Semua tulisan dari Wahyu Ciptadi Pratama

Kelahiran Bulukumba. Pernah mondok di Ponpes Syekh Muhammad Ja’far Banyorang, Ponpes Nurul Falah Borongganjeng, Ponpes As’adiyah Sengkang, kiwari santri Darul Ulum Ad-Diniyah Cirebon. Sekarang mnejadi mahasiswa Pascasarjana Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon, Fakultas MPI, jurusan MPI.

Makna Santri dan Cara Mereka Berdiplomasi

“Saya pun sudah bergelar doktor tetapi tak pernah malu mengakui kalau saya adalah santri. Ketika saya ditanya soal status, jenengan statusnya apa? Dengan gamblang pun saya menjawab bahwa status saya adalah santri.” Tutur Kiai Muhammadun pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Ad-Diniyah Cirebon sewaktu memberikan petuah kepada santrinya.

Mendengar kalimat itu dilayangkan pada sesi ngaji kitab Fathul Muin, membuatku terperangah. Rasa penasaranku memuncak, membekukan seisi rongga kepalaku. Hingga memunculkan pertanyaan, apa makna dari kata santri? Mengapa mereka bisa tetap eksis di tengah kehidupan sosial? Pertanyaan ini tentu akan menyeruak pada tiap-tiap manusia di belahan bumi mana pun yang semangat berpengetahuannya berkobar melebihi panas dari lahar merapi. Yah, term “santri” terasa berkaliber hingga sejumlah doktor pendidikan, doktor hukum, doktor sosiolog, doktor filsafat, serta doktor pertanian yang telah kuikuti seminar-webinarnya, tak malu mengakui dirinya sebagai santri.

Setidaknya, aku mengutip terlebih dahulu ungkapan terindah salah seorang doktor yang pernah kuikuti webinarnya tahun 2020 kemarin, bahwa, “tak ada yang mampu melebihi cinta seseorang pada almamater dan identitas kesantriannya, kecuali alumni itu sendiri”. Pesan ini kuartikan bahwa hanya alumni yang sangat mencintai almamater kebanggaan dan identitas kesantriannya. Sedangkan, mereka yang masih hidup dalam lingkungan pesantren, sedang menuntut ilmu, tidak akan mampu mengalahkan cinta seorang alumni pada almamater dan pesantrennya. Maka, untuk menghargai keagungan kata santri di negeri ini, ditetapkanlah 22 Oktober sebagai peringatan Hari Santri Nasional oleh presiden Joko Widodo pada 25 Oktober 2015 lalu.

Penggunaan kata “peringatan” tak hanya membawa santri pada rasa “terharu” hingga mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka pilu, mengenang perjuangan seniornya di masa lalu. Tetapi, kata itu akan membawa santri pada rasa “tersentuh” hingga mereka akan mengangkat tangan berdoa untuk keselamatan negeri, dan berikrar untuk menjaga keutuhan NKRI sebagaimana yang diperjuangkan oleh pendahulunya. Inilah yang dirasakan santri tiap tahunnya, mereka tak hanya “terharu”, tetapi juga “tersentuh”. Mereka memiliki kesiapan on fire untuk menjaga keutuhan NKRI. Mereka memiliki cinta berkaliber untuk tanah airnya.

UU Nomor 18 tahun 2019 merumuskan santri sebagai peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di pesantren. Rumusan itu sah-sah saja. Tapi, itu akan mengurangi makna santri yang berkaliber. Peserta didik bukanlah santri secara teori dan aktualisasi. Walakin, santri tetaplah santri.

Penghujung November tahun 2021. Tatkala aku mengikuti perkuliahan di kampus Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon tempo hari, Prof. Dr. H. Toto Sutarto Gani Utari, M. Pd menyampaikan perbedaan murid, siswa dan peserta didik.

Menurutnya, murid diambil dari akar kata bahasa Arab yaitu muridun (pelajar). Sedangkan, penjelasan secara terminologi, muridun ini digunakan dalam dunia pendidikan, sebab terdapat unsur spiritualitas yang dilekatkan pada setiap pelajar. Hingga, pelajar memiliki jiwa spiritual sebagai seorang murid.

Kemudian, kata siswa pada UU Nomor 20 tahun 2003 diartikan sebagai bagian dari anggota masyarakat yang sedang berusaha untuk mengembangkan potensinya melalui pendidikan dalam tingkatan, jalur, dan jenis tertentu. Mahaguru Toto Sutarto jua turut berpendapat bahwa siswa diartikan sebagai seorang pelajar yang menuntut ilmu langsung dari gurunya. Kendati, di tengah  keterbatasan media pembelajaran dan kemajuan teknologi jua belum mapan tempo itu, membuat seorang pelajar menjadikan petuah sang widyaiswara sebagai satu-satunya sumber mendapatkan ilmu. Kurang lebih, aku memahaminya bahwa pada tahap ini, sang widyaiswara menitahkan siswa untuk duduk, diam, terima materi, catat referensi, kerja tugas, dan menyetor tugas. Yah, sesederhana itu.

Lalu, pemakaian kata “peserta didik” berdasarkan kebijakan pemerintah, menjadi pertanda bahwa sumber pengetahuan pelajar kiwari ini, bukan dari sumber tunggal yaitu sang widyaiswara saja. Walakin, perkembangan teknologi dan digitalisasi era 4.0, membuat para perumus kebijakan pendidikan di senayan mengepakkan sayapnya. Pada tiap helainya terdapat pernak-pernik memanjakan mata. Membius jutaan peserta didik di negeri ini. Hasil kebijakan pengurus negeri, berupa kemewahan teknologi pendidikan, telah tersaji di kelopak netra peserta didik. Formulasi baru ini merupakan langkah yang tepat diambil para perumus kebijakan pendidikan, untuk menyiapkan peserta didik bertarung dengan zaman yang teramat liar untuk diprediksi.

Lalu, apa itu santri?

