Arsip Kategori: Cerpen

Korupsi Mulyono

Hari menjadi kering. Kemarau panjang melunasi banjir sebelumnya. Aku tak menduka mengalami kemarau yang entah ujungnya seperti apa. Entah hujan akan datang di saat seperti apa. Aku mengalami dahaga yang entah seperti apa aku mengakhirinya. Semenjak  kepergiannya, segalanya seperti hancur lebur. Tak ada yang tersisa. Hati jadi remuk. Gairah jadi hilang. Aku linglung. Dia tak akan pernah kulihat lagi.

***

“Aku mencintaimu.”

Aku mengucapkan kata itu sebagai ungkapan rasaku kepadanya. Aku merasa ini sudah waktu yang tepat setelah bertahun-tahun aku memendamnya. Aku masih ingat persis situasi apa aku mengatakannya. Di saat hujan sedang turun pelan-pelan. Tak begitu deras, namun awet hingga sudah melahirkan genangan pada lubang jalan yang kami lalui. Motor Jupiter Z yang kupunya menjadi saksi hari itu. Dia tak menjawab. Dia hanya diam sambil memegangi ujung bajuku untuk menahan dirinya agar tidak terguncang dengan jalan berlubang kami lalui.

Setiba di rumahnya, sebelum membalikkan badan menuju pintu rumahnya, dia mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah ditemani belanja untuk keperluan rumahnya. Setiap hari minggu dia memang selalu menyempatkan pergi belanja ke swalayan untuk kebutuhan rumahnya. Aku hanya mengangguk kepala sebagai tanda ucapan sama-sama. Walau dalam hati aku masih berharap dia mau membahas pernyataan cintaku padanya.

Aku belum beranjak dari depan rumahnya hingga benar-benar dia hilang di balik pintu yang ia tutup kembali. Setelah itu, barulah aku membunyikan motorku, lalu melaju pelan menelusuri jalan sambil memikirkan apa yang telah aku lakukan. Sedikit sesal hadir dalam pikirku. Mengapa aku harus mengatakan perasanku padanya. Tidakkah itu bisa membuat kedekatanku dengannya berjarak. Kenapa aku tidak menyimpan saja rasa cintaku padanya. Seperti selama ini. Mengalami sendiri tanpa harus membagi kepadanya. Bagaimana jika dia menolakku? Perasaanku kalut.

Hari Minggu datang lagi. Seperti biasa melalui pesan singkat dia meminta tolong ditemani. Mengantarnya pergi belanja. Di perjalanan menuju rumahnya, pikiranku penuh harap namun cemas. Mungkin kali ini dia sudah akan menjawab cintaku. Tapi kira-kira seperti apa jawabannya. Apakah menerima atau menolak. Gejolak jiwaku semakin tidak menentu.

Saat aku tiba di depan rumahnya. Dia sudah menunggu di teras rumah. Rumahnya sangat besar seperti istana. Aku belum pernah masuk ke dalam rumahnya. Dengan melihat dari tampak depan, aku hanya bisa mengira-ngira bahwa di dalamnya pasti mewah. Perabotnya bisa jadi impor dari luar. Dia pasti punya pembantu. Membantu untuk mengurus segala keperluan rumah. Tapi kenapa dia yang harus pergi belanja mingguan? Semua hanya tinggal pertanyaan. Aku tak berani mempertanyakan semunya. Aku hanya sering menunggu dia bercerita di sepanjang jalan menuju swalayan. Lalu tanya lain yang sering pula muncul kenapa dia tidak naik mobil ke swalayan. Secara, beberapa mobil yang bermerek terparkir digarasinya? Aku hanya mencoba membuat hipotesis sendiri, bisa jadi kalau bawa mobil jadi ribet karena jalan padat kendaraan, semuanya bisa lambat, atau barangkali ini cara dia untuk bertemu denganku. 

***

Aku pertama kali bertemu Rani, Rani Afriani nama lengkapnya, di sebuah forum di kampus. Kala itu, kami sama-sama nimbrung dalam diskusi tentang feminisme. Aku lihat dia di antara para peserta. Satu hal menarik perhatianku kala itu adalah buku yang dibawanya. Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi dipeganginya sambil serius memperhatikan narasumber berbicara. Perempuan di Titik Nol sebuah novel yang ingin membela perempuan dari budaya patriarki. Ini budaya yang cukup lama menekan perempuan. Tak hanya Mesir sebagaimana setting novel itu, Nawal seperti mewakili seluruh perempuan di dunia.

