Sebenarnya masih banyak yang tak tahu, Agustus adalah bulan pertama Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar (KLPI Makassar). Kala itu, saat Bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya, di waktu itu pula kelas pertama KLPI dimulai. 17 Agustus 2015 adalah hari yang istimewa. Hari untuk kali pertama, kelas menulis Paradigma Institute digelar. Siapa yang menyangka, siapa pula yang mengingat?
Hingga akhirnya sampai pekan kemarin, sudah banyak obrolan yang dipertukarkan, begitu pula sudah banyak tenaga yang dibuat menjadi karya tulis. Dari semua itu, sadar atau tidak, KLPI tumbuh sebagaimana hukum perkembangan, dia bisa menyusut layu, atau justru sebaliknya, menjulang tinggi dengan dahan yang makin kokoh di kedalaman.
Apa pun arah perkembangannya, yakin dan percaya, siapa pun yang pernah dan sedang terlibat, turut menggemburkan tanah di dasar permukaannya. Masingmasing kita, sedang memegang sekop dan ember, membersihkan kekhawatiran, dan turut menyiramnya dengan semangat yang entah dari mana.
Pekan 28, masingmasing datang seperti biasanya. Membawa karya tulis yang sudah dilipatgandakan. Diperbanyak dengan tujuan dialogis dan kritis. Mulai dari cerpen hingga esai. Dalam prosesnya, karya tulis yang dibawa dibincangkan, atau bahkan digeledah.
Penggeledahan karya tulis selama ini dibuat menjadi prinsip kerja akibat mau menerapkan tujuan tak ada tulisan yang bersih dari kecacatan. Ini juga untuk mengantisipasi kemungkinan berlakunya tingkatan level kepenulisan yang disinyalir bisa membuat hirarki skill kepenulisan di kelas. Makanya, dengan mau mengatakan tiada penulis bebas mendapatkan previlage, semua tulisan, entah itu dinilai canggih atau pemula, harus dianggap masih mengandung kecacatan.
Itu sebabnya, banyak yang katakan, di KLPI, semua yang terlibat dianggap sama. Dari praktek penilaian di kelas, tiada pembedaan di dalamnya. Egaliterianisme.
Penggeledahan juga sebenarnya bermaksud mau mencari motifmotif bawah sadar yang bisa jadi menyusup di dalam karya tulis seseorang. Hanya saja selama ini, dari pengalaman yang dikerjakan, tujuan ini masih diminimalisir penggunaannya.
Setidaknya ada empat motif bawah sadar yang kadang bisa merusak kejernihan suatu karya tulis. Pertama ialah heroisisme. Motif kepahlawanan, sadar atau tidak, kadang muncul ketika tulisan dibangun dengan kalimatkalimat yang mengandung unsur kebesaran di dalamnya.
Heroisisme ditandai ketika maksud dari tulisan merupakan jargonjargon yang dinyatakan lewat bahasa yang diidealisasi. Kadang, kadar kepahlawanan dapat dinilai dengan mudah ketika seseorang mampu melihat suatu karya tulis menempatkan sang penulis di dalam karya tulisnya dalam konteks kebesaran sang penulis. Dan, yang paling gampang ketika karya tulis memuat profil penulisnya dengan menyertakan sejumlah banyak capaian dari gelargelar tertentu.
Motif bawah sadar yang kedua, erat kaitannya dengan heroisisme, yakni romantisisme. Romantisisme erat gejalanya dengan herosisisme dikarenakan karya tulis yang mengandung romantisisme, adalah karya tulis yang mengagungkan masa lalu sebagai ukuran kebesarannya.
Sangat gampang menggeledah karya tulisan yang terjangkiti romantisisme. Lihat saja bagaimana sang penulis selalu menggunakan ukuran masa lalu sebagai patokan konten karya tulisannya. Kadang motif bawah sadar ini selalu menonjol dengan menggunakan katakata: “saya dahulu ketika”, “di masa saya dulu”, atau “saat saya menjadi,” dsb. Perlu diingat, romantisisme plus heroisisme, hanya berlaku jika sang penulis selalu memusatkan karya tulisannya kepada “sang aku” sebagai bagian yang diidealisasi.
