Semua tulisan dari Wahyu Hidayat

Lahir di Bantaeng. Bergiat di kelas menulis Boetta Ilmoe dan Rumah Baca Panrita Nurung

Bangsa Tanpa Cermin

Beberapa waktu lalu seorang kepala daerah diciduk lembaga pemberantasan korupsi akibat kasus suap yang menyeret namanya. Kendati mengusik hati, sebenarnya diakui atau tidak, fenomena korupsi kini telah jadi lumrah di sebuah negeri antah berantah. Lantas apa yang aneh kalau begitu?

Ada kejanggalan di balik peristiwa itu, musabab beberapa hari sebelum penangkapan, kepala daerah tersebut hadir dalam sebuah agenda memperingati hari anti korupsi. Lucunya, bahkan ia didaulat menjadi salah satu pembicara pada hajatan itu.

Dalam sambutannya, ia menyampaikan pelbagai hal ihwal korupsi. Bagaimana merentangkan jarak diri dari praktik laknat itu. Bagaimana kawula muda tumbuh menjadi generasi tangguh dan berintegritas. Dan tak lupa ia menyelipkan  sebuah pesan tentang betapa kotornya perilaku korupsi, dan ia amat membenci para pelakunya.

Cukup panjang ia memaparkan sambutannya. Beberapa orang mungkin tak sempat menikmati kudapan di hadapannya, lantaran mematung mendengarkannya bertutur. Siapa sangka, selang setelahnya, ia ditangkap atas kasus korupsi. Munafik!   

Makin ke sini makin ke sana, kalau kata orang sekarang, kok bisa, dengan sadar ia bicara panjang lebar dan percaya diri padahal ia sendiri melakukannya. Bukankah berarti ia menyinggung dirinya sendiri. Sungguh kelewat aneh pemangku jabatan di negeri antah berantah itu, bicara tanpa mengerti, apalagi mengamalkan ucapannya.

Sulit kita sangkal, perkembangan zaman telah menjadi salah satu donatur terbesar dari tergerusnya kemanusiaan kita. Sulitnya menemukan kejujuran dan perangai baik seseorang di zaman sekarang, juga mereka yang tak ingkar, bahkan pada janji yang ia dengungkan sendiri. Hingga akhirnya, kata-kata tak lagi bermakna.

Itu di dunia nyata, fenomena lain turut terjadi di laman maya. Perkembangan teknologi, dalam hal ini teknologi informasi, menciptakan beragam pola komunikasi. Walakin, seiring peningkatan penggunaan media sosial, di lain sisi tidak seluruhnya diimbangi dengan pemahaman, terlebih lagi etika dalam berkomunikasi, sebagai salam satu manfaatnya.

Betapa tidak, media sosial justru menjelma jadi ruang kumuh dan kotor, sesak oleh bejibun akun-akun yang saling melempar hinaan hingga cacian. Sebuah ironi, dari realitas hari-hari ini. Perkembangan teknologi, sebetulnya membuka lebar kesempatan bagi tiap individu untuk berinteraksi dengan sesama. Menjalankan sebuah model interaksi tanpa harus bertemu, dan tak saling mengenal. Walaupun, disesalkan kemudian, jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Pada kolom komentar di laman media sosial, menjadi tempat ujaran kebencian, saling menghina hingga merendahkan orang lain tak henti-hentinya diproduksi.

Kebebasan di media sosial, agaknya jadi sebab seseorang menjadi nihil rasa takut akan risiko dari tindakannya. Tersedianya anonimitas di media sosial, juga turut andil dalam problematika ini. Alasannya, orang akan merasa aman meninggalkan apa pun, sebab tak tampaknya identitas.

Terlebih saat ini, mendekati tahun-tahun politik. Masa-masa panas. Para elite politik, akan berperang, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Jadi, sampai di sini, jangan berharap akan ada damai di rentang waktu itu.

Hoaks akan disebar oleh lawan politik, atas nama elektabilitas. Menghina yang lain, padahal dirinya juga hina. Mencela pihak lain, padahal tindakannya juga tercela. Mereka akan bicara bak orang suci tanpa dosa dan kesalahan. Mencari-cari kesalahan orang lain, tanpa pernah sekalipun menyadari kesalahannya.

Suhu panas tahun-tahun politik, nyatanya tak cuma berkecamuk di kalangan elite, masyarakat bawah pun tak luput mengambil bagian, terutama mereka para pendengung. Acapkali masalahnya, justru berakhir sebagai serangan terhadap pribadi seseorang. Alih-alih mencari dan menemukan solusi, mereka lebih senang menebar kebencian. Alhasil, kian memperkeruh keadaan.

