Semua tulisan dari Wahyu Hardiani

Asal Tana Toraja. Masih berusaha menyelesaikan segalanya di Universitas Negeri Makassar. Menulis, kuanggap sebagai sarana pengungkapan cinta

La Tahzan

Saudaraku,  pernahkah kau berjumpa dengan pipi yang tak pernah basah oleh airmata?

Juga rumah yang tak pernah ada duka di dalamnya?

Pernahkah kau berjumpa dengan seseorang yang tak pernah marah?

Juga hari yang tak Nampak cahaya matahari di dalamnya?

Dan telah nyata bagimu bagaimana Kami berbuat terhadap mereka dan telah kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan” (QS Ibrahim: 45)

 

Anehnya,  bagaimanapun besarnya hal yang menimpa kita, tak akan ada yang setega itu menyalahkan Tuhan. Tak ada yang benar-benar berani menghujat,  meraung-raung mempertanyakan  mengapa ‘ini harus terjadi’,  atau juga ‘mengapa harus kami’. Semua hal  besar yang terjadi dan mengambil harta,  nyawa, serta kekuatan kita pada akhirnya,  akan dipersalahkan kepada tangan-tangan manusia. Karena rumput yang bergoyang pun tak ingin menjawab,  maka kenyataan ini mungkin benar.

Manusia,  kapankah akan datang sejahteranya? Justru aneh kalau kita tanyakan kapannya karena hal itu tidak akan pernah terjadi. Bumi adalah tempat kita mengais-ngais rejeki, sambil menikmati ujian dan cobaan yang berganti. Suka diganti duka,  naik diganti turun,  kanan diganti kiri,  miskin diganti kaya,  sehat diganti sakit dan macam-macam pergantian lainnya.

Berapa banyak orang kaya yang kehilangan uangnya dalam satu kedipan mata?

Berapa banyak orangtua yang merana karena dibunuh anaknya?

Berapa banyak manusia yang marah karena dipenjara?

Berapa banyak manusia yang mengeluh kesakitan karena tak bisa bicara?

Banyak.

Jangankan mereka,  cerminlah pada diri sendiri. berapa banyak yang bahagia hatinya 2 jam yang lalu,  dan kemudian menjadi berduka-duka di 2 jam setelahnya. Berapa banyak yang marahnya setengah mati,  lalu berganti menjadi tertawa berikutnya. Memang dunia ini bulat adanya,  dan sifatnya pun demikian. Terbolak-balik juga kita yang hidup didalamnya.

Syahdan,  mengenai hal ini telah jauh-jauh hari Allah menjaminkan bahwa tidak ada sedih yang kekal,  juga tidak ada bahagia yang tetap tinggal. Yang fana adalah rasa dan yang kekal hanyalah Dia.

Apapun hal yang dicipta olehNya,  suatu hari pada hari yang kembar akan pergi jua. Tua,  lapuk,  usang dan mati. Apapun hal yang dicipta olehNya,  suatu hari akan merasakan kesulitan yang tiada tara hingga ia kembali kepada Tuhan dengan keadaan bersih dari dosa-dosanya. Perniagaan yang menguntungkan bukan?

Namun bagi kita yang telah silau dengan hias-hiasan dunia,  tentu mendengar kalimat tersebut justru tidak melegakan. Hati masih saja waspada dan senantiasa diliputi sedih. Kita masih urung percaya dengan perniagaan ini. ‘Rela, sabar dan ikhlas di beri cobaan di dunia,  hingga pulang ke kampung akhirat dalam keadaan bersih dari dosa-dosa masa lalu’,  adakah yang benar-benar mau?

Masih banyak yang tak rela rumahnya di sapu Tsunami. Masih banyak yang tak sabar anaknya tewas karena tertimpa reruntuhan bangunan. Masih banyak yang tak mau badannya  memakai pakaian yang biasa-biasa. Masih banyak yang dilema di dalam hati akankah Tuhan benar-benar ganti?. Akankah Tuhan benar-benar ganti? Akankah saya benar-benar ikhlas dan Nrimo?

Padalah sudah jelas kita berjanji bahwa saya hanya akan menjadikan Dia sebagai satu-satunya Ilah,  disaksikan oleh  langit bumi beserta segala isinya.

