindu hadir. Tiba tiba saja. Semacam pengalaman eksistensial yang kadang tak terjelaskan; silap. “Ia durasi, jua singkat”

Demikian juga tulisan ini. Catatan yang begitu saja hadir dan lahir setelah tiga kali membaca puisi Rindu di atas dengan segelas teh hangat di kamarku. Dengan suara hujan yang jatuh di atap atap. Sambil mendengarkan bait bait Musikalisasi Ari Reda; Dan sunyi ini sempurna.

Nuun.

Sumber gambar: https://loveinshallah.com/tag/muslim-love-poetry/

Islam dan Pertanyaan yang Bikin Baper

Tempo hari, seorang perempuan manis bertanya kepada saya tentang yang mana sih Islam yang baik itu? Maka saya pun kaget. Soalnya dia bertanya lewat chat di Mesengger yang tentu saja adalah ruang sempit untuk menjawab sebuah pertanyaan kompleks sejak ribuan tahun lalu. (Mungkin) seperti itulah wajah keberagamaan sekarang, serba instan dan sederhana. Makanya ulama besar seperti Felix Siaw, “bosku”, bisa demikian terkenal dan digilai oleh ukhtiukhti dan juga ikhwan-ikhwan. Kutipan-kutipannya itu loh, bikin otak dan hati buta, tak butuh berpikir lebih dalam lagi; semacam kesederhanaan yang meringkus akal sehat.

Selain itu, diskusi kami sebenarnya bukan perihal ‘Islam’, tetapi sesuatu yang lebih sakral; tentang perasaan kemanusiaan yang kita sepakati sebagai agape (semacam cinta yang sudah koyak). Maka dia pun memelintirnya ke arah ‘Islam yang baik’. Saya sempat menawarkannya untuk bertemu dan berdiskusi saja, tapi dia yang seperti “puncak gunung salju di Himalaya”, tetap dingin tak bergeming; “Tidak,” katanya. Lalu saya pun menawarkannya sebuah esai sederhana, jawabannya sih tetap tidak, “Lewat Messengger saja,” tulisnya. Oleh sebab itu, saya pun menuliskannya kalimat-kalimat sederhana lewat Messengger, bahwa, “Islam itu adalah tentang kedamaian dan juga keadilan.”

Namun hari ini, saya tak begitu nyaman dengan jawaban di atas. Islam (bagi saya) jauh lebih luas dan kompleks. Kompleksitas inilah yang membuat saya kesusahan menjawab pertanyaan teman yang saya panggil ‘Putri Salju’ itu. Sebab Islam harus dilihat dari segala aspek dong, yakni aspek teologi, aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisisme, aspek falsafah, sejarah, ataupun budaya. Demikianlah yang dikatakan Harun Nasution, untuk menghindari kekeliruan/kesalahpahaman dalam membaca Islam. Sehingga, Islam tidak sesederhana kutipan-kutipan Felix Siaw “Bosku”, yang dengannya (mungkin) kita sudah rela mati’. Jihad di jalan Allah demi harga diri Islam.

Islam sebagai ‘pengetahuan yang kompleks itu dengan demikian perlu menjadi usaha (Jihad) yang intens dan terus-menerus untuk kita pelajari. Proses belajar (membaca) tentang semua aspek itu penting untuk menghindari kesalapahaman atau pengetahuan yang tidak lengkap (salah) tentang Islam.

Tapi tentu saja, kita tidak mungkin bertemu dan belajar bersama, dalam ruang romantisme yang teduh. Berdiskusi dan bercerita tentang Islam pada sebuah sore di beranda rumah dengan segelas kopi dan bunga-bunga. Engkau sudah demikian tegas dan yakin menolak untuk mimpi-mimpi sederhana itu. Sehingga saya hanya bisa menuturkan sedikit saja perihal Islam, sejauh yang saya baca.

***

Ada dua hal yang bisa kita jadikan sandaran teoritik (saya sebenarnya agak malas bicara teoritis sih, takut dianggap sok tahu, tapi tak apalah, kita kesampingkan dulu persepsi itu). Yang pertama adalah rukun Islam dan yang kedua adalah hadis Nabi.

Islam tentu saja bermula dari lima rukun Islam. Seseorang dikatakan ‘Islam’ ketika seseorang itu mengikrarkan kalimat syahadat (percaya pada satu Tuhan dan Muhammad adalah utusannya), melaksanakan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan menunaikan ibadah haji di Mekkah. Itulah hakikat formal jika hendak dikatakan islam. So, selama seseorang menjalankan lima perintah di atas dengan baik, maka dia sudah termasuk Islam yang baik (taat).