Setelah diskusi selesai, aku menghampirinya. Lalu tegur sapa berjalan. Sekadar basa basi. Tanya nama satu sama lain. Kami akhirnya kenalan. Lalu berlanjut mengenai buku yang dibawanya.

“Sudah selesai membaca buku itu,” tanyaku sambil menunjuk buku yang dibawanya. Buku Nawal yang bersampul merah itu.

“Belum, sedikit lagi,” jawabnya singkat sambil memperlihatkan pembatas bacaannya.

“Kamu sudah membacanya,”

“Sudah, bulan yang lalu,” jawabku.

“Selesai aku baca kita bisa diskusi ya,” pintanya padaku. Mendengar itu, aku menganggukkan kepala tanda setuju.

Aku kira dia tidak seterbuka itu. Dugaanku ternyata kurang tepat. Tapi, dugaanku juga tidak sepenuhnya salah. Dia memang tertutup hal-hal lain. Selain bicara buku semuanya susah untuk diakses. Tak banyak kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya. Banyak rahasia yang ia simpan dalam pikiran dan hatinya. Kita tak bisa menebaknya.

Berselang dua hari dari acara diskusi itu, aku ketemu lagi dengannya di gazebo kampus. Di situlah aku diskusi buku Perempuan di Titik Nol. Aku banyak mendengar, sesekali saja aku menanggapinya. Ia sangat detail mengurai Patriarki. Baginya ini budaya sudah lama membunuh potensi perempuan. Beberapa generasi perempuan tidak bisa mengembangkan diri seutuhnya. Bayangkan jika budaya ini tidak ada dan sepanjang sejarah menjajah perempuan kita akan melihat bagaimana kontribusi besar perempuan dalam membangun dunia.

Semenjak diskusi di gazebo itu, akhirnya kami sering janjian. Ketemu dan mendiskusikan buku-buku yang masing-masing kami baca. Seiring waktu aku dan dia semakin akrab. Perasaanku yang awalnya seperti biji saat pertama kali melihatnya, kini semakin tumbuh dan sehat. Kebahagiaan mengisi ruas-ruas hatiku. Aku tak sabar menunggu waktu dan hari di mana kami janjian. Terus dan terus aku merasakan derita bila tak bertemu dengannya. Walau semua yang kurasai belum kusampaikan padanya. Tetap saja aku bahagia. Cintaku tak mesti aku sampaikan. Biarlah aku menyimpannya hingga ia menemukan waktunya sendiri untuk diungkapkan.

***

Rani seperti misteri yang memiliki lapis-lapis makna. Aku selalu saja terjebak pada dugaan yang tidak tepat. Aku tak bisa mengurainya dengan utuh. Selalu saja ada sisi yang terlewatkan. Berulang kali aku salah. Sudah bertahun-tahun aku mengenalnya. Tapi, tak banyak bisa aku ketahui. Tentang keluarganya ia sangat tertutup. Walaupun aku sudah terbuka bercerita keluargaku padanya. Hampir semua yang rahasia aku ceritakan dengan harapan dia bisa bercerita kembali. Namun, itu perbuatan sia-sia yang kulakukan. Dia datar menanggapi semua ceritaku. Aku pernah sekali memintanya bercerita tentang dirinya atau keluarganya, dia hanya bilang tak ada yang menarik dicerita dari diri dan keluarganya. Mendengar jawabannya itu, aku tak pernah lagi memintanya bercerita.

Entah dengan berjalannya waktu, semakin kesini, aku menjadi yakin bahwa akulah teman satu-satunya sangat akrab yang lain hanya teman begitu saja. Tak ada satu pun teman kelasnya yang karib padanya. Semua berjalan biasa. Apalagi teman kelasnya tidak ada yang suka pada buku. Sedangkan dia hanya ingin bercerita tentang buku. Ada satu seniornya, perempuan yang biasa ia temani, juga suka sekali membaca buku, namun satu tahun terakhir mulai sibuk dengan skripsi. Tidak ada lagi waktu mengajaknya mengobrol. Akhirnya, aku menjadi pilihannya. Mungkin saja aku adalah pilihan terakhir yang memiliki kesenangan yang sama pada buku. Atau bisa jadi, ia juga menaruh hati padaku. Tapi, entah. Aku tak bisa menebaknya.

“Hari ini selesai baca buku apa?” aku mulai mengobrol dengannya. Dan selalu begitu memulainya. Seperti sudah menjadi template.

