Semua tulisan dari William Gunawan

Lahir di Makassar, pada 16 Februari 1991. Terlibat dalam Komunitas Literasi Makassar, ia mengaku banyak mendapatkan kejutan-kejutan dan manusia cerdas. Setelah selesai sekolah medis selama 7 tahun, sekarang sudah jadi dokter. Mondar-mandir di koridor rumah sakit kayak kain pel. Telah menulis buku berjudul: "Sekolah Medis dan Bikini Bottom" (2019). Dapat dihubungi melalui Email: wwdableyu@gmail.com.

Gerak Ruang Kosong Dunia Manji

Dalam beberapa pekan terakhir, saya menikmati bagaimana akun sosial media bernama Dunia Manji bergerak pada dua platform, yakni Twitter dan Youtube. Saya setidaknya mengikuti dua isu kesehatan, masker dan obat herbal.

Akun Dunia Manji bercerita mengenai masker. Penutup daerah sekitar hidung dan mulut. Sejak pandemik Covid-19, benda ini banyak menyita perhatian kita. Dia adalah barang yang dijumpai di ruang para orang yang berprofesi di medis. Tidak jarang pula masker dijumpa di dalam sebuah laboratorium.

Covid-19 menyebar di Indonesia. Dia menjelma menjadi teror dan ketakutan. Covid-19 berwujud aerosol ini beterbangan di udara. Menyebar dari satu manusia menginfeksi manusia yang lain. Solusi dari masalah penyebaran adalah memakai masker.

Bukan hal yang baru masker dipergunakan di masyarakat. Para pengguna sepeda motor sering menggunakan untuk menghindari debu di jalanan, deretan polutan polusi udara, dan mencegah agar tidak terkena alergi. Masker bukan sesuatu yang baru yang hadir di masyarakat. Dia bukan hanya digunakan untuk melindungi dari paparan aerosol Covid-19.

Celakanya, Dunia Manji melihat hal yang berbeda. Masker adalah sebuah ancaman. Ditengarai tertutupnya hidung dapat membuat kematian. Foto seorang pesepeda diunggah. Sebuah gugatan dan pertanyaan lahir dari akun Dunia Manji.

“Pro-kontra penyebab meninggalnya seorang yang sedang bersepeda. Karena masker atau jantung. Apapun penyebabnya, tetap JANGAN MENGGUNAKAN MASKER saat kamu olahraga. Cari artikel yang membahas bahaya memakain masker terlalu lama atau untuk olahraga.”

Belum selesai dengan masker, dunia manji menggeser kehebohan tentang obat herbal. Sebuah racikan tanam-tanaman yang berkhasiat mengobati Covid-19. Banyak orang mengeryitkan dahi. Pasalnya, klaim ini tidak didukung kuat oleh otoritas saintis medis. Belum lagi, muncul cuplikan wawancara Dunia Manji dan seorang narasumber pengklaim obat magis ini. Saya akan mengutip bagian paling menarik dari wawancara yang terjadi di Dunia Manji mulai pada menit 09:44.

“panas sinar matahari memang bisa membunuh virus secara keseluruhan tapi kan jarak antara bumi dengan matahari itu kan cukup jauh sekali dan tidak mungkin virus yang begitu kuat dosisnya bisa terbunuh dengan sirkulasi udara yang ada di Indonesia. Walaupun kita memang mengenal Indonesia dengan agraris, ada panas, ada hujan dan sebagainya. Tapi itu tidak bisa membunuh genetik dari Covid-19.”

Kelahirannya tidak diharapkan oleh sebagian orang. Banyak yang tidak menyadari, Dunia Manji adalah kita. Dia adalah keseluruhan kita, yang hari ini menggugat otoritas sains. Otoritas kekuasaan yang mencengkram manusia yang kini hidup melawan teror ketakutan makhluk mutan.

Kemegahan sains kini tunggang langgang di hadapan sebuah virus. Begitu banyak yang menanyakan kembali produk sains hari ini yang menunjang hidup manusia. Padahal, produk-produk itu sudah hidup berdampingan dengan aktivitas manusia sebelum virus Covid-19 hadir.

