Arsip Kategori: Catatan KLPI

Catatan KLPI Pekan 28

Sebenarnya masih banyak yang tak tahu, Agustus adalah bulan pertama Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar (KLPI Makassar). Kala itu, saat Bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya, di waktu itu pula kelas pertama KLPI dimulai. 17 Agustus 2015 adalah hari yang istimewa. Hari untuk kali pertama, kelas menulis Paradigma Institute digelar. Siapa yang menyangka, siapa pula yang mengingat?

Hingga akhirnya sampai pekan kemarin, sudah banyak obrolan yang dipertukarkan, begitu pula sudah banyak tenaga yang dibuat menjadi karya tulis. Dari semua itu, sadar atau tidak, KLPI tumbuh sebagaimana hukum perkembangan, dia bisa menyusut layu, atau justru sebaliknya, menjulang tinggi dengan dahan yang makin kokoh di kedalaman.

Apa pun arah perkembangannya, yakin dan percaya, siapa pun yang pernah dan sedang terlibat, turut menggemburkan tanah di dasar permukaannya. Masingmasing kita, sedang memegang sekop dan ember, membersihkan kekhawatiran, dan turut menyiramnya dengan semangat yang entah dari mana.

Pekan 28, masingmasing datang seperti biasanya. Membawa karya tulis yang sudah dilipatgandakan. Diperbanyak dengan tujuan dialogis dan kritis. Mulai dari cerpen hingga esai. Dalam prosesnya, karya tulis yang dibawa dibincangkan, atau bahkan digeledah.

Penggeledahan karya tulis selama ini dibuat menjadi prinsip kerja akibat mau menerapkan tujuan tak ada tulisan yang bersih dari kecacatan. Ini juga untuk mengantisipasi kemungkinan berlakunya tingkatan level kepenulisan yang disinyalir bisa membuat hirarki skill kepenulisan di kelas. Makanya, dengan mau mengatakan tiada penulis bebas mendapatkan previlage, semua tulisan, entah itu dinilai canggih atau pemula, harus dianggap masih mengandung kecacatan.

Itu sebabnya, banyak yang katakan, di KLPI, semua yang terlibat dianggap sama. Dari praktek penilaian di kelas, tiada pembedaan di dalamnya. Egaliterianisme.

Penggeledahan juga sebenarnya bermaksud mau mencari motifmotif bawah sadar yang bisa jadi menyusup di dalam karya tulis seseorang. Hanya saja selama ini, dari pengalaman yang dikerjakan, tujuan ini masih diminimalisir penggunaannya.

Setidaknya ada empat motif bawah sadar yang kadang bisa merusak kejernihan suatu karya tulis. Pertama ialah heroisisme. Motif kepahlawanan, sadar atau tidak, kadang muncul ketika tulisan dibangun dengan kalimatkalimat yang mengandung unsur kebesaran di dalamnya.

Heroisisme ditandai ketika maksud dari tulisan merupakan jargonjargon yang dinyatakan lewat bahasa yang diidealisasi. Kadang, kadar kepahlawanan dapat dinilai dengan mudah ketika seseorang mampu melihat suatu karya tulis menempatkan sang penulis di dalam karya tulisnya dalam konteks kebesaran sang penulis. Dan, yang paling gampang ketika karya tulis memuat profil penulisnya dengan menyertakan sejumlah banyak capaian dari gelargelar tertentu.

Motif bawah sadar yang kedua, erat kaitannya dengan heroisisme, yakni romantisisme. Romantisisme erat gejalanya dengan herosisisme dikarenakan karya tulis yang mengandung romantisisme, adalah karya tulis yang mengagungkan masa lalu sebagai ukuran kebesarannya.

Sangat gampang menggeledah karya tulisan yang terjangkiti romantisisme. Lihat saja bagaimana sang penulis selalu menggunakan ukuran masa lalu sebagai patokan konten karya tulisannya. Kadang motif bawah sadar ini selalu menonjol dengan menggunakan katakata: “saya dahulu ketika”, “di masa saya dulu”, atau “saat saya menjadi,” dsb. Perlu diingat, romantisisme plus heroisisme, hanya berlaku jika sang penulis selalu memusatkan karya tulisannya kepada “sang aku” sebagai bagian yang diidealisasi.

Motif yang ketiga adalah melankolia. Melankolia ditunjukkan dengan suatu produk tulisan yang diliputi kemuraman, kegundahan, kemurungan, dan kepedihan yang disebabkan depresi. Motif bawah sadar ini kadang tanpa disadari begitu kuat mendominasi produk karya tulis seseorang. Akibat tekanan batin yang hebat, dan tak mampu dikontrol dengan mekanisme tertentu, malah melankolia dianggapkan beberapa penulis sebagai sarana eskapisme.

Tulisan yang melankolia, berbeda begitu tipis dengan tulisan yang mengandung unsur sastarawi di dalamnya. Satusatunya perbedaan mendasarnya adalah jika puisi, misalnya, dibangun dari sikap kontemplatif, sementara karya tulis melankolia ditulis dengan cara tergesagesa dan agresif. Yang pertama dimulai dari sikap batin, sementara yang kedua disentimentaliskan dengan suasana emotif.

Cara menggeledah tulisan yang berbau melankolia biasanya dinilai dari bahasanya yang tergesategesa. Struktur logis yang tidak aplikatif, atau bahkan tidak memiliki keterhubungan di antaranya. Banyak ditemukan, gejala ini dilihat dari penggunaan bahasa yang dirusak, atau kata yang disalahartikan dari makna dasar dan dari arti keilmuannya. Atau kadang penggunaan kata yang tidak sesuai aturan main ejaan yang disepakati.

Motif keempat adalah turunan dari motif ketiga, yakni emosionalisme. Tulisan yang emosional adalah tulisan yang meluapluap. Emosionalisme terjadi di saat sang penulis diliputi perasaan yang emosional. Banyak hal yang bisa menyebabkan emosionalisme terjadi, salah satu diantaranya adalah kesenjangan dunia pengalaman batin dengan dimensi kognitifnya. Akibatnya, defisit dimensi kognitif menyebabkan suasana emotif yang lebih banyak mempengaruhi di saat tindak bahasa dilakukan. Proses selanjutnya barang tentu mempengaruhi bagaimana ketika bahasa itu dituliskan.