“Aku baru saja selesai membaca Albert Camus,” jawabnya

“Buku yang mana?” tanyaku lagi

The Outsider,”

Aku sangat terkesan apa yang dilakukan oleh Mersault. Albert Camus membuat tokoh yang  mengusik apa yang hilang dari manusia yakni kejujuran. Mersault sangat jujur dengan kehidupan yang dimilikinya. Tak ada kepura-puraan. Semuanya ditampilkan apa adanya. Aku sangat ingin seperti tokoh di buku ini. Begitu ia melanjutkan setelah menyebutkan judul bukunya. Lagi-lagi aku hanya mendengar. Jika berhadapan dengannya dan mulai bicara buku, aku lebih banyak mendengar. Aku melihat dia sangat antusias jika mulai memaparkan buku yang dibacanya.

Di pertemuan selanjutnya, masih sama. Tak ada yang lain mengisi pembicaraan kami. Cuma yang berbeda dari sebelumnya, jenis buku yang kami bicarakan. Walau kadang jika ada hal yang menurutku berbeda apa yang kumaknai dari buku yang dibicarakan, bisa melahirkan debat yang serius di antara kami. Apalagi jika aku secara sengaja memilih argumentasi lain, diskusinya bisa jadi panjang. Tapi jarang aku melakukan hal seperti itu. Biasanya kulakukan, jika aku ingin melihatnya lama-lama. Menatap wajahnya yang tirus dengan balutan jilbab yang pas. Melihat bola matanya yang agak besar, hidungnya  tidak terlalu mancung dan giginya yang rapi. Mengamati dagunya terbelah, bibirnya yang tipis dan lesum pipinya begitu mungil.

Masih sama, dua hari setelah kami berdebat serius, kami ketemu lagi di tempat biasa. Di gazebo kampus. Gazebo selalu saja kosong jika kami janjian di tempat itu. Seolah-seolah tempat itu dibuat untuk kami. Karl Marx jadi topik kami. Aku bilang padanya sesekali ia perlu membacanya. Ternyata dia sudah pernah membacanya. Menurutnya, hal dia sukai dari Marx yakni semangat perlawanannya terhadap ketidakadilan. Teori-teorinya dibuat untuk membela yang termarginalkah. Mengurai realitas yang timpang. Dia berharap ada tokoh Islam yang demikian. Mendengar itu, aku sarankan untuk membaca Ali Asgar, Hasan Hanafi dan Ali Syariati. Tokoh Islam punya semangat membela keadilan. Melawan penindasan. Menafsirkan Islam dengan semangat pembebasan. Mendengar saranku, dia akan membacanya di lain waktu katanya.

***

Kampus jadi rusuh. Ribuan mahasiswa melakukan protes. Gedung perkuliahan ditutup oleh demonstran. Dosen-dosen tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya pasrah melihat massa yang begitu banyak. Setelah pengumuman oleh Lembaga Anti Korupsi (LAK) bahwa salah satu pejabat tinggi korupsi Bantuan Sosial (Bansos) mahasiswa jadi marah. Ini adalah akumulasi kemarahan setelah sebelum-sebelumnya pejabat selalu lolos dari proses hukum. Namun, kali ini sulit rasanya pejabat itu lolos. Tekanan publik sangat kuat. Semua media memberitakan dan menjadi headline.

Aku salah satu dari ribuan massa yang ikut melalukan demonstrasi menuju gedung LAK. Di antara kerumunan itu, aku mencari-cari Rani. Sebenarnya, suatu yang sulit menemukan Rani dari ribuan massa yang ada. Aku hanya sempat melihat seniornya yang sibuk skripsi. Mungkin dia lagi mumet dengan skripsinya hingga mengisi waktu turun demo atau bisa jadi ini bentuk pedulinya terhadap masyarakat yang uangnya telah dikorupsi, begitu gumamku dalam hati setelah dari jauh kami hanya saling melempar senyum.

“Pancung koruptor…!!!

“Habisi kroni-kroninya…!!!

“Hidup rakyat….!!!

“Hidup mahasiswa….!!!