Masker, misalnya. Kita sering kali melihat sebagian orang menggunakannya. Di sebagian pabrik, masker untuk melindungi saluran nafas dari cemaran polutan pabrik. Di sebagian fasilitas kesehatan, masker adalah pelindung diri agar kuman penyakit tidak berpindah ke orang sehat. Di jalan raya, pesepeda motor menggunakan masker untuk melindungi dari paparan debu. Wujudnya mungkin bukan masker, tampak seringkali berupa selembar kain yang menutup daerah hidung.

Di tahun 2020, saat Covid-19 lahir, masker menjadi perangkat baru di tubuh manusia. Dia menjadi sejajar dengan pakaian. Atas otoritas kekuasaan sains, seluruh manusia diwajibkan menggunakan masker. Selain untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang menyebar dalam bentuk aerosol, tidak banyak informasi yang diberikan kehadapan publik. Toh kemudian lahir jawaban-jawaban untuk memperjelas tentang masker. Itupun setelah banyak gugatan yang menggugat.

Belum lagi, bagaimana tanaman herbal menghebohkan yang bisa mengobati Covid-19. Bukan memandang remeh khasiat racikan herbal. Melainkan di tengah ketidakpastian akan pandemik ini harus hadir sebuah label aman. Bukan tidak mungkin, tanaman herbal ini akan menjadi ancaman baru. Sebab, struktur dan fungsi manusia adalah sesuatu hal yang sangat rumit untuk dijabarkan dengan sederhana dan apalagi interaksi dengan tanaman herbal saat masuk ke tubuh manusia.

Bagi saya, Dunia Manji adalah pengisi ruang kosong yang hari ini tidak diisi dengan seksama oleh yang seharusnya mengisi ruang itu. Dunia jurnalis tidak memberikan informasi yang setidaknya menenangkan ketidakpastian akan pandemi. Kehadiran jurnalis memberikan rasa aman kepada kita semua untuk mencecap informasi yang sudah diverifikasi. Dunia sains yang harusnya saintis berperan untuk memproduksi narasi sains yang ringan dan bisa dicerna dengan bahasa yang sangat sederhana tanpa menyederhanakan permasalahan pandemi. Kita butuh sebuah kebenaran di antara tebaran kebenaran-kebenaran.

Narasi dari  Dunia Manji akan terus beresonansi dan bergaung. Bukan hanya Dunia Manji sanggup menarik para terpengaruh, tetapi juga Dunia Manji adalah cuplikan dari kita yang sedang mencari kepastian di tengah kegamangan. Manusia yang sedang menghadapi perubahan alam yang begitu mengguncang.

Iya, Dunia Manji adalah kita yang sedang mencari kepastian. Dia hadir dari kita yang sejujurnya ingin bertutur apa yang sedang kita hadapi. Bahkan kita ingin juga menggugat benarkah kondisi yang sedang kita sekarang. Dan mungkin ada rentetan gugatan di kepala kita. Sayangnya, kita tidak seberani Dunia Manji dalam menggugat. Juga kita tidak memiliki cukup modal, akses, untuk menjangkau instrumen untuk menghadirkan jawaban atas gugutan itu.

Saya pikir, Dunia Manji akan terus bergerak. Dia tidak akan dengan mudah dibungkam oleh pihak-pihak yang mengklaim diri memiliki otoritas. Orang-orang yang bergelut di pekerjaan sains medis.

Satu video mungkin berhasil disingkirkan, tetapi akan hadir gugatan-gugatan baru. Boleh saja, masker dan tanaman obat herbal ini telah berlalu dan masih menciptakan ketidakpastian, tetapi akan ada gugatan akan kesehatan kita. Misalnya, vaksin Covid-19 yang sedang dalam proses atau handsanitaizer.

Tindakan pembungkaman justru adalah tindakan pengecut dan frustasi. Publik kita sedang mencari keseimbangan. Dari rasa nyaman menuju ketidaknyamanan. Posisi orang yang seharusnya hadir di ruang kosong itu mengisi ruang publik. Dan tentu, perannya bukan sebagai penentu benar atau salah. Yang benar akan memenangkan yang lain.