Tidakkah sebaiknya platform media sosial, dialihkan dari tempat saling menghujat dan menebar kebencian itu, menjadi tempat memperkenalkan program kerja masing-masing, umpamanya. Akhirnya, suasana sejuk dan damai dalam perpolitikan yang kita ingin, tak hanya berakhir sebagai angan. Tak sehatnya kompetisi, akan membikin suasana tidak kondusif.

Di luar urusan politik, kemanusiaan jadi sorotan. Pernahkah kita berpikir, mengapa orang lebih sulit menyadari kelemahannya, tinimbang kelemahan orang lain. Begitu fasih menjelaskan kelemahan orang lain, tanpa menyadari dirinya penuh dengan kesalahan. Seolah-olah tak pernah introspeksi, bercermin guna melihat dirinya.

Dua contoh masalah di atas memang tampak berbeda, kendati demikian, tak sulit menemukan titik persamaannya. Perihal kita yang enggan bercermin. “Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat,” demikian sepotong lirik, syair sebuah lagu ciptaan Ebiet G. Ade, dalam lagunya berjudul “Untuk Kita Renungkan”. Penyanyi legendaris itu, dengan indah mengajak kita berintrospeksi dalam gubahan liriknya. Dengan jalan bercermin, sebagai ikhtiar untuk melihat diri. Bahkan katanya kita mesti telanjang, agar mampu melihat diri dengan utuh. Lalu membersihkan diri untuk benar-benar bersih.

Pesannya sederhana, sadarilah diri sebelum berucap. Sebab, barangkali omongan kita terlalu sempurna, bagi diri yang penuh kesalahan. Sayangnya diri acap mendapat penghalang untuk dapat melihat dirinya sendiri apa adanya. Mengkritisi kesalahan, kekhilafan, atau penyimpangan orang lain. Tetapi, di sisi lain, tak melihat sesungguhnya dirinya sendiri serupa dengannya.

Dari para penguasa kita belajar, perihal rumitnya mereka dalam menyelaraskan kata dan krida. Mereka lebih memilih mengagung-agungkan dirinya dan enggan menyampaikan atau menyadari kesalahannya. Sehingga begitu sering, kita melihat para penguasa bicara tak sesuai fakta, atau berlaku tapi menghadirkan luka.


Sumber gambar: www.dakwatuna.com

Merayakan Nostalgia

Malam sedang pekat-pekatnya, mata ini tak kunjung terlelap. Di luar, rintik hujan sedang malu-malu menyapa tanah. Saya lalu menyalakan televisi, tapi seperti kita ketahui, tak ada tontonan menarik saat tengah malam. Ya, paling hanya berita tadi pagi, disajikan kembali. Atau sinetron, tapi tak amat seru untuk ditonton.

Saya lalu beralih, membuka gawai. Membuka YouTube, sementara earphone telah terpasang di telinga. Namun, entah bagaimana algoritma YouTube bekerja, tiba-tiba saat membukanya, muncul beberapa video lawas. Video itu, salah satunya berisi lagu berjudul “biarlah” dari Killing Me Inside saat melakukan konser. Dipublikasikan tujuh tahun silam. Saya bertanya dalam hati, mengapa di antara begitu banyaknya video terbaru, di beranda justru muncul video lama.

Di keheningan malam, tatkala tembang itu telah sampai ke telinga,  saya seperti masuk ke dalam lorong waktu, membawa saya pulang ke masa lalu. Mengenang saat-saat hidup tiada beban. Momen ketika masih berseragam putih biru.

Teringat saat bermain masih menjadi kesibukan. Bermain dengan kawan-kawan, akan tetapi kini waktunya disita kesibukan, ataupun juga telah pergi meninggalkan kampung halaman. Asyik bermain bola di halaman sekolah, dan berhenti ketika petang telah menyuruh kita pulang. Hingga menyaksikan berita olahraga sebelum berangkat ke sekolah, sebab tak dapat izin menontonnya di kala malam. Dan banyak lagi kenangan, hadir dan mengalir begitu saja. Maklum, bocah kampung, masa kecilnya sederhana. Tak jauh-jauh dari teman dan permainan.

Saat lagu sedang khidmat didengarkan, mengunjungi kolom komentar juga adalah pilihan menarik. Berbagai macam pernyataan serupa bisa kita lihat, semua berisi kenangan tentang betapa menyenangkannya masa-masa dulu. Termasuk saya, lahir di ujung tahun 90-an, rindu masa-masa awal tahun 2000-an.