Teriakan-teriakan mahasiswa di depan gedung LAK menggema. Di balik gemuruh suara mahasiswa, aku tetap sibuk menoleh kiri kanan mencari Rani. Aku tetap berharap bisa melihatnya lalu mendekatinya. Bagiku, ini adalah momen paling romantis bisa bersama berjuang untuk rakyat, ditemani atau bersama dengan orang yang dicintai, walaupun belum pasti dia mencintai kita atau tidak. Tapi sampai demonstrasi selesai, aku tak bertemu Rani. Sampai di kampus kembali, Rani benar-benar tidak aku dapati. Jangan-jangan dia tidak ikut demonstrasi, ah tidak mungkin. Begitu aku menyangga pikiranku sendiri. Secara, dia sangat benci yang namanya korupsi. Beberapa kali juga dia ikut demo dengan isu yang sama. Beberapa kali juga dia menyampaikan kepadaku penuh amarah bahwa betapa merugikannya para koruptor itu.

Sehari setelah demo besar-besaran, media sudah memberitakan penangkapan Mulyono pejabat yang korupsi itu. Mulyono diduga korupsi 100 Milyar dana Bansos. Di media wajahnya ditampilkan, tapi raut wajahnya tak menampakkan penyesalan. Ketika dicegat oleh wartawan dan tanyai dia malah senyum-senyum saja. Sungguh menjengkelkan melihatnya. Aku sampai meludahi TV yang menampilkan wajahnya. Koruptor seperti Mulyono wajib dihukum seberat-beratnya, begitu pikirku. Dan, memang seperti itu tuntutan teman-teman mahasiswa. Mereka harus dimiskinkan. Segala kekayaannya baiknya disita.

Dua hari setelah penangkapan Mulyono, kehebohan terjadi lagi. Semua media memberitakan dan headline. Beritanya masih mengenai Mulyono. Kali ini, berita mengenai bunuh diri anaknya. Salah satu anaknya gantung diri di kamarnya. Menurut pemberitaan, anaknya bunuh diri karena merasa malu bapaknya jadi koruptor. Awalnya aku hanya mendengar dari teman-teman mahasiswa. Belum menonton langsung. Karena penasaran, akhirnya menyempatkan mampir di kantin kampus menonton beritanya. Tak lama aku, menonton aku begitu kaget, karena nama yang tertera di keterangannya sangat jelas tertulis Rani Afriani.

Wajah anak yang bunuh diri  oleh TV diburamkan sehingga aku tidak bisa memastikan apakah itu benar-benar Rani. Tapi, hatiku mulai deg-degan. Pikiranku bercampur baur.  Apakah benar Rani, atau hanya namanya saja yang mirip. Untuk memastikan semuanya, aku mencoba mendatangi teman kelasnya. Mencarinya di ruangan biasa  mereka tempati kuliah. Di sana aku dapati teman-temannya berkumpul saling berhadap-hadapan dengan wajah sedih. Melihat itu, detak jantungku semakin tak karuan. Sedikit sesak menyerangku. Napasku terasa tidak teratur. Setelah masuk dalam kelas aku bertanya.

“Benar itu Rani?”

“Benar, itu Rani,” dengan hampir serempak, mereka menjawab sambil menoleh kepadaku. Aku seperti ingin terjatuh. Tubuhku rasanya tak bertulang. Aku berupaya menahan tubuhku agar tetap berdiri kokoh, lama-kelamaan aku jadi lemas dan hampir jatuh. Untung salah satu dari mereka datang memegangiku dan menuntunku untuk duduk di kursi. Mereka memang tahu, bahwa aku memiliki kedekatan dengan Rani. Bahkan kebanyakan dari mereka menganggap bahwa aku adalah kekasih Rani.

“Kapan kalian ke rumah Rani?” aku bertanya ke mereka, setelah sekian menit duduk di kursi dan menenangkan perasaan. Memperkuat kembali otot-ototku.

“Hari ini sepulang kuliah,” salah satu dari mereka menjawab.

“Oo, aku ikut rombongan kalian ya,?”

“Baiknya begitu,” salah satu dari mereka meresponku.

“Ya,” jawabku singkat.

***

Di jalan menuju rumah Rani, sesak di dada sanga terasa. Apalagi kenangan tentangnya terbayang. Air mataku menetes dengan sendirinya bila semuanya teringat kembali. Aku masih belum percaya mengapa dia memilih jalan seperti ini.

Setelah menempuh dua puluh menit naik angkot,  kami akhirnya tiba di rumah Rani. Tampak orang sudah ramai. Ada juga beberapa polisi menjaga-jaga. Kami dipersilakan masuk ke dalam rumah. Baru kali ini aku masuk ke dalam rumahnya pas dia telah pergi. Rumahnya benar-benar istana. Tubuh Rani sudah terkujur dan ditutupi sarung. Aku melihat ibunya tak henti-hentinya menangis. Sambil mengucapkan kata “maafkan aku, Nak.”