Pada dasarnya, santri itu gabungan dari huruf-huruf bahasa Arab yaitu sin, nun, ta, ra, dan ya. Huruf-huruf yang berceceran itu membentuk beberapa makna. Huruf sin berarti salik ilalkhoir yang artinya melakukan pengembaraan spiritual menuju akhirat. Di mana setiap santri memiliki visi besar yaitu keselamatan akhirat melalui kendaraan kecerdasan spiritual yang telah terbentuk melalui dunia pondok pesantren.

Huruf nun berarti naibul anil yang artinya penerus para guru. Keberadaan santri tak sekadar menerima ilmu dari gurunya. Tetapi, terdapat upaya untuk membangun kedekatan emosional bersama guru. Hingga, timbul kesadaran pada diri santri untuk melanjutkan perjuangan para guru-gurunya.

Huruf ta berarti tariku anil maasi artinya orang yang meninggalkan maksiat. Pendidikan pada jalur pondok pesantren memberi kesempatan santri menjadi manusia-manusia unggul yang bisa mengontrol dan meninggalkan kemaksiatan. Sebab, lingkungan pesantren terdapat satu slogan pamungkas yang menyata yaitu “dipaksa, terpaksa, terbiasa, luar biasa”. Bukankah dengan membangun kondisi lingkungan belajar yang baik dan sarat dengan hikmah akan menciptakan kebiasaan yang baik. Dan, kebiasaan-kebiasaan yang baik ini akan membentuk manusia-manusia yang unggul, sebagaimana yang diterangkan oleh Jean Paul Sartre bahwa eksistensi akan membentuk esensi. Secara sederhana aku memahaminya bahwa perilaku akan membentuk jati diri seseorang. Itulah yang dilakukan oleh pondok pesantren hari demi hari, minggu demi minggu, bulan berganti tahun, yang membedakan karakter santri dengan murid, siswa, dan peserta didik.

Huruf ra berarti raghibu ilal khoir artinya menghasrati kebaikan. Lagi-lagi, hasrat kebaikan ini mencongol karena lingkungan baik di pondok pesantren. Memang, kerap kali tak semua pesantren berhasil mewujudkan lingkungan yang baik. Namun, dengan ikhtiar doa-doa para kiai, ulama, dan masyarakat menjadi senjata yang ampuh untuk menelusuri jejak-jejak kebaikan Allah di permukaan bumi ini, hingga, lingkungan yang baik pun akan terbentuk.

Huruf ya berarti yarju shalamah artinya berharap keselamatan. Artinya, santri akan selalu memohon pengharapan pada Sang Halikuljabbar melalui doa-doa untuk keselamatan dirinya, gurunya, kiainya, orang tuanya, masyarakat, pesantrennya, dan tanah airnya. Berhati-hati menafsirkan sebuah kata adalah perilaku yang baik, sebab salah memaknai kata akan berpengaruh pada pembentukan makna dan prakteknya. Bukankah kata-kata juga merupakan doa? Yakini saja. Dari sini kita paham bahwa kata “santri” tak perlu diubah oleh-oleh undang-undang, seperti halnya dalam dunia pendidikan menggunakan murid, lalu diganti pada kata siswa, dan terakhir untuk sementara menggunakan peserta didik. Sejatinya, santri telah memuat makna yang lengkap.

KH. Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus pun menuturkan bahwa, “santri adalah kelompok yang mencintai negaranya, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya kendati keduanya telah tiada”. KH. Ma’ruf Amin menjabat sebagai wakil presiden RI juga menuturkan bahwa, “santri bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang berada di pondok pesantren dan bisa mengaji kitab. Namun, santri adalah orang-orang yang meneladani para kiai”. Pendapat dari KH. Ma’ruf Amin menginformasikan bahwa siapa pun mereka yang bernaung di negeri ini, bisa bergelar santri sepanjang mereka mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad Saw.

Mengapa mereka bisa tetap eksis di tengah kehidupan sosial?

Aku menegaskan bahwa santri merupakan manusia berkaliber. Diplomasi mereka menggunakan diplomasi tajwid dalam menempatkan diri di tengah kehidupan sosial.

Sebagaimana yang diketahui bahwa ilmu tajwid kudu tak runyam bagi santri, di mana tujuan dari ilmu tajwid ini, mengantarkan kita melafalkan huruf dalam Al Qur’an secara baik dan benar dengan memberikan hak-hak, urutan dan tingkatan yang benar kepada setiap huruf yang dilafalkan.

Dalam ilmu tajwid, terdapat banyak hukum bacaan, mulai dari nun sukun atau tanwin sampai kepada mad-mad. Setiap hukum bacaan, terdapat makna filosofis, tersirat, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Hukum bacaan izhar halqi.Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf-huruf halqi maka dibaca terang dan jelas. Sekiranya direngkuh pada dunia sosial, maka santri menjelmakan diri sebagai manusia lentur, bergaul di semua kalangan tanpa memandang warna kulit, suku, budaya, dan agama. Walakin, perkariban itu tetap berlandaskan ilmu, di mana hakikat ilmu adalah cahaya yang punya sifat terang dan jelas. Maka, seorang santri berpijak pada kebenaran, dan kokoh pada pendirian. Diplomasi seperti ini, telah terbangun sejak lama, dunia pesantren menyuplai santri sikap tegas proporsional di tengah kehidupan sosial, dalam urusan kebenaran.

Hukum bacaan idhgam bighunnah. Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf (ya, nun, mim, wau), maka dimasukkan ke huruf tersebut dengan berdengung. Konteks kehidupan sosial, namanya santri, tatkala berkarib dengan siapa saja, ia siap menjadi seorang mustamik, terbuka mendengar curhatan siapa saja, baik itu orang tua, teman, masyarakat, dan orang lain yang butuh pertolongan. Menjadi pendengar menyuguhkan banyak kemaslahatan, santri bisa menerima informasi penting dari siapa saja dengan menghibahkan waktu lebih lama.

Hukum bacaan idhgam bilaghunnah. Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf (lam dan ro), maka dimasukkan ke huruf tersebut tanpa berdengung. Huru-hara kehidupan sosial, santri fleksibel dalam bergaul. Manakala dalam proses interaksi terdapat orang-orang yang berperangai buruk, teman ngobrol nyatanya bercerita perihal menggunjing kejelekan orang lain. Maka, santri tidak akan menggubris dan berlama-lama duduk dengan teman bicara seperti itu. Jurus yang digunakan oleh mereka, cukup mendengarkan saja, seperlunya bisa menggunakan slogan, “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri”.

