Semua tulisan dari Wawan Saa

Wawan saa alias Sulpandi Adriawan. Lahir di Ballabulo, 28 Oktober 1995, Kabupaten Kepulaun Selayar Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Pegiat di komunitas literasi Rumah Belajar Paradox (RBP).

Tulah di Tanah Joro

Wajahnya dipenuhi bercak merah bergumpal kecil-kecil, sekujur tubuhnya bersimbah darah dan basah. Parang itu berjaya memenggal kepala dan merobek lambung musuhnya. Ia pulang dalam keadaan menggigil penuh keringat dan rasa ketakutan. Sehari setelah peristiwa itu, ia ditemukan tidak lagi bernyawa, tanpa bekas luka atau sayatan parang. Kematian itu menyisakan tanya. Siapakah yang membunuh pemilik lidah gelap itu? Semua warga kampung terheran-heran.

Di rumah papan itu ia merengek dan memecah tangis pertama kali. Rumah yang beratap rumbia, berdinding bambu hasil anyaman. Berdiri tegak di sepanjang deretan rumah-rumah dengan model yang hampir semuanya serupa. Kecuali rumah Pak Karim, juragan kopra di perkampungan itu. Bangunannya kokoh, lebih besar dan bagus, pagarnya terbuat dari besi kuat yang dibawanya saat merantau 10 tahun silam. Tanah yang dikelilingi pohon kelapa itu dinamai Kampung Joro, menurut orang-orang dahulu, kelapa-kelapa itu tumbuh atas perintah tentara Belanda di masa penjajahan.

Dialah Lasinrang, hidup bertiga bersama ayah tiri dan ibunya yang kini tengah berbadan dua. Sejak kecil ia dididik oleh ayahnya dengan cara berbeda. Di umur sembilan tahun saat kawan-kawan sejawatnya asyik bermain, ia justru harus membelah ratusan buah kelapa milik Pak Karim, tetangga rumah tempat di mana ia berlelah-lelah. Kelapa-kelapa itu dikupas dan dijemur sampai sekering mungkin. Lalu isinya yang sudah kering mesti dibakar berjam-jam dan dicincang-cincang kecil serupa daging. Itulah yang dilakukan Lasinrang setiap harinya sehingga membuat postur tubuhnya besar, kekar dan berotot serupa raksasa.

Ia tentu tidak akan pernah mendengar dongeng dari mulut ayahnya, seperti kebanyakan para bocah di kampung Joro. Saat menjelang waktu tidur, ayah-ayah mereka akan sibuk memilih kisah terbaik dan menceritakan satu dua sampai tiga dongeng kerajaan untuk anak-anaknya. Sementara Lasinrang adalah satu-satunya anak yang lahir dan ditakdirkan menjadi pekerja kasar serupa binatang sepanjang hidupnya.

Ia seperti kerbau kampung, yang dipaksa membajak sawah setiap musim hujan datang. Atau mirip seekor kuda roda pengangkut tanah dengan muatan penuh lalu berjalan terbirit-birit mendaki kerikil dan bebatuan. Setiap harinya adalah bekerja, jika tidak, cambuk dari ekor pari kering itu akan melilit tubuhnya sampai berbelang-belang kesakitan.

Lagi pula, para bocah di kampung itu tidak akan berani berteman dengan Lasinrang, apalagi sampai bermain bersama, ayah ibu mereka tentu mengutukinya. Jika itu terjadi meski sekali saja, maka mereka akan dihukum tanpa ampun.

Suatu waktu, Lasinrang pernah sekali mencoba bergaul dengan anak-anak tetangga rumahnya, di suatu saat ia usai melakukan pekerjaan. Dengan rasa penuh harap ia membawa langkahnya mendekati sekumpulan bocah yang setiap harinya bermain dan tertawa riang. Belum lagi sempat berbaur, para bocah itu telah bubar dengan wajah sinis dan tatapan tajam. Sebetulnya ia juga ingin merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.

Namun, semua orang menjauhinya karena rupa aneh dan menakutkan. Sejak lahir ia memiliki tubuh lidah yang hitam, ketika marah bola matanya merah berapi-api. Struktur wajahnya terlihat aneh, ia memiliki daun telinga yang panjang, jidatnya melebar sehingga tidak seimbang dengan bentuk dagunya yang rendah dan runcing seperti alien.