Dengan menyatakan itu,  serta merta pula raga dan jiwa sangat siap dengan yang namanya kehilangan,  karena semua hanya milikNya dan kapan-kapan jika ia mau ambil itu terserah Dia.  Dengan menyatakan itu,  serta merta kita berjanji akan tetap percaya dan setia menyembahNya walau diri berdarah-darah kelaparan. Dengan mengambil janji seperti itu,  manusia telah bersikukuh dan wajib hukumnya untuk tunduk dan patuh hanya kepada satu hal yang paling Akbar kekuasaan dan kebaikannya,  yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Sakit? Tentu. Penulis sendiri mungkin orang yang paling pertama melanggar janji. Tidak sabar dan berduka jika mengalami kehilangan.

Takut? Mesti. Penulis sendiri tak pernah mau membayangkan jika suatu saat nanti harus hidup di tengah-tengah orang yang sedang perang sana-sini.

Lapar? Ya. Penulis sendiri tidak pernah membayangkan bagaimana harus menanggung pedihnya lapar dahaga dan hanya  rumput yang bisa dimakan.

‘dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir dan batin’ (QS Luqman : 20)

‘maka nikmat Rabb yang manakah yang kamu dustakan?’ (QS Rahman : 13)

Diri kita benar-benar berada pada kehinaan di saat tidak pernah bersyukur karena diberikan kaki yang bisa berjalan sendiri,  dimana banyak sekali manusia yang meraung-raung minta di beri kesembuhan pada kakinya yang lumpuh

Tahukan kita bahwa tak pernah ada  manusia yang paling rendah dari dia yang tidak pernah mensyukuri amannya Negara sendiri dari serangan makhluk-makhluk perusak bumi lainnya,  di saat Palestine hanya tinggal sisa-sisa.

Anak-anaknya terkapar kelaparan

Bapaknya merana kehilangan kaki dan tangan

Wanita-wanitanya tak punya lagi kehormatan

Dan apa yang mereka-mereka teriakkan?

barangsiapa yang oleh Allah dikehendaki menjadi baik maka ia akan diuji olehNya’ (Al-Hadits)

Juga mereka melanjutkan

‘dan cukuplah Rabb-mu menjadi pemberi Petunjuk dan Penolong’ (QS Furqan : 31)

Bisakah kita melapangkan hati seluas itu untuk sabar terhadap ujian?

Meskipun itu beruntun dan seperti saling berkejaran,  bisakah kita ikhlas melepas kehilangan?

Bisakah kita menyiapkan hati untuk senantiasa bertubat dan bersyukur untuk hari ini? Melupakan masa lalu yang mungkin sangat pedih untuk diingat dan menatap hari yang masih sangat berpeluang untuk kita goreskan kebaikan di dalamnya? Bisakah kita hanya percaya kepada Allah dan menyerahkan semua diri dan jiwa hanya kepadaNya,  tunduk dan patuh pada perintahnya, ridha dengan segala ketetapanNya dan juga berbaik sangka kepadaNya?

Bahwa kesabaran Nabi Ibrahim dapat mengubah panasnya api menjadi dingin dan sejuk. Apalagi jika hanya meluluhlantakkan kekasaran hati?

Bahwa berprasangka yang baik kepadaNya hanya akan melahirkan jiwa yang terus terisi dengan kebaikan-kebaikan. Apalagi jika itu hanya mengembalikan harta melimpah?

Bahwa bertawakkal kepadaNya dapat memberikan perasaan untuk selalu merasa cukup akan kehadiranNya. Alapagi jika itu hanya menyembuhkan dari bencana?

Saudaraku,  Hari esok itu belum terjadi dan mari membuatnya lebih baik. Hingga Dia..

‘lalu,  menurunkan ketenangan atas mereka’ (QS Al-Fath : 18)

 

Cermin

Saya sama sekali tidak tahu menahu,  mengapa tulisan ini mesti saya tulis. Saya bingung. Berada di antara. Mau melanjutkan ke kata selanjutnya,  atau berhenti saja di paragraph pertama. Paragraph awal yang sekaligus menjadi penutup. Namun tidak. Demi memenuhi tujuan, saya akan meneruskan ini. Bacalah.

Tulisan ini saya namai cermin karena memang mau. Kemarin saya berniat menamainya buntung. Tapi tidak jadi. Kau juga akan tahu sendiri jawaban kenapanya. Mungkin karena kata ‘buntung’ terdengar riskan. Juga karena saya,  yang sedang menulis ini tidak punya ide apa-apa untuk  melanjutkan. Atau juga karena saya sedang memandangi seorang yang buntung di olok-olok massa berjarak 20 meter dihadapan. Atau bisa juga karena saya bingung dengan isi kepala sendiri.