Kami dipersilakan lebih dekat lagi dengan mayat Rani oleh salah satu keluarganya. Mungkin itu adalah kakaknya. Aku lihat wajah mirip dengan Rani. Ibu Rani, semakin meraung pas melihat kami bergantian mendekati dan melihat mayat Rani. Pas giliranku melihat mayat Rani, menatap wajahnya  yang sudah pucat rasanya aku ingin berteriak, aku ingin meraung. Kekasih yang aku cintai benar-benar telah pergi. Tapi semuanya masih tertahan dengan takut melahirkan keheranan bagi keluarganya. Melahirkan pertanyaan siapa aku yang harus menangis seperti itu. Satu hal tak bisa aku tahan, air mata tetap menetes, tapi buru-buru aku mengelapnya dengan tanganku. Agar kelihatan sewajarnya saja bersedih. Sewajar sebagai teman kuliah.

Proses pemakan selesai. Aku dan teman-teman kelasnya, juga sudah ingin kembali ke rumah masing-masing. Di saat kami sementara menunggu angkot, tiba-tiba datang seorang perempuan yang sudah berumur. Rambutnya sebagian sudah memutih, menghampiri kami. Dia asisten rumah tangga di rumah Rani.

“Siapa di antara kalian bernama Ardi,” tanya kepada kami

“Aku Bu,” sambil mengangkat tangan

“Nak, ini ada titipan surat dari Nak Rani sehari sebelum dia meninggal, dia berpesan agar diberikan kepada Nak Ardi jika sudah datang ke rumah,” kata perempuan itu sambil menyerahkan surat itu.

Tanpa aku bertanya panjang, surat itu kuambil dan langsung kumasukkan dalam tas ranselku. Yang keluar dari mulutku hanya ucapan terima kasih kepada ibu itu. Ibu menganggukkan kepala kemudian memintaku bersabar. Katanya, dia mengenalku sebab Rani banyak bercerita tentangku kepadanya.

***

Aku sudah tiba di rumah. Langsung masuk ke kamar. Di dalam kamarku, aku membuka kembali tas ranselku mencari surat Rani. Aku sudah tak sabar membacanya. Suratnya sudah kudapat di antara sela-sela buku yang sedang kubaca. Melihat surat Rani, mulai terbayang wajah, gerak langkah dan tuturnya. Air mataku lagi tak terbendung. Di situ aku betul-betul melampiaskan semuanya. Berteriak sekencang-sekencangnya. Meraung. Menangis sejadi-jadinya. Perlahan aku mengatur napas, walau masih tersedu-sedu. Aku ingin mulai membaca surat Rani. Kubuka pelan-pelan suratnya. Amplopnya sedikit basah dengan air mataku.

Dear, Ardi Ardiles

Terima kasih atas waktu yang engkau berikan kepadaku selama ini. Kehadiranmu menemaniku bercerita dan berdebat banyak hal khususnya perihal buku sejatinya dapat mengurai kesepianku di rumah.

Kebersamaan kita beberapa tahun ini, benar-benar membentuk cara aku berpikir. Buku yang kita pertukarkan benar-benar membentuk kepribadianku. Diskusi kita tentang Albert Camus, Marx dan pemikir-pemikir yang lain membuatku mengerti bahwa hidup yang kita hadapi memang bajingan. Dan aku merasakannya sangat dekat yaitu dalam rumahku sendiri.

Aku minta maaf, jika selama ini aku punya salah kepadamu. Mungkin engkau bertanya mengapa aku memilih jalan ini, sebagaimana yang sering kita diskusikan bahwa korupsi adalah penyakit ekstrem yang mengatasinya dengan menghabisi semua kroni-kroninya. Memiskinkannya. Atau membunuh mereka secara sosial. Tapi ternyata korupsi itu merajalela dalam rumahku sendiri. Oleh ayahku. Aku memilih tak hanya bunuh sosialku, aku memilih yang lebih ekstrem yakni menghilangkan nyawaku. Sepertinya cara ini, mungkin bisa menyadarkan kita bahwa korupsi memang sesuatu yang kejam.