Hukum bacaan iqlab. Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf (ba), maka dibaca mimmmba dengan berdengung. Manakala santri bersua dengan seseorang yang punya prinsip dan paradigma berpikir berbeda, maka, mereka tak akan memaksakan pemahamannya untuk dipahami oleh orang yang punya keyakinan berbeda. Tetapi, mereka bekerja sama untuk harmonisnya hidup dalam kerukunan. Tindakan mereka nyatanya sudah mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika.

Hukum bacaan ikhfa. Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf ikhfa, maka dibaca samar-samar dan berdengung. Konteks kehidupan sosial, santri dalam menempatkan posisi di masyarakat, tidak menunjukkan keangkuhannya sebagai identitas santri yang haus penghormatan. Rerata mereka bergumam dalam diri bahwa, aku adalah santri yang masih belajar menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Dengan begitu, kita dapat memahami bahwa kata “santri” dan “penghormatan” sejatinya pemilik dari Dia yang abadi.

Menjadi santri bukanlah kenestapaan, bukan aib, bukan jubah kesombongan, bukan hal menjijikkan. Sebab, Gus Dur dan KH. Ma’ruf Amin adalah santri berkaliber yang telah membentengi umat dan rakyat dari dentuman meriam-meriam paham radikalisme. Maka, belajarlah dari mereka! Agar engkau bisa menyelamatkan Ibu Pertiwi dari gempuran tentara Tuhan pemilik lahan surga.

Sumber gambar: Suaramerdeka.com

Alasan Para Kiai Memelihara Burung

Saya sempat membatin, apakah meletakkan burung dalam sangkar, bertengger di kurungan itu adalah tindakan aniaya? Bukankah dengan bahasa yang tak kita pahami, burung bisa saja berkecek, “hei manusia, jika engkau memang cinta padaku, bebaskan aku berkelana di alam liar! Jangan atas nama cinta, engkau meringkukkan aku dalam sangkar yang sempit ini”.

Mungkinkah burung tahu konsep kemerdekaan? Mungkinkah burung tahu konsep kemewahan? Mungkinkah burung tahu konsep kebahagiaan? Mungkinkah burung tahu konsep pengetahuan? Apakah kawanan burung itu punya lembaga pendidikan? Mungkinkah gerombolan itu punya UIS (Universitas Islam Sayap-sayap) yang telah terakreditasi A. Jika, memang rombongan itu tahu konsep kemerdekaan, kemewahan, kebahagiaan, dan pengetahuan, bagaimana ia menerangkannya kepada manusia?

Perenungan ini mencongol setelah saya menyaksikan Kang Mahdiyan setiap pagi mencuci kandang burung, dan memberi makan berupa sayur-sayuran, biji-bijian, dan buah-buahan. Tampak layaknya dayang peladen Dewi Aphrotide. Ia seolah tak akrab dengan “lelah”, terus-terusan melayani burung tiap paginya. Rutinitasnya ini, membentuk atensi di alam akal saya. Hingga, tiba jawaban perihal peristiwa menggelisahkan itu, saya dapatkan dari rutinitas manngaji tudang.

Pagi buta yang dingin, selepas menggugurkan kewajiban salat subuh, santri-santriwati yang bermukim di asrama, bergegas mempersolek suasana paginya dengan ngaji Tafsir Jalalin, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Munir, dan Tafsir Baidlowi. Satu ayat dikaji dalam empat sudut pandang tafsir. Tak ketinggalan, saya dan istri yang jua bermukim di pesantren itu, ikut serta manngaji tudang. Kamar saya bukan asrama, tapi kamar asmara. Sebab, yang sudah berkeluarga diberikan tempat khusus untuk memupuk cinta.

Kiai Muhammadun mulai membuka lembaran-lembaran tafsir. Ia menerangkan dengan lugas dan tegas firman-firman Allah dengan mengaitkan pelbagai perspektif tafsir dan bidang ilmu eksakta. Tempo hari, ia menjelaskan Tafsir Munir karangan Syekh Nawawi al-Bantani, juz 2 halaman 85 ayat 41. Kiai Muhammadun menukil pendapat para ulama perihal peristiwa percakapan Ibnu Tsabit dengan Muhammad bin Ja’far yang sarat dengan hikmah.

Suatu hari, Ibnu Tsabit duduk di samping Muhammad bin Ja’far. Muhammad bin Ja’far pun bertanya, “Apakah engkau tahu apa yang didengungkan oleh burung-burung itu ketika fajar menyingsing dan ketika surya tergelincir?”, Ibnu Tsabit menjawab, “tidak tahu”. Muhammad bin Ja’far menandaskan, “sesungguhnya burung-burung itu menguduskan Tuhannya, dan kawanan itu pun memohon kepada Allah agar mendapatkan kekuatan selama beraktivitas di hari itu”.

Kiai Muhammadun kembali menegaskan, “Allah menyebut kata burung, itu terjadi pengkhususan. Selama burung itu bergerak, maka, kawanan itu tak pernah putus memuji Tuhannya. Inilah alasan para kiai banyak memelihara burung”.

Dari hasil ngaji tafsir di subuh itu, saya memperoleh pencerahan, bahwa alasan para kiai di Jawa, gemar memelihara burung, karena ingin membuka cakrawala kesadaran santrinya bahwa, “tasbih manusia kepada Allah, kalah oleh kicauan burung”.

Beberapa pekan lalu, saya juga bersambang ke Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat. Menyaksikan di depan rumah pimpinan pondok pesantren, tampak berjejer pelbagai jenis burung bertengger di ranting buatan dalam sangkarnya. Bermacam-macam warna dan jenis. bercericit nyaring nan merdu, membuat telinga saya serasa dimanjakan bak suara-suara lengkingan dari penyanyi diva menggunakan teknik falseto.