Tulisan ini juga hampir saya beri nama ‘hamil’. Kadang saya merasa bahwa ada sesuatu di perut yang menendang ketika mulai memainkan jari untuk menyambung tulisan ini. Juga karena kemarin saya mulai berpikiran bahwa saya hamil karena seseorang. Dan mungkin juga karena saya bingung siapa yang telah melakukan itu. Sebelumnya aku tak hamil. Semua ini menyakitkan,  aku berharap Tuhan mengambil isi perutku.

Seperti biasa,  diri digunduli bingung. Diri yang malang.

Tentang diri yang malang. Kau tahu ada sebuah tempat di Indonesia bernama Malang? Dengan sebuah apel kecil sebagai maskotnya. Pernah kucicipi sendiri buah Apel tersebut. Buahnya kecil-kecil berwarna hijau muda,  tidak cukup sekepal jika ku genggam. Dan habis wajahku terlipat-lipat karena menggigitnya. Setelah kutahu bahwa yang kumakan adalah apel Malang remaja-yang masih membutuhkan hari untuk dinikmati-sangat besar tekadku menemukan yang dewasa.

Kucari kesana-sini,  kutemukan yang baru. Sebuah Apel yang berwarna hijau,  tapi agak besar dari Apel remaja tadi. Ku teliti,  dan kuputuskan untuk mencabutnya dari salah satu ranting. Sensasinya, uuuh. Bulu kudukku berdiri semua. Hal yang paling aku suka lakukan adalah memanen buah,   kali ini akan kupastikan Apel yang kuambil adalah yang dewasa. Kusimpulkan itu karena ada beberapa kemerah-merahan di kulit buahnya.

Aku mengambil buah yang tepat rupanya. Meskipun tidak kecut,  buah Apel yang kupetik kali ini gagal disebut manis. Atasnya kuucap beribu terima kasih,  karena paling tidak,  telah menemukan yang meskipun tidak tepat,  tapi ia mencukupi.

Cerita ini selesai? Nyatanya belum. Kau jangan terlalu gegabah. Masih banyak yang harus kau baca.

Tentang apel Malang tadi maksudku. Kau kira hal itu kuceritakan tanpa makna? Padahal bukan. Menurutmu mungkin itu hal sepele yang tidak perlu mengambil 2 paragraf dalam cerita ini. Tapi kita-manusia-sangat sering lupa mementingkan hal sepele. Banyak hal besar yang tejadi karena  hal-hal kecil yang mendahului. Kau akan tahu maksudku setelah terus membaca ini.

Begini,  aku senang karena telah mendapatkan apel Malang yang kumau. Maksud hati ingin memanen apel Malang yang kedua,  lalu hal yang kemudian menjadi soal itu terjadi. Kadang aku berpikir seandainya aku tak terlalu serakah dan mencukupkan diri dengan satu apel Malang saja. Pasti hal tersebut tidak akan mengambil ruang-ruang otakku. Aku lelah. Sungguh

Aku mencurinya. Buah apel Malang itu yang kumaksud. Tak puas hanya memakan yang kumau di kebun agrowisata ini,  aku akhirnya menginginkan beberapa yang bisa ku ambil untuk ku bawa ke rumah. Aku ingin membuat jus,  pie apel, juga selai. Ingin ku buat semua makanan yang ada dibenakku dengan mengambil semua buah apel di kebun ini. Dan itu curang. Aku tak suka ini. Ku harap Tuhan mengambil pikiranku.

Aku akhirnya pulang. Tertatih. Ku pikul apel curian ini juga di pikiranku.

Di perjalanan pulang-sambil mengurai jarak-aku memikirkan suatu cara. Tahukah kau? dua minggu yang lalu aku dihinggapi masalah. Di tempat kerjaku,  sebuah sekolah. Aku, yang seorang guru-yang seharusnya menghidupkan jiwa kreativitas anak-anak-dengan sangat menyesal tidak berhasil melakukannya dengan baik. Bukannya malah kuhidupkan,  kreativitas anak-anakku justru semakin mati dari hari ke hari.

Aku,  dengan sangat sadar tahu itu. Sifat dan pembawaan yang diberikan Tuhan ini juga adalah boomerang. Menjadi guru yang galak,  siapa yang bisa memilih itu?