Kita memerlukan peran Dunia Manji. Kemampuan terbesar dalam mempengaruhi, menyebarkan, hingga mampu menggerakkan publik sampai terang-terangan bergesekkan dengan otoritas kekuasaan sains dan juga para pekerja medis. Sekali lagi, kita membutuhkan dia, bukan karena Dunia Manji mampu menghadirkan kemenangan. Bukan karena dia jauh lebih baik dari yang dikalahkan. Dunia Manji bukan hanya kita hari ini yang tengah mencari kepastian. Dunia Manji adalah representasi dari ketidakbecusan rezim. Rezim berkuasa yang hadir untuk membahayakan publik. Rezim berkuasa yang hari ini gagap, gugup, dan gagal mengatur ulang kembali algoritma yang hancur berantakan. Selama Dunia Manji masih hadir di kita, selama itu pula rezim berkuasa mengkonfirmasi diri masih tidak becus dan akan selalu menghadirkan bahaya buat kita hari ini.

 


Sumber gambar: https://medan.tribunnews.com/

Larangan Ibu

Saya menulis lagi. Setelah lama tidak mengerjakan pekerjaan intelektual ini. Bukan saya dilarang ibu. Melainkan, saya berada di tengah pedalaman hutan Papua Barat, distrik Mumugu. Nanti lain waktu saya akan bercerita tentang tempat ini.

Simpan rasa penasaranmu.

Saya tiba-tiba tergerak melihat Makassar hari ini. Jauh di pedalaman ini, kita semua sama-sama menghadapi masalah. Pandemik virus covid-19.

Sungguh menyayat hati, melihat Makassar hari ini. Statusnya masuk ke zona merah. Daerah yang virus itu tumbuh subur.

Saya tiba-tiba membayangkan Makassar menjadi sebuah medium ternak virus. Di dalam sebuah laboratorium, virus itu bisa tumbuh subur sebab dibiarkan. Mungkin juga bukan dibiarkan, tetapi dikondisikan supaya bisa tumbuh kembang baik.

Semua hal dipertimbangkan di laboratorium itu. Mediumnya disesuaikan, termasuk nutrisinya. Mungkin pencahayaannya. Dan subjeknya, dalam hal ini peneliti, mengontrol dan membiarkan sampai virus itu tumbuh.

Tentu analogi ini keliru kalau disamakan dengan kondisi Makassar hari ini. Makassar sebuah kota yang mengalami goncangan. Isinya tentu bukan medium tumbuh kembang virus, melainkan manusia yang bisa berpikir. Tapi, boleh kita bertemu di titik yang sama kalau pembiaran itu berjalan.

Orang membiarkan dirinya keluar rumah.

Seolah di luar rumah tidak ada kejadian apa-apa.

Mutan virus ini anggap enteng saja. Iya, soalnya kan penyakitnya bisa sembuh sendiri. Asal kekebalan tubuh berjalan bagus. Niscaya mutan ini mampus.

Toh, mutan ini tidak kelihatan mata. Untuk apa ditakuti.

Dia tidak menyebabkan air laut naik. Tanah pun tidak bergoncang. Pohon juga tidak rubuh. Langit juga tidak runtuh seperti suara gemuruh badai. Apa yang kau takutkan?

Mutan ini hanya bikin batuk. Kerongkongan kering. Paling istirahat sedikit bisa membaik. Minum vitamin dan obat batuk, reda. Santailah!

Mungkin pikir banyak orang di Makassar sana.

Tidak perlu panik. Kami masih mau keluyuran. Jangan larang dan batasi. Kami mau nongkrong.

Saya dengan nada nyinyir membaca perilaku kepala batu mereka. Mungkin terlalu nyinyir. Sengaja. Sebab, merekalah yang membuat banyak tenaga medis terinfeksi. Banyak dokter dan paramedis kini menjadi inang virus. Tidak tahu nasib mereka bagaimana. Tinggal doa yang menyertai kesembuhan.

Melihat Makassar di tahun 2020, banyak sekali tumbuh manusia berkepala batu. Saat dilarang mereka masih membangkang. Sudah tahu ada mutan, mereka masih kekanak-kanakan. Menunjukkan keberanian, di saat sebenarnya timingnya tidak diperlukan.

