Semua tulisan dari Syamsu Alam

Ketua Masika ICMI Makassar, Dosen di Fakultas Ekonomi UNM, dan pegiat di Kelompok Studi Praxis FE UNM.

Era Digital, Mindset Feodal

 

Akhir-akhir ini kita menyaksikan, bagaimana info media massa dan sosial media mengarahkan perilaku kita. Bahkan bernafas pun, kini sudah ada protokolnya. Semua karena dominannya informasi dan pengetahuan Covid-19 yang kita konsumsi. Hampir sebagian besar perubahan digerakkan dari faktor eksternal diri kita. Ancaman social unrest hingga chaos, membayangi kehidupan kita karena tiadanya transparansi.

Sebentar lagi tahun ajaran baru, pengalaman belajar daring kurang lebih 5 bulan sudah cukup untuk mendorong perubahan-perubahan dalam proses belajar mengajar.

Perubahan adalah keniscayaan, kalimat kunci yang masih kita yakini kebenarannya secara universal. Segala sesuatu berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Knowledge is Power adalah frasa yang dilekatkan pada filosof Inggris abad-14, Francis Bacon. Jejak kata tersebut juga ditemukan pada abad ke-10 M dalam Nahjul Balaghah Imam Ali, “Knowledge is power and it can command obedience.”. Pengetahuan adalah kekuatan yang dapat menuntun pada ketaatan. Jadi bagi Imam Ali, pengetahuan masih potensial untuk mewujudkan amalan ketaatan.

Era digital memungkinkan seorang murid mengetahui banyak hal daripada gurunya. Demikian pula seorang anak bisa lebih berpengetahuan dari orang tuanya. Jika mengikuti sudut pandang Hobbesian, maka murid dan anak akan lebih berkuasa daripada guru dan orang tuanya.

Dan dalam banyak hal, orang awam kerap lebih ahli daripada pakar. Viralnya suatu berita, dapat mengeliminasi suara kebenaran yang minoritas. Hingga bisa saja pimpinan negara diktator, dicitrakan welas asih di media-media.

Rezim Algoritma

Baragam definisi algoritma, salah satu yang sederhana adalah definisi Marvin Munsky, algoritma adalah seperangkat aturan yang memberitahukan kepada kita dari waktu ke waktu, bagaimana bertindak. Dalam suatu algoritma pasti terdapat: input, proses, output, instruksi, dan tujuan. Jadi kalau suatu media sosial beralgoritma berdasarkan ekspresi emosi, maka mesin (aplikasi) akan mengarahkan user pada emosi yang cenderung sama. Para user akan dirahkan berdasarkan instruksi algoritma.

Algoritma dan era digital ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Era digital akan mendekonstruksi banyak hal, pekerjaan, tata nilai, termasuk kepakaran. Kecenderungan user media sosial yang dipersatukan oleh sebuah rezim algoritma lalu menjadi viral akan menjadi “tsunami informasi” yang sulit disaring kebenarannya. Hatta pun ia adalah Hoax, lalu dengan mudahnya diklarifikasi.

Krisis pandemi Covid-19 yang berdampak pada segala sendi kehidupan, dari acara arisan sampai bisnis global. Kemajuan teknologi dan ruang digital memaksa para pelaku bisnis untuk mengubah model bisnis. Dari bagaimana memproduksi sampai cara baru berinteraksi dengan pelanggan. Untuk mengidentifikasi dan merespons secara efektif peluang dan ancaman digital di masa depan, penting untuk mengembangkan pola pikir digital (digital mindset).

Dalam rezim algoritma yang massif yang ditawarkan oleh berbagai platform. Pilihannya tetap ada di tangan kita sendiri: berubah, adaptasi atau tereliminasi. Namun sayangnya, tidak mudah merubah mindset menghadapai era yang serba cepat, tak menentu, kompleks, dan ambigu.

Digital mindset bukanlah kemampuan untuk mengoperasikan teknologi. Melainkan sikap dan perilaku yang memungkinkan orang atau organisasi untuk memahami suatu peluang. Media sosial, Big Data, Cloud, AI (Artificial Intelligence) dan robot dll., sebagai beberapa kekuatan besar mendisurpsi segala lini kehidupan.

Kita boleh saja mendengar para pejabat berpidato tentang pentingnya growth mindset, abundance mindset, collaborative approach. Namun kerap para pendengar menggerutu dalam hatinya. Karena fakta empiris, perilaku si pejabat tidak seindah yang disampaikan di podium pidato. Meski demikian, hal tersebut sudah baik, sebagai tahap awal kepedulian pada transformasi Digital.

Sebuah mindset adalah juga perilaku (behavior) yang memiliki pendekatan kolaboratif dan kooperatif, open-mind, dan kepercayaan adalah indikasi dari dunia digital yang terhubung, transparan, dan hampir sebenarnya kita tak dapat bersembunyi dari jangakauan admin/superuser/ provider.

Digital mindset memungkinkan kehidupan yang lebih jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Oleh karena semua jejak digital bisa ditracking. Ia ibarat kitab catatan amal dan dosa di jagad maya.

Tembok Raksasa

Berbeda dengan Francis Bacon di atas. Napoleon Hill, mengatakan knowledge is potential power. Pengetahuan hanyalah potensi kekuatan, ia dapat menjadi kekuatan yang riil, jika kita mengorganisasikan ke dalam rencana tindakan yang jelas untuk mencapai tujuan.

Pentingnya mentransformasikan mindset ke digital mindset yang serba transparan, memiliki spirit keterbukaan, kesiapan berkolaborasi dengan siapa pun dan penuh aspirasi, yang biasa diistilahkan dengan abundance mindset.

Mindset lainnya yang juga akan menjadi sangat penting di era digital adalah growth mindset yaitu pola pikir untuk selalu berkembang. Seseorang dengan pola pikir growth ini akan mencurahkan energinya untuk selalu mencari dan mempelajari hal baru, melihat tantangan baru dalam kehidupan.

Namun, semua angan-angan di atas bisa ambyar sesaat, jika tembok raksasa bernama Feodalisme masih kokoh. Dalam paham feodal, kekuasaan absolut berada di tangan Raja Diraja yang berkoalisi dengan kroni-kroni bawahannya.

Bukan hanya dalam ranah kekuasaan (politik), masih adanya kelompok akademisi yang mengaku bidang ilmunya lebih superior di banding yang lain, adalah juga praktik feodalisme dalam akademik. Praktik anti kritik para sepuh akademik, dan para pemangku jabatan, adalah tembok raksasa transformasi digital.

 

Ilustrasi: https://www.entrepreneur.com/article/274248

Kecuali Imam Ali

Esai sederhana untuk kisah yang agung, ditulis oleh pembelajar Islam klasik yang sekolah di sekolah sekuler

***

Esai ini diinspirasi tiga kisah: pertama, keberanian si “Sontoloyo” Bossmam Mardigu yang pernah menyela mbahnya dalam pengajian tentang hadis St. Aisyah yang keliru mencampur gula dan garam dalam minuman Nabi. Kedua, quote Marthin Luther King. Ketiga, kisah Syahid Imam Ali yang dibunuh oleh si penghafal Alquran yang kelihatan saleh, Ibnu Muljam.