Kiwari, memelihara burung sepertinya menjadi budaya di tengah masyarakat. Ada pelbagai jenis burung diasuh layaknya anak sendiri, mulai dari burung perkutut yang tak boleh dikutuk, hingga jenis kakaktua yang adiknya masih menjadi misteri. Hingga, toko penjual burung dan pakan burung laris manis diserbu para pencinta burung. Burung pada era 90-an, dianggap sekadar hama bagi para petani, sekarang malah jadi mahal. Akhirnya, kicauan mereka tak lagi dinikmati di persawahan, melainkan burung itu terdengar nyaring di perkampungan.

Setidaknya, saya mengutip intisari dari penjelasan Imam al-Qaffal tentang hukum memelihara burung dalam sangkar. Pertama, tidak menyiksanya. Kedua, mencukupi kebutuhannya. Ketiga, tidak melayaninya dengan berlebihan, hingga banyak kegiatan terbengkalai dan melupakan tanggung jawab yang lain. Singkatnya “boleh”.

Dari penjelasan Imam al-Qaffal, masih jua muncul kegelisahan. Manakala kebutuhan makan dan minum burung tercukupi, bagaimana kebutuhan biologisnya? Bukankah burung juga butuh berhubungan intim? Pertanyaan ini dijawab oleh Imam al-Bajuri saat memberi hasyiah pada kitab Fathul Qarib berjudul Hasyiah Bajuri. Ia menukilkan bahwa, “dapat dipahami bahwa budak tidak wajib untuk dikawinkan, terlebih lagi pada hewan”. Ini memberikan penjelasan bahwa mengawinkan burung tak wajib, yang wajib hanya memberinya nafkah lahir, bukan batin yah.

Saya jua memperoleh infomasi dari hasil pencarian warta di kanal Kompasiana, bahwa menurut KH. Abdul Wahab Hasbullah, burung itu diyakini sebagai penolak bala. “Iki tolak bala, sopo sing ngingu manuk doro Insya Allah iso tolak bala”, pungkasnya. Yah, keberadaan burung seolah menjadi ciri khas pondok pesantren di Jawa.

Saking pentingnya keberadaan burung-burung, para kiai biasanya menugasi seorang santri kepercayaannya untuk merawat kawanan burung dengan telaten. Tak jarang juga kita temui, ketika para kiai saling beranjangsana ke pondok pesantren, acapkali burung menjadi oleh-oleh menawan untuk dibawa pulang.

Konon, di sebuah pesantren ada seorang kiai gemar memelihara burung. Kiai tersebut dihadiahkan burung beo oleh santrinya. Hati kiai senang dengan hadiah itu, ia memeliharanya dengan baik, bahkan juga mengajari burung beo melafalkan kalimat tauhid “Laailahaillallah”.

Burung beo itu pun menirukan lafal kalimat tauhid yang diajarkan kiai dengan lancar. Suatu waktu, kiai mendengar suara, “keek..keek..keeeeek..”. Kiai pun bergegas mendatangi sumber suara, rupanya burung beo itu tewas diterkam kucing. Hati kiai remuk menyaksikan hal itu. Selepas kejadian yang membuat dadanya sesak, ia tak lagi bisa menikmati hari-hari seperti biasanya, seolah tak mampu memaafkan takdir, bahkan lebih banyak berdiam diri di persemayamannya. Jarang bepergian, berkomunikasi seperlunya dengan santri dan masyarakat. Ia hanya keluar sesekali, jika ada panggilan umat untuk memberikan petuah.

Melihat peristiwa ini, para santri merasa iba. Lalu, mereka sepakat untuk menghadiahkan kembali burung beo yang lebih bagus dari recehan yang telah dikumpulkan bersama. Mereka pun mengabarkan niatnya ke kiai. Mereka mengungapkan kesedihannya sebab merasa terluka manakala kiainya juga terluka. Kiai pun merasa terharu atas usaha dan kepedulian santrinya. Namun, ia menjelaskan kepada santrinya, bahwa bukan kematian burung beo yang membuat ia tak tampak ceria seperti biasanya. Melainkan yang ia takutkan adalah kematian dirinya kelak.

Burung beo yang sejatinya hampir tiap hari melafalkan “Laailahaillallah”, ketika si beo menjemput takdir kematiannya, hanya terdengar suara “keek..keek..keeeek..” dari paruhnya. Bagaimana dengan diri kita yang jarang melafalkan pujian-pujian kepada-Nya?

Tugas kita bukan berusaha mengkaji ontologi takdir kematian. Tetapi, tugas kita adalah menyiapkan diri untuk menerima takdir-takdir Tuhan yang telah kita ketahui, melalui jejak-jejak penelurusan kuasa Tuhan di semesta ini. Aksiologi surga adalah hadiah dari epistemologi kematian yang benar.

Bagi saya, burung adalah simbol kebebasan. Ketika engkau menjumpai perkara hidup yang terasa mencekik, atau sulit menemukan ruang bebas bergerak, sebab tak tahu harus melakukan apa. Maka, lepaskan apa yang membelenggu hari-harimu dari kefanaan. Asal, bukan melepas burung piaraan kiai, “itu kurang ajar”.

Sumber gambar: https://harianberkat.com/

Pesona Sari Diri Sang Maestro

Baskara mulai tenggelam. Namun, turbulensi di alam akal mulai terbit, lantaran demonstrasi si ‘suntuk’ tak bisa kubungkam. Ia nyata beringas mengganggu akalku. Pukul empat lima puluh dua terdengar, “kriiingg…”, bunyi ponselku jua mengusik pergolakan di alam akalku. Aku buka pesan di WhatsApp. Rupanya Bung Andi mengirimkan sebuah pesan berupa pamflet perihal mengikuti kelas menulis di Boetta Ilmoe, Bantaeng.

Lantaran lokasinya di kabupaten Bantaeng yang jaraknya lumayan jauh dari kota Bulukumba. Aku pun diselimuti kebimbangan. Aku berseliweran di wajah cermin memaksa akal bekerja, “apakah aku harus ikut atau tidak”, pikirku. Walhasil, setelah membatin lebih lama kunyatakan bahwa aku siap mengikuti kelas menulis itu.