Satu minggu sebelum pengumuman LAK, aku sudah tahu bahwa ayahku korupsi Dana Bansos, ayahku jujur pada ibuku dan aku sempat mengupingnya. Tapi, Ardi tahu kamu, selama ini sebenarnya aku sudah risi dengan segala kemewahan yang dimiliki oleh orang tuaku. Fasilitas mereka punya sudah menimbulkan banyak kegelisahan dalam hatiku. Itulah membuat batinku bergejolak. Pernah sekali aku bertanya pada ayahku dari mana semua ini, katanya tidak usah bertanya cukup kamu nikmati saja. Namun jawaban seperti itu justru semakin melahirkan kecurigaan, bahwa ada yang tidak beres pada semua ini. Itu juga alasannya mengapa aku tertutup mengenai diri dan keluargaku pada siapa pun khususnya kepadamu.

Ardi, mungkin aku tak menyesal walau bagimu itu sudah terlambat untuk mengatakannya. Tapi biarkan aku mengatakannya. Aku juga mencintaimu. Maafkan aku terlambat mengatakannya. Dan maafkan aku memilih jalan lain untuk melawan korupsi. Bagiku perlawanan seperti ini paling romantis yang bisa kulakukan. Sekali lagi aku menyayangimu.

Sekian.

Setelah membaca suratnya, aku kembali menangis sejadi-jadinya.













Lebih Dari Sekedar Tubuh (Cerita tentang mitos kemuliaan perempuan)

Sebagai seorang mahasiswa disalah satu kampus ternama, di kawasan Indonesia Timur, Anggun  memang memiliki kebanggan besar. Meskipun ia sendiri tidak memiliki pemahaman yang memadai, tentang rasa kebanggan itu. Yang jelas ia bangga dengan kampusnya. Mungkin, perasaan ini seperti cinta, yang seringkali tak memiliki alasan yang jelas. “Pokoknya, aku bangga dengan kampus ini,” gumam Anggun.

Tentu, kebanggan ini berasal dari berbagai pengalamannya, menghabiskan waktu di kampus, yang membuatnya dikelilingi teman-teman baik, dan menghiasi hari-harinya dengan canda tawa. Anggun menyadari, meskipun sebenarnya kehidupan kampus adalah wahana ilmu pengetahuan, namun rasa-rasanya ia begitu nyaman dengan kondisi ini. Kuliah, belajar, dan diskusi seperlunya, serta bersenang-senang, dengan kekonyolan masing-masing.

Sebagai perempuan muda dan berkulit putih, Anggun juga sering menggunakan jilbab, dan pakaian yang menutupi kulit serta lekuk tubuhnya. Anggun menganggap, tubuhnya merupakan simbol kesucian. Setidaknya, itulah kesimpulan yang bisa ia pahami, dalam setiap ceramah agama, tentang kesucian dan kemuliaan perempuan. Anggun selalu berusaha sejauh mungkin, untuk menjaga tubuhnya, agar tidak dijamah oleh lelaki yang bukan muhrimnya. Ia percaya, bahwa menjaga tubuhhnya untuk tidak dilihat, apalagi disentuh oleh lelaki, merupakan bagian dari usaha untuk menjaga kesucian yang merupakan bentuk kemuliaan seorang perempuan.

Tubuh dan Kesuciannya

Kesucian tubuh perempuan, seringkali digambarkan seperti sebuah permen, yang terbuka dari bungkusnya, dan dikerumuni oleh banyak semut penerkam. Berbeda jika permen itu, tertutup dengan bungkusnya. Tak peduli seenak dan semanis apapun permen itu, semut tak akan bisa menjangkau, dan menerkam permen itu. Tentu ini sebuah analogi yang sangat mudah dipahami, untuk menggambarkan kesucian perempuan. Seorang perempuan yang tertutup dengan jilbab dan pakaiannya, akan lebih mudah terlindungi dari sentuhan siapapun. Mudah untuk berpikir, bahwa berhasil menjaga kesuciaan, akan memperoleh kemuliaan, sebagai perempuan.

Dalam nuansa agama, konsep kesucian memang cenderung luas dan lebih dalam dari pemahaman yang berkembang di masyarakat. Diberbagai fatwa agama, lelaki diminta untuk menjaga perilaku dan pandangan, agar mencegah terjadinya tatapan menarik hingga sentuhan, antara lelaki dan perempuan yang bukan jodoh (suami-istri). Bahkan, seorang lelaki diancam dengan model penyiksaan yang pedih, diakhirat kelak, ketika ia dengan sengaja, menyentuh kulit perempuan. Sebegitu berbahaya apakah, hingga seorang lelaki yang menyentuh tubuh perempuan, akan mendapatkan siksaan yang pedih di akhirat?