Dalam pengertian lain, emosionalisme ditunjukkan dengan praktek kepenulisan yang tidak disertai proses self editing. Proses self editing yang menyertakan ketelitian dan kesabaran, dengan begitu adalah mekanisme yang diabaikan akibat ketergesagesaan di saat hendak menyelesaikan karya tulis. Padahal, di saat self editing, yang diharapkan adalah keadaan netral untuk membaca kembali karya tulis yang sementara dibuat. Sebab, hanya dalam suasana netrallah, karya tulis bisa dilihat kembali seobjektif mungkin.

Empat motif yang dikemukakan di atas, boleh jadi adalah gejala alam bawah sadar yang sekalipun tersembunyi dan tanpa disadari, tidak sepenuhnya bisa diterapkan kepada semua genre tulisan.

Puisi, misalnya, sekalipun bagian dari genre sastra, masih sulit dikatakan bahwa gejala alam bawah sadar ini menjadi bagian yang dapat dipisahkan dari segi proses kreativitas penulisannya.

Nuansa emotif yang kadang menjadi energi positif dari proses penulisan puisi, tak dapat dipungkiri berfungsi secara integral dari ruang sadar penulis di saat mengeksplorasi bahasa yang ingin dipakainya. Apalagi jenis puisi pasca modern, yang lebih banyak mengeksplorasi nuansa emotif sebagai medium, atau bahkan inti puisi itu sendiri, malah begitu membutuhkan dimensi emotif terlibat di dalam suasana praktik berbahasa penyair.

Berbeda misalnya dalam genre esai. Jenis tulisan ini, harus mampu dilahirkan menjadi karya yang tidak menyerupai puisi, atau tidak terlampau dipenuhi bobot akademis yang tinggi. Esai di dalam praktik berbahasanya, membutuhkan ruang yang lebih longgar dari bahasa akademik, dan kehatihatian yang mawas untuk tidak terjebak menyerupai bahasa puisi. Sehingga empat motif yang dikemukakan di atas lebih mudah digunakan untuk menggeledah karya tulis yang bergenre esai.

Walaupun demikian, untuk menghasilkan tulisan yang bernas, sang penulis harus memahami seberapa besar ruang sadarnya diliputi empat motif di atas. Sebab, jika tidak demikian, akan sulit menghasilkan tulisan yang jernih dan licin. Jernih dengan pernyataanpernyataan yang logis, dan licin dari kecacatan ejaan.

***

Pekan 28, kelas diakhiri menjelang pasca isya. Setelah shalat magrib berjamaah, kelas dimulai kembali setelah beberapa kawankawan yang lain telah dahulu pamit. Kelas dilanjutkan karena masih ada karya tulis kawankawan yang belum sempat dibacakan dan dibincangkan.

Hal ini dilakukan akibat selama ini banyak di antara kawankawan yang jarang diangkat menjadi perbincangan di kelas. Selain itu, alasan utamanya kelas lebih memfokuskan kepada karya tulis kawankawan yang masih baru di dalam keterlibatannya selama ini di KLPI.

Sejauh yang bisa diingat, pasca magrib, empat tulisan yang tersisa untuk dibedah. Banyak hal yang diungkapkan di dalam forum lanjutan. Salah satu di antaranya adalah cerpen bersambung yang dibawa Syarif dan Ishak. Keduanya membawa cerpen yang khas dengan nuansa lokalitas. Selama ini, sejauh cerpen yang dibuat oleh mereka berdua, senantiasa dikategorikan sebagai sastra etnik.

Dari kedua cerpen yang diulas, perbincangan menguat di sisi apakah unsur lokalitas dalam cerpen harus dilengkapi dengan katakata khas daerah yang diceritakan, atau cukup dengan menceritakan cerita yang berlatar daerah lengkap dengan budayanya yang khas. Pertanyaan ini menguat ketika forum berfokus di salah satu cerpen yang banyak memuat istilahistilah daerah di dalamnya, dan juga, seberapa pentingkah suatu istilah harus dipakai untuk menunjukkan nuansa lokalitas di dalam penceritaannya.

Dari perbincangan yang ada, hampir semua sepakat, bahwa dalam menunjukkan unsur lokalitas di dalam cerpen, dianggap perlu menyematkan katakata lokal daerah yang bersangkutan. Namun, perlu diingat, tidak semua kata daerah dapat dipakai sebagai identitas lokalitas. Tidak ketika karena hanya mau menyebut cerpen termuati unsur lokalitas, untuk menyebut “kursi” menggunakan “kadera” sebagai pengganti bahasanya.

Di dalam forum, untuk menerangkan maksud di atas, alangkah baiknya penggunaan bahasa daerah sebagai penguat cerpen berbau etnik, menggunakan istilah khas daerah yang menunjukkan ciri tertentu di dalam sebuah kebudayaan. Misalnya, istilah “kamasemase” yang dianut masyarakat Kajang di Kabupaten Bulukumba, dengan tujuan memperkenalkan adat istiadatnya yang khas.

Selain pendiskusian di atas, cerpen yang berbau etnik kuat disebut demikian jika mengisahkan gejala kebudayaan tertentu yang menjadi tradisi di dalam masyarakat tertentu. Jadi, tidak sekadar menceritakan kisah yang berlatar belakang daerah tertentu, melainkan turut memotret suatu peristiwa kebudayaan yang diangkat menjadi bagian dari cerita. Tentu ini akan jauh lebih baik, karena sastra sebenarnya adalah cermin dari kebudayaan itu sendiri.

Terakhir, walaupun tidak semua bisa diceritakan lewat tulisan ini, KLPI ditutup dengan pembacaan esai oleh Sulhan Yusuf di kala lampu tengah padam. Pembacaan ini terjadi setelah Ma’sum turut membaca puisinya seperti di saat panggungpanggung dipadamkan. Tidak jauh berbeda di saat seorang sastrawan berdiri sendirian, ketika semua pasang mata menyorotinya di atas panggung dengan segenggam kertas.
Selamat libur kawankawan. Sampai jumpa pekan depan.

Catatan KLPI Pekan 27

Puisi, sebagai genre sastra, merupakan karangan yang tidak bisa sendirinya merujuk suatu makna dengan terang. Seperti yang diungkapkan Ignas Kleden dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, mengungkapkan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang berpotensi mengungkap dan menyembunyikan suatu makna. Bahkan, tulis  Ignas Kleden, kedua sifat itu bisa berlaku sekaligus. Misalkan saja kata “mawar” dalam sebait puisi, bisa mengungkap makna denotasinya  sekaligus menyembunyikan makna dasarnya.