Saya tiba-tiba teringat rumah. Iya, saat masih kecil. Ibu saya melarang dengan larangan. Saya patuh.

Saya ingat pernah melawan larangan ibu. Waktu itu kami baru pindah di rumah baru. Kawasannya masih dominan dengan tanah kosong. Otomatis karena adikku laki-laki, kami menggiring bola di tanah kosong.

Janganko main bola, nak. Belumpi ada pagar itu. Jatuh bolamu itu ke got.”

Kejadian.

Bola itu meluncur cepat. Got yang menganga itu beda ukurannya dengan got-got yang biasa ada di perumahan. Sial. Bola masuk got. Celakanya, kami berdua kehilangan bola dan tanda bekas selang menempel di betis kaki.

Larangan ibu mujarab. Itu ingatan kecil saja berhadapan dengan larangan ibu. Kalian pasti punya masing-masing. Setelah membaca ini, kalian ingat kembali. Saya sungguh belum selesai menulis.

Makassar di tahun 2020, sepertinya sosok ibu mulai keluar dari kehidupan. Larangan ibu seolah tidak hadir di kita. Tidak menjadi penjaga lagi saat kita sedang dirundung mara bahaya. Larangan ibu sesungguhnya pencegah bagi kita di Makassar 2020.

Sosok ibu sudah malas. Kita terlalu bebal.

Atau jangan-jangan ibu sudah lelah melarang dan melontarkan larangan. Dia mungkin sengaja. Pada mereka yang hari ini abai. Melakukan pembiaran.

Tidak pernah mendengar dan malas tahu. Kalau dapur ibu, di zaman pandemik ini, asap yang mengepul sudah mulai menipis. Kita mengurung rumah, tetapi api dapur hanya membakar angin saja.

Banyak yang sudah kehilangan pekerjaan. Balik ke rumah tanpa punya kehidupan lain. Di sekeliling mereka, secara tidak sadar, telah berganti menjadi beton. Halaman rumah seperti tidak bisa ditanami.

Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman.

Di tahun 2020, itu jadi omong kosong.

Kita masing-masing kebingungan. Mau makan apa kita?

Nutrisi yang harusnya dicecap oleh masing-masing lidah. Yang harusnya dipergunakan tubuh menguatkan sistem kekebalan. Kini berubah menjadi beton. Bahkan, nutrisi itu kini diperebutkan oleh orang yang kedekatan akses.

Larangan ibu dan pembiaran membuat tubuh kita menjadi nutrisi. Inang yang bagus bagi virus. Dan perlahan-lahan kita menjadi makhluk di bumi yang tidak saling mengenal lagi. Dan Makassar di tahun 2020, terancam menuju ke sana.

 

Sumber gambar: Tribun Timur. Tribunnews.com

 

 

Buku Kuning Mi Instan

Saya diajak berkeliling oleh penulis Raymond Carver Terkubur Mi Instan di Iowa untuk memahami bagaimana menulis sebuah karya sastra dengan cara yang paling amatir. Bukan saya yang mengatakan itu, tetapi hal itu terus berulang di beberapa halaman buku bersampul kuning dengan keriting mie instan. Pelan-pelan, kita akan memahami bahwa menulis secara amatiran bukan perkara enteng.

Di halaman 45, sebuah pesan kepada pembaca bahwa sang penulis novel berusaha menghindari cerita yang mudah ditebak. Dan karena itu kamu berhenti menulis novel itu sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak mudah ditebak pembaca namun tetap masuk akal.

Di halaman 59, percakapan antara tokoh kamu dan Raymond Caver menegaskan kembali persoalan amatir tersebut.

“Dia kubuat meninggal, dibunuh, tepatnya.”

“Masalah penulis amatir.”

“Maksud Anda?”

“Seakan-akan membunuh karakter akan memudahkan cerita.”

Kalian sudah membaca buku  Raymond Carver Terkubur Mi Instan di Iowa, bukan?