Minggu, 06 Februari 2022. Aku dan Bung Andi pun bertandang ke Bantaeng. Mencantumkan nama di kertas putih yang tersedia sebagai peserta dalam kelas menulis itu. Di lokasi, hanya ada dua orang yang kutemui tempo hari.

Orang pertama, seorang pria bertubuh semampai, tinggi kira-kira seratus tujuh puluh sentimeter, tampilannya good looking, bisa membuat kaum Hawa histeris manakala mereka menengok ketampanan pria itu yang senyatanya mirip artis Korea. Barangkali memang ia anak negeri Korea berdomisili ke Indonesia.

“Ikbal Haming”, yah, begitulah bibir dan lidahku melafalkan namanya. Dia salah satu cenayang wanita yang jua berperan sebagai mentor buana literasi. Jika Kucing Bisa Bicara, salah satu masterpiecenya yang sampai detik ini, tak jua ia bersedekah kepada diriku.

Pria kedua yang kutemui tempo hari, tampil dengan kaus pendek berwarna putih dikombinasikan sarung bak kiai kampung yang sering kutemui di pelataran masjid. Ia berkepala plontos, berkacamata, ukuran tubuhnya mungil, namun, gagasannya raksasa. Sulhan Yusuf, yah begitulah aku mengenalnya. Itulah kali pertama aku melihatnya. Suaranya terdengar pelan ketika separuh mendengarkan pembicaraan penting perihal esai.

Tanpa berlama-lama, kelas pun dimulai. Aku terkagum-kagum mendengar penjelasan Sulhan Yusuf. Rupanya, di balik kepala plontosnya, ternyata tersimpan ribuan bahkan jutaan diksi-diksi indah yang membuat akalku jua kian bertambah liar mencari tahu siapa dirinya. Mungkin saja ia tak meletakkan songkok di kepala bukan untuk memamerkan kinclongnya. Barangkali, ia menganggap songkok itu menghalangi pengetahuan tembus masuk ke otaknya.

Selepas temu perdana ini, kami pun kembali di kediaman masing-masing. Karena jarak Bantaeng ke Bulukumba agak jauh, jua membuatku jenuh, aku mencoba melihat fenomena sekitar, lalu, menampungnya sebagai bahan dan tema yang akan kugoreskan di kertas menggunakan pena pujangga Bung Andi.

Sampai di rumah, tanpa menghela napas dengan baik, aku pun mencoba merangkum pelbagai ide-ide yang telah terpikirkan sepanjang perjalanan tadi. Ternyata ide-ide, menyapa di momen tertentu, hingga, pikiran pun memerkosa kata-kata, lalu pembaca mencumbui karya dengan serakah. Yah, tak apa, sebab serakah karena pengetahuan itu berfaedah.

Aku pun mulai menggoreskan pena di atas kertas. Mencoba menuliskan tentang laut, beberapa paragraf telah kususun, namun, tak  bisa kutemukan ide-ide dan diksi-diksi indah. Sebab otakku mulai buntu, akhirnya tulisan pun buntung. Aku mencoba lagi menuliskan tentang pesona Pantai Marina. Rupanya, beberapa kalimat telah terurai membuat aku jenuh. Lantaran tak tahu pena ini mau menggoreskan sesuatu apalagi. Walhasil, otak buntu, tulisan pun buntung.

“Laki-laki pantang menyerah dan rapuh”, gumamku. Kucoba menggunakan seluruh kemampuan intelektualku menuliskan apa-apa yang ada di sekitarku. Namun, yang kutemui di balik goresan-goresanku hanya tulisan ilmiah yang kaku. Walhasil, lagi, lagi, dan lagi,  otak buntu, tulisan pun buntung.

“Ya Tuhan, serumit ini menuliskan gagasan dengan bahasa yang sederhana”, keluhku. Rupanya, sesuatu yang tampak sederhana di pelupuk mata, ternyata terselip kata “sulit” di baliknya. Yah, “sederhana tapi sulit”.

Aku pun mulai melahap pelbagai tulisan-tulisan Sulhan Yusuf di Kala Literasi. Aku tak pernah ingin tahu siapa dia sebenarnya, seolah ada dinding menghalangiku untuk masuk dalam pikirannya. Namun, kecewaku pada kata “sederhana”, membuatku ingin tahu si botak jagoan itu.

Perlahan-lahan, tulisan-tulisannya membuat semangatku makin membara setelah menyaksikan pelbagai tulisannya bertebaran di jagat maya. Aku makin liar mencari tahu siapa dirinya. Bahkan di pencarian mesin Google Chrome aku menuliskan namanya. Baru kali ini, aku benar-benar penasaran terhadap seseorang hingga menuliskan namanya di mesin pencarian om Google. Tulisan-tulisannya bak sirkus, diksi-diksinya penuh atraksi, sangat lihai menata kalimat. Aku pun mulai tahu bahwa “waima, baskara, anggitan”, ternyata bukan nama orang.

Setelah teramat rakus membaca karyanya, aku pun berpikir bahwa, “yang mahal dari seorang penulis adalah proses kreatif mewujudkan ide-ide yang masih di alam akal menjadi karya nyata dalam bentuk tulisan”.

Sulhan Yusuf dalam tulisan-tulisannya, berupaya menggambarkan suasana, menemukan sudut pandang, gagasan, pemikiran, dan lainnya dalam bentuk esai. Metode ini tak hanya melibatkan pergulatan fisik, walakin jua pergulatan batin. Demikian adanya, sudah pasti kita butuh kata. Kata dalam esai, kata dalam hidup penulisnya. Pekerjaan memindahkan perasaaan dalam bentuk kata-kata, lalu menyata berupa tulisan, bukan hal yang mudah. Itulah harga yang harus dibayar seorang penulis.

Melalui tulisan-tulisannya, Sulhan Yusuf berhasil mengemas kebahagiaan, kekecewaan, kebimbangan, ketakutan, amarah, dan luka menjadi bait-bait dengan diksi yang menyentuh sekaligus menendang. Esai-esainya sedari awal membuatku terkagum-kagum dengan struktur penulisan esai yang runut dan sistematis. Aku meyakini, Sulhan Yusuf tahu cara menyicil warta lalu meremasnya dalam satu hentakan.