Waktu kecil (tahun 80-an) saya sering mendengar penggalan kehebatan kisah Bagenda Ali. Saat itu saya tidak tahu, siapa itu Bagenda Ali. Di masjid-masjid justru yang banyak dikutip adalah Sahabat Abu Bakar, Umar, Usman, dan Istri Nabi, Aisyah. Saya merasa semua sahabat Nabi bisa diceritakan riwayatnya dengan santai di mimbar-mimbar. Kisah heroisme, kisah ketegasan, kedermawanan, kecuali Ali. Mengapa?

Sedekat pengetahuanku, banyak orang tidak mau  masuk dalam ranah perdebatan atau pergulatan sejarah Islam klasik, khususnya pasca kenabian, mengapa?  Boleh jadi tidak tertarik, boleh jadi buang-buang waktu saja, beranggapan konflik tak berkesudahan atau Bisa saja takut mengganggu stabilitas keyakinanya. Its Ok. Itu hal lumrah. Sudah ada sejak jaman bahelula (zaman dahulu kala).

Saya ingat ungkapan ekonom yang mengatalan, bukan karena ide barunya sehingga orang menolak ide tersebut. Tetapi karena orang-orang enggan menggeser ide atau pengetahuan lamanya.

Kondisi ini semakin parah di era post-truth, karena orang lebih tertarik pada pengetahuan yang dia sukai (meskipun belum tentu benar) dari pada mencari dan menggali pengetahuan yang lebih sahih. Semakin diperparah lagi karena kehidupan bersosial media kita diatur oleh algoritma sosmed yang akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang seselera dan seemosioanal (khususnya FB), platform lainnya juga mirip demikian.

Marthin Luther King bilang, “Jika Anda ingin ide baru, bacalah buku lama”. Itulah mengapa saya menyukai kisah klasik dari buku-buku klasik. Kisah dari ayat dan riwayat. Termasuk kisah cinta klasik.

Teori Chaos mengajarkan, jika ada kekacauan yang susah terselesaikan, bahkan sulit ditemukan akar masalahnya, teori ini menyarankan carilah titik awalnya (initial condition).

Sependek pengetahuanku, banyak riwayat (termasuk Sunnah Nabi) dalam Islam yang tercemar oleh tangan-tangan para sahabat. Apalagi penulisan sejarah pada fase tabbit tabiin. Sangat jauh dari titik awal (initial condition) . Jika ada pembaca yang berminat kitab-kitab dan publikasi kajiannya (ebook) boleh japri saya, bisa via email (cintadanakal@gmail.com)

Salah satunya misalnya. Gara-gara Virus Corona banyak umat Islam baru mengetahui kalau kebiasaan salat tarawih berjamaah bukan sunnah Nabi, tapi Sunnah sahabat. Bahkan azan yang sering kita dengar itu adalah hasil gubahan sahabat  (Umar) (Sumber Kajian IJABI, dikutip dalam Kitab Sunan Baihaqi). Daaaaaaan banyak lagi kisah dan riwayat yang menurut saya, yang bersekolah di sekolah sekuler, namun merasa wajib mengatahui asal-usul keyakinan, sangat membutuhkan informasi dan hasil kajian initial condition dalam ajaran Islam.

Satu lagi cerita Bossman Mardigu Sontoloyo, ketika dalam satu pengajian mbahnya, ia bertanya pada kiyainya (yang juga mbahnya sendiri). Ketika mbahnya menyampaikan riwayat St. Aisyah dengan Nabi. Di mana Aisyah memberikan minuman kepada Nabi tetapi rasanya kurang enak. Manis dan agak keasinan. Namun Nabi tidak marah, ia hanya memberikan pada Aisyah untuk dicicipi. Dan ternyata Aisyah mencampur gula dan garam. Nah, pada bagian inilah Bossman protes, dan mengajukan pertanyaan pada mbahnya. Bossman berkata, bukannya gula rafinasi itu ditemukan sekitar abad ke-17. Zaman dulu pasti gulanya bisa dibedakan dengan jelas. Hadis itu pasti bohong. Si Bossman diamankan oleh Banzer pengajian (Sumber: video wawancara Mardigu dengan Helmi Yahya).

Dan banyak lagi kisah dan riwayat yang kalau kita nalar dengan otak kritis ala sontoloyo, akan kita temukan bahwa riwayat  itu berpotensi ada pencemaran hadis dan riwayat di dalamnya.

Hingga usia saya yang masuk kepala empat, yang belajar Islamnya dari pesantren kilat di HMI, pengajian lembaga-lembaga formal dan membaca (diskusi) serta mengkonfirmasi hasil bacaan pada guru-guru. Yang borpotensi tersesat. Tetapi, saya tetap saja belajar. Menurut para kiai, ilmu agama itu wajib. Setidaknya atas apa yang kita yakini. Wajib tahu asal-usul dan sistem penjelasnya. Demikian doktrin di HMI.

Sayangnya, kisah-kisah yang berkenaan dengan keluarga Rasulullah Saw khususnya Imam Ali, Fatimah dan kehidupan keluarga sangat sedikit kita jumpai dalam referensi mayoritas umat Islam Indonesia.

Siti Fatimah (Istri Imam Ali) misalnya. Yang kita ketahui secara umum adalah hadis Nabi yang mengatakan, kalau anakku (Fatimah) mencuri saya sendiri  yang akan memotong tangannya. Coba Fatimah dimisalkan menculik. Itu saja yang populer, tetapi kemulian dan perlawanannya terhadap. Khalifah yang berkuasa pasca Wafatnya Nabi. Amat jarang kita temukan. Kenapa?

Apa penyebab perang besar, Perang Jamal  antara pasukan St. Aisyah dengan Pengikut setia (Syiah)  Imam Ali. Kenapa mereka berperang? Apakah perang tersebut berdampak pada  periwayatan hadist setelah itu? Dan seterunya? Ini adalah secuil pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak di kepalaku, ketika membaca kisah-kisah klasik.

Salah satu kisah setiap akhir Ramadan yang tragis. Kita selalu diingatkan dengan Syahidnya Imam Ali. Beliau dibunuh di waktu salat terbaik (subuh), dan posisi salat terbaik (sujud). Dst. Menurut riwayat ada yang menyebutkan 19 Ramadan, bertepatan 26 Januari 661 M di Masjid Agung Kufah.

Ibnu Muljam mewakili sosok umat Islam yang brutal, mungkin bisa saya istilah umat islam dengan otak bersumbu pendek. Marahan, ngamukan, dan mudah meledak.