Di satu sisi aku sangat senang karena mendapat ke”segan”an dari berbagai pihak. Tak perlu ku banyak-banyak melakukan perintah,  sekali saja titah ku keluarkan,  mereka anak-anakku akan langsung meaksanakan tanpa ba-bi-bu. Tapi di sisi lain aku sedih. Mereka akan sesegera mungkin merubah garis tawa di wajahnya itu menjadi murung ketika melihat aku datang di ujung gerbang. Jangankan untuk bertanya hal-hal yang aneh tentang dunia,  mendengan namaku disebutkan saja,  mereka akan pergi menjauh.

Bantu aku memikirkannya. Jika seperti itu sikap mereka padaku,  bukankah krativitas mereka yang seharusnya kubangun dari sekarang perlahan-lahan akan terkikis? Bahkan untuk muncul ke permukaan,  hal itu akan sangat mustahil.

Aku,  adalah monster yang tidak seharusnya menjadi guru-teladan,  panutan-bagi mereka. Kau yang membaca ini ingatkan ini untukku jika kita bertemu,  banyak hal yang dapat mematikan kreativitas dan guru yang galak adalah salah satunya.

Duhai kau Tuhan yang maha lembut,  berikan aku kelembutanMu. Aku bersungguh-sungguh dalam doaku. Aamiin

Sekarang aku berada tepat di kaki bola-bola senja. Cahayanya yang merah membuat nyaliku  merosot. Aku tak tahan lagi. Semua angan tentang masa depan hanya seperti kesusahan bagiku. Ku ambil belati di bawah kasur yang tak lagi empuk. Di bawah kasur tempat lelahku meluruh itu,  sekarang hanya tertinggal hal yang buruk. Aku berniat mengakhirinya saja. Hidupku ini. Kuharap sang maha Kekal mengabulkan doaku.

Meskipun oleh diri sendiri,  setidaknya aku adalah orang yang teraniaya yang doanya makbul.

“Seorang pemuda yang karena ditinggal mati istrinya 2 minggu yang lalu, akhirya nekad mengakhiri hidupnya dengan mengiris urat nadinya sendiri dengan sebuah belati.  Salah satu warga yang menemukannya mengatakan bahwa sepertinya dia frustasi  karena tidak bisa lagi menemukan istrinya di tempat tidur” suara  pembaca berita dari tv itu membuat bibirku berkerut dengan sempurna.

Hari ini aku terlalu lelah. Semua orang-yang kubaca-hari ini telah mendarah daging. Aku menjadi sakit,  harga diriku terluka. Aku akan berhenti membaca buku Rumi mulai detik ini. Aku menggerutu.

“…jika kamu melihat aib pada diri saudaramu,  maka sejatinya aib yang kamu lihat itu adalah aibmu juga. Sufi sejati itu seperti sebuah cermin di mana di dalamnya kamu melihat gambarmu sendiri,  karena seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Jauhkanlah aib itu darimu,  karena sesuatu yang menyakitkan dalam diri mereka,  juga akan menyakitkan dirimu. “ ( buku Fihi Ma Fihi hal 72-73)

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mukmin yang kukenal atau yang tidak kukenal di luar sana seperti kulakukan sendiri. aku sakit karena telah menjadi massa yang mengejek seorang yang buntung,  juga sedih karena melihat seseorang menjadi korban perzinahan. Aku takut karena menjadi pencuri Apel,  juga was-was telah menjadi guru yang galak. Terakhir,  aku tak mau menjadi dia yang bunuh diri hanya karena istrinya duluan pergi dari dunia.

Bagaimana mungkin orang-orang mukmin itu menjadi cermin bagi tiap-tiapnya? Bagaimana mungkin aku bisa merasakan sakit ketika sahabat-sahabatku melakukan ketamakan,  kebencian, kezaliman dan juga kesombongan?

Atau mungkin aku yang perlu bercermin. Ketika perbuatan buruk seperti itu juga kulakukan dengan tanganku,  mengapa aku tidak merasakan apa-apa? Tidak itu sakit. Tidak itu merasa berdosa. Bahkan menjadi luka.  Tuhan, maukah kau ganti hatiku dengan yang baru?

Perempuan dalam Bayang Literasi

Alunan sendu membisiki telinganya. Hari mengganti hari dan ia masih saja bersikukuh ingin tegar. Tak mau dipisahkan dari rasa cinta pada sang suami. Ia ingin tabah, tak pernah sekalipun dalam pernikahannya airmata menetes. ia mengalahkan tabahnya hujan di bulan Juni itu. Tak ada tempat bercerita,  hanya pada anaknya terkecuali.