Memang esai kerap kali menjadi pintu masuk bagi “orang-orang baru” dari rumah besar kesusastraan. Esai tak selalu “tentang apa yang diceritakan”, tetapi jua tentang “bagaimana menceritakan”. Tak sedikit dari mereka melirik sastra, bermula dari membaca, lalu menulis pelbagai tulisan di sosial media. Mereka menyukainya, mereka bersulang bir merayakannya, senada dengan perkataan Sulhan Yusuf tempo itu, “seorang penulis berpeluang menjadi pembaca, dan seorang pembaca yang rakus, berpeluang menjadi penulis”.

Orang-orang akan menganggap bahwa pekerjaan menulis segampang menggerakkan jemari, lalu, mengetik status di WhatsApp. Oh tidak bestie. Tetapi, tak ada yang salah dengan anggapan itu. Hal-hal yang sulit, tak apa di kesampingkan terlebih dahulu. Lambat laun, kamu bakal mengerti bahwa di tubuh seorang penulis, terdapat banyak organ yang mesti kamu pelajari habis-habisan.

Inilah Esai, anggitan Muhidin M. Dahlan, memberitahu kepada kita bahwa esai lahir dari suatu pertemuan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata yang melebur dalam diri seorang maestro literasi. Esai sejatinya hadir untuk mengubah cara berpikir, cara bertindak, dan cara mengolah rasa. Manakala engkau berani menuangkan lemak di pikiranmu menjadi esai, maka, engkau akan menemukan kesejukan dan harmoni dalam keseimbangan bahasa dan rasa.

Indonesia: Makin Ke Sini Makin Ke Sana

Belakangan ini, yang menduduki singgasana kerajaan adalah rating. Kritik dan masukan netizen bukanlah standarisasi bagus yang bisa mendongkrak popularitas. Suara netizen bak kicauan burung, sepintas merdu terdengar oleh kuping-kuping aparatur negara. Masuk di telinga kanan keluar di telinga kiri. Inilah Indonesia, makin ke sini, malah makin ke sana.

Pementasan kasus dan fenomena liar dari Juli sampai Agustus turut menghiasi jagat maya, mulai dari fenomena Citayam Fashion Week, perseteruan Pesulap Merah dengan Gus Samsudin, karyawan Alfamart yang dianggap melanggar UU ITE, sampai pada dramatisasi Sambo yang sampai detik ini, tak jua menemukan ujung jangkanya.

Di tengah arus informasi yang semakin liar, jua mengingatkan saya beberapa hari lalu pada HUT RI ke-77 tahun, muncul bocah cilik mengenakan blangkon tampil di panggung kecil yang disediakan panitia pelaksana upacara kemerdekaan, bocil itu bernama Farel Prayoga. Farel melantunkan irama-irama dangdut koplo, mencoba menghibur para pengurus negeri lewat lagu  “Ojo Dibandingke”. Fenomena ini menyita perhatian netizen. Lagu yang dinyanyikan Farel membuat para aparatur negara jua ikut meronggeng menikmati lagu itu.

Penampilan Farel sukses memukau para pengurus negeri di Istana Merdeka. Cover lagu yang khas dengan cengkok koplo dangdut yang meliuk-liuk, membuat Kemenkumham, Yasonna Laoly sigap menobatkan Farel menjadi Duta Kekayaan Intelektual Pelajar Bidang Seni dan Budaya tahun 2022. Seirama sigapnya Baim Wong ingin mendaftarkan CFW ke HAKI.

Namun, intelektualnya di mana sih? Bukankah intelektual itu cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, lha kok iya cuman nyanyi lagu dan coveran doang bisa menjadi Duta Kekayaan Intelektual, bagaimana dengan pelajar-pelajar kita yang berhasil mengharumkan nama Indonesia lewat olimpiade dan karya seni lainnya? Lagi-lagi dan lagi-lagi, yang berpotensi akan terkalahkan oleh yang viralisasi. Sepintar itu Yasonna menobatkan? Ahh barangkali semua orang juga bakalan pintar kalau minum Tolak Angin. Makin aneh aja negeri wakanda ini.

Dilansir dari kanal Detikedu, Menurut Yasonna, “sosok Farel ini sangat menginspirasi pelajar Indonesia. Diharapkan Farel dapat menginspirasi para pelajar untuk menghormati, menghargai budaya tradisional dengan mengenalkan bahasa Jawa melalui lagu dan seni,”.

Farel diangkat jadi Duta Kekayaan Intelektual yah tentu meniscayakan tanggung jawab besar untuk merangkul anak-anak Indonesia melakukan hal-hal positif dalam bidang seni dan budaya. Namun, kebingungan saya, mungkinkah Farel punya kapasitas untuk bertanggung jawab melakukan hal itu? Meragukan iya, lha kok dengan entengnya mengangkat duta sembarangan tanpa melihat prestasi dan potensi, asal viral aja bisa jadi duta. Ngerti kan sekarang? Ngerti dong, masa nggak ngerti.

Anggun saja dengan kualitas suara indah nan menggelegar bak pria perkasa, sudah go international hanya jadi Duta Shampoo. Apa kabar juga dengan band Coklat yang merilis lagu “bendera” tapi tak jua jadi duta. Yah, keanehan ini rasa-rasanya sudah mendekati kegilaan, masih hangat jua di ingatan saya tahun 2016 lalu, Zaskia Gotik diangkat jadi Duta Pancasila, padahal nggak hafal Pancasila. Ahh sebentar lagi, bakalan banyak jadi duta di negeri ini, mungkin Gus Samsudin diangkat jadi Duta Dukun Indonesia, atau si Pesulap Merah diangkat jadi Duta Pemberantas Kebohongan, atau si Sambo diangkat jadi Duta Konsorsium 303. Indonesiaku makin ke sini, malah makin ke sana.