Motif yang ketiga adalah melankolia. Melankolia ditunjukkan dengan suatu produk tulisan yang diliputi kemuraman, kegundahan, kemurungan, dan kepedihan yang disebabkan depresi. Motif bawah sadar ini kadang tanpa disadari begitu kuat mendominasi produk karya tulis seseorang. Akibat tekanan batin yang hebat, dan tak mampu dikontrol dengan mekanisme tertentu, malah melankolia dianggapkan beberapa penulis sebagai sarana eskapisme.
Tulisan yang melankolia, berbeda begitu tipis dengan tulisan yang mengandung unsur sastarawi di dalamnya. Satusatunya perbedaan mendasarnya adalah jika puisi, misalnya, dibangun dari sikap kontemplatif, sementara karya tulis melankolia ditulis dengan cara tergesagesa dan agresif. Yang pertama dimulai dari sikap batin, sementara yang kedua disentimentaliskan dengan suasana emotif.
Cara menggeledah tulisan yang berbau melankolia biasanya dinilai dari bahasanya yang tergesategesa. Struktur logis yang tidak aplikatif, atau bahkan tidak memiliki keterhubungan di antaranya. Banyak ditemukan, gejala ini dilihat dari penggunaan bahasa yang dirusak, atau kata yang disalahartikan dari makna dasar dan dari arti keilmuannya. Atau kadang penggunaan kata yang tidak sesuai aturan main ejaan yang disepakati.
Motif keempat adalah turunan dari motif ketiga, yakni emosionalisme. Tulisan yang emosional adalah tulisan yang meluapluap. Emosionalisme terjadi di saat sang penulis diliputi perasaan yang emosional. Banyak hal yang bisa menyebabkan emosionalisme terjadi, salah satu diantaranya adalah kesenjangan dunia pengalaman batin dengan dimensi kognitifnya. Akibatnya, defisit dimensi kognitif menyebabkan suasana emotif yang lebih banyak mempengaruhi di saat tindak bahasa dilakukan. Proses selanjutnya barang tentu mempengaruhi bagaimana ketika bahasa itu dituliskan.
Dalam pengertian lain, emosionalisme ditunjukkan dengan praktek kepenulisan yang tidak disertai proses self editing. Proses self editing yang menyertakan ketelitian dan kesabaran, dengan begitu adalah mekanisme yang diabaikan akibat ketergesagesaan di saat hendak menyelesaikan karya tulis. Padahal, di saat self editing, yang diharapkan adalah keadaan netral untuk membaca kembali karya tulis yang sementara dibuat. Sebab, hanya dalam suasana netrallah, karya tulis bisa dilihat kembali seobjektif mungkin.
Empat motif yang dikemukakan di atas, boleh jadi adalah gejala alam bawah sadar yang sekalipun tersembunyi dan tanpa disadari, tidak sepenuhnya bisa diterapkan kepada semua genre tulisan.
Puisi, misalnya, sekalipun bagian dari genre sastra, masih sulit dikatakan bahwa gejala alam bawah sadar ini menjadi bagian yang dapat dipisahkan dari segi proses kreativitas penulisannya.
Nuansa emotif yang kadang menjadi energi positif dari proses penulisan puisi, tak dapat dipungkiri berfungsi secara integral dari ruang sadar penulis di saat mengeksplorasi bahasa yang ingin dipakainya. Apalagi jenis puisi pasca modern, yang lebih banyak mengeksplorasi nuansa emotif sebagai medium, atau bahkan inti puisi itu sendiri, malah begitu membutuhkan dimensi emotif terlibat di dalam suasana praktik berbahasa penyair.
Berbeda misalnya dalam genre esai. Jenis tulisan ini, harus mampu dilahirkan menjadi karya yang tidak menyerupai puisi, atau tidak terlampau dipenuhi bobot akademis yang tinggi. Esai di dalam praktik berbahasanya, membutuhkan ruang yang lebih longgar dari bahasa akademik, dan kehatihatian yang mawas untuk tidak terjebak menyerupai bahasa puisi. Sehingga empat motif yang dikemukakan di atas lebih mudah digunakan untuk menggeledah karya tulis yang bergenre esai.
