Arsip Kategori: Catatan KLPI

KLPI dan Empat Bulan Berpraktik

Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa KLPI di tahun 2017 mengalami perubahan format kelas. Pertama, jika mengembalikan kepada sistem keterlibatan anggota KLPI selama ini, tidak ada aturan mengikat sama sekali yang membuat kawan-kawan harus wajib mengikuti KLPI. Kebebasan ini awalnya memang menjadi kebiasaan yang sedari awal diberlakukan dalam kelas. Semenjak KLPI dimulai dari Agustus 2015 lalu, hingga KLPI jilid dua yang mulai bergerak awal Januari 2016, tidak ada aturan-aturan wajib yang berhak mengikat siapa pun agar dapat ikut di dalam kelas menulis ini. Jadi bisa dibilang KLPI hanya digerakkan atas kebebasan mandiri. Itu artinya, kesadaran kawan-kawan sendirilah yang mendorong kawan-kawan terlibat selama ini di KLPI.

Tapi, jika ada yang disebut aturan, maka hanya ada satu aturan wajib yang harus ditaati di KLPI, dan ini abadi. Yakni setiap kawan-kawan yang ingin terlibat di KLPI, wajib membawa satu karya tulis pribadi agar dapat ikut serta di setiap pertemuan yang diadakan di setiap hari Minggu. Kadang banyak kawan-kawan yang baru pertama kali ingin bergabung menanyakan jenis tulisan seperti apa yang diterima sebagai syarat utamanya. Untuk soal yang kerap ditujukan kepada “pengurus” KLPI ini, maka jawabannya tidak ada batasan genre tulisan apa yang harus dibawa ke dalam kelas. Selama itu merupakan karya tulis, yang genrenya terbentang dari fiksi ataupun nonfiksi, maka itu sah-sah saja bagi kawan-kawan.

Imbas tidak ada aturan wajib yang mengikat keterlibatan kawan-kawan bergabung selama KLPI berlangsung, maka menjelang akhir tahun 2016 intensitas kawan-kawan mulai melempem. Salah satu indikator dari problem ini adalah beberawa kawan-kawan yang datang di kelas dengan tangan kosong. Tanpa membawa tulisan. Kedua, banyak di antara kawan-kawan yang mulai jarang mengikuti kegiatan kelas akibat memiliki kesibukkan di tempat yang lain.

Dua problem ini sebenarnya merupakan cermin memudarnya penghayatan dan totalitas keterlibatan kawan-kawan terhadap “aturan main” dan keberlangsungan kelas selama ini. Kehadiran dengan tidak membawa tulisan berarti dengan sendirinya telah mengabaikan syarat wajib yang selama ini diterapkan. Berkurangnya totalitas berarti juga berkurangnya keterarahan visi kawan-kawan terhadap kelas yang selama ini dirintis bersama-sama.

Tidak perlu diperpanjang apa sisi negatif dan dampak lanjutan bagi KLPI dari dua problem di atas. Sudah banyak catatan kelas sebelumnya yang mengulas hal itu.

Kedua, format baru bagi KLPI di tahun 2017 didorong akibat perlunya generasi lanjutan demi memperbaharui suasana dan keberlangsunga KLPI ke depannya. Alasan di balik ini tidak jauh berbeda dari beragam organisasi-organisasi yang sering kali melakukan perkaderan. Selain menambah kuantitas kawan-kawan yang akan meminati literasi sebagai kebutuhannya, juga menambah kualitas pengetahuan seiring semakin berkembangnya wacana literasi di permukaan.

Hubungan dengan alasan yang ke dua, maka alasan yang ketiga mengapa perlu ada format baru bagi KLPI, yakni jika ibarat literasi adalah agama, maka siapa pun yang meyakininya perlu mendakwahkannya. Itu sebabnya perlu ada keterlibatan sebanyak-banyaknya terhadap “agama literasi” ini. Sebagaimana dorongan ideologis mana pun, literasi harus menjadi “hantu” yang menggentayangi kesadaran siapa pun.

Itulah tiga alasan yang harus dikemukakan mengapa perlu ada perubahan format dan penyelenggaraan KLPI di tahun 2017 ini. Atas dasar ini, setelah menjalani beberapa perbincangan dan pendiskusian di hari Minggu kemarin, akhirnya diputuskan beberapa butir pokok yang harus dikerjakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Pertama, berbeda dari format sebelumnya, pertemuan KLPI jilid 3 kelak hanya akan dilaksanakan selama dua pekan sekali. Pertimbanganya, di minggu pertama, bagi kawan-kawan yang hendak menuliskan karya tulisnya dapat memanfaatkan waktu yang tersedia untuk menyiapkan seluruh persiapan menulisnya mulai dari ide, sudut pandang, referensi, pendiskusian gagasan, dlsb agar dapat di tuliskan di minggu kedua.

Perubahan jadwal pertemuan ini sekaligus meredam intensitas pertemuan yang selama ini dirasa mendesak. Pertemuan sekali seminggu sudah tidak adaptabel dengan rotasi waktu yang dialami kawan-kawan akibat bertambahnya agenda lain kawan-kawan di luar KLPI.