Hari kemerdekaan mestinya menjadi momen tepat memaksimalkan dan merapalkan doa untuk para pahlawan yang gugur demi kemakmuran negeri ini. Namun upacara kemerdekaan RI sekarang seperti ajang kesenian koplo saja. Hari kemerdekaan yang sakral diisi dengan lagu percintaan. Yah, saya sih respect untuk mempromosikan budaya Indonesia, tapi nggak gini juga sih. Memberikan apresiasi kepada Farel itu wajar saja, tapi jangan terlalu berlebihan.

Saya teringat dengan tokoh sufi Hazrat Inayat Khan. Khan ini, seorang tokoh sufi yang sukses dengan gerakan ajaran gaya musiknya, baik di Timur maupun di Barat. Pikiran-pikirannya dikenal sebagai tasawuf universal. Ajarannya membuat banyak non-muslim ikut berpartisipasi. Khan ini, mampu menyatukan gaya musik India Utara yang banyak pengaruh Persia-Arab dengan gaya musik India Selatan yang khas musik tradisionalnya. Dalam bimbingan kakeknya, Khan mewarisi bakat musik kakeknya dan gerakan dakwahnya menggunakan musik. Di umur 28 sampai 44 tahun, Khan keliling Eropa dan Amerika menyebarkan ajarannya. Nah, ini sudah jadi Duta Musik India dengan gaya musik sakralnya.

Menurut Khan, di sekeliling kita sebenarnya semua adalah musik. Manusia pun juga digambarkan oleh Khan sebagai musik. Manusia adalah miniatur alam semesta yang harus seirama dengan alam semesta. Dalam denyut nadinya, dalam detak jantungnya, dalam vibrasinya, semua adalah irama. Dan Jagalah irama alam semesta ini! Sebab, hanya manusialah yang berpotensi merusak irama semesta.

Maka, bagi saya, kiranya perlu diperkenalkan adalah musik yang punya nilai-nilai sakralitas. Contohnya pementasan sinrilik di daerah Sulawesi Selatan diiringi musik dan isi lagu sarat dengan nilai spiritual. Musik itu bisa jadi sarana pendidikan seperti yang diajarkan oleh Khan. Menurut Khan, sakralitas itu cakupannya ada tiga: love, harmony, beauty. Tiga hal ini yang dibawa Khan ke Barat.

Barat itu punya rasio yang keras, kapital melanglang buana, produk sains yang kaku. Cinta tidak bisa masuk dalam skema sains Barat, apalagi harmoni. Harmoni hanya bisa terjadi manakala kita hidup sejajar dengan alam.

Makanya, salah asuh dan salah memberi penghargaan tentu berbahaya. Mestinya, anak seperti Farel itu menyanyi dengan lagu anak-anak bertema sekolah, bermain, cita-cita, dan lainnya. Dan, ini sudah punya nilai pendidikan yang sakral.

Beginilah akibatnya manakala pemangku kebijakan hanya jadi legalisator tapi buta terhadap konten kreator. Semudah itu melegalkan duta untuk sesuatu yang viral sesaat. Alangkah lucunya negeri ini.

Dakwah dan Ustaz Simulakra

Ustaz yang membenamkan dirinya dalam tanah namun dengan akar yang kuat, suatu hari nanti muncul dengan pucuk yang indah dan kokoh di permukaan, ketimbang “ustaz yang tampil tidak dengan persiapan agama yang mapan.

Penghujung Juli, tahun 2021. Saya, Daeng Syarif, Daeng Rizal Baji Areng, menyambangi acara yasinan dan zikiran malam Jumat bersama sekumpulan jemaah minoritas berasal dari pelbagai daerah, bermukim di tengah-tengah penduduk asli. Permukiman itu bernama Desa Padangloang, sebuah desa yang agak jauh dari kota, namun ramai bak desa Konoha dalam serial Anime Naruto.

Jemaah tak berani mencicipi mikrofon yang lagi nganggur. Walhasil, Daeng Syarif mempercayakan kepada saya untuk memandu pembacaan surah Yasin dan zikir. Tak lupa pula, Daeng Rizal si pemilik suara indah ketika melantunkan lagu yang berasal dari Negeri Jiran, turut mengada menjadi backing vocal.

Selepas kegiatan, kami pun bercengkerama dengan jamaah sembari menikmati hidangan jalangkote, donat, dumpi baruasa, dan suguhan teh hangat membuat dahaga saya terbayarkan. Walakin, berbeda dengan Daeng Rizal, dahaganya belum lunas, senyatanya ia pecandu kopi dan perokok berat, barangkali tersiksa tempo itu.

Di tengah menikmati hidangan, jemaah menyahut kami berdua dengan sebutan ustaz, “tabe ustaz, kikanrei!”. Sungguh sahutan yang indah nan mulia, namun tidak layak disandang oleh pendosa seperti kami berdua. Apatah lagi Daeng Rizal tampil dengan gaya parlente nya, rambut gondrong hati Hello Kitty, bermodalkan songkok dan serban memandu pembacaan surah Yasin dan zikir sudah ditempelkan kata “ustaz” pada diri kami. Menggelikan bukan? Kami seolah mengustaz: sedikit lagi menjadi ustaz. Padahal itu bukan profesi kami, yang satu seorang mahasiswa, yang satunya pabalu’ terang bulan.

Kiwari, memperhatikan laju sosial media dan besarnya potensi umat Islam di negeri ini, fenomena ngustaz pun turut menghiasi Ibu Pertiwi. Bermula dari proses menobatkan diri sebagai publik figur tersohor di media, lalu bermetamorfosis menjadi pendakwah. Siapa pun bisa menjadi ngustaz di negeri ini. Kendati, adakalanya terlahir dari ajang pencarian bakat, lihai menata kalimat yang menaruh minat umat, bermodalkan retorika atraksi kata-kata dibalut dengan pengetahuan agama yang belum teruji.

Menariknya, sejumlah umat muslim tanah air menaruh kepercayaan dan kekaguman kepada ngustaz dadakan ketimbang ulama yang ahli di bidangnya. Dahulu, untuk bisa tersohor di tengah masyarakat, seseorang mesti bersafar ke kota metropolitan yang serba ada. Walakin, saat ini dari bilik kamar di pelosok desa pun kita bebas berekspresi dan membentuk diri menjadi ngustaz cukup dengan android di genggaman kita. Gampang kan?