Itu sebab, bahasa puitik adalah bahasa yang bermakna polisemi, beragama makna bisa berkembang. Sampai akhirnya, makna yang berjangkar banyak itu bisa masuk ke dalam beragam pengalaman manusia.

Barangkali karena itulah, pengalaman berbahasa pembaca puisi dalam menemukan makna syair bisa beragam.

Di KLPI pekan 27, persoalan di atas tak kunjung benderang. Berawal dari puisi Ma’sum yang berjudul Perempuan, menjadi jalan masuk dari beragam soal yang dipercakapkan, semisal, apakah batasbatas antara puisi modern dan puisi lama, apakah puisi lama selalu berpusat kepada pengalaman di luar “sang Aku” penyair, berkebalikan dari puisi modern? Atau, apakah semua puisi modern selalu mengitari “sang Aku” dan membahasan pengalamanpengalaman “sang Aku” sebagai pusat syairnya? Dengan kata lain, bukankah puisi pada hakikatnya adalah bahasa “sang Aku” dari pengalaman dunia yang dibahasakan?

Yang paling banyak dipercakapkan adalah apakah puisi harus menyuarakan hal yang universal atau tidak? Ini jadi problem yang diutarakan ketika membincang kecenderungan puisi modern yang berjarak dari pengalaman banyak orang.  Asran Salam, –sejauh mengingat—mengatakan kecenderungan puisi kontemporer terhadap pengalaman eksistensial sang penyair bermasalah akibat jarang membahasakan halhal “universal” yang seharusnya menjadi perhatian penyairpenyair kontemporer.

Tapi, setidaknya menurut Bahrul Amsal, sejauh pengalaman penyair adalah “asalusul” lahirnya karya puisi, indikator “universal cum objektif”-“partikular cum subjektif” tidak relevan lagi dinilai dikarenakan dalam praktik bahasa penyair saat membuat syairnya adalah pergulatan dari keduanya. Ini seperti hubungan yang saling mengandaikan antara “Aku” dan “dunia” dalam membentuk pengalaman sang penyair.

Walaupun begitu, di forum, ada kesepakatan bahwa sesubjektif bagaimana pun puisi dari seorang penyair, akan menjadi pengalaman bersama dan beragam dari pembaca puisi akibat bahasa puisi yang bersifat metaforik.

Soal lain lain yang menarik dibahasakan dalam forum adalah apa yang diutarakan Ruslan. Ruslan, terlepas dari pembicaraan puisi modern dan puisi lama, menyatakan seorang penulis syair atau prosa, dan juga esai, harus berpihak. Keberpihakan penulis kepada suatu maksud begitu penting,  sebab dalam kaitannya dengan tanggung jawab penulis berhubungan langsung  dengan moral etik penulis itu sendiri.

Moral etik penulis dapat ditunjukkan dari seberapa besar perhatian penulis terhadap dampak pengertian karya tulis yang dibuatnya. Kadang, di antara beberapa penulis, moral etik bukanlah menjadi hal yang penting sebab bahasa yang dipakainya merupakan kepemilikan umum penafsir pasca karya tulis dibuat. Dengan kata lain, pemahaman yang lahir dari karya tulis merupakan hak pembaca dalam menafsirkannya.

Berbicara bagaimana makna pemahaman terbentuk, moral etik sang penulis kadang bersembunyi di balik “kematian sang pengarang” Roland Barthes. Dengan kematian sang pengarang, pengertian akhirnya dengan bebas ditafsirkan pembac a sesuai dengan pengalaman sang pembaca.

Walaupun demikian, ketidakberadaan penulis atas karyanya, bukan berarti menghilangkan penuh keterlibatan pengarang dalam membentuk pengertian yang sebenarnya saat penafsiran itu hadir. Maksud lain dari ini,  keberadaan sang pengarang hanyalah satu dari keberadaan pembaca yang berhak pula dalam menafsirkan sebuah karya.

Namun, yang paling penting sebenarnya adalah, bagaimana moral etik bekerja di dalam proses produksi penulisan karya tulis. Sang penulis, entah itu berupa esai, harus mempertimbangkan penggunaan bahasa yang bisa jadi tidak berperspektif humanis atau sebaliknya justru menjadi penyulut kisruh sosial.

Begitu pula, kejujuran yang bagian dari moral etik, sudah harus diperhatikan untuk menghindari praktik copy-paste yang kerap sering terjadi. Moral etik penulis, jika dituliskan dengan best practice, barang tentu akan menghasilkan karya tulis yang jernih dan licin dari kesalahan.

Sebagian kawankawan KLPI karena baru memulai menulis sebagai tradisi, dengan terus melatih diri menulis, moral etic juga hal penting yang harus terus diingat.

Moral etic juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan penulis dalam membangun tradisi literasi. Literasi yang dipahami sebagai dua kemampuan dasar (membaca dan menulis) yang harus inklud dalam praktik berbahasa, dalam penerapannya setidaknya memperhatikan kode etik penulisan yang selama ini dipahami.

Bagi penulis pemula, moral etik yang harus pertama kali ditempuh adalah kemampuan memabaca dan memahami konteks suatu bahasa yang dituliskan. Mampu mengambil kesimpualan dalam kaitannya dengan konteks masyarakat yang sedang berlangsung. Dan, mampu memberikan solusi dari persoalan yang ditulisnya.

***

Pasca menuliskan karya tulis, jadilah editor bagi karyatulis sendiri. Begitulah pesan yang kadang dilupakan begitu saja. Padahal, tiada karya tulis yang bersih jika tidak sebelumnya menjadi editor bagi karya tulis sendiri. Ini penting, walaupun di dalamnya membutuhkan kesabaran.

Menjadi editor bagi karya sendiri susahsusah gampang. Menjadi susah, kendati karena menuntut kesabaran dan ketelitian, juga sang penulis dalam pengertian tertentu menjadi “orang lain” bagi tulisan sendiri. Dalam proses ini, sang penulis harus mengambil jarak sebelumnya untuk melihat tulisan dari luar pemikirannya sendiri.