Paragraf-paragraf berikut saya kutip dari situs nuonline.com. “Judulnya Ibnu Muljam Membunuh Imam Ali karena Hoax”

Ibnu Muljam dikenal sebagai orang yang taat dalam beribadah, salat, puasa dan bahkan hafal Alquran. Tapi sayang bacaannya tidak masuk kecuali sebatas sampai batas kerongkongannya. Sehingga mudah termakan oleh berita palsu/ hoaks yang telah disebarkan oleh kaum Khawarij. Mereka menebarkan hoaks yang menyatakan bahwa:

Sayidina Ali bin Abi Thalib itu pemimpin yang munafik, kafir dan musyrik. Rupanya Ibnu Muljam belum puas terhadap jawaban Sayidina Ali yang menjawab kaum penentangnya, “Kalimatu haqqin yuraadu bihaa bathilun.” Artinya ungkapan yang diucapkan itu sebuah kebenaran tapi yang ditujunya justru sebuah kebatilan.

Jawaban Sayidina Ali itu dilontarkan setelah peristiwa Perang Shiffin sebagaimana dikutip oleh Al Hafidz Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah wa Al Nihayah. Usai perang Shiffin, hoaks semakin tersebar. Kaum Khawarij meneriakkan, “Laa hukma Illa lillahi.” Artinya Tiada hukum kecuali untuk Allah SWT.

Kaum Khawarij menolak kekhilafahan Sayidina Ali. Ali dianggap tidak adil dan tidak menjalankan aturan Allah SWT. Hal itu menegaskan  seolah-olah kaum Khawarijlah yang paham hukum Allah. Tapi hakikatnya mereka tidak pernah paham bahwa perdamaian itu justeru esensi dari ajaran Islam.

Ibnu Qutaibah telah menulis kejadian sadis tersebut dalam kitabnya yang berjudul Al Imamah wa Assiyasah. Juga oleh Ibnu Faraj Al Isbahani dalam Kitab Maqaatil Al Thalibin.

Hadis populer tentang Imam Ali adalah,. Kalau Rasulillah adalah gudangnya Ilmu, maka Ali adalah pintunya, lalu mengapa banyak dari kita (umat) Islam masih enggan mengetuk pintunya ilmu. Apakah kita lebih suka lompat jendela?  Carilah pengetahuan baru, pada buku lama. (Adaptasi Marthin L.K). Carilah pengetahuan baru dari kisah lama yang otentik.

Wallahu a’lam.

Gambar: http://lilit.ir/34907/

Apakah Mahasiswa Milenial Secengeng Itu?

Orasi Dosen

Bagi Mahasiswa (Khususnya mahasiswa EP FE UNM)  yang tidak bisa beli kuota sekadar download video penjelasan materi “Model Kontemporer Pembangunan” berdurasi 32 Menit dengan kapasitas 12mb – 69mb (kualitas HD 720) apalagi kalau dikonversi (y2mate.com) ke MP3 kapasitanya pasti lebih ringan.

Atau Jika ada mahasiswa memiliki ide lain, model pembelajaran daring supaya tetap belajar, kasih tauka. Silakan sarankan atau japri saya nama dan berikan alasannya kalau tidak ada kuotamu mendownload video belajar sebesar 69 MB. Resolusi 720p. 41,3mb utk 360p. Bahkan ada yang hanya 12mb jika di download versi (youtubedownloader) smartphone.

Saya termasuk yang menentang perkuliahan yang boros kuota tapi tidak efektif dan efisien. Apalagi yang kesannya gagah-gagahan video conference. Bisa dibaca di sini. https://www.alamyin.com/2020/03/kuliah-online-dan-kita-yang-seolah-olah.html?m=1

Makanya saya berinisiatif membuat video sederhana dengan resolusi minimalis 480p. Dengan alat rekam seadanya, dan kuota dosen Gol.3 secukupnya (ini bukan keluhan, hanya menjaga semangat betapa semangatnya saya memenuhi tugas sebagai abdi negara)

Meski demikian, saya tetap meminta pendapat/saran mahasiswa di WAG Group. Apakah model belajar begini bagus. Sebagian bilang sekali pak. Namun, tetap saja ada yang mengeluh. Mahasiswa jalur Mandiri (Mahasiswa Mandiri, UKT  mahasiswa mampu).

Tapi okelah. Saya tidak begitu saja menerima keluhanmu. Saya tetap berikan alternatif belajar semurah, yang semudah, seefisien, dan seefektif mungkin. Kalau ada mahasiswa yang biar tidak ikut kuliah, tapi bisa paham materi, silakan. Siapa tahu ada mahasiswa yang mumpuni memiliki ilmu hudhuri.

Tapi jika suatu saat saya tahu, kamu atau kalian yang protes model mengajar daring begini. Tetapi suka main game dan habiskan kuota untuk sekadar bersosmed, tiktokan, apalagi judi online. Awasko. Kutungguko di panyingkul, anu. Dasar milenial cengeng (gumamku).

Karena banyak juga mahasiswa yang membutuhkan penjelasan. Bahkan ada yang sangat berterima kasih. Sebagai bentuk penghargaan saya kepada mereka yang ada daya juang belajarnya.

Channel “Cikal Akal” saya dedikasikan untuk mereka. Channel sederhana berisi materi-materi pembalajaran yang saya inisiasi sendiri untuk merawat interaksi. Karena belajar sejatinya adalah interaksi. Bahkan saya sering menganggapnya sebagai sebuah permainan.

Sebenarnya selain video penjelasan, seluruh materi ajar bisa diakses di Drive pembelajaran (Sejenis perpustakaan online berisi ratusan judul buku) yang linknya sudah diberikan kepada mahasiswa (EP UNM khususnya),  jauh sebelum ada pandemi Corona. Jadi kalau ada minat belajar dan terbiasa belajar otonom aka otodidak.

Maujikah Belajar? Kalau tidak mau bikin Tiktok saja pale.

Jadi begini untuk yang mahasiswa yang jabe (cengeng) selama pandemi Corona. Ini situasi darurat, belajarnya juga metodenya harus tiba-tiba berubah. Dan yakinlah tidak semua dosen dengan mudah banting setir. Saya haqqul yakin, syukur kalau ada 1/4-nya yang bisa adaptasi dengan cepat dari offline ke online.

Tapi begini dinda-dinda milenial yang suka ngeluh daripada ngalah sejenak sembari menghela napas, mengumpulkan stamina menghadapi situasi ini. BELAJAR ITU MENGANDALKAN OTAK BUKAN KUOTA. Artinya, ada kuota atau tidak belajar mestinya tetap lestari.

Sekali lagi, jika kalian tidak punya paket data untuk browsing, download materi atau ikuti kuliah daring. Sampaikan saja ke dosennya via sms atau via pos sekalipun. Ceritakan dengan jujur kondisinya. Carilah buku, kalau perlu pinjam, dan bakarlah pikiranmu dengan bacaan-bacaan offline. Saya yakin banyak taman baca atau komunitas baca.

Pikiran bukanlah wadah untuk diisi setumpuk file-file, tapi bara api yang harus dinyalakan. Jangan terlalu jabe menggantungkan potensi kecerdasan pada paket data. Tetapi kalau ada syukurilah dengan memanfaatkan sebaik-baiknya.