Fenomena ngustaz dadakan ini sebetulnya bukan hal baru. Sebelumnya, Gus Dur telah memprediksi munculnya orang-orang bukan lulusan pesantren, tetapi dipanggil masyarakat dengan sebutan ustaz.  Apatah lagi perkembangan media massa menjadikan jemaah mudah mengakses ustaz di luar sana sesuai selera. Namun, cenderung jemaah hanya mengonsumsi kemasan pendakwah ketimbang pesan-pesan moral yang disampaikan. Hingga, posisi sang Kiai sungguhan, lulusan pesantren, bertahun-tahun ngaji kitab kuning kehilangan panggung oleh sekumpulan ngustaz-ngustaz yang lihai mengotak-atik media massa. Umat menjadi rebutan ngustaz-ngustaz yang saling berebut jumlah viewers dan followers di sosial media.

Di sinilah kita menyaksikan simulacra bermain pada dunia dakwah. Namun, kita perlu menyamakan persepsi untuk mengadopsi buah pikiran pakar ilmu semiotika, Ferdinand de Saussure, dan teori simulacra Jean Baudrillard.

Tanda; sesuatu yang membentuk dan mengandung makna. Bisa berupa kata, gerak-gerik seseorang, raut wajah, dan bisa juga berupa benda. Penanda; bentuk atau media tanda, atau yang mewakili tanda. Petanda; makna dan fungsi dari tanda.

Contonhya; Tanda Islam. Bintang dan bulan sabit sebagai Penanda. Petandanya apa? Konon simbol ini pernah dipakai oleh kekaisaran Byzantium sebagai simbol kebesaran mereka. Tetapi, setelah Turki Utsmani merebut Konstantinopel, Sultan Muhammad II mengadopsi simbol itu menjadi bendera Turki Utsmani dengan Petanda (makna) kemuliaan, jadi Islam itu kemuliaan.

Proses Turki mengadopsi Penanda bintang dan bulan sabit sebagai Petanda kemuliaan merupakan bentuk memanipulasi tanda. Kiwari ini, banyak di praktekkan oleh penggelut media massa dan aktor film religi di mana Penanda dikemas dengan sangat canggih hingga isi pesan terkalahkan oleh pengemasan pesan.

Contohnya film ‘Ajari Aku Islam’ bergenre romansa religi yang dirilis pada tahun 2019 sebagai Tanda. Sang aktor Cut Meyriska dan Roger Danuarta serta identitas keislaman yang melekat pada aktor adalah Penanda. Petandanya apa? Film ini punya pesan dakwah tentang menjaga kesucian diri, tolong menolong dalam kebaikan, memuliakan orang yang lebih tua, dan keutamaan cinta kepada Sang Halikuljabbar. Namun, pada sebagian kalangan, termasuk ibu-ibu rempong dan remaja justru terfokus kepada kecantikan dan ketampanan aktornya, terjebak pada busana indah yang dikenakan sang aktor, juga terbuai oleh adegan romantisisme cinta yang tersaji, akhirnya yang dikonsumsi hanya Penandanya, lupa terhadap Petandanya.

Serupa dunia dakwah, implementasi semiotika dan simulacra pun bergelora. Nyata terlihat para ngustaz sebagai Penanda. Konon, Petandanya duduk bermajelis mendapatkan asupan gizi untuk batin kita.

Tapi, masa ini, umat malah terjebak pada ‘kekeliruan’. Umat lagi-lagi tidak mengonsumsi fungsi dan kebutuhan, tetapi mengonsumsi simbol dan gaya. Akibatnya, Kegiatan berdakwah yang dikonsumsi bukan pesan-pesannya, tapi ngustaznya. Seolah tak elok rasanya manakala ustaz yang dihadirkan bukan dari kalangan ngustaz viralisasi, punya debut di media massa. Padahal masih banyak kiai yang tidak terekspos di media. Mungkin saja selera umat tak lagi bertaraf, tak peduli soal uang, sumbangan se triliunan pun tak bermakna senyampang mengonsumsi ustaz yang tak terekspos oleh media. Selama bisa menghadirkan ngustaz viralisasi, maka level musala pun setara masjid kota-kota.

Umat senang mengonsumsi ngustaz viralisasi. Lahirlah apa yang dimaksudkan Jean Baudrillard, drugstore; toko obat. Para ngustaz tak melihat umat sebagai orang yang sehat, tetapi dilihat sebagai orang yang sakit, perlu diobati. Umat berposisi sebagai pasien manutan dan tidak berdaya apa-apa. Anehnya, para ngustaz melancarkan aksinya layaknya pendakwa. Ahh kadang-kadang ngustaz pun berprofesi ganda, pendakwa(h).

Bertebaranlah sampah-sampah visual berjenis pamflet-pamflet di dunia maya dan nyata memperlihatkan poster-poster para ngustaz lagi jualan obat, “hadirilah ceramah agama bersama ngustaz kondang, dengan tema merawat keimanan dengan dakwah yang menyejukkan”. Ini bagian dari marketing dakwah, tujuannya mendapatkan simpati dan cuan dari umat. Hadir dengan busana yang indah, sorban terlilit rapi, sesekali menggunakan mobil untuk menekan psikologi jemaah, “woalah ngustaznya pake mobil gaes. Malu kita kalau amplopnya sedikit”. Miris bukan?

 Ironisnya, ini berpengaruh kepada umat. Mereka selalu mengaitkan diri mereka dengan pamflet-pamflet yang terpampang. Muncullah keinginan membooking ngustaz viralisasi meskipun tak melalui aplikasi MiChat. Yah mungkin saja magnet ngustaz viralisasi teramat menggoda hingga gairah sulit terbendung, dan cuan pun ludes begitu saja.

Dunia simulacra menyetir manusia, dan menganggap dunia maya itu lebih nyata. Pada akhirnya kehidupan sosial akan mati. Dan, hanya menyisakan duka meratapi ruang publik yang binasa. Ke mana para ngustaz menggantungkan harapan?