***

Di umur 17 tahun saat beranjak dewasa, kehidupannya segera berubah. Ia menjelma menjadi sosok pemabuk berat yang tempramental, bukan hanya karena terasing dalam lingkungan, tetapi juga karena Ayahnya tirinya yang memiliki sifat pemarah, celakanya kemarahan itu bukan hanya diterpa Lasinran, tetapi kemarahan itu juga selalu ia saksikan menerpa ibunya.

Puncak pertengkaran-pertengkaran hebat di dalam gubuk tua dimulai di suatu malam saat mendapati ibunya merasa nyeri kesakitan dan meminta ini itu. Perubahan mood yang tidak terkontrol saat hamil tua membikin ayahnya jengkel, geram dan menampar Sang Ibu berkali-kali sampai pipinya memerah-merah dan tersengut-sengut menahan simbah air mata.

Kekejaman yang ia saksikan tepat di depan mata membuat dadanya seperti diguncang gempa tektonik yang luar biasa. Lalu gerak spontan tanpa pertimbangan Lasinrang menyerang ayahnya dengan perasaan berang. Pukulan itu lancar bertubi-tubi mengenai wajah ayahnya sampai tersungkur kolaps. Darah mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. Pertempuran itu segera berakhir saat ibunya berteriak histeris dan berhasil melerai.

Sejak malam itu ia meninggalkan rumah dengan perasaan parau berkepanjangan. Ia kasihan pada ibunya, tetapi di waktu yang sama ia membenci sosok seorang ayah tiri yang memiliki sifat layaknya binatang berkaki empat yang kekurangan makan.

Di sisa hidup ia berdiam di rumah pamannya, Daeng Kulle, kakak saudara dari mendiang ayahnya. Seorang peramal terpercaya di Kampung Joro, sepak terjangnya sudah terbukti sampai ke desa-desa seberang. Dan Lasinrang adalah satu-satunya kemenakan yang ditunggu-tunggu setelah sekian lama disuruhnya untuk hengkang dari rumah neraka itu.

“Tidak bisama tahanki. Kasianka liat ibuku dipukuli,” paparnya geram, di hadapan Daeng Kulle.

“Kau tidak salah Nak, siapa pun akan marah jika diperlakukan serupa binatang. Dari duluka’ kasi tau mama’nu untuk tolakki lamarannya.” Peramal itu berkisah.

Saat Lasinrang masih seumur jagung, tepat setahun setelah mendiang ayahnya meninggal, Daeng Kulle adalah orang yang paling pertama menolak pernikahan birasnya dengan lelaki pemalak jelek dan miskin. Penolakan itu sia-sia, ibu Lasinrang terlanjur jatuh hati pada lelaki pemilik gigi kuning itu. Dan sebentar lagi akan melahirkan seorang anak dari hasil perkawinannya.

***

Hidup dengan sifat tempramental itu dipenuhi dengan peperangan dan perkelahian. Kemarin sore warga digegerkan dengan ulah Lasinrang. Ia dikabarkan telah membuat lawannya babak belur. Perkara itu dimulai di rumah Pak Ramli, lelaki paruh baya, juga penjual tuak terlaris di Tanah Joro. Tak menerima dirinya dihina dan dijuluki anak setan, lalu menghabisi lawannya sampai tumbang.

Memang, warga kampung secara diam-diam menjuluki Lasinrang sebagai anak setan sebab tubuh lidahnya yang gelap dan hitam. Sebetulnya bukan hanya malam itu, sejak ia dilahirkan, saat itu juga desas-desus semua warga kampung geger membicarakan. Gunjing gujirak itu justru kini memperparah perilaku Lasinrang.

Sehari sebelum pertempuran itu Daeng Kulle, Sang Peramal kampung itu bilang, kelak ia akan menjadi manusia yang tak terkalahkan.