Sepertinya kuliah sistem MODUL perlu menjadi pertimbangan untuk diterapkan kembali. Kalau perlu menggantikan sistem SKS atau di-mix. Dan saya kira blended learning atau online teaching and learning arahnya ke sana. Dosen fokus membuat modul kuliah yang keren. Konten yang bagus dan mudah dipahami. Mahasiswa juga harus adaptif dan sedikit bijak memahami situasi. Jangan terlalu banyak menuntut ke luar diri Anda, coba tuntut juga ke dalam diri Anda. Kenali dirimu, insya Allah, kau bisa kenali dosenmu dan Tuhanmu.

Siapapun yang pernah atau sering bikin video (khususnya tutorial atau pembelajaran), tahu bagaimana perjuangannya menghadirkan 1 video yang bisa dinonton khalayak.

Sebagai penutup untuk mahasiswa yang memang terfampak parah, sampai tidak mampu. Silakan isi form kondisi ekonomi keluarga (riset dampak sosek pandemi terhadap daya beli layanan pendidikan orang tua mahasiswa, alam.2020) Semoga datanya bisa dijadikan pertimbangan untuk tetap kuliah. Link Formulir akan saya upload di www.alamyin.com.

Semoga Tuhan yang maha kuasa merakhmati aktifitas kita semua. Tuhan tidak akan menguji hambanya melampaui kapasitasnya. Sabbaraki.

Gambar: https://steemit.com/steemiteducation/@teukumukhlis/how-you-handle-lazy-students

Encountering Development dan Doktrin Produktivitas Islam

Mononton film pendek memang mengasikkan. Di dalamnya tersirat banyak simbol, makna dan pesan-pesan yang to the point. Pada salah satu perkuliahan Ekonomi Internasional bagian integrasi ekonomi, saya lazimnya mendahului dengan pengantar cerita-cerita santai dan lucu, sebelum sesi menonton film pendek di kelas. Judul filmnya why some countries are rich and the others are poor? Film ini menyiratkan bahwa perbedaan dalam mengoptimalkan tiga hal; institusi, budaya, dan sumber daya alam sebagai penyebab adanya perbedaan antar negara. Apa, bagaimana dan seberapa penting ketiga hal tersebut.

Sentilan Escobar dalam Encountering Development, Every Economy is a Culture, menarik diselisik lebih jauh. Mengingat ekonomi adalah hal fundamental dalam hidup dan kehidupan manusia sepanjang sejarah. Selain itu, ekonomi kerap direduksi menjadi sekadar angka-angka statistik yang kaku. Data kuantitatif penting tapi belum cukup menjelaskan kompleksitas ekonomi.

Jika setiap ekonomi adalah juga budaya, hal ini bisa bersifat resiprokal bahwa setiap budaya adalah proses ekonomi, proses pemenuhan kebutuhan atau kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan setiap individu tidak sama. Karena secara hakiki tidak ada manusia yang sama. Kita memang sama-sama manusia, tetapi secara personal bakat dan kapasitas setiap orang berbeda sejak ia lahir. Meskipun sama-sama ada potensi akal dan hati, namun proses pendidikan menentukan aktualitas dari potensi tersebut.

Secara potensial mungkin sama, tetapi aktualisasinya beragam. Didiklah anakmu 20 tahun sebelum ia lahir. Inilah perintah pendidikan pertama dalam Islam untuk mendidik anak. Habit orang tua turut serta membentuk karakter anak. Demikian kira-kira tafsir sederhananya.

Pada kehidupan sehari-hari, ada orang yang belajar puluhan jam tapi tidak paham-paham, ada yang belajar hanya sejam dapat memahami suatu pelajaran dengan baik. Itu bukan ketimpangan, tapi keragaman mengoptimalkan potensi diri. Tuhan telah menganugerahkan potensi panca indera, akal, dan naluri atau kemampuan batiniah. Kemampuan mengoptimalkan segala potensi tersebut meniscayakan kita berbeda dengan yang lain. Setiap potensi itu ada levelnya masing-masing. Sehingga mengoptimalkannya pun perlu upaya berbeda.

Karena kita berbeda maka perlakuan juga berbeda, bahkan di depan hukum sekalipun semua orang sebenarnya tidak diperlakukan sama. Kenapa tidak sama, karena kasusnya beda, deliknya beda, orang-orangnya beda, itulah bafangkali, kenapa pengadilan kerap tidak mencerminkan keadilan. Karena sedari awal diksi gombalannya “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” hampir dipastikan sulit dipenuhi. Keadilan salah satu topik yang sangat dinamis dalam berbagai bidang termasuk dalam kajian-kajian ekonomi.

Dalam Globalisme kehidupan kita digiring pada keadaan yang bersifat homogen. Selera musik sama, makanan sama, slogan sama, dan kemiripan-kemiripan lainnya.  Sadar atau belum sadar, infiltirasi kebudayaan dalam ekonomi global, sedikit demi sedikit menggeser ‘cita rasa’ budaya lokal suatu daerah atau negara. Apa yang dikonsumsi warga Eropa dan Amerika sejatinya dapat dinikmati pula oleh masyarakat lokal. Yang berbahaya adalah konsumsi berita dannpengetahuan yang cenderung dipaksakan melalui alat propaganda-propaganda Barat. Entah melalui bantuan donor, berita, iming-iming investasi, dll.

Globalisasi menyediakan ruang-ruang hidup bebas yang sangat luas. Tetapi bukan kebebasan itu sendiri. Termasuk bebas mati kelaparan di pinggir jalan, bebas foya-foya, bebas mati karena kelaparan, keracunan, atau karena mati dibegal ditonton massa yang lebih fokus mengambil gambar daripada berusaha menolong korban. Globalisasi (ekonomi) bukan sesuatu yang alamiah, ia adalah serangkaian gerakan ideologi (kapitalisme negara) secara sistematis. Perpaduan pengusaha dan kartel global beserta institusi global (World Bank, WTO, IMF, dll), Kekuatan-kekuatan militer negara-negara tiran global, dan termasuk para intelektual penyebar dan pembela gagasan pasar bebas yang sebenarnya tidak pernah bebas-bebas amat. Karena selalu ada “setan besar” yang hendak mengatur negara-negara lain. Kalau mau tunduk jadi sekutu, kalau melawan jadi musuh.

Keempat serangkaian di atas itulah yang menciptakan hegemoni global. Dalam terminologi Quran mereka adalah perpaduan Firaun, Qarun, Balam (teknokrat), dan Haman (intelektual), demikian istilah yang  digunakan Dimitri Mahayana dalam Berhala Globalisme. Mereka menciptakan sistem dominasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia negara-negara lain yang telah terhegemoni. Atau bahasa kasarnya ‘kehilangan kedaulatan politik dan ekonomi’.

Globalisme bisa jadi adalah sebentuk tirani. Fidel Castro pernah mengemukakan dengan lantang bahwa “The United States tyrannizes and pillages the globalized world with its political, economic, technological, and military might”. Faktanya, jika suatu negara tidak bisa ditaklukkan atau dijinakkan dengan kekuatan ekonomi dan politik, jalan terakhir adalah kekuatan militer (lihat kasus di timur tengah). Lihatlah bagaimana media AS dan Barat memberitakan Iran. Hanya karena Iran menolak tunduk pada Tirani AS.