Baiklah, buku ini lahir dari proses kegiatan residensi International Writing Program 2018 di Iowa. Tidak heran banyak selipan bagaimana menulis yang bisa diikuti oleh pembaca kalau ingin belajar menulis.

Seperti diceritakan melalui percakapan Clevie dan Lynn di halaman 27 bahwa cara menyelesaikan tulisan adalah menulis. Bukan mengeluh.

Untuk itu, kalian juga harus baik-baik memperhatikan halaman 61, halaman 70, dan masih banyak lagi di setiap halaman agar bisa mencapai derajat yang setara dengan penulis buku berhalaman 116 lembar.

Di samping itu juga, perjumpaan antara tokoh kamu  dan Raymond Caver berada pada kurun waktu masa lalu dan masa sekarang. Masa sekarang dimaksud adalah masa saat sang penulis benar-benar berjumpa dengan Raymond Caver. Benar-benar bersama-sama menikmati mi instan dan tidak benar-benar dibunuh, bersimbah darah dalam timbunan mi instan, dalam kenyataan. Dan masa lalu adalah hal-hal yang tidak pernah berubah dari dunia memperlakukan sastrawan.

Raymond Caver berkulit putih. Memiliki gigi depan yang rompal. Bersuara agak cempreng. Penikmat vodka. Penggambaran fisik ini adalah benar-benar manusia yang berasal dari Dunia Barat. Dipertegas di halaman 6, dengan tokoh Raymond Caver bersama dengan Maryann berangkat dengan mobil 53 Chevy yang mereka namai Old Faithful.

Sementara tokoh kamu, adalah peserta residensi. Seorang pengarang yang berasal dari Indonesia. Kata Indonesia ini muncul ketika tokoh kamu mengenalkan mi instan kepada Raymond Caver. Tokoh kamu, bagian dari Dunia Timur.

Keinginan Raymond Caver untuk minta dibunuh oleh kamu. Kamu dan Raymond Caver bertemu pada satu titik transaksional. Kamu diberi imbalan kekayaan oleh Raymond Caver untuk membunuhnya. Halaman 6 pada buku Raymond Caver Terkubur Mi Instan di Iowa.

“Kutahu hanya mayat yang tidak butuh uang, jadi sesaat setelah kamu menghabisiku, kamu bisa memiliki semua harta yang kumiliki. Aku tidak membutuhkannya lagi, tetapi kutahu kamu butuh.”

Sang penulis meletakdudukkan tokoh kamu sebagai benar-benar karakter yang tidak memiliki tempat bermukim (tanah) untuk menanam dan menikmati bahan makanan di Iowa. Dia orang Indonesia yang memilih membawa mi instan untuk mengikuti pelatihan. Meninggalkan tanah yang tempatnya lahir. Tanah yang memberikan segala untuk menunjang hidup di Indonesia.

Mi instan menjadi benar-benar sumber makanan yang sebenarnya tidak lahir dari tanah. Dia menjadi bahan bertahan hidup tokoh kamu. Mi instan seolah-olah dibanggakan keberadaannya sebagai sumber pangan.

Halaman 43, Ray mengingatkanmu bahwa kalian memang tak menyentuh makan malam yang kalian pesan di The Mill. Kamu membuka kulkas dan hanya ada satu bungkus mi instan di sana. Kamu membawanya dari Indonesia dan itu bawaan wajibmu setiap ke mana-mana.

Tokoh kamu taruhlah berasal dari Indonesia. Dan ketergantungan akan mi instan tidak terpungkiri. Sebab di halaman 43, halaman 53, dan halaman 58, serta halaman 60 menarasikan bagaimana praktisnya menikmati sebungkus mi instan. Sebab ini yang membuat mie instan menjadi pilihan untuk orang Indonesia yang punya mobilitas tinggi khususnya di tempat-tempat yang sudah mengalami lahan untuk menanam dan memanen hasil pertanian, dalam hal ini perkotaan.

Mi instan pelan-pelan menjadi bibit. Ditumbuhsebarkan dengan kelezatan bumbu dan rasa. Dan menjadi solusi cepat dan tepat untuk orang-orang yang berpenghasilan minim dan juga kelebihan jumlah penduduk di muka bumi.