Hal kedua yang bisa menjadi jawaban adalah hadis terkenal Rasulullah ketika ketemuan dengan Jibril. Dalam hadis, Rasulullah menjawab tiga pertanyaan Malaikat Jibril. Perihal pertanyaan “Islam”, “iman”, dan “ihsan”, Nabi memberikan jawaban sebagai berikut—saya kutip langsung saja dari buku Toshihiko Izutsu The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam:

(1). Islam adalah kamu menyembah Tuhan dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, kamu melaksanakan salat, membayar zakat, dan melaksanakan puasa Ramadan.

(2). Kepercayaan ‘iman’ ialah kamu percaya kepada Tuhan, Malaikat-Nya, Kitab-kitabNya, pertemuan dengan Dia (di akhirat), Utusan-Nya dan hari kebangkitan.

(3). ‘Kesempurnaan’ ihsan yakni, menjadi muslim yang sempurna ialah kamu menyembah Tuhan (selalu) seakan-akan kamu melihat-Nya, apabila kamu tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.

Demikianlah tanya-jawab antara Rasulullah dengan Malaikat Jibril. Tanya-jawab yang hendak mengajarkan tentang konsep keber-Islaman. Konsep yang memuat sebuah sistem. Di mana tingkatan tertinggi adalah ihsan, tengah-tengah adalah iman, dan selanjutnya adalah Islam. Dengan demikian, seperti yang dijelaskan juga oleh Ibn Taymiyyah bahwa setiap muhsin (orang yang ihsan) adalah seorang yang mu’min (orang yang iman, atau percaya), dan setiap mu’min adalah seorang yang muslim ( orang islam, atau muslim) tetapi tidak setiap mu’min adalah muhsin, dan tidak setiap muslim adalah mu’min.

Dari penjelasan di atas, ihsan mengandung maksud yang lebih luas di antara dua kata sebelumnya –iman dan Islam. Ihsan mengandung makna yang dimiliki oleh kata iman dan Islam. Semacam bentuk sempurna dari dua kata tersebut. Tetapi pada kenyataanya, orang yang muhsin itu lebih sedikit dibanding yang mu’min dan muslim. Demikian juga orang yang mu’min, lebih sedikit dibanding yang muslim. Muslimlah (orang yang memenuhi kriteria Islam) yang lebih banyak dalam keberagamaan kita sekarang.

Secara kualitas, ihsan berada pada tingkatan tertinggi dibandikan iman dan Islam. Tetapi secara kuantitas, ihsan jauh lebih sedikit dibanding keduanya. Menjadikan kuantitas sebagai kebanggaan dalam beragama sah sah saja. Tetapi menjadikannya sebagai pembenaran mutlak juga sedikit keliru. Apalagi jika sampai memaksakan sesuatu pada minoritas, misalnya pada keimanan ataukah pada yang muhsin.

***

Lalu bagaimana harusnya bersikap ataupun menunjukkan wajah Islam yang baik pada saat sekarang ini? Menurut saya, seperti itulah kira-kira pertanyaan yang akan muncul kalau kita sedikit meneruskan diskusi. Dan menurut saya, itu pertanyaan yang cerdas, senantiasa mengaitkan (kontekstualisasikan) keislaman untuk menjawab persoalan-persoalan sekarang.

Yang pertama, kalau kita hendak membaca situasi/masalah sekarang, kita harus berada di luar lingkaran masalah itu dulu. Dengan mengambil jarak dari masalah (politik dan keyakinan keberagamaan) saat ini, kita akan dengan mudah menemukan secercah pencerahan. Kalaupun tidak, minimal kita tidak terjebak dulu di antara keduanya, agar kita bebas/merdeka dalam berpikir.

Kebebasan yang saya maksud termasuk membaca misi awal keislaman Rasulullah. Pada masa awal kerasulan Muhammad Saw, misi beliau adalah ketauhidan, mengesakan Allah Swt. Beliau mengajarkan Islam yang hanif. Mengajarkan Islam sebagai fitrah kemanusiaan. Bahwa manusia di mata Tuhan adalah sama derajatnya. Demikianlah misi beliau, sebagai rahmat seluruh alam.