Kesulitan menjadi “orang lain” akan mudah teratasi akibat kedekatan dengan tulisan sendiri. mengetahui sendiri apa yang dituliskan, de ngan sendirinya membuat penulis yang telah menjadi “orang lain” bebas mengutakatik karya tulisnya. Jika kesulitannya itu kadang membuat penulis merombak habis tulisannya, maka kemudahannya akibat bebas memperlakukan tulisan sendiri adalah kemampuan membangun kembali tulisan yang sebelumnya telah dirubuhkan.

***

Sebanyak duabelas orang yang kali ini mengikuti KLPI pekan 27.  Banyak diantaranya yang membawa tulisan bergenre sastra. Peristiwa ini jarang terjadi selama ini. Selama KLPI dibuka dari sekira tahun lalu, sastra menjadi genre tulisan yang pinggiran.  Namun, peralihan ini bukan penanda genre lain mengalami penurunan. Bukan pula ada genre yang lebih dominan. Peristiwa ini di anggap wajar karena kebebasan minat menulis di KLPI dikembalikan kepada kawankawan yang terlibat. Malahan ini menandakan bahwa menyangkut dinamika genre tulisan, adalah perkembangan yang dinamis.

Yang terakhir, tak baik jika perkembangan keberadaan website resmi KLPI tidak disebutkan catatan ini. Icha, seorang kawan yang pernah terlibat di KLPI (sekarang melanjutkan kuliahnya di Bogor) telah membuatkanwebsite khusus KLPI sebagaimana yang telah direncakan sebelumnya. Dari tugas mulia ini, akhirnya, kawankawan dapat mengunjungi website KLPI dengan alamat­­­________.

Sengaja alamat website KLPI belum dituliskan dikarenakan masih dalam tahapfinishing. Insyaallah, dalam waktu dekat ini, website yang bernama Kalaliterasi, sudah dapat dinikmati bersama. Kita tunggu saja perkembangannya.

Catatan KLPI Pekan 26

Kali ini KLPI didominasi oleh mukamuka baru. Sebagian di antaranya sudah saling mengenal. Sebagiannya lagi malah baru pertama kali bertatap muka. Itu sebab, di dalam forum sebagian yang belum saling mengenal, agak canggung terlibat dalam obrolan yang menjadi percakapan.

Percakapan, seperti biasanya, sering kali malah dimulai dari karya kawankawan yang dipresentasekan. Dari situ, kadang obrolan menjadi serius akibat berkembangnya sudut pandang. Misalnya, satu obrolan yang berangkat dari karya Ma’sum, seorang pemuda dari Luwu.

Ma’sum baru pertama kali mengikuti kelas menulis di Paradigma. Menurut bocoran, info yang dia dapat soal KLPI diawali dari chatingan dengan seorang penulis buku yang kerap diundang KLPI. Isi chatingannya akhirnya menuntunya agar ikut di kelas yang sering digelar tiap akhir pekan ini. Ma’sum kemudian datang. Dia membawa dua tulisan sekaligus, puisi dan sejenis cerpen.

Tulisan yang “sejenis cerpen” itulah yang jadi awal percakapan kawankawan. Dari tulisannya, Ma’sum berkisah tentang perjalan seorang anak yang tumbuh besar dari persusuan bukan ibu kandungnya selama masa menyusui. Anak itu kemudian tumbuh dewasa, dan setelahnya, dengan harapan ingin menjadi orang yang berguna, dia melanjutkan fase hidupnya untuk menempuh pendidikan jauh dari desa kelahirannya yang dikisahkan belum memiliki sarana energi listrik.

Tulisan Ma’sum tidak lebih dari selembar kertas. Tapi, isinya sedikit banyak mampu merangkum sebagian besar perjalan seorang anak dari kecil hingga dewasa. Kalau mau dibilang, tulisan itu mirip dengan bahan dasar ketika orang ingin menulis cerita yang berkembang dengan beragam alur dan lebih panjang, novel misalnya.

Ketika Ma’sum berkesempatan memberikan pendakuannya, ia hanya mengatakan bahwa yang ia lakukan hanya ingin menulis kisah seorang anak yang hidup di pelosok desa, dan kemudian akhirnya mampu melanjutkan hidupnya dengan cara berpendidikan. Begitu kirakira yang berhasil disimpul dari ucapannya. Atau dengan kata lain, Ma’sum hanya mau menulis kisah seorang anak yang ada dalam kepalanya.

Pertanyaannya akhirnya menjurus kepada apakah tulisan Ma’sum bisa disebut cerpen? Atau barangkali bisa juga disebut miniautobiografi? Disebut cerpen karena, setidaknya tulisan itu memuat kisah seorang anak, memiliki latar peristiwa, dan anak itu sendiri sebagai tokohnya.

Disebut miniautobiografi, sebab Ma’sum mendaku, kisah yang ia tuliskan itu, tiada lain merupakan kisah hidupnya sendiri. Walaupun kemudian, mungkin Ma’sum menambahkan unsurunsur rekaan di dalamnya.

Wacana pun berkembang, dari pemahaman yang dibangun dan memang pada umumnya, indikator cerpen setidaknya memuat tiga unsur. Pertama adalah adanya tokoh. Tanpa tokoh, entah itu lewat sudut pandang orang pertama, kedua, atau malah ketiga, suatu cerpen mustahil dapat mengisahkan suatu peristiwa. Yang kedua, seorang tokoh, walaupun itu fiktif, adalah subjek hidup yang memiliki latar peristiwa tertentu. Latar peristiwa inilah yang menjadi elemen kedua di mana dari situ cerita digerakkan. Tanpa latar peristiwa, cerpen malah akan menjadi kisah yang susah dipahami konteksnya.

Elemen yang terakhir adalah konflik. Hidup tidaknya cerita, dinamis tidaknya kisah, lebih banyak ditentukkan oleh konflik di dalamnya. Cerpen yang tanpa konflik, bisa jadi bacaan yang membosankan. Bahkan tidak afdol suatu cerita tanpa dibumbui konflik. Melalui konflik, seorang tokoh cerita akan menjadi hidup karena memuati aspekaspek yang dimiliki manusia seperti cinta, nilai, pandangan hidup, atau pun prinsipprinsip yang diyakini. Melalui unsurunsur inilah, kadang konflik menjadi jalan masuk untuk membentangkan perselisihan antara tokoh maupun siapasiapa yang diceritakan di cerpen yang bersangkutan.