“Tapi nanti, akan lahir seorang anak yang akan bunuhki tanpa alasan, bukan juga karena dendam, tetapi karena tulah. Anak itu akan lahir dengan rambut berwarna putih seperti kapas,” seloroh pamannya sambil membolak balik tangan Lasinrang dan memeriksa setiap lekuk garis-garis kecil layaknya seorang juru ramal profesional. Ia menjelaskan bahwa barang siapa yang lahir dengan lidah hitam akan menjadi penguasa tanpa tandingan. Namun kekuasaan itu akan segera berakhir tepat saat Sampaga Ulu atau pemilik rambut putih itu datang. Kata-kata itu seperti tombak tajam yang melesat, menghunus dada Lasinrang sebelum kematiannya datang.

Kehidupannya dipenuhi bayang-bayang kematian, sehingga setiap kali bepergian di pinngang Lasinrang selalu terikat kokoh senjata parang yang tajam. Berapa kali seseorang telah menanti dan mencoba untuk mencelakainya sampai di suatu malam tepat ketika purnama datang.

Saat ia hendak bertolak ke rumah Pamannya. Dalam keadaan mabuk ia berjalan terseok-seok menyusuri lorong persimpangan jalan. Tiba-tiba tiga orang bertopeng sarung mendadak menyerangnya dari arah semak belukar. Pertempuran itu dipenuhi dengan suara parang. Perkelahian itu berlansung lama sampai akhirnya Lasinrang berhasil menumbangkan tiga orang lawannya dengan penuh luka-luka. Kemarahan itu ia lampiaskan dengan sempuna. Lasinrang membelah dan memenggal ketiga kepala lawannya lalu mencacah perutnya sama seperti saat ia membelah ratusan kelapa-kelapa itu. Simbah darah dan bau amis memenuhi sekujur tubuhnya. Ia berjalan terseret-seret.

Sehari kemudian sesudah peristiwa itu, pamannya Daeng Kulle mendapati kemenakannya dalam keadaan tak bernyawa. Tubuhnya membeku tanpa bekas luka, atau sayatan parang. Kematian itu tepat saat warga kembali dihebohkan oleh kelahiran bayi berambut putih. Bayi itu tidak lain adalah adik dari Lasinrang, Sang Sampaga Ulu.

Gambar: https://news.productioncrate.com/high-resolution-blood-texture-pack/

Demokrasi untuk Siapa

Seperti pesta. Demokrasi lima tahun sekali adalah momentum di mana masyarakat merayakaan kebahagiaan. Bukan sebaliknya menjadi petaka berkepanjangan. Memimpin desa adalah salah satu jalan untuk membangun.

Konsekuensinya adalah terlibat masuk arena pertarungan dalam keadaan siap menang dan siap menerima kekalahan. Siapa pun itu pantas diapresiasi sebanyak-banyaknya, karena semua calon sebagai orang pilihan masing-masing berangkat dari niat dan misi terbaiknya untuk membangun desa.

Kisruh yang terjadi di Desa Bontobulaeng menjadi pelajaran untuk direnungkan, bahwa kekuasaan jauh lebih penting daripada kemanusiaan. Adanya kelompok yang belum menerima hasil pemilihan yang dilakukan pada tanggal 5 Desember lalu sampai hari ini harus diapresiasi sebagai hak penuh sebagai warga negara untuk menggugat, menyampaikan aspirasi.

Namun di sisi lain, apakah kondisi kekacauan ini betul-betul secara alami lahir dari kehendak masyarakat Desa Bontobulaeng? Kita bisa periksa, munculnya beberapa orang yang dianggap tokoh di luar dari Desa Bontobulaeng dan Kec. Pasimasunggu Timur yang turut ikut campur mengadvokasi dan mengatasnamakan pemerhati demokrasi pada persoalan ini justru memperparah konflik yang terjadi di masyarakat, terlebih telah memecah ruang-ruang kekeluargaan. Hal tersebut bisa dianggap upaya provokasi dan perbuatan ini mesti dipertanggungjawabkan.

Seharusnya sejak awal kita mesti bertanya, demokrasi yang diperjuangkan oleh penggugat dalam wajah seperti apa? Untuk siapa? Yang dikorbankan siapa? Dan yang diuntungkan siapa? Pertanyaan-pertanyaan ini kita gunakan sebagai alat untuk melihat apa motif di balik konflik yang terjadi. Karenanya, tidak keliru saat kita punya anggapan bahwa kegaduhan yang terjadi bisa menjadi mainan politik, lahan subur, dan bahan tertawaan bagi tokoh-tokoh di luar Desa Bontobulaeng.