Itulah misi awal kenabian sewaktu di Mekkah. Tetapi misi kemudian berubah ketika Nabi dimusuhi/tak berterima oleh orang-orang Mekkah. Nabi kemudian hijrah ke Madinah. Di tempat ini, suatu organisasi (kita menyebutnya sekarang institusi pemerintahan) pertama kali dibentuk. Institusi/lembaga ini disebut umat (ummah). Seperti yang diceramahkan oleh Nurcholis Majid, umat inilah yang dibolehkan berperang (dengan terpaksa) karena pada waktu itu, keselamatan Nabi dan pengikutnya selalu terancam. Maka dimulailah cikal bakal bertumbuhnya umat, yang kemudian melahirkan tensi atau ketegangan antara Islam itu sendiri sebagai ajaran dan umat sebagai wadah ajaran.

Apa yang menjadi persoalan kemudian adalah, lebih dominannya pembelaan terhadap umat dibandingkan dengan Islam itu sendiri. Di mana kelompok lebih diutamakan/dibanggakan dibandingkan ajaran Islam (tauhid) itu sendiri sebagaimana awal misi kenabian Muhammad Saw. Lebih menonjolkan ‘wajah kelompok’ inilah yang disebut komunalisme. Sikap (keberislaman) ini berbahaya sebab punya kecenderungan untuk melakukan ‘pembenaran’ pada kelompoknya sendiri dan menganggap kelompok di luar mereka sebagai pihak yang salah/keliru. Lebih jauh lagi, hal ini bisa memicu perselisihan, sebagaimana telah banyak ditunjukkan dalam sejarah.

Lalu apakah kita yang mengaku Islam harus diam saja kalau agama kita dihina? (kalaupun betul dihina).

Kita boleh saja marah atau memilih diam (sabar) saja. Tapi kemarahan yang tidak memicu perpecahan. Kemarahan yang masih mengedepankan nalar yang sehat. Kita harus lebih mengutamakan kedamaian, sebab makna dasar Islam dari kata salam yang berarti damai, atau lebih spesifik lagi aslama yang berarti menerima, menyerah atau tunduk (kepada Tuhan), definisi ini saya kutip dari “Om” Google.

Kita juga harus jeli dan sensitif dong, bahwa masalah yang belakangan ini terjadi sebenarnya bukan murni masalah keagamaan, tetapi juga masalah politik (Pilkada Jakarta dan Pemerintahan Jokowi-JK). Dan politik adalah lumpur hitam yang kotor kata seorang Soe Hok Gie. Lumpur yang bisa mengotori baju agama kita. Pada tahap itulah, kita, tak seharusnya menunjukkan wajah keberagamaan yang berlebihan (liar), tetapi sebaliknya, wajah keberagamaan yang cerdas tak mudah terprovokasi oleh para elit politik.

Wah… ini bisa panjang ngomongnya. Sudah dulu nah. Saya bikin kopi dulu, soalnya kamu selalu saja ngeles menyeduhkan kopi buatku. Alasannya masih sama, kamu tetap tak punya ‘perasaan’ apa-apa. Kopi yang diseduh dengan perasaan demikian, akan menjadikan hidup seperti tak punya gairah. Sebatas hitam ampas kopi, berakhir dengan tangis. Menurut saya demikian. Kamu tetap menolak bicara, bukan?

Nuun.

Bahan Bacaan:

Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya jilid 1.UI Press.2001

Toshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic Theology : A Semantical Analysis of Iman and Islam.Tiara Wacana.1994.

Nurcholis Madjid, Atas Nama Pengalaman ; Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi.Dian Rakyat.2009.

Surat kaleng untuk Para Ukhti

Surat kaleng yang terbilang sederhana ini begitu saja terlintas untuk aku tuliskan sewaktu pulang dari warung kopi. Keresahan yang bermula dari dominasi para ikhwan (laki-laki) yang buah pikirannya memenuhi hampir semua media cetak tulis. Meskipun beberapa terlihat coretan tangan dari kalian para ukhti (perempuan), tetapi tetap saja dominasi ikhwanikhwan ini menutupi suara-suara kalian yang minoritas di panggung intelektual. Seperti kabut tebal yang bisa saja menghilangkan semangat dan eksistensi kalian.