Dari struktur penceritaan, cerpen dibangun atas tiga atau empat tahapan. Pertama, adalah tahapan pembukaan. Kedua adalah awal terjadinya konflik, ketiga puncak konflik, dan terakhir adalah penyelesaian konflik. Struktur ini dikembangkan dari plot yang menjadi aliran penceritaan, yang di dalamnya perwatakan suatu tokoh dapat ditemukan biasanya dari dialog antara tokoh atau diceritakan langsung si pembuat cerpen.

Nah, dari beberapa pengertian sebelumnya, apakah karya tulis yang dibuat Ma’sum adalah cerpen? Atau malah merupakan semacam riwayat hidup?

Sebagaimana Ma’sum, dua kawan lain juga membawa cerpen. Ilyas bahkan membawa tiga cerpen sekaligus, walaupun cuman satu yang diberikan kesempatan agar dibacakan. Cerita yang dikisahkan Ilyas, salah salah satunya adalah cerita tentang suasana pemilihan ketua organisasi di suatu kampus. Dari latar suasana yang dibangunnya, jelas sekali Ilyas mengambilnya dari tempat dia aktif berorganisasi.

Demi menjaga kerahasiaan dari yang dikisahkan, maka Ilyas menggunakan tokoh rekaan demi menyembunyikan motif yang mendasari cerpennya ditulis. Walaupun begitu, jika orangorang yang dikisahkan membaca karangan Ilyas, dapat dipastikan mampu menangkap unsur ekstrinsik yang melarbelakangi unsurunsur intrinsik (salah satunya adalah konflik yang dikisahkan) yang termuat dalam cerpennya. Judul tulisan Ilyas kalau tidak salah mengingat adalah Intrik di Volksraad.

Yang bisa dipetik dari Ilyas adalah, suatu cerita jika mau ditulis, tidak mesti repotrepot mengambil kisahkisah yang jauh dari pengalaman sendiri. Apa yang secara tidak langsung diberikan Ilyas, merupakan salah contoh bahwa kisah suatu cerpen dapat diambil dari kehidupan real, tinggal bagaiamana si pembuat cerita menyusunnya dalam alur cerita tertentu.

Pasca Ilyas, giliran Syarif yang membacakan tulisannya. Perlu diketahui, seperti pendaukuannya sendiri, Kampung Kodok, tulisan yang dibawanya, merupakan karya tulis yang baru pertama kali dibuatnya. Tapi dari bagaimana cara dia memaparkan sturuktur kalimatnya, mendedah ideide kalimat, serta runutan paragraf secara deduktif maupun sebaliknya, kelihatan bahwa Syarif merupakan pembaca buku yang aktif (Tulisan Syarif dapat dibaca di Kala edisi minggu depan).

Yang mesti disimpulkan dari Syarif, terutama bagi siapa pun yang hendak berikrar menjadikan aktifititas menulis sebagai pekerjaan rutin, maka memperbanyak dan memperbanyak bacaan adalah kunci utamanya. Melalui membaca buku, dua pembelajaran dapat ditempuh sekaligus. Pertama, dengan membaca buku, akan sendirinya membantu daya pikir menjadi logis dan sistematis. Membaca buku secara tidak langsung, akan melatih struktur pikiran dalam melihat masalah menjadi runut dan jernih.

Kedua, tiada lain tiada bukan adalah bertambahnya informasi. Beragamnya pengetahuan yang diterima otak, secara biologis tentu akan menyehatkan organ otak. Secara mental, bermacammacam informasi yang masuk secara berlahanlahan membentuk suatu cara pandang dalam menilai suatu kasus. Bahkan, dengan membaca buku, sang pembaca akan banyak menerima beragam sudut pandang yang bisa membawanya pada pandangan yang objektif.

Persoalan lain yang turut dipercakapkan adalah apa beda esai dan opini. Banyak pandangan bermunculan dalam rangka melihat dua jenis tulisan yang kerap dipandang sama ini. Bila ditilik dari buku Inilah Esai, karangan Muhiddin M. Dahlan, esai adalah genre yang bermain diantara dua belahan puisi dan tulisan ilmiah. Esai, yang dalam pengertian umumnya adalah tulisan yang memuat suatu kasus dengan cara pandang tertentu, dalam buku Muhiddin M. Dahlan, seringkali mengandung unsur subjektif dan objektif sekaligus. Esai mengandung unsur intristik karena memuat sudut pandang tertentu dari penulis, dan objektif karena membangun argumentasi yang dipakai dengan cara ilmiah. Esai dalam hal ini terlalu subjektif akan menjadi semacam puisi, dan terlalu objektif akan ebih mirip tulisan ilmiah di forumforum resmi.

Sementara opini, dilihat dari bentuk dan gayanya, tidak jauh berbeda dengan esai. Ada pandangan di dalam forum yang menyebut tulisan jenis opini pada dasarnya adalah esai itu sendiri. Hanya saja diakibatkan dalam konteks penerbitan media massa, esai yang diterbitkan mewakili pandangan umum, maka disebut opini. Itu sebab, dalam perkembangan media massa, tulisantulisan yang masuk mewakili pandangan orang banyak terhadap masalah yang sedang mencuat ditaruh di desktop (kolom) opini.

Pandangan tentang opini berbeda dengan esai, selain karena ditentukan oleh penerbitan media massa, juga dipengaruhi banyaknya kalangan profesional yang menjadi kontributor kolom yang memang disediakan untuk masyarakat. Karena kebanyakan tulisantulisan yang masuk adalah kalangan profesional, maka dengan sendirinya mempengaruhi model dan gaya penulisan itu sendiri.

Akibatnya, gaya yang dipakai adalah jenis bahasa yang mewakili bahasa umum tanpa menghilangkan unsurunsur seperti ketika karya ilmiah dituliskan. Dari situ maka lahirlah jenis tulisan yang kerap dikenal sebagai gaya tulisan ilmiah populer. Disebut ilmiah karena tulisan sering kali menggunakan perspektif keilmiahan, disebut populer karena diperuntukkan kepada semua kalangan dengan bahasa yang lebih ringan.