Selain bertutur tentang mi instan, Raymond Carver Terkubur Mi Instan di Iowa juga bertutur tentang bagaimana gambaran secara keseluruhan menghabiskan hidup sebagai sastrawan. Silahkan membaca buku bersampul kuning bergambar mi instan ini. Dan dengar-dengar kabar, sang penulis buku ini terpilih untuk kedua kali menjadi carpenis terbaik harian kompas. Selamat, you are the maestro.

 

Judul Buku:         Raymon Carver Terkubur Mi Instan di Iowa

Penulis                : Faisal Oddang

Penyunting          : Christina M. Udiani

Penerbiy              : KPG, Cetakan Pertama, Maret 2019

 

Asmat, Distrik Agats, Selasa 6 Agustus 2019

Minum Air Minum Air Minum

Pertama, kau bisa bertengkar di mana saja. Kedua, kau bisa melihat apa pun. Bukan hanya di dunia non-virtual, tetapi juga di dunia virtual. Ragam dampak dari pertengkaran bisa menghasilkan berita kriminal di media massa. Tetapi, bukan itu yang dimaksudkan. Pertengkaran yang lebih bisa menghasilkan sintesa-sintesa baru di ruang publik.

Di akun sosial media milik saya, twitter tepatnya. Sebuah twitt saya ditanggapi oleh seorang kawan. Saya masih ingat twitt itu berbunyi seperti ini. Twitt ini bermula saat seorang kawan memposting di instagram sebuah buku yang mempermasalahkan cara minum yang terbaik adalah minum air sambil duduk.

Janggal sekali ada anak kedokteran yang membaca tentang minum air sambil berdiri. Ditulis airnya bisa langsung jatuh ke lambung secara tiba-tiba. Gimana yah. Mau rasa ketawa. Kasihan saja sama Lauralee Sherwood sama Guyton. Rasa sia-sia meneliti fisiologi manusia.

Lauralee Sherwood dan Guyton adalah dua orang yang mempelajari tubuh manusia dari segi ilmu fisiologi. Keduanya berasal dari USA. Keduanya melihat keberfungsian tubuh manusia bekerja seperti mesin.

Makan dan minum adalah kegiatan kita untuk memperoleh tenaga. Kebanyakan dari kita berpikir menelan adalah proses memasukkan makanan dari kerongkongan ke perut. Berpikir sederhana seringkali terjadi pada kita, pemilik tubuh. Lauralee Sherwood memberikan gambaran bagaimana proses menelan itu terjadi.

Sebuah saklar di bagian batang otak kita terletak di medulla. Dia akan bekerja pada saat terjadi pemicu. Disebutkan pemicu itu akan berespon saat larutan dan bolus, makanan yang sudah dikunyah, berada di belakang mulut dan menuju ke faring. Tekanan bolus ini merangsang reseptor untuk mengirimkan signal ke saklar untuk melakukan proses menelan. Di dalam ilmu fisiologi, dibilangkan menelan adalah refleks paling kompleks di dalam tubuh.

Sebab dia proses kompleks, tidak segaris lurus sebab akibatnya. Dia berupa jaring-jaring yang saling mempengaruhi. Satu sebab bisa buat beberapa akibat. Yang didirikan oleh para ahli fisiologi tentang bagaimana proses menelan adalah belum final, mungkin ada kemungkinan lain. Dibutuhkan giat yang lebih untuk melihat yang belum.

Untuk bisa ke sana, dibutuhkan subsidi pikiran dari berbagai pihak. Yang bergiat mencari tahu bagaimana tubuh ini bekerja. Subsidi dasarnya sudah jelas bahwa kunci memahami bagaimana tubuh bekerja dengan normal. Ilmu fisiologi sudah mengantar ke dasar itu. Tetapi mencari tahu dan menggeledah yang belum itu perkara lain.

Usaha-usahanya dibimbing oleh metode-metode yang sistematis. Penyelidikan intelektual ini menghasilkan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai suatu peristiwa. Kedalaman ini yang kemudian mempengaruhi transformasi berpikir di ruang publik.