Selanjutnya, masyarakat Desa Bontobulaeng harus tahu, saat kelompok lain berasumsi bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok pemenang adalah sebuah kecurangan, sebetulnya itu adalah sebuah penilaian prematur, cacat, sangat sepihak, dan perlu dipersoalkan. Sebagai pembanding, adakah bukti dari pihak penggugat tidak melakukan kecurangan?

Misalnya memasukkan penduduk dari luar untuk memilih di Desa Bontobulaeng, bahwa secara jujur tidak memberi uang sogok kepada masyarakat atau memaksa penyelenggara untuk melakukan pengakuan palsu, bisa saja kelompok tergugat punya dugaan seperti itu dan bisa justru lebih parah dari pihak tergugat.

Tetapi lebih jauh terlepas dari itu semua, sambil menunggu proses hukum yang sedang berjalan kita harus melihat persoalan ini secara objektif dan sebijak-bijaknya. Bahwa tidak kalah pentingnya menjaga keutuhan masyarakat, kekeluargaan atas nama kemanusiaan daripada mengorbankan masyarakat, menghancurkan persaudaraan hanya karena ambisi kekuasaan. Sampai pada akhirnya, tanpa bermaksud memihak dari salah satu kelompok, kita harus optimis bahwa hukum pasti bekerja seadil-adilnya.

Pohon Waru, Janji dan Cerita Lainnya

Boleh jadi nanti aku akan bertemu, dulu masih kuingat saat kami saling memagut mesra dan berucap janji di malam yang hangat itu.

Ia kunamai Maya. Elok, bukan hanya karena tampang, tutur kata dan rambut panjangnya, tetapi ia juga indah karena bulatan-bulatan kecil yang menempel manis pada lekuk wajahnya. Meski tak pandai menaksir, tetapi kuduga, begitulah aku mengenalnya 15 tahun silam.

Kalau saja bukan karena peristiwa itu, barangkali sudah segubuk dengannya, membangun batih dan punya keturunan. Tetapi semenjak hari kepergian, aku sudah tidak mendapati kabarnya, terakhir kali melihat Maya saat ia mendekapku erat lalu pergi. Di sana awal semuanya dimulai, tatkala aku mengerti arti damba yang sebenarnya, di saat aku harus membenci waktu, perempuan dan suratan.

Lalu? Lima belas tahun usai berlalu. Menurutku, itu adalah waktu yang amat lama untuk mengingat, menyatukan kepingan-kepingan kisah dan menceritakannya secara utuh. Tetapi baiklah akan kucoba.

***

Barang delapan meter dari arah pantai, tumbuhlah pohon waru laut. Pohon dengan sejuta babad, umurnya telah berpuluh-puluh tahun, bahkan sebelum mendiang ayahku dilahirkan, konon sudah sebesar itu, nyaris tidak satupun berubah, kecuali satu, kini kerut-kerut kecil mulai tampak dirupaku. Pokok kayu itu selalu berjaya membawaku pada masa-masa budak, saat aku dan kawan-kawan saling beradu, memetik daun waru, menjepit rambut, lalu melepasnya dan tertawa berdengkang-dengkang.

Petang yang panjang, bongkahan awan samar menggantung di atas jagat, sebentar lagi gulita. Laut malam itu seperti memaksaku untuk kerasan berlama-lama di bibir pantai, menikmati riuh suara alun, mengelih para penjala yang baru saja datang mengeluhkan hasil tangkapan. Mereka mengutuki para pemburu ikan yang lalah, mereka menghancurkan karang seenak jidatnya. Serakah! nelayan-nelayan kecil juga butuh makan. Aku menggerutu dalam batin.

Di bawah pohon itu. Di bale bale milik Pak Syarif. Kuraba gelap, kelam semakin pekat. Yang begitu jelas hanya dua, riuh kecipak ombak menghempas permukaan pantai dan kedip-kedip cahaya di tengah hamparan laut.

Mataku melekat tepat pada sorot silau kerlap-kerlip itu. Menyala, padam, menyala, padam kemudian menyala lagi, semakin jelaslah saat teriakan itu mendengung samar berkali-kali, seperti memanggil-manggil.