Sebanyak limabelas orang terlibat di KLPI pekan 26. Kehadiran mukamuka baru sedikitnya bakal membutuhkan keterlibatan kawankawan yang lebih lama berkecimpung di kelas selama ini. Dengan tujuan agar ada pemahamanpemahaman soal tulismenulis yang dapat dipertukarkan, juga bisa langsung menceritakan pengalamanpengalamannya terkait proses kreatif saat mengerjakan satu karya tulis. Alhasil jika demikian adanya, maka emansipasi pengetahuan yang selama ini menjadi prinsip KLPI, cepat atau lambat akan memberikan hasil yang lebih memuaskan.

***
Kelas literasi Paradigma Institute, selonggar apa pun cara bekerjanya, tidak lepas dari penyelenggaraan yang mesti memerhatikan beberapa aturan yang telah disepakati. Hanya dua yang ingin ditekankan kali ini. Yang pertama adalah keharusan kawankawan memiliki pertofolio yang berfungsi sebagai perpusatakaan arsip. Kehadiran pertofolio ini, semenjak awal difungsikan selain sebagai arsip pribadi, juga menjadi catatan rekaman keterlibatan kawankawan selama di KLPI. Dari tulisantulisan yang disimpan di dalamnya, maka suatu saat akan menjadi bahan evaluasi dalam rangka menilai sejauh mana perkembangan kemampuan menulis kawankawan selama perminggunya.

Kedua adalah absen. Absen penting dikarenakan menyimpan datadata siapasiapa yang hadir setiap pekannya. Tugasnya sederhana, hanya mau melihat seberapa jauh kawankawan timbul tenggelam selama ber-KLPI. Yang malang dalam pertemuan kali ini, buku absen yang selama ini dipakai tercecer entah ke mana? Ada yang melihatnya?

Catatan KLPI Pekan 23

Kelas literasi PI sudah mulai dibuka. Kemarin, 31 Juli menjadi hari pertama setelah libur panjang pasca ramadan. Pekan kemarin adalah pekan 23 setelah kelas menulis PI babak 2 dimulai awal 2016. Tak dirasa sudah setengah tahun kelas PI berjalan. Alhamdulillah.

Seperti biasanya, setiap pertemuan, kelas menulis PI merilis catatan kecil buat dijadikan semacam laporan kegiatan. Kali ini catatan ini hanya mau kembali mengingatkan, hanya mau kembali menyapa kawankawan yang terbiasa dengan catatan seperti ini.

Agak susah bagi rutinitas yang berulang dijalankan mau terus dipacu jika sempat terhenti beberapa waktu. Kelas menulis PI sempat libur hampir sebulan lebih. Artinya, bisa saja spirit yang sudah berada pada kecepatan penuh tak bisa kembali ke jalur normal jika sebelumnya kelas menulis PI sempat “terhenti”. Butuh daya dorong besar untuk memulainya kembali.

Walaupun begitu komitmen yang semula sudah ditanam tidak mesti dibuat berhenti belaka. Kelas menulis PI punya niat bagi sesiapa pun yang terlibat bakal jadi penulis terlatih.

Dari awal kelas menulis PI menasbihkan dari rahimnya, akan lahir penulispenulis bertalenta. Penulis yang cakap dan mapan. Itu sebab gerbong KLPI harus terus didorong ke depan sejauhjauhnya.

Kabar baik selama ini dari rahim mungil KLPI sudah ada penulispenulis pemula yang berani bermunculan. Di catatan ini tak perlu dituliskan satusatu namanya. Biarlah karya mereka yang berbicara. Bukankah lewat tulisan suatu pernyataan dinyatakan. Prinsip ini hampir semua kawankawan KLPI tahu.

Visi sederhana KLPI di atas selama ini diterjemahkan dengan misi, bahwa setiap yang terlibat harus punya karya tulis tiap pekan. Ini sudah rutin jadi makanan kawankawan. Misi ini sejauhjauhnya berarti kawankawan nanti punya bundelan tulisan masingmasing. Kongkritnya, kalau mau itu bisa jadi buku di akhir tahun kelak.

Imajinasi semacam itulah yang terus dikembangkan KLPI. Setiap orang satu buku. Ini dilakukan hanya dengan cara setiap yang terlibat “wajib” menyetor satu karya tulis di tiap pertemuan. Tidak ada cara lain. Hanya itu.

Makanya, bagi pendatang baru, hal pertama yang harus diketahui adalah aturan main di atas. Jika tidak kawankawan diberikan kesempatan buat nimbrung selama tiga pekan untuk belajar bersama walaupun minus tulisan. Ini sudah seringkali dialami sebagian kawankawan. Dan, berhasil. Pekan keempat mereka sudah bisa bawa tulisan karya pribadi yang genuine.

Cara kerja KLPI hanya dua sesi. Pertama, setiap karya tulis berhak dipresentasekan penulisnya. Di momen ini dengan leluasa setiap penulis bisa dengan senang hati menceritakan seluk beluk tulisannya, mulai dari proses produksi sampai konten tulisan. Dari ide yang masih berkelabat sampai karya tulis yang menjadi rapi.

Kedua, sesi kritik. Di sesi ini yang bekerja dengan pendirian tiada tulisan yang bersih dari dosa. Tiada tulisan yang licin tanpa cela. Sesiapa pun tidak lolos dari prinsip ini. Aturan ini berlaku universal kepada siapa pun, baik yang amatir maupun yang sudah expert. Semuanya sama.

Kadang sesi kritik jadi tegang akibat aura mahkamah yang dibuatbuat serius. Tidak ada mainmain di sesi ini. Jika salah maka salahlah dia. Jika benar maka jadi contohlah dia. Tapi, semua samasama tahu, betapa pun seriusnya sesi ini, selalu ada halhal yang bakal membuat encer forum. Itu sebab, sesi ini tak berat dijalani, akhirnya.

Pekan 23 KLPI kemarin, kawankawan kedatangan Muhary Wahyu Nurba. Sosok yang sarat pengalaman dunia literasi. Di Paradigma Institute, kanda Muhary bukan sosok asing. Dia pernah lama bekerja sama dengan orangorang PI, bahkan menjadi bagian dari PI. Sekarang beliau berdomisili di NTB, mengasuh satu harian surat kabar di sana.