Pemahaman ini, membuat Anggun mengerti, bahwa menjaga tubuh dari sentuhan lelaki, sangat penting bagi seorang perempuan, dan merupakan sebuah keharusan. Begitu besarnya akibat yang diberikan kepada lelaki yang menyentuh tubuh perempuan, membuat perempuan menyadari, betapa mulianya kesucian tubuhnya. Tak jarang, bagi perempuan yang begitu mendalami ajaran agama, ia begitu menyesal jika kulitnya disentuh lelaki. Tentu tak bisa terpikirkan, jika sentuhan ini, sampai membuah keperawanannya hilang.

Tubuh perempuan, memang dianggap sebagai sesuatu yang begitu sakral. Disitu terdapat keindahan, dan tanggung jawab besar, yang bahkan bisa meruntuhkan langit dan bumi. Begitu kira-kira agama memandang tubuh perempuan, secara filosofis. Dikalangan masyarakat sendiri, konsep ini dipahami sebagai sebuah kesucian, yang harus benar-benar dijaga oleh perempuan. Dalam tubuh perempuan, ada kesucian yang bersemayang. Apabila tubuh itu disentuh dan kehilangan keperawanan, maka kesucian perempuan pun hilang bersamanya. Hal inilah yang membuat, perempuan menjaga tubuhnya. Karena jika tidak, maka kesucian direnggut, dan kemuliaannya sebagai perempuan, juga ikut lenyap.

Anggun dan banyak perempuan lainnya, meyakini konsep kesucian dan kemuliaan perempuan seperti ini. Menjaga tubuh, agar tetap dinilai suci, merupakan hal wajib yang harus dilakukan. Jika tidak, maka harga diri sebagai perempuan, bisa hilang dalam sekejap. Tak peduli apapun alasannya. Tubuh sangat penting untuk dijaga.

Mempertahankan Tubuh dan Kesucian

Hingga suatu saat, Anggun mendapatkan perilaku keji dari seorang lelaki, di kampus yang dibanggakannya itu. Ia dijegal oleh seorang lelaki, saat selesai mengerjakan beberapa tugas kampus di salah satu gedung perkuliahan. Suasana kampus yang sepi, dan langit yang mulai menghitam, dimanfaatkan dengan baik oleh lelaki itu, untuk memanggil Anggun mendekat ke tempatnya yang sunyi, dan tengah sendirian. Merasa tidak enak, Anggun pun mendekat, dan berbincang santai.

Beberapa saat kemudian, alur pembicaraan mulai mengarah ke pembahasan yang seksis. Anggun merasakan itu dengan baik. Sebagai perempuan yang sudah cukup dewasa, ia mengerti dengan narasi yang diucapkan lelaki paruh baya itu. Ia pun mulai merasa risih, dan memutuskan untuk menjauh, dan segera pulang ke rumahnya.

Mendapati suasana seperti ini, sang lelaki pun dengan sigap, menarik tubuh Anggun, dan menyeretnya ke salah satu ruangan yang cukup dekat, namun tersembunyi. Tubuh yang tidak lebih kuat dari lelaki, membuat Anggun dengan mudah ditarik, dan masuk ke tempat yang diinginkan lelaki itu.

Ia meronta sejadi-jadinya. Ia berteriak sekuat tenaga, namun tak kunjung ada pertolongan. Lagi-lagi, suasan yang sunyi, dan lokasi kejadian yang cukup tersembunyi, membuat perlawanan Anggun sia-sia dibekam oleh tubuh kekar dan kuat oleh lelaki itu. Anggun pun mulai menyadari, bahwa kemampuan perlawanan dari tubuhnya mulai terasa hampir mencapai puncak. Tubuh yang Lelah dihantam banyaknya tugas dan aktivitas perkuliahan, tentunya tak memberikan harapan yang lebih besar, untuk melakukan perlawanan dan terlepas dari bekaman lelaki bejat tersebut.

Akhirnya, dengan tubuh yang kerkulai lesu dan lemah, Anggun menyadari bahwa tubuhnya sedang diganyang oleh lelaki tersebut, dengan penuh nafsu. Ia melihat dengan jelas, bagaimana mulut dan tangan lelaki itu, begitu lincah menjelajahi seluruh bagian tubuhnya. Tubuh yang lunglai, bersandar dengan lemah, dilantai yang lembab. Suara dan tenaganya sudah habis untuk melakukan perlawanan. Satu-satunya yang tersisa, hanyalah hati yang terus meronta, dan perasaan yang berharap datangnya pertolongan, entah dari mana pun itu.