Kedua, tempat kegiatan akan dilangsungkan di pelbagai tempat di Makassar yang dirasa sesuai dengan kesepakatan kawan-kawan. Artinya, jika selama ini pertemuan KLPI hanya dilakukan di sekretariat KLPI di Pabbentengan, maka ke depannya akan ada perubahan suasana akibat tempat pelaksanaannya yang akan berganti seiring waktu pelaksanaannya.

Ketiga, di KLPI jilid 3 hanya akan diselenggarakan selama 6 bulan belaka. Perubahan targetan ini imbas persedian “oksigen” kawan-kawan yang terbatas selama pertemuan satu tahun seperti yang telah direncakan sebelumnya. Sisi positif perubahan durasi ini akan memudahkan kawan-kawan mengevaluasi baik kemajuan maupun mundurnya targetan-targetan KLPI selama satu semester kelak.

Keempat, pokok yang paling mencolok dari format baru ini yaitu dirumuskannya delapan jalan bagi kawan-kawan untuk menempuh hidup literasi dengan “keringat dan air mata” selama di KLPI ke depannya. Delapan jalan ini kemudian diturunkan menjadi delapan materi yang akan diturunkan selama empat bulan berturut-turut dari enam bulan yang ditargetkan.

Delapan jalan yang dimaksud itu adalah: Pertama, kuliah umum Apa, Mengapa dan Apa Pentingnya Literasi bagi Kehidupan Saat Ini? Kedua, 10 Dosa Penulis Pemula. Ketiga, Klasifikasi dan Genre Tulisan. Keempat, Cara dan Pengorganisasian Ide ke Dalam Tulisan. Kelima, Teknik Kepenulisan Esai. Keenam, Teknik Kepenulisan Opini. Ketujuh, Teknik Kepenulisan Cerpen. Kedelapan, Teknik Kepenulisan Puisi.

Di samping delapan jalan wajib penempuh suluk literasi di KLPI selama enam bulan, akan ada jalan tarikat yang menjadi materi-materi khusus agar dapat menggenapi capaian makam kepenulisan siapa pun yang menempuhnya. Sebagaimana jalan tarikat di manapun, ini hanya dapat ditempuh bagi siapa pun yang serius dan ikhlas menjalani suluk literasi selama ber-KLPI.

Terakhir, delapan jalan suluk literasi akan diprogramkan selama empat bulan pertama dengan mengundang guru-guru yang telah melanglang bumi persada literasi berdasarkan spesialisasi dan tema yang sudah ditentukan. Dua bulan terakhir akan diisi dengan praktik menulis itu sendiri dengan tetap melibatkan kawan-kawan yang telah dahulu ikut di KLPI selama ini.

Hatta, mari bersyukur KLPI sudah sampai di sini. Sehormat-hormatnya bagi siapa pun yang sudah menyediakan nafasnya bagi keberlangsungan KLPI selama ini.

***

Minggu 9 April kemarin merupakan kelas terakhir yang ditujukan untuk memberikan modal teoritis kepada kawan-kawan berkenaan dengan dunia tulis menulis. Kemarin adalah pekan delapan yang sesuai target, ditutup dengan materi “Puisi dan Teknik Kepenulisannya”. Orang terakhir yang mengisinya adalah Muhary Wahyu Nurba.

Minggu depan, kelas akan dilanjutkan dengan nuansa yang berbeda. Kali ini kelas akan berkonsentrasi pada dimensi praktik kepenulisan. Itu artinya tidak ada lagi momen-momen wacana-teoritik, melainkan peralihan menjadi diskursus-praktik. Di pertemuan-pertemuan ke depannya, kawan-kawan sudah harus membawa tulisan tiap pekannya.

Jika sesuai rencana, selama 4 bulan ke depan, pertemuan di KLPI akan kembali ke format kelas sebelumnya. Yang berbeda ini hanya dilakukan selama 16 kali pertemuan. Format kelas yang dipakai selama ini menjalankan mekanismenya dengan dua model. Pertama, adalah model reading text; sesi ini adalah waktu yang diberikan kepada kawan-kawan untuk membacakan karya tulisnya. Kebiasaan selama ini, model reading text dilakukan secara bergilir sesuai kebutuhan waktu dan peserta.

Kedua, adalah menggeledah teks. Sering kali ini juga disebut moment mengintrogasi. Model ini dijalankan berdasarkan prinsip tiada penulis yang bersih dari dosa. Dengan cara menggeledah karya tulis, model ini juga akan dipakai sebagai medium kritik dan masukan bagi tulisan yang dikurasi. Di waktu ini, sebagaimana kebiasaan selama ini, juga kerap mengundang “perdebatan” alot tentang suatu soal. Kadang bagi teman-teman yang ingin “mencuri-curi” ilmu, maka di sinilah waktunya.

Syahdan, KLPI Angkatan ke-3 sudah melewati tahap pertama dari rencana program yang dilakukan selama 6 bulan lamanya. Sekarang saatnyalah kawan-kawan, terutama peserta baru, menajamkan penanya, mengencangkan otot-otot kepenulisan yang selama ini akan dibentuk melalui praktik. Baiklah, selamat menulis. Adios.

Catatan KLPI Pekan 41

Saya harus jujur, catatan ini dibuat dalam keadaan tergesa-gesa. Itupun tidak seperti biasanya. Catatan ini dibuat ketika KLPI Pekan 42 akan digelar. Tepatnya sehari sebelumnya.