Pertemuan kemarin banyak hal yang disharing Muhary. Beliau cakap menyampaikan pengalaman dan ilmu seputar literasi. Suasana jadi semakin akrab karena di forum tiada sekat, yang ada malah sebaliknya, kawankawan bebas berdiskusi dan mengajukan pertanyaan sebanyakbanyaknya.

Yang esensil dari penuturan Muhary, barangsiapa hendak menjadi penulis maka kenalilah dirimu sebelumnya. Tiada penulis baik sebelum mengetahui siapa dirinya.

Prinsip ini begitu penting sekira akan menentukan orisinalitas karya tulis. Banyak kasus penulis yang gagal di tahap ini. Akibatnya, karya tulisnya adalah cermin diri yang suka membeo karya tulis orang lain.

Juga, tugas penulis yang baik, sepenuturan Muhary, adalah menelurkan karya yang baik. Pengalamannya selama mengasuh Lombok Pos, bukan nama yang jadi ukuran bila memilih tulisan layak terbit, melainkan karya tulis yang baik.

Tanggung jawab penulis intinya hanya satu, melahirkan karya tulis yang baik, di mana pun itu, sampai kapan pun.

Pekan 23 KLPI kemarin juga merupakan sejenis halal bi halal. Tradisi yang cuma ada di Indonesia. Sekaligus juga ajang silaturahmi pasca libur ramadan.

Harapan kawankawan pertemuan ini bisa jadi pemanasan buat pekan depan. Dengan membuat simpul kembali, energi yang sempat terpecahpecah bisa pulih dengan silaturahmi. Bukankah umur panjang hanya bisa lewat ajang silaturahmi?

Begitulah catatan ini dibuat. Pertama, sebagai ajang pengingat, yang kedua menjadi tali simpul yang mengikat kembali semangat dan harapan KLPI. Juga siapa tahu bermanfaat buat kawankawan yang belum sempat dan sudah pernah menginjakan kaki di KLPI Makassar. Untuk bersilaturahmi belaka, hanya itu.

Selamat beraktivitas kembali KLPI Makassar.

 

 

Catatan KLPI Pekan 14

Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis. 

Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran.

Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya KLPI menaruh utama pada niat. Kemauan. Karena itu semua kawankawan mesti tahu, kunci gerakan satusatunya adalah niat mau memikul visi. Makanya, sampai hari ini KLPI belum mau membikin barisan massa. Yang jadi tujuan orangorang yang mau belajar. Yang mau menerima visi literasi. Cukup itu saja.

Jumlah kadang membuat soal. Karena perkara jumlah kadang suatu niat jadi matematis. Dan apabila suatu maksud jadi matematis, kadang di situ suatu harap berubah untung rugi. Bicara gerakan kami sudah mewanti dari awal, yang mendasar merupakan kesabaran. Yang bikin gerakan nampak istikomah karena mau bersetia. Ini prinsip kedua; setia pada visi.

***

Akhir pekan ini hari yang sibuk. Hampir sebagian kawankawan punya tugas masingmasing. Juga ada yang mengalami gangguan kesehatan. Apa boleh dikata biar minim kelas mau tak mau harus terus berjalan.

Di kelas seperti biasa selalu ada tema yang jadi bahan omongan. Kali ini menyoal kebiasaan buruk saat mahasiswa hendak ujian meja; parsel. Agaknya ini memang sudah jadi tradisi. Akibatnya, tak banyak yang mau menggubris. Padahal, jika mau menelisik masuk ke dalam soal, kebiasaan ini nyatanya bikin banyak mahasiswa resah. Sumber keresahan pertama, pasal biaya. Informasi yang beredar kalau mau setor parsel harus macammacam isinya. Ari bilang bahkan sampai gula pasir jadi isinya. Karena itulah banyak fulus harus dikeluarkan jika menyediakan satu parsel. Masalah makin berat kalau parsel disediakan buat empat sampai lima orang dosen. Jadi masingmasing punya satu parsel buat dibawa pulang.

Kedua, parsel yang dibeli mahal itu katanya sudah dijatah. Ini yang bikin sesak. Cerita yang berkembang karena banyaknya mahasiswa ujian tiap periode waktu tertentu, biar tidak bosan, parsel dijatah model dan isinya. Contoh, jika ada ujian hari pertama bawa parcel berisi ratarata makanan manismanis, besok kalau bisa bawa jenis paganan yang harus berbeda. Bahkan urusan nasi kotak, kalau bisa jangan ituitu saja. Misalnya sering pakai jatah Wong Solo, besokbesok seleranya kepingin nasi padang misalnya.

Dengardengar, pasal ketiga yang bikin miris, kebiasaan ini akhirnya menciptakan lapangan kerja baru. Hanya karena kebiasaan ini jadi ramai akibat masingmasing jurusan jadikan ajang saing parsel, di situ timbul hasrat ekonomi. Makanya pasar tercipta dengan terbentuknya semacam penyedia parcel mirip kathering makanan. Katanya, kalau informasi ini valid, usaha ini dilakukan ibuibu pegawai fakultas. Nampaknya, kali ini hukum ekonomi tercipta: pasar selalu tercipta seiring kebutuhan manusia.

Yang terakhir, parsel akhirnya jadi prasyarat ujian. Padahal tak ada aturan manapun yang mengharuskan bawa parsel. Malangnya akibat sudah kebiasaan, walaupun tak ada aturan, cara ini bekerja berdasarkan konsensus antara mahasiswa dan dosen bersangkutan. Ini terjadi akibat proses sosialisasi yang kemudian terinternalisasi menjadi nilai asupan. Peter L Berger bilang, kemudian proses lanjutan dari model semacam itu akhirnya terinsititusikan dengan caracara tertentu. Sosiolog ini menegaskan, apabila sudah terinstitusikan maka pasti ada proses legitimasi yang menopang keadaan baru yang terterima begitu saja. Ini dibilangnya sebagai bagaimana kenyataan sosial itu terbentuk.

Artinya kebiasaan ini bukan tanpa sebab. Hasil omongan kemarin, asalusul tradisi ini dimulai kisaran tahun 2009 atau 2010. Hitunganhitungannya, jika kuliah dianggap normal dihabiskan selama 4 sampai 5 tahun, maka kebiasaan ini dilakukan mahasiswa angkatan 2004 atau 2005. Ini baru analisis sederhana. Namun, coba tebak, tradisi apa yang melatarbelakangi jika di tahuntahun itu kebiasaan ini bermula? Situasi akademik macam apa yang memungkinkan perilaku macam demikian terjadi?