Wahai para ukhti, dalam surat ini, saya tak bermaksud menjadi bagian dari suara dominan kaum ikhwan. Meski tak seluruhnya sih. Tapi beberapa di antaranya ada yang menganggap diri ustaz ataupun ulama, yang hendak memberangus suara kalian. Yang hendak menguasai kalian dengan doktrin ketaatan dan pengabdian pada Tuhan dan suami (serta anak-anak) kalian. Saya nge-lihat sendiri bagaimana mereka menjual ayat-ayat Allah buat menyudutkan kalian. Oleh sebabnya, saya yang punya sedikit buku-buku tentang perempuan ini, sekadar ingin berbagi, dan menyentil subjektivitas atau keberadaan kalian, yang tentu saja punya posisi setara dengan laki-laki. Kesetaraan yang kadang kalian maknai sebagai pikiran-pikiran liberal atau feminis yang melampaui batas.

Wahai para ukhti. Menjadi ukhti bukanlah menjadi manusia pasif yang menyerahkan dirinya pada doktrin kepasrahan atas tafsir patriarki kaum laki-laki. Menjadi ukhti tidak sekadar merevolusi model dan lebar jilbab. Tetapi menjadi ukhti juga adalah bagaimana merubah paradigma berpikir dan seberapa luas pengetahuan. Paradigma yang saya maksud adalah bagaimana melihat posisi laki-laki dan perempuan. Posisi itu tak semestinya kalian lihat sebagai sesuatu yang berat sebelah. Di mana laki-laki sebagai pemimpin maskulin yang menguasai, dan perempuan harus patuh seutuhnya. Tidak juga saya hendak mengatakan, bahwa perempuan yang harus memimpin laki-laki. Tidak begitu. Posisi yang saya maksud adalah posisi ‘setara’ di antara keduanya. Sehingga terma ‘pemimpin’ bisa disematkan pada kedua belah pihak.

Laki-laki dan perempuan sama-sama punya potensi menjadi khalifah. Cobalah kalian tengok Q.S. Al Baqarah(2):30. Kata khalifah pada ayat tersebut tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi pemimpin dengan segala tanggungjawabnya di muka bumi.

Meskipun ada beberapa hukum Islam yang cenderung memberi porsi ‘lebih’ pada laki-laki, misalnya poligami. Tetapi hukum itu punya asbabun nuzulnya (sebab-sebab diberadakannya). Pun sekarang, kalau kalian ingin menolaknya dengan mempertimbangkan konteks kekinian kalian, juga tidak masalah. Kalian berhak. Tetapi tetap tidak merubah hukum yang sudah terlanjur ada.

Kesetaraan juga muncul dari segala aktivitas keseharian laki-laki dan perempuan. Tugas laki-laki adalah juga tugas perempuan. Begitupun sebaliknya (kecuali melahirkan). Kalaupun ada keyakinan bahwa laki-laki punya perbedaan tugas atau aktifitas dengan perempuan, itu hanyalah konstruksi budaya saja. Semuanya bisa dibongkar, dibincang dan disepakati kembali perihal pembagian tugas masing-masing.

Tapi, adakah hari ini yang mau bersusah payah membangun komunikasi dan diskursus perihal pembagian tugas itu? Tak banyak. Entah karena keduanya merasa telah nyaman dengan model sekarang ataukah ketidaktahuan telah jadi penyakit bersama.

Wahai para ukhti. Laki-laki dan perempuan juga punya potensi yang sama dalam hal pengetahuan. Janganlah hanya sibuk memperlebar jilbabmu saja. Perlebarlah juga jangkauan keilmuanmu. Janganlah model dan lebar jilbab jadi hal yang mendominasi status-status Facebookmu atau setiap isi dakwah dan ceramahmu sesama ukhti. Atau berkhidmat dan bersetia (tunduk) pada suami adalah sebesar-besarnya pahala. Janganlah mengulang-ulang kajian tersebut. Perdalamlah juga keilmuan tentang Al Quran dan Hadis, juga sejarah dan macam tafsirnya. Perbanyaklah juga mengaji filsafat ataupun sastra. Perbanyaklah kajian buku sejarah dan segala macam pemikiran (barat dan timur). Ukhti, kecerdasan adalah hal paling penting dibanding busana muslimmu. Sebab dari kecerdasan itulah penentu atau cermin perangai dan tingkah lakumu.

Kecerdasan ini juga akan berimplikasi pada pemahaman terhadap agamamu. Pemahaman yang selama ini bias gender. Bagaimana pemahaman itu membuat posisi perempuan hanya sebagai ‘the second human being‘ atau makhluk kelas dua. Makhluk yang dijadikan pelengkap saja bagi laki-laki. Makhluk yang kehadirannya tidak dianggap penting. Tafsir seperti ini bisa dilihat misalnya pada keyakinan bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah Swt dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.