Pekan 41 barangkali cermin KLPI di waktu belakangan. Di catatan sebelumnya sudah ada pembacaan tentang situasi belakangan. Catatan itu sedikitnya berusaha menggambarkan situasi kekinian KLPI.

Catatan kali ini hanya mau sedikit menyoal problem yang digelontorkan Akmal. Sebelumnya Akmal membawa tulisan berupa resensi buku Calabai. Tulisan ini sudah terbit di Kalaliterasi.com beberapa tempo lalu.

Sembari forum yang hanya diisi tiga orang membahas karya tulis yang dibawa Akmal, juga sedikit mengulas pertanyaan yang dikemukakannya.  Bagaimana memulai menulis cerpen? Bagaimana cara membuka paragraf tanpa kehilangan daya pikat bagi pembaca? Bagaimana cerpen yang baik itu? Kira-kira begitu pertanyaan Akmal.

Pertanyaan Akmal ini sebenarnya harus dijawab kawan-kawan yang sering membuat cerpen. Tepatnya seorang pengarang. Bukan kawan-kawan yang sering kali menulis esai dibanding sastra.

Tapi apa boleh dibilang, pertanyaan itu kadung dilempar Akmal. Harus ada yang menjawabnya. Setidaknya forum mempunyai sesuatu yang akan dibahas.

Ketika itu, jawaban yang diberikan kepada Akmal hanya seadanya. Barangkali tidak bernilai penting, tapi ini diambil dari pengalaman ketika seseorang menulis cerpen.

Maka jawabannya kurang lebih begini (setelah ditambah-tambahkan di waktu tulisan ini dibuat): Mengarang cerpen berarti menghidupkan peristiwa. Peristiwa itu tidak mesti merupakan peristiwa epik. Keadaan sehari-hari terdiri dari beragam peristiwa; kita bisa melihat seorang penjual sayur yang bermain judi setelah dagangannya laku di sebuah emperan, Anak muda yang berhasrat ke Jakarta untuk mendapatkan tanda tangan artis idolanya, Seorang ayah yang menjual ginjalnya untuk membelikan gadget terbaru buat anaknya, atau diproduksinya mobil canggih yang bisa menyelam di bawah air, dsb. Macam-macam. Banyak hal yang bisa menginspirasi seseorang menulis cerpennya.

Konon membuka paragraf awal cerpen harus berdasarkan common sense. Sulit rasanya membuat kalimat pembuka jika itu tidak didasarkan berdasarkan fakta nyata. Orang akan merasa itu dilebih-lebihkan. Makanya, hampir semua cerpenis mengawali cerpennya dengan kalimat-kalimat yang mudah dimengerti. Kalimat yang dekat dengan kehidupan nyata orang banyak.

Tapi, prinsip di atas hanyalah satu prinsip. Masih banyak prinsip lain ketika kita ingin membuka cerpen dengan kalimat yang menarik minat pembaca. Misalnya, dengan menggunakan kalimat-kalimat  metafora, atau sarkas.

Peristiwa dalam cerpen sebisa mungkin peristiwa tunggal. Kita tidak ingin membuat novel yang memiliki banyak plot. Cerpen lebih sederhana  dari novel. Tapi, banyak yang bilang menulis cerpen jauh lebih sulit akibat batasannya yang minim dibanding novel.

Itulah sebabnya, tidak banyak cerpen memuat beragam peristiwa.

Satu hal yang penting, karena cerpen memuat peristiwa, bukan berarti hukum sebab akibat terlepas dari sana. Kita tidak ingin menulis suatu cerita yang tidak memiliki asal usul. Setiap tokoh setidaknya memiliki asal usul. Apalagi jika diceritakan tokoh utamanya seorang pembunuh, sebisa mungkin sebab kenapa sang tokoh utama menjadi pembunuh mesti dijelaskan.

Prinsip sebab akibat ini begitu penting karena dia mengikat dimensi waktu dalam keseluruhan cerpen. Sebab akibat menjadi semakin penting jika cerita disusun menjadi alur maju mundur, atau sebaliknya. Kita tidak ingin pembaca dibuat bingung kan, ketika berusaha memainkan laur cerita?

Cerpen disebut dinamis jika memuat konflik. Umumnya cerpen dibangun di atas konflik. Tanpa konflik cerpen menjadi hambar. Imbasnya, setiap konflik bukan kejadian tanpa sebab. Itulah mengapa konflik harus terang, apa sebabnya dan bagaimana penyelesaiannya.

Di bagian akhir cerpen, konflik biasanya diselesaikan. Entah dengan cara apa, itu tergantung penulisnya.

Terlepas dari semua itu, menulis cerpen penting memiliki imajinasi yang kuat. Cerpenis harus memiliki “otot kepengarangan.” Tanpa itu sulit menghasilkan cerita yang dahsyat.  Lantas apa itu “otot Kepengarangan?”

Otot kepengarangan hanya bisa dimiliki jika seseorang rajin berlatih. Seorang jika mau menjadi cerpenis harus banyak berlatih menulis cerpen. Kalau perlu sehari minimal memiliki satu cerpen. Seperti otot tubuh, otot kepengarangan bisa berkembang baik apabila terus dilatih.