Walaupun demikian, untuk menghasilkan tulisan yang bernas, sang penulis harus memahami seberapa besar ruang sadarnya diliputi empat motif di atas. Sebab, jika tidak demikian, akan sulit menghasilkan tulisan yang jernih dan licin. Jernih dengan pernyataanpernyataan yang logis, dan licin dari kecacatan ejaan.
***
Pekan 28, kelas diakhiri menjelang pasca isya. Setelah shalat magrib berjamaah, kelas dimulai kembali setelah beberapa kawankawan yang lain telah dahulu pamit. Kelas dilanjutkan karena masih ada karya tulis kawankawan yang belum sempat dibacakan dan dibincangkan.
Hal ini dilakukan akibat selama ini banyak di antara kawankawan yang jarang diangkat menjadi perbincangan di kelas. Selain itu, alasan utamanya kelas lebih memfokuskan kepada karya tulis kawankawan yang masih baru di dalam keterlibatannya selama ini di KLPI.
Sejauh yang bisa diingat, pasca magrib, empat tulisan yang tersisa untuk dibedah. Banyak hal yang diungkapkan di dalam forum lanjutan. Salah satu di antaranya adalah cerpen bersambung yang dibawa Syarif dan Ishak. Keduanya membawa cerpen yang khas dengan nuansa lokalitas. Selama ini, sejauh cerpen yang dibuat oleh mereka berdua, senantiasa dikategorikan sebagai sastra etnik.
Dari kedua cerpen yang diulas, perbincangan menguat di sisi apakah unsur lokalitas dalam cerpen harus dilengkapi dengan katakata khas daerah yang diceritakan, atau cukup dengan menceritakan cerita yang berlatar daerah lengkap dengan budayanya yang khas. Pertanyaan ini menguat ketika forum berfokus di salah satu cerpen yang banyak memuat istilahistilah daerah di dalamnya, dan juga, seberapa pentingkah suatu istilah harus dipakai untuk menunjukkan nuansa lokalitas di dalam penceritaannya.
Dari perbincangan yang ada, hampir semua sepakat, bahwa dalam menunjukkan unsur lokalitas di dalam cerpen, dianggap perlu menyematkan katakata lokal daerah yang bersangkutan. Namun, perlu diingat, tidak semua kata daerah dapat dipakai sebagai identitas lokalitas. Tidak ketika karena hanya mau menyebut cerpen termuati unsur lokalitas, untuk menyebut “kursi” menggunakan “kadera” sebagai pengganti bahasanya.
Di dalam forum, untuk menerangkan maksud di atas, alangkah baiknya penggunaan bahasa daerah sebagai penguat cerpen berbau etnik, menggunakan istilah khas daerah yang menunjukkan ciri tertentu di dalam sebuah kebudayaan. Misalnya, istilah “kamasemase” yang dianut masyarakat Kajang di Kabupaten Bulukumba, dengan tujuan memperkenalkan adat istiadatnya yang khas.
Selain pendiskusian di atas, cerpen yang berbau etnik kuat disebut demikian jika mengisahkan gejala kebudayaan tertentu yang menjadi tradisi di dalam masyarakat tertentu. Jadi, tidak sekadar menceritakan kisah yang berlatar belakang daerah tertentu, melainkan turut memotret suatu peristiwa kebudayaan yang diangkat menjadi bagian dari cerita. Tentu ini akan jauh lebih baik, karena sastra sebenarnya adalah cermin dari kebudayaan itu sendiri.
Terakhir, walaupun tidak semua bisa diceritakan lewat tulisan ini, KLPI ditutup dengan pembacaan esai oleh Sulhan Yusuf di kala lampu tengah padam. Pembacaan ini terjadi setelah Ma’sum turut membaca puisinya seperti di saat panggungpanggung dipadamkan. Tidak jauh berbeda di saat seorang sastrawan berdiri sendirian, ketika semua pasang mata menyorotinya di atas panggung dengan segenggam kertas.
Selamat libur kawankawan. Sampai jumpa pekan depan.
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).