Tidak mungkin ini dicapai dengan cara-cara sederhana. Hari-hari ini cara-cara sederhana menjadi jalan pintas mencari solusi atas kegamangan. Kita mencari semua jawaban dengan modal googling. Padahal itu tidak mengubah perilaku-perilaku jahat kita dalam mengkhianati kejujuran bahwa googling hanya menghadirkan daftar-daftar hasil pencarian dan kita akan berjodoh dengan itu jika sesuai dengan saat hasrat sudah terpenuhi. Kita mengkhianati akal sehat rasa ingin tahu.

Harusnya googling tetap tidak mengubah apa pun. Dia hanya hadir sebagai pemudah kita untuk tetap menjadi seorang yang tetap menjalankan konsumsi pengetahuan. Yang kita impikan bagaimana meretas jalan menjadi produsen pengetahuan. Ruang publik kita tidak akan hadir dengan modal bacaan googling kalau tugas mengonsumsi pengetahuan tidak mengalami transformasi.

Rasa ingin tahu tidak akan pernah terselesaikan dengan satu jawaban. Bahkan dengan menempuh metode-metode yang sistematis. Rasa ingin tahu berwujud keliaran akal dalam memerangkap kepastian.

Jika kita hari ini bertengkar meributkan apakah kegiatan minum air harus bagaimana dan dilakukan dengan cara apa, apakah kita adalah manusia yang bergerak dengan cara-cara otomatis. Dan apa iya, seringkali kita melihat orang buru-buru, berdiri minum dengan tergesa-gesa, tersedak, membuat kita mendirikan kepastian bahwa minum air berdiri tidak menghadirkan kesehatan buat kita. Atau mungkin kita jarang melihat orang yang minum duduk dengan santai berbincang, tidak mengalami tersedak, lantas kita menghadirkan bahwa minum duduk itu sehat buat kita.

Atau pertengkaran ini mendatangkan maksud lain. Menggugat manusia lewat kegiatan sehari-hari yang sering dilakukan, tetapi tidak sadar akan itu. Menghasilkan pertengkaran dan melahirkan dua polarisasi kelompok.

Dari segi ini, kita lebih harus memahami kompleksitas daripada menyerahkan diri kepada berkesimpulan sederhana.

 

Sumber gambar: http://kaltim.tribunnews.com/2017/11/16/

Melihat Orang Gila dari Dekat

Erich Fromm, dalam hidupnya, pernah menyimpan sebuah pertanyaan besar. Pertanyaan itu kira-kira berbunyi, bagaimana mungkin? Perjumpaan dia dengan pertanyaan itu berasal dari sebuah peristiwa yang pertama kali mengguncang rasa kemanusiaan Fromm sendiri. Erich Fromm saat itu berusia dua belas tahun. Di usia seperti itu, dia mengenal seorang perempuan muda, teman keluarganya.

Si perempuan itu cantik, menarik, dan terlebih lagi, ia juga seorang pelukis. Sayangnya, perempuan muda itu sudah bertunangan. Dalam ingatan Fromm, perempuan itu hampir selalu menemani ayahnya yang telah menduda. Seorang laki-laki tua yang tidak menarik, yang juga tidak berpenampilan menarik. Fromm mengakui penilaian ini dilandasi dengan rasa cemburu.

Kemudian pada suatu hari, Fromm mendengar kabar yang mengejutkan, ayah perempuan itu meninggal dunia, dan beberapa saat kemudian perempuan itu bunuh diri dengan meninggalkan surat wasiat yang mengatakan bahwa ia ingin dikubur bersama ayahnya. Kabar itu adalah kabar kematian, orang yang bunuh diri pertama yang didengar oleh Erich Fromm. Pertanyaan besar itu lahir dari peristiwa itu. Fromm diliputi pikiran, “Bagaimana mungkin?”

