Makassar 28 April 2020. Hari Selasa tepat pukul 3 sore saya dan seorang senior siap mengudara di kanal media sosial kami masing-masing untuk sejenak membincangkan sebuah tema yang menjadi identitas berpakaian saya dalam kurun waktu 5 tahun belakangan ini, yaitu cadar.
“Cadar, Why Not” adalah tema yang ditentukan oleh sang moderator dan saya pun menyepakatinya. Kiranya tema ini akan banyak memunculkan pertanyaan di benak audience terkait sepak terjang selama 5 tahun menggeluti si “cadar” dan benar saja sekumpulan pertanyaan pun hadir dari beberapa teman-teman di media sosial. Saya akan mencoba menjadikan ini sebuah narasi yang cukup panjang sepertinya, sebab saya harus mengulas beberapa pengalaman yang sudah saya alami terkait pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, juga memberi narasi terhadap beberapa hal yang memyangkut cara pandamg serta prinsip saya memilih cadar, sebuah model pakaian yang kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas saya. Narasi ke depan akan semacam “Questions & Answer” jadi, selamat membaca.
***
Apa pengalaman Anda dilabeli “Radikal”?
Pengalaman mendapat label semacam itu cukup banyak pastinya, hanya saja mereka tidak semuanya yang langsung frontal menyampaikan itu di depan muka saya. Kita mengetahui bersama bahwa label seperti ini pasti akan selalu diidentikkan dengan model pakaian yang saya kenakan (cadar). Akan tetapi, bagi saya pribadi bahwa komitmen dalam pilihan bercadar saya harus sama kuatnya dengan komitmen saya untuk menanggung semua risiko yang akan menyertai keputusan yang saya pilih. Sehingga prinsip inilah yang membuat saya tidak terlalu gentar dengan pandangan-pandangan sinis dari segelintir orang yang mencap saya radikal bahkan sejak dari pikiran mereka. Raut wajah yang menampakkan keheranan, sinis, bahkan risih itu kerap kali saya temui dan hal itu saya dapati dari sebagian besar teman-teman muslim sendiri.
Di beberapa tempat-tempat umum ketika saya muncul dengan pakaian serba gelap dengan ukuran jilbab yang big size pasti mata sebagian orang akan menyoroti diikuti dengan dahi yang sedikit mengerut kemudian diikuti komentar-komentar yang kedengaran di telinga saya agak kurang baik. Saya masih menyimpan tatapan-tatapan itu dengan sangat baik. Bukan sebagai sebuah amarah apalagi dendam, tetapi hal-hal semacam itu membuat saya terpacu untuk lebih mengaktualisasikan diri dengan aktif di berbagai kegiatan yang sekiranya mampu menegasi stigma-stigma mereka.
Sekitar 2 – 3 tahun belakangan saya kemudian dikenal dengan “cadar lintas iman” karena keaktifan saya dalam berbagai dialog interfaith dan kegiatan-kegiatan serupa lainnya. Timbullah hal yang menurut saya dan beberapa teman di komunitas menjadi sedikit lucu, di mana ketika awal-awal bercadar saya disebut radikal oleh mereka yang tidak bercadar, tetapi sekarang saya malah disebut radikal oleh sesama pencadar. Seperti yang saya ungkapkan di awal bahwa setiap pilihan (sebab) yang kita ambil pasti disertai oleh risiko. Pro dan Kontra adalah hal yang sangat wajar. Kembali kepada prinsip saya tadi bahwa saya sudah berkomitmen bercadar maka saya pun wajib berkomitmen untuk menerima, juga boleh tidak menghiraukan atas risiko yang timbul dari apa yang sudah saya tekadkan.
Simplenya adalah selama kita siap bertanggung jawab atas akibat yang timbul dari apa yang sudah kita sebabkan, yah di jalani saja. Saya sedikit berpandangan begini: bahwa orang lain bebas menggunakan akal dan mulut mereka untuk menghakimi pilihan-pilihan seseorang hanya dengan modal satu anggapan saja tanpa be-tabayyun (mencari tahu) langsung dan saya memilih untuk tidak mau menjadi tipe berpikir orang semacam ini. Di mana, mereka cenderung berpikir praktis tanpa usaha berdarah-darah untuk mencari tahu itu sama saja menumpulkan akal dan hati. Dan saya mengamalkan kalimat itu dalam upaya saya berproses untuk belajar, menimba ilmu, memperbaiki nalar agar akal menjadi sehat dan hati cemerlang sebab tidak ada waktu untuk mengernyitkan dahi apalagi menghukumi hal-hal yang belum benar-benar saya ketahui dengan pasti.