Video itu berhasil membawa saya merapah video-video lain, dan mampu membuat bernostalgia. Usai mendengarkan dua kali lagu itu, saya pencet video di bawahnya, lagu berjudul “yang terdalam” dari Noah. Lagu ini saya kenali lewat sebuah tayangan sinetron kala itu. Saat masih bernama Peterpan. Namun, kali ini lebih jauh lagi membawa saya pulang, mengenang masa kecil. Juga masa, ketika bapak masih mengisi satu ruang kosong di keluarga kami hari ini.

Lagu atau musik sejatinya sangat akrab dengan manusia. Ia bertaut dengan sebuah kesadaran, emosi, hingga rasa kehilangan. Tapi, tak cuma lagu atau musik kerap membuat kita bernostalgia. Ada banyak hal, mampu membuat kita teringat akan momen perjalanan hidup. Misalnya mengunjungi suatu tempat, menyantap sebuah kudapan, melihat suatu benda, dan sebagainya. Maka seketika, muncullah kenangan-kenangan itu, atau disebut involuntary memory. Meminjam istilah Marcel Proust, seorang sastrawan besar Prancis. Tapi, kenangan itu tak serta merta muncul, melainkan hadir karena pemicu khusus.

Proust dikutip dari laman Tirto.id menyatakan, kenangan bisa muncul atau tiba-tiba terlepas dari kotak pandora ingatan, sebab dipicu beberapa hal, antara lain rasa makanan, aroma, atau perasaan terhadap objek tertentu. Di mana pada kasus Proust, kenangan masa kecilnya hadir ketika sedang menyantap kue lalu dicelupkan ke teh. Tiba-tiba mencullah kenangan: Proust kecil sedang makan kue dicelup teh bersama bibinya. 

Terlepas dari pemantiknya, manusia memang menyukai kenangan, nostalgia. Beberapa hal membuat kita bahagia tatkala mengenang masa-masa indah. Tapi, tak jarang justru sedih hinggap pada kita, ketika yang dikenang kini tak lagi ada. Tapi kenangan apa pun, nostalgia selalu hadir dengan kehangatannya. Itulah kenapa orang-orang suka dengan nostalgia, menyumbang sensasi tersendiri pada perasaan kita. Saat rasa nostalgia itu hadir, perasaan kita campur aduk.

Nostalgia berarti kerinduan, bila mengacu pada KBBI. Nostalgia sendiri, berangkat dari akar kata nostos dalam bahasa Yunani kuno, memiliki arti rindu pada rumah dan kampung halaman. Serta algos, dimaknai sebagai rasa sakit, duka. Sederhananya, nostalgia berarti menyangkut perasaan rindu pada berbagai kenangan berkesan di masa lalu, khususnya suasana rumah dan kampung halaman. Namun, sayangnya tak lagi bisa terulang bahkan mungkin tak lagi ada sekarang.

Waktu itu bergerak dan terus bergerak, dan nostalgia bak pintu, terbuka ketika manusia sedang dihinggapi rasa lelah. Seringkali pintu nostalgia terbuka, ketika manusia membutuhkan jeda. Tampaknya, ini adalah kegalauan manusia sekarang: bersua hal baru, tanpa disangka-sangka. Merasa jauh lebih bahagia  berada di kenangan, tinimbang hari ini.

“Dalam nostalgia, kita diam-diam meninggalkan kegandrungan kita kepada ‘yang baru’. Tapi tak berarti kita hendak membuat ‘yang lama’ sebagai kuil tempat kita menutup diri.” Demikian, dengan indah digambarkan Goenawan Mohamad, seorang penyair dan esais kondang.

Nostalgia bisa berbuah positif, ketika ia menjadi penyemangat. Membuat manusia menjadi lebih kuat, menghadapi tantangan hari ini. Ketika tantangan kita hari ini, belum berhasil kita taklukkan, maka pulanglah sejenak, mengunjungi masa-masa tanpa beban, penuh kegembiraan. Lalu kembalilah, setelah merasa pulih.

Nyatanya, nostalgia memberikan manfaat psikologis. Perihal hidup menjadi lebih bermakna dan suasana hati jadi positif. Kendati begitu, nostalgia tak sepenuhnya baik, ia bisa menjelma menjadi ketakutaan, menjadi racun ketika hanya berisi soal kerinduan dan kehendak untuk pulang. Menyandera kita dari realita. Menimbulkan kecemasan dan perenungan berkepanjangan. Tidaklah elok bila kita tenggelam dalam bernostalgia. Terjebak dalam siklus kenangan, apatah lagi menjadikannya sebagai mesin waktu, untuk menghindar dari realita dan tantangan kita hari ini. Kembali lagi, nostalgia adalah pintu. Bukalah ia seperlunya, saat kita membutuhkan jeda.