Bagaimana mungkin seorang perempuan muda yang cantik sangat mencintai ayahnya, memutuskan untuk melakukan perkawinan sedarah, sehingga ia lebih memilih dikubur bersamanya dibanding menikmati kebahagiaan? Membaca sepenggal cerita Erich Fromm melalui buku Beyond the Chains of Illusions akan mengajak kita meminjam pertanyaan beliau. Pertanyaan “Bagaimana mungkin” ini sejatinya kita ucap saat bertemu dengan berbagai peristiwa irrasional yang bisa terjadi, tidak sengaja kita temui melalui orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Gangguan kejiwaan hari ini disikapi dengan berbagai reaksi. Kadang ada yang mengamuk. Katanya mendengar suara yang cuman didengar oleh dirinya sendiri, menyuruh untuk mengamuk. Suatu waktu ada yang tertawa-tawa sambil meludahi, katanya disuruh oleh roh wujud malaikat. Satu lagi, ada yang datang diikat layaknya hewan kurban. Dia diantarkan ke rumah sakit jiwa sebab amukkan mengganggu kenormalan manusia-manusia di sekelilingnya.

Cerita lain juga datang saat berada di luar rumah sakit jiwa. Saya bertemu dengan seorang perempuan yang tampil dengan air muka tegar, tidak ada masalah, dan normal baik-baik saja. Itu semua runtuh saat dia mengeluarkan sebungkus kantong plastik bening dari dalam tas. Isinya adalah semua obat untuk meredakan sakit lambung.

Dia menuturkan sudah berkunjung ke semua dokter spesialis untuk mengobati, tetapi sampai sekarang belum juga hilang deritannya. Lain cerita dengan seorang ibu dalam kurun empat bulan menghirup bau busuk. Awalnya, dia mendapati sendiri seorang teman baik tewas gantung di dalam kamar. Mereka berdua sering bersama-sama pergi ke gereja. Walaupun sudah menyeprot parum di semua ruangan rumah, tetapi tetap saja bau busuk itu tidak pernah pergi meninggalkannya.

Ke semua kisah ini berujung pada sebuah cerita manusia yang ditinggalkan. Orang-orang yang kehilangan. Orang-orang, kata Hamdan Esa dalam Kuntum Sepatu Dea, yang tidak sadar memutuskan untuk merasa tidak sakit dan beranjak menuju ke ruang jiwa yang berbeda, yang tidak biasa, yang mungkin pelik dan jauh. Justru dari ruang sejauh itu dia dapat menjangkau rindu dan sayang seseorang lebih dari apa yang ia rasakan.

Sejatinya, manusia memerlukan keterhubungan dengan manusia lain untuk melakukan interaksi emosional. Interaksi emosional ini merupakan penyaluran kebutuhan emosional ini untuk menyalurkan daya tahan manusia menghadapi perubahan-perubahan realitas. Sayangnya, manusia hari ini tidak berada pada peran ini. Hari ini manusia satu satu per satu saling meninggalkan. Tidak ada lagi penyaluran emosional antar manusia.

Ruang-ruang bersama mengekspresikan emosional diganti menjadi ruang individu mengekspresikan emosionalnya. Tidak jarang, bullying terjadi, orang-orang teralienasi lahir, dan tidak jarang orang yang merasa normal menjustifikasi dengan berlebihan ekspresi emosional individu.

Jika dicermati secara sadar, ruang-ruang ekspresi itu akan melahirkan jutaan dengan gangguan kejiwaan. Nampaknya, ruang ekspresi itu melarang manusia untuk sedih ataupun gembira. Kita diliputi dengan berbagai macam komentar. Kadang benar juga, telinga kita hari ini seperti tersumbat. Lebih peka mendengar dentuman keras dibanding mendengar bisik-bisik kecil dari dalam nurani orang lain.

Kita pada akhirnya akan memilih pilihan-pilihan memperlakukan manusia lain. Menjadi pendengar atau malah menjadi pengeras suara. Memandang manusia lain sebagai human robotic. Atau memilih menjadi seorang pendengar agar manusia tetap menjadi manusia, bukan human robotic. Agar dia tetap berada di sini, bukan memutuskan beranjak ke ruang jiwa yang jauh dan berbeda untuk menjangkau rasa sayang lebih dari apa yang ia rasakan.

Ilustrasi: https://gobekasi.pojoksatu.id/2016/11/30/tampung-ratusan-pasien-gangguan-jiwa-dinsos-kota-bekasi-stres-akibat-tekanan-hidup/