Motivasi apa yang melatar belakangi sehingga memutuskam untuk bercadar?
Kalau ditanya mengenai motivasi awal sepertinya akan cukup panjang juga untuk saya jelaskan. Tetapi saya mencoba untuk sedikit menyingkat kronologis itu. Di mana, awal mula saya berada di sebuah kajian yang mayoritas mereka bercadar. Pada waktu saya berkecimpung bersama mereka saya malah mempunyai komitmen untuk tidak mau ikut-ikutan bercadar hanya karena saya berada di lingkaran tersebut. Saya hanya berhasil mengubah panjang kerudung saya dan itu pun saya lakukan sebelum menjadi bagian dari mereka.
Beberapa lama mengikuti kajian bersama mereka saya merasa ada beberapa hal yang sangat prinsip terkait beberapa hal dalam argumentasi-argumentasi tentang syariat dan ikhtilaf ulama tentang hal tersebut. Tidak berselang lama, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti dari komunitas itu. Saya beralih ke sebuah majelis yang pada umumnya diminati oleh kalangan ibu-ibu pengajian yaitu majelis zikir berjamaah. Di sanalah saya banyak menimba ilmu.
Mengetahui tentang berbagai hal dalam ajaran Islam yang tengah saya dalami pascaberhijrah seperti apa yang biasa disebut oleh millenial. Pada waktu yang cukup bersamaan, saya kemudian dijumpakan secara virtual dengan seorang muslimah bercadar yang sampai hari ini belum pernah saya temui. Beliau yang notabene bercadar tetapi tidak pernah sekalipun berupaya apalagi meminta saya untuk ikut-ikutan bercadar sebab beliau meyakini bahwa pilihan untuk mengubah diri dari titik A ke titik B, dalam hal ini bercadar, itu harus atas panggilan hati sendiri. Bukan karena meniru orang lain apalagi hanya mengikuti trand pakaian semata.
Bagi beliau cadar begitu sakralnya, dalam arti bahwa hanya Tuhan yang mampu menggerakkan seseorang untuk mengenakannya. Beliau hanya beberapa kali menjawab ketika saya menanyakan tentang alasannya mau dan memilih bercadar. Beberapa lama kemudian akhirnya saya pun memutuskan untuk bercadar. Pergumulan saya di majelis zikir agak sedikit membuat saya tidak nyaman dikarenakan pandangan-pandangan mata dari beberapa lawan jenis yang saya tidak sukai. Sehingga saya harus memilih apakah saya berhenti bermajelis ataukah saya menutup wajah saya dan tetap mengikuti kegiatan majelis. Suasana majelis memang sangat ramai dengan berbagai kalangan yang hadir ikut berzikir dan kita tidak mampu menghindari hal-hal semacam itu ketika di kerumunan. Beberapa hal juga melatarbelakangi termasuk doktrin tentang pakaian Sayyidah Fatimah yang dikatakan bahwa beliau bercadar dan mengenakan pakaian hitam-hitam bak burung gagak ketika keluar dari rumahnya agar menghindari pandangan lawan jenis.
Berbagai pergolakan batin terjadi ketika itu dan akhirnya saya memutuskan untuk bercadar. Sekalipun alasan dogmatis itu tidak saya pungkiri tetapi hal ini murni atas pilihan kesadaran saya dan saya menjalankannya sampai hari ini. Dan saya kemudian merasa dijebak oleh diri saya sendiri sebab agak kasar saja jika saya mengatakan Tuhan telah menjebak saya dalam pakaian ini. Karena dalam perjalanan pergumulan keilmuan saya akhirnya menyadari bahwa model pakaian syar’i itu sebenarnya tidak terikat pada satu jenis. Pandangan ulama terkait pakaian berbeda-beda juga berubah-ubah tergantung pemahaman kita tentang yang mana aurat dan yang mana bukan aurat.