Homogenisasi, penyeragaman yang inheren dalam budaya globalisme adalah sebentuk tirani. Setidaknya tirani psikologis atau tirani pemikiran san pengetahuan. Meskipun terkesan hiperbolik, atau lebih tepatnya cara pandang globalisme telah menghegemoni kita. Efek lebih jauh dari sebuah hegemoni adalah membuat pihak-pihak yang terhegemoni rendah rasa percaya diri, bermental budak, dan cenderung menganggap apa pun yang berasal dari yang menghegemoninya adalah sesuatu yang baik dan harus ditiru dan digugu alias latah.

Semakin maraknya standar-standar global, standar-standar kompetensi, pengukuran indeks-indeks, dan ranking-ranking adalah upaya-upaya peningkatan kualitas dan standardisasi global. Hal ini sebagai prakondisi proses produksi dan integrasi global. Meskipun hal ini tidak fair. Saya sering bergurau, apa perbedaan mendasar antara Cambridge dan Universitas di Makassar? Perbandingan Ini jelas tidak mangga dengan mangga, satunya sudah ada beberapa abad yang lalu sedangkan Kampus di Makassar mungkin baru kemarin dapat akreditasi A. Akreditasi A (unggul) sudah pasti beda dengan unggulnya yang dipahami sebagai unggul yang sebenarnya. Misalnya para dosen “dipaksa” membuat jurnal internasional dengan level-level pembayaran yang bertingkat. Yang tak jarang membuat para dosen/peneliti lebih sibuk mengurusi administrasi penelitian daripada isi dan substansi penelitan itu sendiri. Tapi sebagai tahap awal okelah, dimana kita ‘dipaksa’ berlomba dengan mereka yang sudah lari duluan. Kita butuh tenaga ekstra kalau perlu konsumsi doping.

Standar-standar kompetensi yang kini marak dikampanyekan. Menjamurnya institusi-institusi penjamin standardisasi, baik swasta maupun milik pemerintah. Kehadiran institusi-institusi penjamin standar menyerupai massifnya lembaga-lembaga survei dan pemeringkat kualitas bidang tertentu. Ia seperti sebuah industri tersendiri. Semua diupayakan demi dalih meningkatkan kualitas dan produktivitas. Faktanya, mari kita cek, berapa banyak guru dan dosen yang sudah lulus uji kompetensi (sertifikasi) benar-benar kompeten dan mampu merangsang minat belajar siswa atau mahasiswa? Jawabannya ada di ruang batin kita masing-masing. Berapa banyak universitas, sekolah tinggi, dan progran studi yang berakreditasi unggul, tapi belum memenuhi standar minimal pelayanan konsumen (mahasiswa) dan juga civitas akademika. Inilah salah tantangan dalam perbaikan di bidang institusi (kelembagaan).

Tentang institusi, setidaknya ada tiga hal yang patut diperhatikan menurut North, yaitu formal rule, informal rule, dan force rule. Formal rule berkaitan dengan aturan-aturan formal yang tertulis. Informal rule berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan budaya dalam suatu organisasi/lembaga, termasuk dalam hal ini adalah “pamali”, yang umumnya tidak tertulis tapi disepakati atau diyakini untuk ditatati. Force rule, berkaitan dengan mekanisme reward and punishment untuk menegakkan aturan-aturan. Jika ketiga variabel institusi belum dipadupadankan maka wajar-wajar saja kita masih tergolong “poor”. Sinkronisasi ketiga hal di atas akan menciptakan kualitas unggul dan akhirnya produktivitas dan inovasi. Namun yang paling adalah perubahan dan transformasi perilaku.

Saya meyakini bahwa tindakan atau perbuatan adalah refleksi dari pengetahuan kita. Kebiasaan konsumtif masyarakat, bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Iklan melalui berbagai media, pada berbagai saluran teknologi, bahkan setiap kedipan mata berseliweran iklan-iklan menjajakan produk untuk dibeli, beli, dan beli. Watak utama iklan adalah, mengubah desire menjadi seolah-olah needs. Watak tersebut membentuk mental. Mental konsumerisme adalah bentukan pasar, lebih tepatnya pelaku pasar yang kalah oleh mekanisme supply and demand.

Pasar secara ekstrim hanyalah supply and demand, kalau kita bukan produsen, maka kita sudah pasti konsumen. Hanya rantai nilainya saja yang kadang panjang dan berbelit, sebagaimana birokrasi yang kompleks. Kini, Interaksi produsen dan konsumen bergeser lebih singkat dan praktis karena kemajuan pemikiran dan kebudayaan manusia melalui teknologi.

Teknologi menghadirkan cara baru berinteraksi. Teknologi adalah proses berkebudayaan. Ia melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru, kebiasaan ini lama kelamaan akan menjadi tradisi dan akhirnya terbentuklah kepribadian. Kepribadian yang menular dan massif akan menciptakan budaya komunitas. Dalam mode produksi kapitalisme lanjut pun mengalami perubahan, entah karena perubahan dari dalam atau perubahan dari luar. Disrupsi, yaa hampir semua sisi kehidupan terdisrupsi oleh kamajuan teknologi. Dalih utamanya semua untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kehidupan.

Dalih efektifitas dan efisiensi kadang seperti bahasa langit yang sulit membumi. Kenapa prinsip dalam ekonomi tersebut teramat sulit untuk dibudayakan. Meskipun ia diklaim sebagai nilai kapitalisme. Tetapi jauh sebelum cara pandang kapitalisme atau liberalisme ekonomi mendominasi kampus-kampus kita, pendahulu kita sangat piawai memerankan hidup dengan efektif dan efisien. Efisien dalam artian tidak boros, efektif dalam arti memanfaatkan semua sumber daya secara penuh untuk mencapai hasil optimal. Atau sederhananya hiduplah secara produktif.

Dalam Islam doktrin produktivitas diawali dengan IQRA. Bacalah. Bacalah segala yang tersirat dan tersurat. Yang materi dan non-materi, empiris dan non empiris. Kemampuan level membaca semesta akan menentukan kualitas diri. Jika membacanya hanya pada level fungsi indera semata, maka amat muda kita terbuai dengan keindahan tutur kata, merdunya lantunan bacaan Quran. Level lebih tinggi, membaca dengan akal dan kekuatan batiniah. Rasionalitas dan spiritualitas. Keduanya membutuhkan pengetahuan dan latihan tersendiri. Tetapi intinya, Membacalah.

Doktrin lainnya, barang siapa yang hidupnya lebih baik dari hari kemarin maka ia adalah orang beruntung, jika sama ia rugi, dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin, ia celaka. Ini adalah doktrin-doktrin produktivitas. Doktrin dalam hadis yang lain, manfaatkanlah masa mudamu sebelum datang masa tuamu, manfaatkan sehatmu sebelum sakit. Dan, doktrin yang paling monumental dalam surat ar Ra’du ayat 13: Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau bukan ia sendiri yang berusaha merubahnya.