Sebenarnya, banyak juga dosen yang tidak sepakat soal itu. Cuman secara politik dosendosen yang menolak kalah dominan jika bicara pengaruh. Akibatnya, walaupun katanya sudah ada pelarangan secara lisan dari pimpinan kampus, tetap saja kalau perilaku itu tetap dijalankan. Kalau bicara benar salah, dosen yang menolak sudah benar. Itu niat yang memang diharapkan. Tapi bicara sikap belum tentu, soalnya apa daya jika pernyataan lisan berkata tolak tapi tidak ada tindakan nyata meminimalisir kebiasaan buruk parsel.

Ini perlu sikap nyata soalnya parsel bisa jadi saluran kepentingan busuk. Kadang parsel diungkapkan sebagai bentuk terimakasih kepada dosen karena sudah meluangkan waktu buat bimbingan. Itu barangkali bisa diterima. Tapi, bagaimana jika niatnya bukan soal itu, melainkan usaha membikin urusan beres. Kalau begini, parsel terhitung gratifikasi. Akibatnya, parsel merusak hubungan objektif dari segi penilaian, sehingga siapa paling “ramai” parselnya maka kemungkinan besar dia bisa dapat nilai tinggi. Bayangkan praktek suap seperti ini ternyata dimulai dari institusi pendidikan. Gawat.

Kadang pula parcel dihitung sebagai honorarium penguji saat ujian. Pertanyaannya, kemana pembagian pembiayaan buat dosen pembimbing yang sudah diatur sebelumnya. Bukankah semua itu sudah disusun jadi bagian pendapatan dosen. Apalagi, bimbingan dan pengujian penyelesaian sudah merupakan tugas dosen di kampus. Artinya tidak perlu lagi biayabiayaan kalau mau membimbing atau menguji. Itu sudah punya anggaran khususnya dari pihak fakultas atau universitas.

Masalah di atas kalau mau diteruskan maka juga melibatkan urusan manajemen keuangan kampus. Apakah selama ini soal anggaran bimbingan tidak punya anggaran? Kalau ada, apa soal sampai tidak diberikan kepada dosen yang punya hak. Lantas kemana uang selama ini yang dipakai atas sumbangan pembiayaan pendidikan yang berjuta itu? Janganjangan ada penggelapan anggaran dari mekanisme yang tidak transparan?

Obrolan ini akhirnya jadi panjang. Mulai dari kasus parsel tak disangkasangka sampai menyinggung soal mekanisme penyelenggaraan pendidikan, menyitir soal kebijakan institusi kampus, bahkan sikap intelektual dosendosen. Nampaknya jika diteruskan soal perbincangan kemarin bisa banyak membuka soalsoal laten yang tersembunyi saat ini. Tapi, ada tulisan yang harus pula dibahas.

***

Kalau tidak ada aral melintang, di waktu ke depan ada perencanaan mengundang seorang penulis novel ke KLPI. Ini belum jadi informasi umum, tapi kemarin sempat disinggung bahwa agaknya perlu memberikan semacam asupan materi yang berkaitan dengan penulisan fiksi. Pertimbangan ini didasarkan karena tiga pekan belakangan kecenderungan tulisan banyak menyentuh jenis tulisan bergenre sastra. Selain itu, ini bisa menjadi faktor pendorong agar kelas menemukan energi baru untuk merefresh suasana kelas yang agak menurun.

Kiwari, menulis akhirnya jadi pekerjaan yang menuntut perhatian lebih dari biasanya. Bagi kawankawan, ini merupakan satu level yang menjadi tantangan. Tantangan pertamanya, untuk menulis satu karya maka perlu menemukan waktu luang yang mampu dipakai semaksimal mungkin. Waktu, dengan beragam kesibukan kawankawan, akhirnya harus lebih diatur berdasarkan daftar kegiatan yang sudah disusun.

Tantangan kedua soal perhatian. Tak bisa dipungkiri setiap orang punya kesibukan sehingga akibatnya menuntut beragam perhatian. Menulis sebagai suatu pilihan juga mesti diberikan perhatian khusus jika sudah menjadi agenda rutin. Orangorang yang serius mau belajar menulis setidaknya pasti punya perhatian lebih jika ingin menelurkan satu karya tulis. Dengan kata lain, tanpa mengenyampingkan tugastugas lainnya, penulis memang harus punya karya tulis. Itulah sebabnya setiap minggu KLPI dibuka buat melihat seberapa jauhkah karya tulis kawankawan diproduksi.

Sampai di sini KLPI harus kembali membangun target baru. Atau kembali mengevaluasi targettarget yang selama ini dipakai. Ini mesti dilakukan untuk memperbaharui penilaian di kondisi yang terbaru. Apaapa yang telah tercapai di dua bulan terakhir, apaapa yang belum sempat terealisasi, bagaimanakah tulisantulisan yang masuk, apakah ada kemajuan kualitas tullisan atau justru stagnan. Atau bagaimanakah pendekatan penilaian yang seharusnya dipakai. Juga termasuk, siapasiapa yang masih komitmen dengan KLPI. Yang terakhir ini agak ideologis, jadi anggap saja KLPI masuk kategori siaga tiga.

***

Kala kemarin menurunkan dua tulisan yang bisa dibilang tidak fresh. Penyebabnya meja redaksi kadang kosong dari tulisan kawankawan. Selain tulisan Sulhan Yusuf yang tiap minggu masuk, Kala dua terbitan terakhir mengambil tulisan dari dua blog anggota KLPI. Ini tidak sehat apabila mau menjunjung etika jurnalisme terutama soal tulisan yang harus up to date. Namun, keuntungannya Kala bukan jenis media macam begitu, sehingga bebasbebas saja mencaplok tulisan yang beredar di seputaran dunia maya kawankawan.

Waima, setidaknya ada perhatian soal keberlangsungan Kala dengan menyisihkan satu dua tulisan. Akan jauh lebih baik jika itu dikhususkan buat Kala. Hitunghitung Kala bisa menerbitkan tulisan yang terbaru. Juga, setidaknya bisa memberikan pengetahuan baru buat pembaca Kala di tiap pekannya. Terakhir, alangkah baiknya kawankawan bisa jadi corong Kala beredar di kampuskampus.