Tapi, otot kepengarangan hanya bisa sehat jika ditunjang dengan bacaan yang kaya. Selain berlatih menulis, imajinasi harus dikembangkan dengan bacaan yang melimpah. Tulisan yang baik karena dipengaruhi bacaannya. Apabila banyak bacaan bermutu, menulislah, pasti kemungkinan besarnya tulisan Anda bermutu pula.

Terakhir bagaimana cerpen yang baik itu? Nah yang terakhir ini bisa menjadi bahan obrolan di kelas besok, pekan 42.

Sampai jumpa di pekan 42.

Catatan KLPI Pekan 40

Ini catatan KLPI ke-40. Bila mengikuti kalender kelas, Catatan KLPI sudah lebih dari 40 catatan. Tapi, kawan-kawan yang terlibat dari awal pasti tahu, Catatan KLPI baru dimulai ketika kelas sesi dua dibuka.

Ketika itu ada kebutuhan merekam perkembangan dinamika kelas dari tiap minggu. Selain mengambil catatan visual berupa foto-foto, segala hal penting yang terjadi dalam kelas mesti juga dibuatkan catatan reportasenya. Ke depan, yakin dan percaya, catatan semacam ini akan sangat berguna. Tentu sebagai alat ukur dan evaluasi.

Pekan 39 dimulai pukul tiga sore. Tidak seperti pertemuan sebelumnya yang membuka kelas lebih awal. Mengingat perkembangan kelas hanya dihadiri tidak lebih dari lima orang, akhirnya waktu yang digunakan tidak lebih banyak dari pertemuan biasanya.

Bahan kritik di titik ini, semakin sedikit waktu dibutuhkan ketika menjalankan kelas, itu berarti kualitas belajar juga semakin minim. Selain kuantitas, tidak tersedianya waktu berdampak terhadap tidak maksimalnya mekanisme kelas yang selama ini dilakukan.

Akhirnya, di pekan 40, kelas tidak menjalankan mekanisme belajar sebagaimana mestinya.

Akibat kawan-kawan tidak membawa karya tulis, pekan 39 hanya diisi beberapa pokok diskusi. Dengan diselingi obrolan ringan beragam topik mengemuka. Mulai dari kasus Ahok hingga perkembangan wacana dalam dunia maya.

Situasi di atas hakikatnya akibat berkurangnya kuantitas kawan-kawan yang selama ini ikut terlibat KLPI. Tidak dimungkiri, berkurangnya kuantitas mempengaruhi animo sebagian kawan-kawan mengikuti kelanjutan kelas tiap pekannya.

Selama ini kuantitas KLPI tidak menjadi soal yang penting. KLPI tidak mendasarkan perkembangannya kepada kuantitas. Dan itu yang terjadi selama ini. Sampai detik ini, KLPI masih terus berjalan walaupun hanya dihadiri segelintir orang. Tiap pekannya.

Namun, ketika suasana itu berlarut-larut, mesti ada yang mengajukan pertanyaan. Kenapa suasana ini dapat terjadi? Apa sebabnya?

Apabila ditelisik, situasi KLPI mengalami apa yang disebutkan dalam ilmu psikologi sebagai titik jenuh. Titik jenuh situasi ketika suatu rangkaian proses telah melewati tahap produktif. Andaikan air panas, titik jenuh, keadaan air pasca titik didih.

Titik jenuh terjadi akibat hilangnya motivasi dan konsolidasi. Imbasnya, orang yang mengalami titik jenuh merasa tidak ada ikatan terhadap aktivitas yang sering dilakukan.

Gejala ini disebabkan seseorang mengalami gangguan konsentrasi dibanding keadaan sebelumnya. Hilangnya konsentrasi berimbas seseorang kehilangan titik fokus.

KLPI bisa dibilang kelas menulis yang tidak pernah libur. Di tiap pekan KLPI terus berjalan. Andaikan kendaraan bermotor, KLPI tidak pernah berhenti melintasi jalan raya. Tanpa henti kecuali itu dibutuhkan.

Kemungkinan besar, situasi demikianlah menyebabkan KLPI mengalami titik jenuh. Berjalan terus menerus tanpa mengalami peningkatan. Hingga akhirnya kehilangan motivasi.

Tapi, seperti juga dikatakan ilmu psikologi, titik jenuh hanya bersifat sementara. Bahkan titik jenuh bagian alamiah dari suatu proses.

Itu kemungkinan pertama. Kemungkinan kedua imbas dari peralihan aktivitas sebagian kawan-kawan. Sudah semenjak sekira dua bulan belakangan aktifitas primer kawan-kawan menyita banyak perhatian. Hubungannya dengan KLPI, persediaan tenaga kawan-kawan tidak mampu lagi mengimbangi aktifitas yang sering dilakukan tiap akhir pekan.

Atau sebaliknya, KLPI bukan aktifitas yang penting lagi. Jika sebelumnya di dalam pembatinan kawan-kawan KLPI adalah aktifitas utama akhir pekan, semenjak menemukan aktifitas lain, KLPI akhirnya dianggap aktifitas nomor dua. Pembalikkan ini mungkin saja terjadi. Sangat mungkin.

Apabila ingin dianalisis lebih jauh, banyak hal bisa dikemukakan. Yang terpenting apapun persoalannya mesti cepat diatasi. Sejauh masih ada dua tiga orang yang masih mau menggerakkan KLPI.