“Bunda,  izinkan aku keluar. Jangan kau paksa  saya bunda. Saya tak suka di dalam.” Suatu hari anaknya mulai mengeluh.

“Sebentar nak, belum saatnya. Jangan kau buat risau bunda. Tinggallah di dalam sedikit lebih lama. Banyak yang bunda pikirkan nak” sang bunda memelas kasih,  membatin ia.

“Tapi bunda,  ini telah mencapai umur saya. Saya sangat ingin keluar bunda. Tak kah bunda merasa kasihan? Mohon izinkan saya.” Sang anak mulai meminta belas kasih sang bunda.

Diam. Bunda yang dimintai belas kasih hanya diam. Bulir air matanya terpaksa keluar dari kelopaknya. Kali ini tak bisa ditahan. Sedih ia alang kepalang. Sang suami tak kunjung pulang sebagai sandaran.

***

Perempuan ini adalah jelitanya abad. Mengalahkan keindahan “bunga akhir abad”. Bukan, bukan tingginya hidung sebagai ukuran,  mata biru yang berbinar juga tidak,  bahkan kulit putih mulus tak jua.  Yang ia punya lebih dari itu. Sesuatu yang semua orang dambakan untuk dimiliki. Kecantikan di luar nalar yang pernah kau bayangkan untuk dipunyai. Sebuah jelita yang bukan saja indah dalam pandangan,  namun juga dalam pikiran.

Memandang wajahnya kau akan terbayang megahnya istana Firaun,  menatap senyumnya membawamu pada fatamorgana gurun pasir,  mendengar dia bertutur aduhai,  seperti nyanyian simfoni sang malam. Begitu merdu alunannya,  bahkan pada ritme sendu. Bukan bualan kata kakek Pram. Semua keindahan seperti bersekutu untuk menujunya. Wahai kau sang pemilik,  tak merasa kah?

Dulu,  waktu masa muda masih dimilikinya. Ia dipuja hadirnya. Menjadi dambaan semua lelaki yang mengenalnya.

“Gerangan siapakah dia?” Laki-laki penuh tandatanya.

“MasyaAllah,  betapa indah. Siapa pemiliknya?” Semua memuji tuhannya, begitu melihat sang perempuan.

“Bagaimana dia bisa seperti itu? Dari negeri mana dia terlahir?” Lagi,  masih riuh orang-orang bertanya tentangnya.

Sang pemilik keindahan hanya saja tak begitu sadar dengan yang dimilikinya. Sangat-sangat tak ambil pusing dengan semua pujian. Dianggapnya nasehat yang tak perlu didengar. Dalam pikirannya hanya satu,  aku ingin menyelesaikan segalaku ini dengan baik, dalam cakupan Tuhanku. Yah,  perempuan yang cantik tidak hanya dalam pandangan,  juga dalam pikiran. Bagaimana indahnya tak didamba? Jika wajahnya bercahaya setiap harinya. Bagaimana kehadirannya tak dirindu,  jika tutur katanya hanya berupa kebaikan. Tak pernah sekalipun ia mencemooh dan mengolok. Bagaimana ia tak di inginkan? Jika keramahan adalah nafasnya. Tak suka ia pada penindasan,  dan mendorongnya meng-AKSI bersama kawan mahasiswanya di jalan-jalan. Meski itu,  pandangan dan pergaulannya tetap pada jalannya. Ia berbuat karena tuhannya dan suatu saat akan diminta tanggung jawab atas yang dilakukannya. Maka menjaga diri adalah pakaiannya. Di sana-sini penghargaan atas kebaikannya membludak. Pujian kian menjamur karena jasanya. Membantu sesama adalah hal yang selalu dipedomaninya. Bagaimana ku gambarkan perempuan indah ini? Begitu sulit merangkai katanya.

Sampai pada suatu hari,  dia berjalan dalam pelukan musim semi. Aroma bunga menusuki indera penciumannya. Awan yang menggantung,  berdirinya langit yang tegar pun turut memberi restu. Sempurna semesta  membentuk harmoni. Hijab yang dikenakannya berkibar dan memolekkannya. Warna kuning dan biru terpadu dengan indah dikenakannya. Berjalan ia dengan dentuman jantung dan aliran darah yang menyesaki daging-daging.   Seorang lelaki penulis menghampiri. Mencoba  menghapuskan jaraknya dengan perempuan itu. Dengan lantang mengumandangkan

“Aku ingin menikahimu!”