Atau beberapa tafsir oleh sebagian ulama (yang mungkin sampai sekarang menjadi keyakinan) adalah, kejatuhan Nabi Adam dari surga akibat godaan dari Hawa (yang terpengaruh bisikan iblis). Di sini, perempuan dianggap makhluk penggoda dan lebih mudah berteman dengan iblis. Makanya, perempuan sekarang harus menjaga dirinya dengan super ketat. Pembatasan pergaulan diterapkan. Tidak seharusnya keluar rumah kecuali dengan muhrim. Perempuan yang baik adalah yang banyak tinggal dirumah. Atau ‘menjadi ibu rumah tangga’ adalah kemuliaan seorang perempuan.

Demikianlah tafsir yang digunakan oleh para ulama yang sebagian besar didominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga penting untuk kalian terlibat aktif pada dunia pengetahuan. Tak ada jalan lain. Kalian juga harus jadi ulama, pemikir, filosof, ahli tafsir dan sejarah. Sehingga kalian bisa mewakilkan suara kalian ketika berbicara tentang segala persoalan ketidakadilan atau diskriminasi terhadap perempuan. Saya kira, akan lebih tepat ketika perempuan yang berbicara tentang dirinya sendiri, dibandingkan laki-laki yang berbicara tentang perempuan.

Wahai ukhti, saya sungguh paham, bahwa sebagian dari kalian tidak seluruhnya dogmatis. Sebagian dari kalian memang benar-benar punya niatan yang baik dalam beribadah kepada Allah Swt. Bagaimana kalian menyerahkan diri sepenuhnya pada kasih Tuhan. Tetapi sesungguhnya ukhti, ada sebuah makam spiritual (perjumpaan dengan Sang Kekasih) yang tak akan ditemukan jika hanya mengandalkan ritual salat dan sejenisnya. Cobalah tengok tokoh-tokoh sufi semacam Rabiah Al Adawiyah ataupun Ibn Arabi. Sesungguhnya ukhti, kita butuh guru (spiritual) yang membimbing kita menaiki tangga demi tangga perjumpaan dengan Tuhan. Itu kalau kalian menginginkan. Sebab ada banyak jalan menuju Dia.

Wahai ukhti, pernah juga suatu ketika, siswa di sekolah saya bertanya bahwa apakah ukuran seorang perempuan itu cantik atau tidak, Pak? Maka saya bilang pada mereka, perempuan yang cantik itu bukan hanya cantik secara fisik, tetapi kecantikan itu adalah mereka yang punya kepedulian pada masyarakatnya. Perempuan yang banyak terlibat pada kegiatan-kegiatan pendampingan pada orang-orang tertindas atau mereka yang lemah/dilemahkan. Perempuan yang tak hanya mengurusi tubuhnya (termasuk jilbabnya), tetapi juga aktif dalam pembelaan (melawan) pada segala kebijakan pemerintah yang akan membuat rakyat tertindas.

Lihatlah para ibu-ibu di Rembang yang menolak pembangunan pabrik dan eksploitasi kawasan resapan air Cekungan Air Tanah Watuputih. Ibu – ibu ini memblokade jalan selama 160 hari. Atau ketika mereka menyemen kaki mereka sebagai bentuk aksi protes. Atau bagaimana geliat (literasi) seorang Mauliah Mulkin di sebuah toko buku Makassar (istri dari Kanda Sulhan Yusuf Daeng Litere – penggagas Paradigma Institute) berkontribusi dengan sangat luar biasa dalam melakukan kerja-kerja intelektual dan sosial. Banyak juga sih, ukhti yang semangatnya luar biasa kala musim kuliah. Mereka akan terlihat melakukan aksi demonstrasi di jalan raya atau membentak bentak juniornya (mahasiswa baru) pada saat training. Tapi seiring berlalunya waktu , ketika kertas selembar bernama ijazah sudah digenggaman dan mereka diangkat jadi guru honorer, semangat keilmuan dan kepedulian sosial mereka buyar terbawa angin mengharapan untuk diangkat PNS ataupun sertifikasi. Disitulah kadang aku merasa sedih.

Mungkin demikian surat aku padamu ukhti. Jemariku telah lelah mengetik. Tolong dibalas yah. Dan dikirimkan juga ke kalaliterasi.com. Agar proses dialektikanya berimbang.

Nuun 🙂