***

Muhajir mengusulkan perlu dibuka kelas sesi ke-3. Alasannya, agar banyak kawan-kawan baru yang terlibat. Usulan ini berangkat dari pengalaman sebelumnya, KLPI sesi 2, yang saat itu banyak menarik kawan-kawan baru ikut masuk KLPI.

Ada yang sepakat, ada yang hanya memilih mengobrol dengan tema lain. Sandra Ramli lebih asyik berdiskusi dengan Hajra. Mauliah Mulkin, yang sering disapa Kak Uli, belum bergabung di dalam forum.

Menurut saya pribadi, persoalan mendasarnya bukan kondisi KLPI itu sendiri, sehingga perlu memperbaharui atmosfer kelas dengan membuka KLPI sesi 3. Melainkan situasi “di belakang” kondisi KLPI yang mesti dirangsang. Artinya, dibuka tidaknya kelas baru, tidak signifikan mengubah situasi yang dialami belakangan ini.

Situasi “di belakang” KLPI yang saya maksudkan sudah sempat disinggung di atas. Yakni, peralihan aktifitas kawan-kawan. Mesti diakui, 3 bulan belakangan, sebagian kawan-kawan mengalami perubahan aktifitas sebagaimana dialami sebelumnya.  Perubahan inilah yang mendasari ikut berubahnya masuk-tidaknya di KLPI selama ini.

Dalam istilah yang sedikit dicanggihkan, geografi waktu kawan-kawan banyak mengalami pergeseran. Kapan mengalamai waktu produktif, waktu senggang, di mana lokasi paling banyak menyita waktu, saat kapan harus istirahat, adalah jaringan siklus yang berubah selama sepekan dan berakibat bagi KLPI.

Perubahan georgrafi waktu kawan-kawan tentu berimbas pula kepada georgrafi ruang.  Maksudnya, waktu yang dialami saat beraktifitas mesti memperhitungkan ruang sebagai pertimbangannya. Atau sebaliknya, mempertimbangkan waktu saat mengalami ruang. Tentu kawan-kawan berpikir, memberlakukan waktu saat di KLPI mesti mempertimbangkan jauh tidaknya ruang mukim kawan-kawan. Semakin dekat ruang kawan-kawan terhadap KLPI, semakin besar peluang kawan-kawan ikut di dalamnya. Juga semakin banyak waktu yang dimiliki, semakin besar keikutsertaan ke dalam ruang KLPI.

Ini hanya analisis belaka. Bisa jadi yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. banyak faktor yang ikut menentukan berjalantidaknya KLPI. Faktor prioritas, misalnya.

Akhirnya, usulan Muhajir ditangguhkan dengan mengagendakan suatu forum diskusi menghadirkan penulis buku Calabai. Sementara usulan Muhajir yang berkeinginan membuka kelas baru ditangguhkan hingga awal tahun saja. Ini, kalau tidak salah juga dikatakan Kak Uli. Lebih baik awal tahun saja.

Baiklah, sepertinya KLPI pekan 40 akan dialami sebagaimana kelas biasanya. Informasi terakhir, penulis buku Calabai tidak bisa hadir di kelas akhir pekan ini.

Sampai jumpa di KLPI pekan 41.

Catatan KLPI Pekan 39

Kelas menulis KLPI tidak seperti biasanya. Lenggang. Tapi, itu bagian dari rutinitasnya selama ini. Kadang kelas banyak kedatangan kawan-kawan, juga seringkali seperti pekan kemarin, sepi.

Bagi kawan-kawan, kondisi demikian sudah biasa. Yang berbahaya jika KLPI berhenti. Apabila KLPI berhenti, itu artinya dua hal: pertama, tujuan KLPI sudah terealisasi. Kedua, jika menulis dilarang pemerintah.

Yang pertama, barangkali keadaan yang masih jauh, bahkan utopis. Mau mengharapkan semua orang menjadi penulis. Mau mengharapkan semua orang sadar literasi. Kesannya muluk belaka. Tapi, bukankah semua tujuan harus muluk-muluk. Optimis.

Pilihan yang kedua, bukan tidak mungkin bakal terjadi. Bukankah selama ini pemerintah sering kalap jika ada warganya lapakan buku. Menggusur dengan dalih mengganggu keindahan kota.

Di Makassar, ada namanya Pasar Minggu; komunitas yang terdiri dari anak-anak muda kreatif. Berasal dari beragam kelompok dan kecenderungan, tiap pekan berkumpul berdiskusi, menjual buku, membuat handycraff, berpuisi, dsb. Tapi, belakangan mereka digusur satpol PP. Sudah pasti dengan alasan yang sama.

Di kampus UNM, beberapa lapakan buku mahasiswa dilarang beraktivitas. Informasi yang diterima, jualan dan diskusi buku itu tidak memiliki ijin. Sungguh tidak masuk akal. Aktivitas intelektual macam lapakan buku dilarang. Besok-besok ketika membawa buku di dalam kampus bisa jadi dirazia.

Jika mengamati media sosial belakangan, banyak peristiwa serupa terjadi di berbagai daerah. Ini kalau dibenarkan, secara kultural, bangsa ini akan kehilangan generasi emasnya. Secara pendidikan, tidak ada sumber daya memadai. Lima sampai sepuluh tahun ke depan, misalnya, menulis dan membaca buku, menjadi pemandangan yang aneh.