Model pakaian disebut juga sebagai hasil dari pergumulan kebudayaan (produk budaya) dan doktrin agama yang sempat saya yakini juga belum mampu saya buktikan dengan pasti keshahihannya. Akan tetapi, mengapa saya belum berkeputusam melepas cadar ini ketika itu ternyata bukanlah sebuah syariat sekalipun sebagian teman bercadar benar-benar mengangap ini adalah syariat, yah kembali lagi bahwa saya sudah berkomitmen dengan pakaian ini. Selama saya memakai dan menjalani keseharian saya membuat saya cukup aman, dan saya tentunya sangat merasa nyaman dengan mengenakan pakaian ini. Sehingga yang dulunya saya menjalankan ini karena sempat termakan doktrin, akhirnya sekarang murni atas pilihan model berpakaian ala saya sendiri. Saya tidak terikat lagi oleh warna-warna gelap dan tentunya saya bisa beraktifitas lebih banyak, sebab tidak lagi memahami bahwa pakaian ini adalah sakral dalam artian “pakaian yang suci dari dosa”. Bahwa pakaian tidak boleh dikaitian dengan perilaku pemakainya.
Model pakaian dan model perilaku seseorang adalah dua hal yang jauh berbeda. Saya sudah sempat menyampaikan ini di forum keperempuanan dan beberapa momentum ketika ini disinggung. Apa yang saya pahami tentamh cadar hari ini adalah sebuah pakaian kebebasan yang dipilih dan di jalankan berdasarkan kehendak dan kesadaran penuh dari seseorang. Hal itu kemudian mengakar sebagai sebuah prinsip dan boleh saja di kritik sebab ia tidak lagi baku. Bukan bagian dari pada syariat yang profan, sehingga sangat terbuka untuk di ubah atau boleh saja di tanggalkan jika tidak sesuai dengan hal yang lebih utama dari itu.
Menurtu hemat saya, cadar bukanlah penjara wanita melainkan rumah ternyaman baginya. Di mana, hijab itu selalu ia bawa ke mana saja dan sama sekali tidak membatasi peranan dirinya untuk membuat banyak karya dan kemanfaatan bagi orang banyak. Jangan karena bercadar lantas menjadi anti sosial, menolak yang berbeda pakaian, bahkan sampai menghukumi kafir bagi yang tidak sejalan. Cadar hanya sebuah model dari tatanan berpakaian perempuan baik di Islam sendiri maupun agama Yahudi yang lebih dahulu hadir sebelum datangnya Nabi Muhammad Saw. mengukuhkan ajaran Islam. Pernyataan ini boleh dibuktikan di beberapa artikel-artikel terkait tentang cadar yang diulas oleh para pemikir-pemikir Muslim.
Bagaimana menghadapi tantangan bercadar di tengah tantangan melawan corona?
Pertanyaan ini muncul sesuai dengan kondisi yang sedang kita hadapi. Dilemparkan oleh seorang kawan bercadar juga yang hampir serupa perjalanan pergumulan cadarnya dengan apa yang saya alami. Saya sedikit terkekeh kemudian mencoba menjawab kembali bahwa selain tantangan saya melalui hari-hari di tengah pandemik ini bisa dibilang sama beratnya dengan tantangan saya memilih bercadar. Sedikit bercanda tetapi lebih banyak seriusnya ketika menjawab ini tetapi saya mencoba mengorelasikannya saja. Di mana, Corona bagi manusia adalah musibah tetapi bagi bumi kita ini adalah anugerah. Sebab dibuktikan dari berbagai penelitian yang muncul di berita mainstream maupun non-mainstream bahwa lapisan ozon bumi sedang memberbaiki diri dan kondisi udara di ibu kota dan beberapa daerah sibuk lainnya semakin membaik dikarenakan berkurangnya polusi udara akibat aktifitas manusia yang sangat berkurang.
Adapun terkait cadar, hal ini bisa jadi musibah bagi mereka yang tidak senang apalagi menentang pakaian semacam ini dengan label negatif dsb. Apalagi model cadar saya belakangan ini menjadi musibah juga mungkin bagi sebagian pencadar lain karena kegiatan-kegiatan yang saya jalani sudah dianggap menyalahi tatanan dan pakem-pakem perempuan muslim bercadar pada umumnya. Akan tetapi, bagi saya sendiri, melihat berbagai kemanfaatan dari tarbiyah-tarbiyah Tuhan bahwa cadar ini adalah anugerah. Saya tidak bisa memastikan bahwa ketika saya tidak bercadar Tuhan masih mau mendekatkan saya dengan orang-orang hebat, memberikan saya pengajaran luar biasa bagaimana mental itu tumbuh ketika kita menjadi asing di komunitas sendiri.