“Tarik jangkarnya,” perintah Pak Syarif cekatan, agak-agak ia mengerti isyarat itu. Kami menuju lampu-lampu.

Perahu itu semakin tampak berbentuk, saat kami perlahan-lahan melekati lampu-lampu, aku sedikit-sedikit mahfum dengan percakapan orang-orang ini.

“Mereka dari pulau seberang,” tukas Pak Syarif menyakinkan.

Maya. Di sini pertama kali aku melihatnya, perempuan yang kelak menjadi benalu dalam hidupku, perempuan teguh, aneh dan penuh teka-teki. Kubawa langkahku dan meraih tangannya, membantunya beralih ke perahu milik pak Pak Syarif. Matanya menggeriap, bibirnya pucat, hawa angin malam makbul menyetubuhi perempuan asing itu.

Sepekan hari sudah perahu orang seberang ini terdampar, aku tak mengerti ini benar-benar nyata atau justru hanya mimpi, bahwa sejak malam kencan yang hangat itu, aku merasa Maya adalah milikku, kami saling menyukai, selama keberadaannya kami habiskan untuk membangun renjana.
.
”Kata mamak, pagi besok kami harus berangkat. Mesin perahunya sudah pulih,” tuturnya. Aku seakan patuh dengan pilihan itu meski sukar menerima.

Pagi temaram. Daun-daun pohon waru seperti jatuh satu persatu. Pagi ini Maya harus beranjak. Penumpang siap bertolak setelah dipastikan tidak ada satupun barang ditinggalkan kecuali satu, aroma tubuh Maya yang masih bergala di sehelai pakaianku.

“Jangan pernah menemuiku sampai waktunya tiba,” sekelip kalimat itu membuatku buncah betanya-tanya.

“Mengapa? kau tak ingin? atau aku berbuat salah?”

“Tidak, ini demi kebaikan kita, berjanjilah kelak saat aku mengabarimu, kau akan menandangiku,” cakapnya memotong kemudian berlalu tanpa menoleh. Perahu itu terus bergerak sampai sekecil titik lalu menghilang lebur bersama biru gelombang.

Kapan lagi aku akan menjumpainya. Hari demi hari adalah kekosongan, sunyi, sepi dan hitam. Setiap saban adalah musim yang begitu panjang. Sampai tiba waktu aku harus meninggalkan pulau ini.

Setelah kupikir matang-matang kuputuskan untuk menyusul para sahibku. Aku pernah bermimpi untuk menjadi seorang guru bahasa seperti Pak Dadang, pengajar kesukaanku di waktu SMA dulu. Tiga tahun menganggur membantu ibu berladang, barulah kali ini aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah, dan di kota besar adalah satu-satunya jalan dengan melanjutkan pendidikan.

“Jaga dirimu, ingat tanah ini adalah tempatmu kembali,” kata ibuku saat merogoh saku baju dan memberiku azimat yang terbungkus dari kain hitam, “Ini milik ayahmu, simpanlah dan jaga baik-baik.” Kutatap wajahnya merah berkaca-kaca, lalu sekelip air mata itu tumpah mengguyur pipi.

***

Bibirku kering, terik seperti membakar seluruh isi bumi. Berat sekali meninggalkan ibu. Selama kurang lebih 24 jam aku di atas perahu, lalu tiba malam di pelabuhan kota. Pertama kali aku melihat lampu-lampu benderang sepanjang jalan, kiri kanan kendaraan lalu lalang.

Aku berharap di kota ini semua ingatan tentang Maya bisa kulengahkan, namun semakin aku berusaha semakin kurasa tak kuasa.

Selama lima tahun kuhabiskan waktuku dengan buku dan tugas-tugas, alhasil aku dapat meraih gelar sarjana pendidik lalu diterima mengajar sebagai guru honorer di sekolah tempatku magang pertama kali. Menjadi tenaga pengajar setiap hari membuatku tumbuh dewasa, setiap bulan kukirimkan ibuku surat-surat menanyakan kabarnya.

Lalu bagaimana dengan Maya? Ia masih seperti dulu, hangat dalam ingatan dan mimpi-mimpi. Namun, setiap terang setiap petang bagiku adalah penantian. Menunggu kabar darinya membuatku patah, kuputuskan untuk mencari dan tidak menaui hasil, orang-orang tak satupun mengenalinya.