Tapi, kemungkinan kecil bakal terjadi. Tiada bangsa yang mau mengerdilkan dirinya sendiri. semua bangsa pasti ingin penduduknya maju. Dapat bersaing di kancah dunia. Termasuk Indonesia.

Itulah sebabnya, KLPI mau ambil bagian. Membuat Indonesia menjadi bangsa besar. Bangsa yang diperhitungkan, tentunya.

Pekan kemarin, sebelum kelas dimulai, sudah ada diskusi panjang menyampir banyak soal. Pertama-tama, Syarif menunjukkan puisi Danarto yang “hanya” berupa kotak panjang berjumlah tiga segi empat. Dari penjelasan buku yang dibawanya, puisi Danarto disebut puisi akibat susunan segiempat itu juga bermakna. Alasannya, jika puisi adalah juga simbol-simbol bermakna yang dibuat penyairnya, itu berarti “kotak-kotak” buatan Danarto juga pantas disebut syair.

Tapi, apakah kotak-kotak bersusun itu memang memiliki makna? Jika ada, lantas apakah maknanya? Yang pasti, puisi “kotak” yang dibuat Danarto itu memicu pertanyaan apakah puisi itu sebenarnya? Apakah puisi harus diwujudkan dalam bentuk syair, kata-kata? Jika iya, lantas bagaimanakah puisi Danarto itu? Setidaknya, puisi “kotak” Danarto menjadi jalan kembali mempertanyakan pengertian dasar soal puisi.

Diskusi juga menyampir kecenderungan esai berbasis travelling. Omongan ini akibat beberapa kawan-kawan Mapala Syarif, ingin mendokumentasikan catatan perjalanannya berupa esai. Syarif bilang, di Seram, banyak memiliki situs budaya yang melimpah. Sejarah kerajaan-kerajaan Tidore dan kerajaan di sekitarnya. Kebiasan-kebiasaan bergama masyarakat setempat. Perkampungan-perkampungan yang banyak menyimpan mitos-mitos asing. Dan juga, cerita-cerita rakyat seputar Pattimura dan rempah-rempah dari tanah adat istiadatnya.

Apa yang disebutkan Syarif banyak memberikan data-data awal jika mau menulis esai berbasis pengalaman perjalanan. Apalagi, dari tanah kelahiran Syarif, banyak hal yang ingin diketahui khalayak. Ini modal besar seperti yang banyak ditulis bloger-bloger traveling. Intinya, esai hasil pengalaman perjalan seseorang, layak dibaca khalayak akibat banyak menyimpan kisah-kisah unik.

Dari esai travelling, diskusi sebelum kelas dibuka, juga akhirnya menyebut novel Pramoedya Ananta Toer: Arus Balik. Novel sejarah yang bercerita kejatuhan Nusantara.

Omongan mau tidak mau menyebut Malaka, satu titik di timur Nusantara yang pernah menjadi daerah strategis perdagangan internasional. Kala di mana Malaka adalah pusat perdagangan dunia.

Juga, obrolan panjang menyebut sejarah kerajaan Gowa-Makassar. Terutama seorang perdana menteri yang polygot: Karaeng Pattingalloang. Nama ini disebut hanya mau mengingatkan betapa seorang intelektual cemerlang, seperti Karaeng Pattingalloang, niscaya dibutuhkan jika mau membangun peradaban panjang. Seperti kerajaan Gowa-Makassar, kerajaan-kerajaan yang pernah digdaya di masa lalu, di belakangnya pasti ditunjang dengan kekuatan intelektual. Aktifitas tulis menulis, misalnya.

Diskusi tanpa disadari harus berhenti. Wawan dan dua teman lainnya datang. Juga tak lama ikut serta Sandra Ramli. Akhirnya kelas dimulai. Muhajir membukanya.

***

Muhajir duduk menatap lekat layar laptopnya. Kami hanya berdua. Belum ada siapa-siapa. Barangkali memang hanya kami berdua yang datang. Dugaan ini agak benar. Minggu-minggu kemarin, kuantitas kawan-kawan sedikit berkurang.

Akhirnya, tiada pilihan lain. KLPI tetap berjalan. Hanya saja, kali ini aktifitasnya berbeda. Kami masing-masing memilih melanjutkan pekerjaan di layar laptop. Kalaliterasi.com belum menurunkan tulisan  hari itu.

Hajir mengatakan, redaksi Kalaliterasi.com akhir-akhir kebanjiran puisi. Esai, kalah jumlah. Lama-lama, Hajir bilang, Kala bakal diisi puisi belaka.

Itu tidak jadi soal. Selama Kala beredar di dunia maya, tulisan esai, atau bahkan cerpen tak akan ada kehabisan stok tulisan. Ingat, Kala bukan media yang memiliki target redaksi muluk-muluk. Setiap satu hari satu karya tulis itu sudah luar biasa. Yang penting konsisten.

Sebenarnya, jajaran Redaksi Kalaliterasi.com sudah cukup mengisi tulisan satu hari satu karya tulis. Tinggal diatur saja. Dan, lagi-lagi konsisten. Namun, sampai sekarang hal itu belum dilakukan.

Terlepas dari semua itu, sampai sekarang, Kalaliterasi.com masih kuat menurunkan satu karya tulis setiap hari. Entah sastra ataupun esai, ataupun genre tulisan lainnya. Walaupun jam terbitnya kadang tidak menentu. Kadang malam, pagi. Terkadang siang.