Dalih dan doktrin di atas belum sepenuhnya terserap pada setiap batin-batin kita, termasuk penulis. Kata-kata belum searah dengan aksi, “taro ada taro gau” masih sebatas slogan, satunya kata dan perbuatan masih sekadar lipsing. Pengetahuan belum menjadi “pengetahuan seutuhnya” yang mewujud dalam setiap tindakan. Pengetahuan kita masih sebatas ceceran-ceceran kata-kata yang hampa nilai “mistis”, nilai yang mampu menggerakkan para penganutnya. Pengetahuan yang menggerakkan, mengubah dan resisten pada tirani. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh bangsa Iran hari ini.

Secara hiperbolik saya ingin menyebutkan setiap kata atau istilah adalah pesan-pesan ideologis. Ideologi dalam pandangan Murtadha Mutahhari adalah sesuatu yang menggerakkan para pengikutnya, sesuatu yang mampu mentransformasikan diri para pendukungnya. Bukan Ideologi sebagaimana yang dipahami Marx  sebagai sesuatu yang datangnya eksternal, ilusif dan melahirkan kesadaran palsu. Ia adalah sesuatu yang inheren dalam diri setiap orang, makanya tindakan setiap orang tidak sama, karena kamampuan dan bakatnya untuk mengeksplorasi cara pandangnya yang berbeda.

Mindset bisa jadi kata lain untuk menggambarkannya, ia bukan sekadar alam ide, ia adalah sekaligus aksi. Oleh karena setiap kita berbeda, maka biarkanlah setiap orang, daerah, negara benar-benar bebas mengelola dirinya sendiri berdasarkan local genius masing-masing. Teori-teori ekonomi yang sukses di Eropa dengan keadaan geografis serba dataran, kondisi ruang dan budaya yang berbeda sudah bisa dipastikan gagal diterapkan di negara kepulauan. Rumus sederhanya ATM (Amati Tiru dan Modifikasi) bukan sekadar copy paste kebijakan negara maju ke negara berkembang. Salah satu ciri negara berkembang atau terbelakang dapat dilihat pada saat macet, atau perempatan lampu merah. Itulah cerminan paling kasat mata suatu masyarakat yang terbelakang.

Upaya menstrukturisasi dan menyeragamkan cara pandang terhadap apa pun justru membuat hidup kadang tidak produktif. Jika tidak produktif tidak inovatif. Justru doktrin kebebasan untuk berbedalah yang kerap memicu produktifitas. Berpikirlah bebas niscaya kamu akan menemukan dirimu dan Tuhanmu. Kira-kira demikian pelajaran dari kasus Nabi Ibrahim dalam pencarian Tuhannya. Setiap individu diberikan jatah sumber daya waktu yang sama 24 jam/hari tetapi sungguh masih banyak yang lalai dengan waktunya masing-masing. Mengapa kampus atau sekolah, institusi pendidikan atau pemerintah di negara kita pada umumnya tidak produktif? Bisa jadi karena, kita tidak terbiasa dengan tradisi-tradisi yang berbeda dengan kebiasaan kita. Inginnya itu-itu saja, yang penting damai. Keberagaman memicu dialektika, dialektika dapat merangsang nalar, asalkan tidak baper. Bukankah pelangi indah karena warna-warninya.

Upaya memenuhi kebutuhan (ekonomi) adalah juga proses berkebudayaan maka seluruh standar-standar yang telah menjadi kesadaran massif, mungkin perlu didekonstruksi. Misalnya, kenapa definisi standar kemiskinan tidak ada yang sama, bahkan banyak versi, ada versi konsumsi 2$ versi Bank Dunia atau 1200 kkalori per hari, dll? Karena sejatinya kemiskinan ataupun kesejahteraan adalah persepsi personal yang distandardisasi oleh lembaga tertentu. Standar-standar umum atau (katanya objektif) dicoba dipadupadankan dengan standar subjektif. Sudah pasti ada konflik dan distorsi. Upaya mendorong ukuran kesejahteraan berbasis komunitas perlu senantiasa digelorakan. Standar kesejahteraan warga pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi, kota-desa semestinya berbeda.

Von Mises mendefinisikan ekonomi sebagai logika tindakan. Alat analisisnya disebut Praxiology. Dalam logika tindakan terdapat tiga hal; alat, cara, dan tujuan. Besi bagi orang Papua dapat dijadikan tombak atau mata panah, bagi orang Amerika bagus dibuat senjata dan lahan bisnis. Alat tersebut dapat dijadikan media untuk kehidupan atau membunuh, tapi caranya sudah tentu beda. Demikian pula jika kita ingin makan, sejahtera, lulus kuliah, sarjana dst. Tujuannya bisa sama, tapi alat dan caranya berbeda. Logika tindakan ini menyiratkan keberagaman cara untuk mencapai tujuan. Dalam cara pandang demikian pengikut Mises, Mazhab Austria menolak cara pandang John Locke yang emipiris, yang pada perkembangan mutakhirnya ”menuhankan” data-data statistik. Dampaknya cara pandang tersebut mereduksi kenyataan. Inilah yang menghegemoni sebagian besar kampus. Cara pandang yang hampir seragam atau hendak diseragamkan.

Keterasingan diri memahami logika tindakan kita masing-masing berdampak pada rendahnya produktivitas dan inovasi. Kenapa rendah? Karena dalam logika tindakan terdapat aksi dan refleksi. Apa yang telah dilakukan akan direfleksikan secara berkesinambungan, ada perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan. Sehingga kebiasaan meniru-niru dan latah tidak menjadi kebiasaan kita. Misalnya, ketika seorang photografer berhasil mempopulerkan wisata “Negeri di atas Awan” di Toraja Utara, hingga menjadi objek wisata alternatif. Daerah lain pun ketularan mengekpose tempat-tempat yang serupa. Kebiasaan latah pun merebak pada hampir semua hal. Latah tentang #Hastag, latah tentang #save ini itu, dan lain-lain. Latah boleh jadi adalah budaya orang-orang/komunitas yang malas bernalar dan berkontemplasi.

Akhirnya perlu saya sampaikan bahwa pemicu tulisan ini adalah buku Escobar, Encountering Development, dan beberapa kasus yang saya amati dan alami sendiri. Pembangunan, pernah menjadi anak emas di negeri ini, di era Suharto, para teknokrat pembangunan melesatkan ide-idenya dalam penerapan pembangunan oleh “Bapak Pembangunan”, namun saya tidak tahu siapa “anak Pembangunan”. Para kritikus sosial pun mengkritik dan bahkan mencibir “Pembangunan” sebagai biang kerok kerusakan alam, penggusuran, ketimpangan, dll. Kalau pernyataan ini diterima, semakin nyata kalau kata memang adalah senjata. Oleh karena itu untuk menimpali cibiran “pembangunan”. Menarik merenungkan ungkapan Armatya Sen, Pembangunan adalah pembebasan, Pembangunan harusnya membahagiakan. Nah, apakah Anda sudah bebas dan bahagia? Mari kita tanya sama rumput yang enggan bergoyang, karena anginnya dihalangi oleh tanaman artifisial, beton. Beton boleh tegak dimana-mana, tapi pikiranmu jangan jadi beton. Salamakki semua.