***

Pagi hitam, bunyi alarm membuatku terbangun. Sebilang hari aku harus bergegas melanjutkan pekerjaanku sebagai seorang guru. Setelah sarapan kemudian berlepas ke sekolah.

Kulihat para murid lintang pukang menuju kelas masing-masing, saat bel sekolah bunyi berkali-kali, waktu istrirahat berakhir dan pelajaran segera dimulai. Hari ini adalah waktunya untuk membaca cerita pendek masing-masing murid, setelah anak didik kuberi tugas pekerjaan rumah tiga hari yang lalu.

Riuh suara tepuk tangan itu memenuhi ruang kelas, saat Karno membacakan sebuah cerita tentang perjuangan seekor Kijang, berlarian tunggang langgang, sampai berhasil menyelamatkan diri dari terkaman raja hutan.
Selanjutnya Inaya, perempuan kecil itu membawa langkahnya dengan pelan.

“Inaya?” Suasana kelas mendadak senyap. Semua mata tertuju padanya, Ia belum lagi memulai.

“Inaya, kenapa?” Dengan rasa penasaran aku mendekati.

Kepala gadis itu tertunduk. Tubuhnya mematung. “Ayo bacakan,” aku mengulangi, ia seperti menahan kantung mata agar tidak jebol. Sia-sia, air mata itu meleleh pecah, tumpah ruah menyimbahi lantai. Aku meraihnya dengan rasa iba. Kuraih secarik kertas yang dipegangnya.

”Surat Kecil Untuk Ayah.” Jantungku terpengarah saat membaca judul kisahnya. Cerita itu mengalir lara. Dalam cerita, Inaya berkisah lahir dari perut seorang perempuan bernama Maya.

Perempuan yang limabelas tahun silam itu melarikan diri setelah didapati dirinya sadar tengah berbadan dua, melahirkan di tanah rantau dan membesarkan anaknya tanpa seorang ayah. Ya. Perempuan hebat itu adalah Maya kekasihku. Perempuan yang kini tengah tertidur lelap disebelahku, bersama putriku. Inaya. []

Mengintip Sejenak “Si Kyai Merah”

Judul: Pertarungan Islam dan Komunisme Melawan Kapitalisme: Teologi Pembebasan Kyai Kiri Haji Misbach
Penulis: Nor Hiqmah
Penerbit: Madani, 2011
Tebal: 113 halaman

“jangan takut, jangan khawatir”

  –Misbach

Siapa yang tidak mengenal Haji Misbach, mungkin banyak, mungkin juga sedikit. Tetapi itu bukan soal. Biarkan itu menjadi hipotesa sementara, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa melihat dan mediskusikan sosok “Kyai Merah” seperti Haji Misbach ini. Sebelum kita lebih jauh menelisik sosok Haji Misbach, saya ingin mengajak pembaca yang budiman untuk menyatukan presepsi, bahwa setelah rezim  Orde Lama tumbang, dan digantikan oleh zaman Orde Baru, dalam hal ini rezim Soeharto,  hampir seluruh elemen masyarakat menjadi serba bungkam, terkhusus dalam mendiskusikan tokoh-tokoh terlarang, dan peristiwa- peristiwa kelam di masa lalu, baik itu peristiwa G30S/PKI sampai pemberontakan-pemberontakan awal sebelum meletusnya peristiwa 65.

Tetapi suatu kesyukuran bagi kita semua karena setelah Orde Baru runtuh, Kran demokrasi menjadi terbuka. Hal ini ditandai dengan banyaknya peluncuran buku-buku “kiri” dari Jawa khususnya di Yogyakarta, meskipun hal ini masih menjadi hal yang sensitif, tetapi setidaknya ruang-ruang  sejarah menjadi terbuka dan bisa kita dijadikan sebagai wacana dan diskusi-diskusi akademik. Maka dari itu pada kesempatan ini saya akan mencoba mereview  tulisan Nor Hikmah yang berjudul: Pertarungan Islam & Komunisme Melawan Kapitalisme : Teologi Pembebasan Kyai Kiri, Haji Misbach. Buku ini merupakan edisi perbaikan dari yang telah diterbitkan pertama kalinya. Saya mengaku tidak Sehebat Nor Hiqmah yang menulis khusus tentang Haji Misbach, tetapi setidaknya melalui tulisan ini sedikit banyak bisa menambah wawasan kita tentang sejarah, tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa Haji Misbach.