Apa yang saya sedikit bisa simpulkan bahwa mental kita akan lebih kuat ketika sudah menjadi minoritas dan saya merasakan hal tersebut. Saya menyadari betul kebaikan-kebaikan Tuhan dalam mentarbiyah diri saya sungguh luar biasa melalui pakaian ini. Orang sebagian boleh saja mengatakan bahwa itu hanya kebetulan dan alasan-alasan serupa lainnya, tetapi bagi saya yang menjalani ini saya sudah banyak mendapatkan kejadian-kajadian luar biasa dengan pakaian ini yang sulit kiranya untuk saya rincikan, tetapi hal ini sudah menjadi ” hadir di dalam diri saya. Sehingga saya merasa bersyukur Tuhan sudah membuat saya istilahnya terjebak untuk merasa nyaman dan masih tetap memegang komitmen untuk mengenakan cadar sampai hari ini.
Bagaimana pandangan anda tentang pluralisme?
Tentang Pluralisme itu sendiri, saya berpandangan bahwa masyarakat pada umumnya termasuk saya dahulu hanya hidup di bumi Indonesia sebagai masyarakat yang menyadari tentang pluralitas Indonesia dengan rasa terpaksa. Di mana, kita menyadari adanya berbagai macam perbedaan identitas dan terpaksa menerima keadaan itu karena kita sudah terlanjur lahir dan besar di tanah ini. Bahwa kita hidup di Bumi Indonesia dengan menanggung beban yang mau tidak mau harus dipatuhi secara paksa, yaitu adanya perbedaan identitas terkait agama, suku, ras, budaya, dan akhir-akhir ini perbedaan pilihan politik pun menjadi perbedaan yang cukup krusial. Akan tetapi, belakangan saya menyadari bahwa kesadaran Plural/Pluralis ini perlu menjadi sebuah pemahaman (isme) yang tidak hanya disadari dan diterima sebagai sebuah paksaan tetapi perlu di sadari. Kemudian rasa keterpaksaan itu diubah menjadi kesukarelaan kita dalam memandang sebuah perbedaan.
Setelah kita dengan suka rela menerima perbedaan ini kemudiam kita perlu untuk mendalami sisi-sisi/nilai-nilai positif yang meliputinya. Dari sana akan muncul kebahagiaan atas apa yang kita terima sebab sudah diketahui manfaat dari beraneka ragamnya warna yang ada di bumi pertiwi ini. Hal ini kemudian memunculkan gairah berkebangsaan yang lebih positif, di mana kita akan berupaya untuk menjadikan pluralisme ini tidak hanya sebagai sebuah teori tetapi diikuti dengan tindakan kongkret. Hal-hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan dan merawat perbedaan di Indonesia agar lebih harmoni. Kita akan berusaha untuk menyebarluaskan pluralitas yang sudah menjadi paham ini agar dapat dipahami juga oleh orang lain. Syukur-syukur jika mereka mau ikut terlibat dalam mengupayakan hal tsb. Adapun, masyarakat Indonesia sebagian memahami pluralitas masih pada tatanan yang pertama, yaitu sekadar menerima dengan terpaksa, sehingga masih sangat memungkinkan bagi mereka untuk sewaktu-waktu menolak hal tersebut. Tentunya dengan berbagai alasan yang mengerdilkan dirinya, kemudian pluralitas(isme) ini dikambinghitamkan untuk melegitimasi kepayahan yang menimpa dirinya. Singkatnya bahwa ketika kita menolak pluralisme maka sama saja kita menolak menjadi bangsa Indonesia.
Apa hal yang mendasari untuk menggunakan cadar?