Perempuan itu beku. Langit terasa merenta.

“Aku ingin menikahimu!” Sang penulis mengambil jarak,  mendekat.

Perempuan itu masih beku. Langitnya ingin runtuh

“Aku ingin menikahimu. Bukan karena indahmu,  bukan karena pikiranmu. Bukan itu. Aku hanya ingin menikahimu karena itu kamu,”  disuarakannya dengan lantang pikirannya itu. Disaksi semesta. Dia berhasil menjadikan sang perempuan tetap beku. Tak bisa berkata.

Berhari setelah kejadian itu,  sang perempuan dilanda sendu. Minum dan makan enggan. Riuh pertanyaan-pertanyaan dalam pikirannya. Menjamur satu persatu.

“Siapa laki-laki itu?”

“Siapa laki-laki itu?”

“Siapa dia yang mengambil tenangku? Siapa dia yang menyesaki nafasku?”

Bimbang ia. Tak tahu membalasnya dengan apa. Tak tahu melakukannya bagaimana. Segalanya menjadi kian susah. Tak tenang. Ia lalu duduk dan membanting diri pada kasur empuk,  membiarkan sebuah surat berisi cinta berbaring di sebelahnya.

“Aku mencintamu. Sampai mentari menemui akhir. Tak terbit lagi,,

Aku mencintaimu. Sampai tak ada lagi jalan untuk jadi  tujuan. Sejauh itu..

Aku mencintaimu. Sampai tak ada lagi nafas untuk dihela. Sebutuh itu..

Dan aku tak mencintaimu. Dengan dekat,  dengan butuh,  dengan batas.

Aku mencintaimu dengan segalaku. Itu kewajibanku.”

Dan begitu, puisi membuat perempuan  dan penulis itu merajut kenyataan. Mereka berakhir di pelaminan. Bermandi restu dan doa. Juga riuh kekesalan. Ada yang merasa tak senang dengan bersatunya mereka.  Mengapa  sang perempuan melabuhkan cintanya pada sang penulis? Ia tak punya apa-apa selain tulisan yang juga tak membuahkan apa-apa. Mau diberi makan huruf kau? bahagiakah kau dengan pikiran suamimu? Bisakah?

“Yah, semua perkataan berat mesti dibalas dengan kebaikan. Seperti suamiku,  aku pun mencintainya  dengan imanku.”  Membatin lagi sang perempuan. Benar-benar jelita dalam pandangan.

***

3 bulan usia pernikahan mereka. Perempuan itu meski telah dipinang,  tak bisa jelitanya disembunyikan. Kemana-mana selalu ia mencuri segala perhatian. Meski didampingi laki-laki penulis di sisi,  tak menyurutkan niat bola-bola mata untuk menikmati indahnya perempuan indah itu.

“Tenang, Mas. Aku mencintaimu. Sungguh.. sedikitpun tak ada niat menjauh darimu,” sang perempuan menghibur suaminya. Melingkarkan erat lengannya pada sang suami. Memberi senyuman terbaik hanya untuk suaminya. Sebentar memegang wajah suaminya,  lalu mengusapnya lembut.  Dan tumpah-tumpah cintanya kemudian. Tak ada sesal menikahi suaminya. Tak ada.

Sang suami setiap pagi memberinya puisi cinta. Dan perempuan itu makin indah dengan senyumnya. Karena puisi. ia mencintai suaminya lagi dan lagi. Yah,  Suami yang memberikan segala hidupnya untuk tulisan. Suami yang memberinya makan lewat tulisan. Dan kemudian,  tulisan merenggut semua senyum yang dimiliki sang perempuan.

***

Hari ini tepat 4 tahun pernikahan mereka. Rumah nampak lengang. Sang perempuan duduk di pekarangan. Dibelai angin sepoi,  di atas kursi goyang kayu rotan hadiah suaminya. Ia bermata lesu,  kulitnya Nampak lebih menua. Warna kulitnya memucat,  dengan bibir yang tak merekah lagi. Jaket rajut berwarna abu lebih didekapnya. Tubuhnya sangat kurus,  semangatnya kian usang.  Angin tak mau lagi menjaganya. Semesta sudah bosan memeluknya. Perempuan itu tak indah lagi. Perempuan itu sempurna kehilangan cahayanya.