 

Haji Misbach dan Sepak Terjangnya

Nor Hiqmah menulis tentang Haji Misbach, mencoba menampilkan sosok Haji Misbach sebagai tokoh propagandis sekaligus tokoh penggerak kaum muda Islam. Haji Misbach lahir pada tahun 1876 di Kauman Surakarta, dari keluarga pedagang batik yang sukses,  ketika masih kecil ia bernama Achmad, lalu setelah menikah ia berganti nama Darmodipromo, dan setelah menikah untuk yang terakhir kalinya ia berganti nama Mohammad Misbach yang sampai hari ini kita kenal dengan sebutan Haji Misbach sang “Kyai merah”, karena ia hidup dalam keluarga pejabat keagamaan kraton, dengan kondisi keuangan yang cukup, maka ia disekolahkan dalam pendidikan pesantren, perlu kita ingat bahwa di masanya tidak semua pribumi bisa berpendidikan, kecuali orang-orang dari kalangan pejabat, pengusaha kaya, meskipun nantinya telah di sediakan pendidikan untuk orang-orang golongan bawah, tetapi dengan kelas yang berbeda dengan para pejabat, pengusaha yang berada di golongan atas.  Menginjak dewasa ia sempat menggeluti usaha dagang batik higga sukses, dengan watak yang revolusioner dan senang berorganisasi maka akhirnya ia meninggalkan usahanya dan memilih  bergabung di IJB (Inlandsche Journalisten Bond) yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914 dan bergabung dengan Sarekat Islam, disingkat SI.

Sepak terjang Haji Misbach  dimulai pada tahun 1915 ketika ia menerbitkan surat kabar Medan Muslimin, kemudian pada tahun 1917 menerbitkan surat kabar Islam bergerak, yang nantinya akan menjadi media propaganda yang sangat berpengaruh menentang kolonialisme Belanda. Nor Hiqmah sering mengutip tulisan-tulisan Haji Misbach dari surat kabar. Melakukan propaganda melalui media membuatnya dikenal dan dihormati. tidak hanya itu Haji Misbach selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendukung tulisan dan propagandanya. Pada tahun 1920 ia sudah terlibat dalam pemogokan-pemogokan di wilayah Klaten sampai akhirnya diseret ke pengadilan dan dipenjara. Pada tanggal 22 Agustus tahun 1922 ia kembali dibebaskan dari penjara Pekalongan, kemudian bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bergerak untuk memperjuangkan hak-hak kemanusian, membela para buruh, petani-petani miskin dan melawan kolonialisme Belanda.

Sampai di sini kita bisa melihat bahwa wajar ketika setiap gagasan Haji Misbach selalu disertai dengan kutipan-kutipan ayat Al-Quran sebab ia berlatar belakang pendidikan pesantren, tetapi yang menarik nantinya adalah dia berusaha mempertemukan wajah Komunisme dan Islam dalam satu kesatuan yang sama sekali tidak bersebrangan, dalihnya, kesamaan misi yaitu misi kemanusiaan. Setelah ia bergabung dalam organisasi partai, dia menjadi propagandis yang lebih garang. Nor Hiqmah mengganggap Haji Misbach memilih bergabung dengan partai kiri sebab organisasi-organisasi Islam tidak mampu menampung aspirasi rakyat kecil. Menurutnya organisasi Islam seperti SI di bawah pimpinan Tjokroaminoto dan Muhammadiyah dianggap mandul dan lebih bersikap kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya organisasi komunislah yang mampu bersikap radikal dan anti kooperatif terhadap pemerintah kolonial.