Pertanyaan ini hampir serupa dengan maksud pertanyaan pertama. Tetapi saya akan mencoba menjawabnya dengan pandangan yang sedikit berbeda. Berhubung saya telah lebuh dulu menjelaskan tentang alasan mendasar saya memilih cadar, saya kemudian ingin melanjutkan dengan alasan/ hal mendasar apa yang membuat saya meneruskan untuk menggunakan cadar ini dan menjadi salah satu dari hal yang utama bagi saya adalah untuk mengubah stigma masyarakat agar tidak selalu mengukur seseorang (melihat sesuatu) hanya dari tampak luarnya (case) saja. Manusia harus lebih mahir mengasah akal sehat dan hati bijaknya untuk mau melihat apa yang lebih esensi dari sesuatu dibanding hanya sibuk mengurusi penampilan. Baik penampilan diri sendiri terlebih penampilan orang lain. Kita selalu mau membiarkan diri kita untuk dimakan persepsi orang lain, baik terhadap diri kita maupun orang lain. Kita kemudian gagal untuk berdialog secara baik-baik dengan hati kita untuk memutuskan sesuatu. Kita membiarkan diri untuk selalu menjadi pengekor dari pandangan umum, takut untuk memilih sesuatu yang tidak umum karena takut dikritik apalagi sampai dijauhi oleh kerumunan. Sudah saatnya manusia dalam hal ini perempuan untuk lebih merdeka dengan pilihannya. Jangan membiarkan diri terus menerus di penjara oleh stigma yang sepenuhnya sudah salah menilai diri kita.
Pertanyaan kelima terkait dengan hal yang mendasari saya bercadar atau lebih tepatnya masih tetap bertahan dengan cadar menjadi pertanyaan penutup pada kesempatan dialog saya bersama Founder dari Omou School 19 Sandra Ramli. Sekalipun saya menyadari bahwa masih banyak prasangka dan berbagai pertanyaan muncul di benak teman-teman, tetapi saya hanya mengutip beberapa pertanyaan mendasar ini saja sebagai sebuah trigger untuk memperkenalkan diri saya dan sekelumit aktivitas pergumulan saya sebagai perempuan bercadar. Ada satu hal menarik yang rasanya sayang jika saya tidak menyampaikan di sini. Sebuah pertanyaan sekaligus sangkaan yang menggelitik pikiran dan hati saya untuk sejenak merenungkan pertanyaan tersebut yaitu terkait dengan perbedaan antara masker dan cadar itu sendiri. Beberapa orang saya yakini memiliki jawaban yang cukup bijak dalam menyikapi pertanyaan ini. Adapun teman-teman bercadar saya lainnya sebagian besar akan menjawab dengan dalil-dalil sunnah bercadar yang jamak diketahui. Akan tetapi, saya memiliki pandangan tersendiri dalam upaya untuk menanggapi pertanyaan ataupun pernyataan semacam ini.
Cadar dan masker bisa didudukkan pada posisi yang sama pada fungsinya sebagai penutup mulut/wajah. Tetapi, cadar dan masker juga akan menjadi dua hal yang jauh berbeda ketika ia didudukkan pada subjektifitas/alasan penggunanya. Cadar bisa jadi hanyalah sebuah masker penghalang debu bagi mereka yang menggunakannya dengan niat demikian. Berbeda dengan mereka yang menggunakan cadar dengan niat-niat yang lain seperti untuk menutup aurat (jika wajah mereka ia anggap sebagai aurat). Masker juga dapat diartikan sebagai cadar bagi yang menggunakannya untuk menutupi wajahnya bukan sebagai penghalang debu tetapi dengan alasan bahwa untuk menutupi wajahnya yang di anggap sebagai aurat tadi, hanya saja ia belum mampu mengenakan cadar secara utuh sehingga ia mengenakan masker terlebih dulu untuk melatih dirinya agar terbiasa. Adapun alasan yang lain, sebagaimana saya jumpai di beberapa teman pengguna masker ini yaitu untuk menyiasati pandangan orang lain terhadap dirinya yang melarang mereka mengenakan cadar, sehingga merekapun terpaksa mengenakan masker saja yang penting tujuan ia untuk menutupi wajahnya itu tersampaikan.
Dengan penjelasan di atas dapat saya simpulkan bahwa cadar dan masker bisa jadi serupa bagi yang menyerupakannya. Akan tetapi, ia bisa jadi berbeda bagi mereka yang membedakannya. Hal tersebut tergantung kepada siapa yang mengenakan, untuk apa ia kenakan, dan dalam kondisi apa ia kenakan cadar ataupun masker tersebut.