Nasib Rezim Kebenaran di Era Viralisme

Jika seorang perempuan disanjung-sanjung dengan kata-kata indah. Misalnya, “kamu cantik sekali malam ini”. Yakinlah, hatinya akan berbunga-bunga. Namun, ketika ekspresi cantik dipercantik menjadi “syantik”, mungkin ekspresinya akan berubah, apalagi jika ia mempunyai pengetahuan historis tentang viralnya dangdut si syantik. Itulah contoh sederhana betapa hebatnya viral mengubah persepsi atas ekspresi kata-kata. Sama-sama niatnya memuji, cantik, syantik, tapi bisa ditanggapi berbeda.

Era serba internet (internet of thing) sekilas tampak bahwa tiadanya atau tergerusnya strata sosial di hadapan “viralisme”. Dalam viralisme kita bisa hina sesaat, bisa mulia sejenak. Ia datang dan pergi sesukanya sekejap mata, ketawa dan sedih kadang beririsan, seperti drama Korea mengaduk-aduk emosi. Begitu dinamisnya, begitu relatifnya ekspresi kita. Seorang pejabat bisa berpura-pura jadi kuli untuk viral. Komplotan perampok yang beringas bisa berpura-pura jadi pejabat yang santun, namun belum tentu untuk viral, karena memang niatnya jadi perampok.

Mungkinkah viralisme menjadikan masyarakat yang non-hirarkis, atau hanya menciptakan hirarki baru, user-administrator, follower-creator, viral – non-viral?

Viralnya sesuatu (teks/narasi atau style/perilaku) ibarat tsunami. Ia akan menenggelamkan dan menggulung apa dan siapa saja yang dilewatinya. Semua level usai, strata jabatan, semua profesi, strata sosial, dll. Bersyukurlah jikalau yang viral adalah hal baik dan menginspirasi, jika sebaliknya, celakalah. Jika style tertentu viral maka mengikutlah kita padanya. Hatta dengan mengikutinya setulus hati atau hanya sekadar peniruan yang mengejek, atau cara-cara mimesis lainnya. Lalu, siapa yang bisa bertahan dari derasnya arus viralisme? Boleh jadi viral akan menjadi agama dan ideologi baru masyarakat kita.

Sebagai ilustrasi terkini, polemik antara protes Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan PB Djarum berakhir indah dengan foto bersama di stage. Adanya kesepakatan bahwa audisi bulutangkis tetap dilaksanakan, dengan sejumlah catatan. Perubahan sikap pihak PB Djarum menarik keputusan untuk meniadakan audisi, demikian juga melunaknya KPAI atas protesnya yang awalnya garang banget menjadi slow. Apa sebabnya? Boleh jadi disebabkan viralnya polemik tersebut yang menjalar ke mana-mana. Termasuk pada latar belakang komisioner KPAI dan donaturnya selama ini, dan seterusnya, yang melahirkan berbagai persepsi dan penilaian terhadapnya.

Ada banyak kasus yang bisa mengubah sikap seseorang dari sedih menjadi senang, dari benci menjadi cinta, dari pemalu jadi beringas, dst. Kasus manipulasi aturan, kebijakan, bahkan kejadian tragedi besar karena the power of viral. Viralnya sesuatu (berita, kasus, info, dll.) bisa melelehkan pada apapun yang dilewatinya. Yang salah bisa jadi benar, yang benar bisa jadi keliru, itulah fenomena post-truth. Kebenaran narasi ditentukan oleh masifnya emosi yang terlibat di dalamnya bukan pada standar kebenaran itu sendiri.

Apakah ini berbahaya bagi rezim kebenaran? Sudah tentu. Bukan hanya rezim kebenaran, rezim kepakaran pun akan terkena dampak oleh tsunami viral. Profesor bidang tafsir, bisa saja kalah populer dan pengikut (jamaah follower) oleh mahasiswa semester akhir yang mampu mengoptimalkan sarana algoritma sosial media, google adsense, dan fasilitas robot lainnya. Sudah lazim kita saksikan bagaimana seorang mualaf (pemeluk Islam pemula banget) sok tahu (sotta) menceramahi dan kadang menyalahkan seorang kiai yang mendekati ‘paripurna’ keilmuan. Si pemula yang lebih populer dan diterima khalayak karena ceramahnya lucu, kocak, dan menghibur. Sedangkan kiai yang paripurna keilmuannya hanya mengisi pengajian-pengajian di pelosok.

Atau jangan-jangan seperti yang dirapalkan Tom Nichols, “Kadang dalam rimba informasi masa kini, penjelasan pakar tidak didengar, sementara jawaban dari tokoh yang mempunyai banyak pengikut justru lebih dipercaya –dan membahayakan banyak orang.” (Tom Nichols, 2019, dalam Matinya Kepakaran).

Oleh karena si pemula lebih populer, jam tayang di TV, di Youtube, dan media sosial lebih masif maka sangat mungkin dia akan didaulat sebagai yang “paripurna” ala ciptaan media. Dan terlanjur populer, maka si pemula pun tak punya waktu untuk “ngaji”, belajar lebih banyak dan lebih dalam. Cara-cara instan pun ditempuh, belajar instan dan karbitan. Akhirnya, lahirlah agamawan pemula, populer, karbitan, dan kagetan.

Hal yang serupa juga terjadi pada realitas publik yang lain. Partai politik yang sejatinya menjadi lembaga pengaderan politik, juga terjebak pada politisi viral. Siapapun figur publik yang bisa menciptakan narasi populer, maka akan dilirik oleh partai dicaplok sebagai kader. Singkat cerita lahirlah anggota-anggota dewan dan politisi yang karbitan, kagetan, dan panikan. Padahal tugas utama mereka adalah menjadi corong publik, memperjuangkan hak-hak warga yang memilihnya, karena terlalu jauh kalau mewakili kepentingan warga kebanyakan. Akhirnya panggung politik menjadi kontestasi drama. Dramaturgi, di mana setiap lakon bisa mati berulang kali dengan peran yang berbeda-beda. Pagi hari berperan jahat, malamnya jadi bejat, esoknya jadi bajingan, kapan baiknya? Di pencitraan, di narasi tontonan.

Kalau sudah demikian, lalu siapa yang bisa diharap menyuarakan kebenaran-kebenaran konstitusional, kebenaran ajaran agama yang mulia yang membawa rahmat untuk semesta. Kebenaran-kebenaran pancasila yang mulia nilainya: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebersamaan, dan keadilan.