“Bunda,  saya lelah. Ingin keluar. Tolong bunda,  izinkan saya,” memelas lagi sang anak

“Tidak nak, jangan. Kasihani bundamu. Jangan kau keluar dulu. Bunda belum bisa memngeluarkanmu. Tidak nak. Tunggulah sebentar.”

“Bunda,  tapi ini telah waktunya. Saya tak tahu kapan,  cepat-cepat saya akan keluar jua. Bunda tak bisa menidak lagi,” sang anak menjawab bundanya

“Kau memang benar nak. Kau benar. Bunda tak tahu sampai kapan bunda bisa menahannya. Tapi akan kutahan nak. Keluarnya kau dari situ,  mulailah kau meneguk penderitaan bundamu. Tidak nak,  bunda tak mengizinkan” perempuan indah itu mengerang. Memegangi perutnya. Menahan sakitnya. Betapa sakit tuhan, betapa sakit. Tolong aku.

Perempuan itu,  kembali menancapkan matanya pada gerbang. Berharap terbuka,  dan sang suami ada di baliknya. Berharap suaminya sang penulis itu membawa pulang sejumlah uang. Berharap suami yang begitu digilainya itu memberinya nafas lega. Berhari-hari sudah suami tak pulang. Pergi menempuh jalan yang ia sendiri tak pernah jalani. Ia,  suaminya pergi menjajakan tulisannya. Berharap ada yang mau membeli kata-kata yang ditulisnya.

Bertahun sudah perempuan itu berada dalam ketabahan.  Mencoba meneriakkan bahwa anggapan orang-orang itu salah besar. Berharap semua omongan tak indah dari mulut mereka berhenti. Ia berkata tidak! Mereka semua salah. Menjadi istri dari seorang penulis adalah hal termewah di dunia. Tak ada bandingannya. Tak bisa sekuntum mawar diganti sekalimat puisi. tak ada yang semesra itu,  mendapatkan pelukan hangat puisi sang suami,  di saat sedang lelah membereskan rumah. Semua tak terganti.

Hanya saja belum. Bukan suamiku yang berdosa. Mereka para pembaca yang tidak tahu estetika. Tidak menghargai makna sebuah karya. Tidak menghargai tulisan. tidak mencintai bahasa. Tidak mau membudayakan budaya baca. Tidak mau membuka jendela dunia. Bukan salah suamiku. Ya, bukan salahnya. Suamiku adalah terbaik karena masih mau berpikir. Dalam diammnya ia memaknai bahasa,  kutemukan gagah di dalamnya.

Perempuan itu diam tersebab pikirannya. Ia lelah menunggui dirinya mengantuk. Matanya telah berhari-hari terjaga. Untuk makan sesuatu pun tenaga yang ia punya hanya sisa-sisa. Meski di dapur tak ada yang bisa ia masak. Harta yang ia punya saat ini hanyalah setumpuk puisi dari suaminya. Tak dibuang. Begitu berharga.  Namun ia masih tabah. Memupuk keyakinannya lagi,  suami yang dimilikinya pasti pulang.

Ia terdiam. Beku di atas kursi malasnya. Langit Nampak gelap. sakit yang dialaminya tak terperi lagi. Sayup-sayup didengarnya tetangga memanggil-manggil minta tolong sambil mendekap tubuh perempuan itu. Darah segar mulai menetes.

***

“Bunda, aku keluar,” sang anak menangis meraung

“Bunda,  aku sudah keluar. Bunda, sepedih inikah di luar bunda? Tak kau sambut aku dengan senyummu?” sang anak makin menjadi. Menangis ia.

“Bunda,  takkah kau dengar aku? Menyesal bunda mengandung aku?” sang anak kembali menangis

Perempuan itu,  hanya memandangi anaknya. 5 menit yang lalu anaknya telah menghirup udara. Jiwa yang dikandungnya itu kini telah lahir. Jiwa yang selalu ia bisiki untuk tetap tinggal di dalam rahimnya. “Di luar terlalu  berat nak, berat. Kau tak kan tahan. Ayahmu  belum pulang. Air susuku bahkan mengering. Tapi tenanglah nak,  jangan kau menangis. Mungkin setumpuk puisi di lemari itu akan membantu,” kali ini tak tahan. Perempuan  itu akhirnya meneteskan air matanya lagi.

 


sumber gambar: panampost.com