 

Pecahnya SI dan Disiplin Partai

Salah satu hal yang melahirkan perpecahan dalam tubuh SI dimulai ketika Tjokroaminoto menetapkan aturan tentang disiplin partai, hal ini yang di tentang oleh Semaun, Tan Malaka, termasuk Haji Misbach, mereka menganggap SI yang dibawah pimpinan Tjokroaminoto bergerak dan mendukung langkah-langkah pemerintah. Selain itu, iuran dan anggaran yang diperoleh SI digunakan untuk keperluan pribadi,  hal ini yang disebut Haji Misbach kapitalis Islam. Evaluasi perpecahan dalam internal SI dilakukan pada tanggal 14 Maret 1923, tetapi gagal dan tidak membuahkan hasil, tidak hanya itu, banyaknya surat kabar yang  yang menentang sikap Cokro menjadi pengaruh bagi kepercayaan pengikutnya, Tjokroaminoto pun tidak mau kalah, menurutnya langkah yang diambil disebabkan karena SI sudah terlalu banyak mengakomodir kepentingan ISDV, yang nantinya berganti nama menjadi PKI.

Akhirnya SI pecah menjadi dua, (SI putih) dibawah pimpinan Tjokroaminoto dan (SI merah) dibawah pimpinan Semaun, SI yang di bawah oleh Tjokroaminoto dianggap lebih mengarah pada gerakan moral dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah, sementara SI Semarang yang dibawah oleh Semaun bergeser ke sosialisme kiri.

Nor Hikqmah juga menjelaskan bagaimana ketakutan Tjokroaminoto terhadap orang-orang sosialis yang dia anggap mencoba merampas orang-orang SI, sehingga menjadi wajar Tjokroaminoto mengeluarkan kebijakan tentang adanya disiplin partai. Dan disamping itu Nor Hiqmah juga menuliskan bahwa perpecahan itu disebabkan karena politik kanalisasi (adu domba) yang dilakukan oleh Dirk Fock, Gubernur Jendral baru, salah satu usahanya adalah memperketat pengawasan Algemeene Rechercheichediennst (Dinas Intelejen Umum),  terhadap seluruh organisasi-organisasi pribumi.

 

Haji Misbach dan Ayat-ayat Propaganda

Setelah kemudian Haji Misbach menjadi pemimpin di Vostenlanden, mendirikan PKI dan memimpin rapat-rapat umum. Dengan pengawasan ketat yang dilakukan oleh Gubernur Jendral polisi lebih mudah menangkap gerakan politik Misbach, akhirnya pada tanggal 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Monokwari, sejak priode itu iya disebut sebagai tokoh komunis terkemuka. Seperti yang sebelumnya telah kita singgung, bahwa ia selalu mengutip ayat-ayat Al-Quran untuk melakukan aksi propagandanya, seperti dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’uun ayat 1-7 yang artinya :

“Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. (Terjemahan Al-Qurannurkarim Surat Al-ma’uun Ayat 1-7 Oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah / Penafsir Al-Qur’an, 1971 ).

Selain itu Misbach juga orang-orang yang menggap Islam tidak hanya berbicara tentang spiritual semata tetapi, Islam juga berbicara tentang hak-hak kemanusiaan di muka bumi, Islam tidak hanya dipahami sebagai ajaran tentang keselamatan di akhirat, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana kita selamat di dunia, Misbach menyerukan kepada orang-orang untuk tidak takut dan ragu berperang melawan kapitalisme yang menghisap, menindas, dan menjadikan rakyat sengsara, seperti ayat yang dikutip Misbach:

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, maupun anak-anak yang semuanya berdoa:”Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang dhalim Penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. (Terjemahan Qur’an Surat (4) An Nisa’ Ayat 75, Departemen Agama RI 1993;131).

Misbach sebenarnya ingin menyampaikan bahwa agama Islam tidak hanya sekedar tampil sebagai doktrin spritual tetapi juga punya gagasan pembebasan. Semua agama sama menurutnya, yang membedakannya hanyalah nama dalam setiap kepemimpinan dan masa setiap Rasul yang membawa ajaran Tuhan dimuka bumi. Sintesis yang ditemukan Misbach adalah bahwa Islam dan komunisme menekan pada ajaran untuk melenyapkan kapitalisme, sebagai sumber kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Hindia Belanda. Hal inilah yang menjadi dasar religiusitas yang dibangun dari akar sosial masyarakat pada waktu itu.

“Orang-orang yang mengaku dirinya Islam tapi menolak komunisme, saya berani katakan ia bukanlah Islam sejati”. Misbach.