Termasuk, rubrik Unjuk Rasa yang diampu Sulhan Yusuf. Setiap akhir pekan atau awal pekan akan menjumpai kawan-kawan di lini masa FB. Namun,entah mengapa minggu ini tulisan khas yang sering ditulis Sulhan Yusuf itu tidak terbit. Mungkin ada soal, entah apa.

Namun, satu keyakinan kami, tulisan unjuk rasa Sulhan Yusuf pasti bakal muncul. Ini hanya strategi beliau menarik kerinduan pembaca setianya.

Syahdan, besok KLPI dibuka pukul tiga siang.

Catatan KLPI Pekan 31 (sekaligus Pekan 29 dan 30)

Dua pekan belakangan, catatan KLPI absen dari yang selama ini dilakukan. Sesungguhnya banyak yang bisa diceritakan, tapi apa daya jika dua pekan sebelumnya, saya sebagai penyuguh catatan ini berhalangan terlibat. Padahal, jika ketua kelas punya lain kesibukan, harapannya peran ini bisa digantikan oleh kawankawan. Namun itu tidak terjadi, walaupun pernah sekali Muhajir mengambil peran yang sama di pekan 24.

Begitu pula di dalam teknis mekanisme forum. Sudah semenjak lama jika ketua kelas tak dapat ikut terlibat, maka harus ada kesadaran dari kawankawan mau mengambil peran kepemimpinan saat menyelenggarakan kelas. Aturan ini dibuat agar tidak ada patronase di dalam KLPI. Semua berjalan karena sistem yang bekerja berdasarkan fungsi, bukan status.

Di pertemuan terakhir kemarin (pekan 31), kelas banyak belajar dari karya kawankawan yang bergenre nonfiksi. Memang belakangan, banyak di antara kawankawan yang sering menyetor tulisan bergenre cerpen. Termasuk dua kawan baru, Arni dan adiknya, Riska.

Walaupun begitu, dari tulisan Arni dan Riska, kembali memantik perbincangan soal unsurunsur intrinsik dalam karya cerpen. Seperti sudah dijelaskan dalam catatancatan sebelumnya, suatu karya cerpen disebut cerpen jika memuat setidaknya tiga unsur intrinsik di dalamnya, yakni tokoh, plot, dan konflik. Pengetahuan ini penting, setidaknya memberikan kepada kawankawan pemahaman dasar untuk mengenali jenisjenis genre di dalam karya sastra.

Hal lain turut jadi omongan adalah soal tindak verbal yang kadang masuk menyusupi tindak menulis. Banyak ditemukan dari karya kawankawan, sulit memisahkan kebiasaan ucapan verbal dengan tindak berbahasa di dalam menulis. Mesti dipahami, aturan main berbahasa baik verbal atawa tulisan punya hukumnya masingmasing. Contoh kasus bunyi bahasa “bank” untuk menyebut tempat penyimpanan uang, berbeda dengan “Bang” kalau merujuk panggilan kepada orang yang lebih tua. Walaupun bunyinya sama, tapi itu tidak berlaku ketika dituliskan.

Hal demikian juga berlaku di dalam tindak verbal masyarakat Bugis-Makassar yang memiliki ciri khas dialek tertentu. Kadang kata yang berakhiran “n”, ditambahkan “g” sebagai penekanannya. Begitu pula katakata yang tidak seharusnya ditambahkan “h” di belakangnya, justru digenapi sebagai aturan berbahasanya. Aturan main ucapan verbal semacam ini yang tanpa disengaja dan disadari, mengambil kesadaran penulis di saat menulis karyanya.

Kelas kali ini juga turut membahas karya Ilyas. Ilyas di kesempatan kemarin membawa cerpen yang sudah lama di tulisnya di medio bulan Juli. Bahkan, dari pernyataannya, cerpen bersangkutan sempat dikirim ke salah satu media cetak di Makassar, namun gagal diterbitkan. Akibatnya, Ilyas penasaran apa yang membuat karya tulisnya itu tidak dimuat dan selanjutnya membawanya ke kelas untuk didiskusikan.

Dari penelusuran bersama, ditemukan ada beberapa poin yang luput dari perhatian Ilyas. Pertama adalah ada ejaan yang kurang memerhatikan EBI. Kedua, –dan ini sifatnya subjektif, menurut saya— gaya penulisan yang dibuat Ilyas tidak seperti cerpencerpen yang sering dimuat di koran yang dimaksud. Sementara, cara membangun cerita Ilyas sering memakai tehnik memenggal yang memotong adegan demi adegan penceritaan. Konsekuensi dari gaya bercerita demikian membuat pembaca sering tidak utuh menangkap keseluruhan peristiwa yang berada di balik penceritaan narator.

Dan, yang paling utama, barangkali tema cerpen Ilyas yang kurang menyentuh aspekaspek aktual yang sering kali menjadi bagian hidup manusia. Apa yang diceritakan Ilyas adalah seorang anak kecil yang berjualan jalangkote akibat kehidupan ekonomi orang tuanya yang di bawah ratarata, memang adalah kasus yang bisa dialami banyak orang, tapi dari waktu tulisan itu hendak diterbitkan bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang sedang menjadi perhatian redaktur koran terkait. Kalau yang ini, kita mesti paham, kadang suatu karya bisa bagus, tapi redaktur desktop tempat kita tuju memiliki cara pandang yang lain.