Dua Persfektif Logika

Kebenaran dapat kita amati dan verifikasi pada dua perspektif logika. Pertama, perspektif logika biner. Dalam melihat kebenaran seperti logika klasik/biner/boolean. Logika benar-salah, hitam-putih, halal-haram. Cara pandang ini diterapkan oleh hakim dalam mengeksekusi kasus, bersalah atau bebas. Hal sama dapat kita lihat pada perilaku sebagian kaum agamawan ekstrimis yang sumbu pikirnya sangat pendek, kalau bukan dari golongannya yang ‘mahabenar’ maka yang lain salah.

Logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat diekspresikan dalam istilah biner (0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak). Logika ini membagi realitas dalam dua titik ekstrim yang berbeda 0 atau 1. Tentu dengan standar yang ketat mana yang benar dan mana yang salah.

Kedua, perspektif logika fuzzy (kabur). Cara pandang logika fuzzy menyerupai perspektif gradasi cahaya. Sebagaimana cahaya yang bergradasi, dari terang bisa menuju ketiadaan terang (gelap).

Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1 (0,2; 0,5; 0,7; 0,9), tingkat kekaburan (probabilitas), begitu banyaknya angka antara 0-1, dan dalam bentuk linguistik, konsep tidak pasti seperti “sedikit”, “cukup”, “sedang”, “sangat”, dll. Logika ini berhubungan dengan himpunan fuzzy/kabur dan teori kemungkinan. Fuzzy Set (Himpunan Kabur) diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh, beliau adalah Bapak logika fuzzy yang dilahirkan di Baku, Azerbaijan merupakan peletak dasar-dasar fuzzy logic. Beliau besar di Iran, dan bekerja sampai akhir hayatnya sebagai profesor di Universitas California, Barkeley.

Penemuannya tentang sistem fuzzy, dengan pergeseran sudut pandang dari perhitungan sistem yang akurat, teliti, lengkap (hard computing) menjadi perhitungan sistem yang mentolerir adanya ketidakpastian, kekurangan data, dan sebagainya (soft computing) yang ternyata lebih mendekati pada kenyataan sehari-hari.

Logika fuzzy mengajarkan cara melihat fenomena, realitas dengan lebih jujur, plural dan realistis. Jika dalam dunia asmara Romeo-Juliet, Laila- Majnun, kita mengenal cinta dan benci. Dalam sudut pandang Zadeh, ada cinta mati, sangat cinta, cukup cinta, lumayan cinta, tidak cinta. Demikian pula benci.

Meretas Jalan, Bebas dari Jebakan Viralisme

Sekilas dapat terlihat bahwa logika fuzzy ini dalam sudut tertentu menyerupai pandangan “Hierarki Eksistensial” Mulla Shadra. Dalam hirarki eksistensial tidaklah wujud dipahami sebagaimana tunggalnya tiang listrik, tetapi wujud bergradasi bagai pendar-pendar cahaya. Mulla Shadra menghubungakan “kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi” yang diibaratkan cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Sebagaimana Wujud (Ada). Adanya Tuhan, adanya buku, adanya esai ini, sama-sama ada, tetapi keberadaanya berbeda secara hakiki.

Filsafat Mulla Shadra mengajarkan gradasi wujud, dalam logika fuzzy ada gradasi kebenaran. Benar 100%, 90%, 85%, …..10%. Sama-sama ada level wujudnya, ada level kebenarannya. Tentu dengan kriteria kebenaran pada setiap level.

Dalam khasanah keilmuan Islam, “Benar” memiliki berbagai turunan. Kebenaran dalam Islam diistilahkan dalam 3 bentuk: Haqq, Shiddiq, Shahih. Kebenaran karena faktual, person yang terpercaya, dan kebenaran proposisi,

Pertama, Haqq adalah kebenaran yang bermuara pada hakikat sebagai dasar yang berwujud materi yakni realitas faktual. Contoh : Habibie telah wafat adalah realitas dan hakikatnya adalah alat komunikasi. 2). Shiddiq yaitu kebenaran yang mengacu kepada struktur kualitas dan kredibilitas subjek/individu, namun bukan pada status sosialnya (jabatan, profesor dll). Contoh: Periwayat hadist yang terpercaya, kejujuran imam. 3) Shahih, kebenaran yang merujuk kepada aspek pernyataan/proposisi/kata-kata atau verbal tanpa memandang person-nya. Kebenaran silogisme yang taat pada aturan formal logika.

Kekacauan diskusi akibat dari viralnya suatu narasi terjadi karena tidak adanya semesta pembicaraan yang jelas dan selevel. Pada level pengetahuan mana: biasa, illmiah, ideologis, agama, filosofis, mistik, atau metafisik. Karut marut yang timbulkan oleh sesuatu yang viral diperparah oleh netizen yang suka co’do rantasa (coras) atau asal bunyi (asbun), asal komentar tanpa basis pengetahuan yang memadai. Misalnya, bicara pengetahuan ilmiah tetapi menggunakan cara pandang mistik. Diskusi filosofis tetapi berpikir fikih. Ngga nyambung coii…

Baik Prof. Zadeh atau pun Mulla Shadra menghadirkan pandangan realitas yang majemuk. Yang memungkinkan setiap kita melihat setiap fenomena dan realitas tidak dengan tunggal. Prof. Zaadeh adalah sosok “pluralis”, tergambar dari pernyataan beliau. “The question really isn’t whether I’m American, Russian, Iranian, Azarbaijani, or anything else. I’ve been shaped by all these people and cultures and I feel quite comfortable among all of them”. Seorang pluralis tidak akan mudah menyalahkan orang lain. Sebagaimana yang terjadi pada korban-korban viral. Lihatlah betapa banyak orang menghakimi Pak Azis hanya karena mengulik pemikiran Muhammad Sahrur.

Leluhur, junjungan kita, Sokrates tidak pernah menyalahkan orang. Ia sangat bijaksana. Kebijaksanaanya karena kecenderungannya pada pencarian kebenaran. Tanpa membabi buta menghakimi yang berbeda dengannya. Ada tiga resep Sokrates untuk memfilter hoaks, gosip atau narasi viral. Ada 3 pertanyaan yang ia ajukan pada pembawa berita atau kabar. Satu, apakah Anda yakin benar dengan cerita yang hendak kamu ceritakan? Kedua, apakah yang akan kamu ceritakan hal-hal yang baik/bagus? Ketiga, apakah ada manfaatnya atau gunanya bagiku?

Kebenaran seperti cahaya, sumber cahayanya satu, tetapi tingkatan cahayanya berbeda (jamak). Seberapa dekat kita pada sumber cahaya maka level kebenaran kita makin terang dan jelas tanpa harus merendahkan mereka yang masih dalam kekurangan cahaya (kegelapan). Kata guruku, kegelapan itu identik dengan kebodohan. Maka bergeraklah dari kegelapan menuju cahaya, mulailah dari pesan pamungkas pertama, Membacalah! Membaca dengan indera, analisis dengan berpikir, teguhkan keyakinan dengan hati.

Wassalam. Wallahu a’lam Bisshawab.

 

Sumber gambar: https://www.rivier.edu/academics/blog-posts/history-of-viral-marketing/