Bagi saya sendiri, sebagai perempuan yang memilih cadar sebagai pakaian “kemerdekaan” saya. Pandangan orang lain terhadap pakaian ini tidak di pungkiri sangat beragam. Saya pun sampai hari ini melalui banyak pembelajaran tentang pakaian ini. Awalnya saya menganggap ini adalah pakaian kesakralan dengan doktrin yang saya tanamkan di kepala saya. Kemudian saya belajar dan menemukan bahwa ternyata dalam sejarah peradaban Islam maupun agama yang hadir sebelumnya, cadar ini adalah produk kebudayaan. Sekalipun hal ini masih menjadi pertentangan, tergantung ulama dan sejarah versi yang mana yang mau diikuti. Sampai sekarang saya pelajari bahwa ternyata cadar bagi saya pribadi adalah pakaian kenyamanan saya, pakaian yang saya pilih sebagai simbol kedirian saya. Hari ini, jika saya ditanya tentang cadar saya, maka saya akan menjawab bahwa cadar yang saya kenakan tidak lebih dari salah satu bentuk model pakaian yang saya pilih. Selengkapnya bahwa, cadar untuk saya adalah pakaian kemerdekaan, di mana saya tidak mengenakan ini atas doktrin apapun, saya tidak mengenakan ini atas perintah dari siapapun, dan saya tidak mengenakan ini untuk mengikuti aliran apapun. Sehingga cadar yang saya kenakan sama sekali tidak menjadi penjara bagi saya untuk melakukan hal-hal yang lebih banyak untuk orang di sekeliling saya. Dengan kesadaran penuh saya masih mempertahankan pakaian ini sebagai sebuah prinsip yang demokratis, dalam artian sewaktu-waktu jika diperlukan (hal yang mendesak) dan jauh lebih bermanfaat untuk orang lain jika saya melepasnya, maka saya akan melepas cadar (penutup wajah) saya. Akan tetapi, jangan di sangka bahwa saya menganggap cadar pada umumnya hanyalah sebuah hal yang remeh temeh karna saya boleh melepasnya kemudian mengenakannya. Tentu tidak, saya hanya berusaha menyeimbangkan kepentingan orang banyak yang harus lebih di atas/ diutamakan dari kepentingan diri saya sendiri. Saya tidak ingin menjadikan cadar ini anti-sosial, saya tidak ingin cadar ini menjadi tidak bersahabat. Sebaliknya, saya ingin cadar saya di kenali sebagai cadar yang bernafaskan demokrasi, bernafaskan kemanusiaan. Yang lebih mengutamakan kebaikan manusia yang lebih banyak di banding mempertahankan ego pribadi saya.
Tentang pandangan saya di atas, tentunya akan mengundang komentar dari teman-teman bercadar lainnya yang tetap berpegang teguh pada dalil-dalil agama yang ia yakini. Dalam hal ini saya menekankan bahwa apa yang menjadi pandangan saya hanyalah untuk merepresentasikan cadar yang saya kenakan, bukan menjadi perwakilan dari teman bercadar lainnya. Sehingga jika pandangan saya di anggap tidak sejalan bahkan menyalahi indikator-indikator pencadar pada umumnya dalam memandang cadar maka itu tidak mengapa, sebab saya sama sekali tidak memaksudkan argumentasi di atas sebagai sebuah hal yang universal melainkan hanya sebagai pandangan pribadi saya sebagai salah satu pencadar yang tentunya memiliki perjalanan, pergumulan, dan pengalaman yang berbeda dengan teman-teman bercadar lainnya. Apa yang saya lakukan murni atas kesadaran diri saya dan murni atas kemandirian berpikir saya sebagai manusia sekaligus perempuan yang terlanjur memilih cadar sebagai bentuk pakaiannya. Kemudian saya diberi akal oleh Tuhan untuk mempelajari diri saya serta apa yang melekat pada diri saya dan lahirlah pandangan-pandangan ini sebagai hipotesis sementara dari perjalanan 5 tahun saya sebagai salah satu perempuan bercadar di bumi nusantara.
Aktif di Jaringan Lintas Iman Harmoni Sulawesi (Anggota) dan TITIK TEMU School of Multiculturalism (Koordinator).