Karya tulis terakhir yang digeledah adalah buah tangan Hasyim, seorang kawan baru. Hasyim merupakan kawan Ishak Boufakar, juga kuliah mengambil konsentrasi ilmu komunikasi. Mungkin sebab itulah, karya pertama yang dibawanya tidak jauh dari tema ilmu komunikasi. Unsur entristik inilah yang kuat mendominasi karya esai yang dibuatnya.

Seperti kawankawan sering kali mendaku ketika baru pertama kali menulis, tulisan Hasyim tidak nampak seorang yang baru pertama kali menulis. Struktur kalimatnya terukur, pun argumentasinya dibuat logis. Begitu juga tatanan bahasanya normal sebagaimana karangan esai dibuat, tidak banyak mendayudayu juga tidak nampak ilmiah. Santai menggunakan bahasa populer. Namun, seperti sering kali terjadi, juga sebagaimana kawankawan lainnya, Hasyim masih sulit menghindari kesalahan ejaan yang selayaknya dipahami sebagai kaidah berbahasa selama ini.

Pasca karya tulis Hasyim digeledah, kelas akhirnya membubarkan diri.

***

Kelas sebelumnya juga kedatangan Muhary Wahyu Nurba, sastrawan yang belakangan sedang mempersiapkan diri memerankan satu karakter di Silariang, film yang mengambil latar belakang masyarakat Bugis-Makassar.

Hasil informasi yang berhasil dikumpulkan, banyak hal yang disampaikan pengasuh kolom sastra di harian Lombok Pos ini. Termasuk bagaimana mempersiapkan karya cerpen yang baik dan mampu menembus meja redaksi media cetak. Juga, seperti apa sikap yang harus dimiliki seorang ketika mengambil kepenulisan sebagai pilihan berkarya.

Di kesempatan itu Muhary mengingatkan dua hal yang kadang diabaikan kawankawan di kelas. Pertama soal ejaan yang harus mengikuti aturan main. Apalagi, jika ada kawankawan yang ingin mengirimkan tulisan di media cetak ataupun online, hal pertama yang diperhatikan redaktur adalah ejaan. Jika satu dua paragraf ditemukan ejaan yang kacau balau, maka besar kemungkin tidak dibaca apalagi diterbitkan.

Kedua berkaitan dengan mentalitas kerja. Ini kesannya sepele tapi sesungguhnya esensil. Muhary menyebut rewriting, yang artinya menulis ulang. Maksudnya, jika kawankawan telah selesai menuliskan karya tulisnya maka jangan segansegan membaca kembali. Hal ini berfungsi sebagai mekanisme agar tulisan yang dibuat terhindar dari segala kesalahan. Dengan sendirinya, jika ini dilakukan maka mau tidak mau sang penulis akan membaca kembali tulisan yang dubuatnya dan kemudian menyusun kembali tulisan yang terdapat kesalahan di dalamnya.

Yang terakhir ini membutuhkan kesabaran di dalamnya. Artinya ini menyangkut mental kerja. Siapa yang menerapkan cara ini, setidaknya mentalitas kerjanya sudah mulai terbangun.

***

KLPI dua minggu belakangan sedang merintis website resminya. Website ini berfungsi sebagai media kolekif kawankawan yang terlibat di KLPI. Artinya, kawankawan tidak perlu ragu lagi akan ke mana karya tulis yang dibuat, Kalaliterasi siap menampungnya, dengan catatan sesuai dengan standar kurasi yang dipakai. Walaupun masih tahap perbaikan, website ini sudah beroperasi beberapa hari yang lalu.

Kalaliterasi punya desktop Catatan KLPI, tujuannya menampung tulisan yang merekam halhal penting selama kelas literasi. Catatan KLPI menjadi esai rutin tiap akhir pekan ketika kelas mulai membuka sesi ke-2 beberapa bulan yang lalu. Selama ini, pasca catatan KLPI dibuat, hanya diterbitkan via status facebook. Namun, karena website sudah mulai beroperasi, maka catatan KLPI hanya dikirimkan melalui kolom yang memang disediakan untuknya. Itu artinya Catatan KLPI tidak akan diupload dalam format status seperti sebelumnya.

Kemudian ada kolom Unjuk Rasa. Unjuk Rasa adalah ruang yang dikhususkan bagi karya tulis Sulhan Yusuf. Awalnya Unjuk Rasa hanya ditemui via cetak yang diterbitkan kelas dalam format seleberan. Tapi, semenjak website didirikan, kolom Unjuk Rasa juga menjadi salah satu dekstop khusus yang menjadi salah satu menu terdepan website kami.

Selebihnya ada kolom sastra untuk karya tulis bergenre puisi dan cerpen. Utira Literasi yang bertujuan merekam aktifitas kawankawan yang berkaitan dengan literasi, baik tulisan ataupun visual. Dan terakhir, Blog Kawangkawang yang ditautkan langsung kepada blog pribadi kawankawan.

Terakhir, perlu juga rasa terima kasih diberikan kepada Aisyah Widya Satya Ningsi (Icha), orang di belakang panggung yang membuat Kalaliterasi.com dapat dirasakan khalayak, terutama kawankawan KLPI Makassar.