Tak berlangsung lama, Anggun menyadari bahwa keperawanannya telah hilang. Tubuhnya bergetar dingin, keringatnya terus bercucuran, dan hatinya yang terus memaki perlaku bejat si lelaki. Hingga semuanya pun selesai, Anggun berjalan dengan lunglai, menuju ke rumahnya. Tubuhnya yang lemah, perasaanya yang hancur, membuatnya tidak bisa berbuat banyak saat tiba dirumah, selain mengurung diri di kamar mandi, menyalakan air, dan menangis sejadi-jadinya.

Ia begitu merasakan, betapa langit dan bumi runtuh dalam sekejap. Keperawanannya telah hilang, kesuciannya telah direnggut, dan kemuliaannya telah sirna. Baginya saat ini, tak ada lagi yang bisa dipikirkan, selain penyesalan atas peristiwa terburuk yang menimpa dirinya, di kampus yang begitu ia banggakan.

Bayang-bayang peristiwa itu, terus menari di pikirannya. Anggun tak bisa menyembunyikan penyesalan dan sakit hatinya, karena peristiwa itu. Ia tak kuasa menahan mulut dan tubuhnya untuk meronta, dan menceritakan kebengisan ini, kepada beberapa kawan yang dipercayainnya. Sontak, peristiwa ini membuat teman-temannya marah, dan membuat permasalahan ini, gempar dikalangan mahasiswa. Selain sebuah Tindakan kekerasan seksual, pelakunya juga merupakan seorang kakak tingkat, yang cukup terkenal dan disegani banyak mahasiswa lainnya. Meskipun kita menyadari, bahwa siapa dan bagaimanapun status sosial seseorang, ia tetaplah pelaku kejahatan seksualitas.

Demi Nama Baik Kita Semua

Setelah kabar tak sedap ini beredar begitu cepat dikalangan mahasiswa, pihak birokrasi kampus segera melakukan pemanggilan, dan penanganan terhadap kasus kekerasan seksual ini. Anggun menyadari, meskipun penanganannya terbilang lambat, karena dirinya sudah sejak lama memasukan pelaporan ini kepada pihak kampus, namun ia tetap berharap besar, pihak kampus dapat mengambil langkah bijak, untuk memberikan hukuman, dan setidaknya memberikan ketenangan kepadanya, sebagai seorang korban.

Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Bukannya malah mengambil langkah tegas secepat mungkin, untuk menangkap dan memberikan sanksi kepada pelaku. Pihak birokrasi kampus, masih melakukan koordinasi dengan seluruh pihak terkait, meski seluruh bukti telah terpampang jelas, dan ketentuan hukumannya pun telah diatur dengan rinci dalam tata cara penanganan kasus kekerasan seksual, di lingkungan kampus. Alasannya, tak perlu diragukan lagi. “Kami lakukan ini, demi nama baik kampus dan martabat kita semua,” ungkap pimpinan kampus dengan lembut.

Setelah beberapa saat, Anggun kembali menerima beberapa pertanyaan tajam dan sinis, dari beberapa petinggi di kampus. Ia memahami, bahwa berbagai pertanyaan itu, ditunjukan untuk mengetahui dengan baik, bagaimana kelalaiannya dalam menjaga diri, tubuh dan kesucian, serta kemuliaannya sebagai perempuan.

Nyatanya, kampus dengan segudang prestasi dan rating di atas rata-rata pun, tak mampu memahami persoalan ini secara sederhana. Lagi-lagi, ada harga diri dan martabat kampus yang dipertahankan. Bagi birokrasi kampus, ini bukan sekedar kasus kekerasan seksual. Lebih dari itu, terbukannya kasus busuk seperti ini, di kampus yang terkenal, akan sangat merusak citra dan moralitas kampus, bersama orang-orangnya.

Dengan pengalaman puluhan tahun menjadi Dosen, beserta buku dan berkas yang bertumpuk di meja mereka, tak mampu memahami bahwa, ada kemanusiaan yang rusak, dan hati yang gelap, untuk berempati terhadap penderitaan seseorang.

Kampus pun mengambil langkah damai, dengan berharap bahwa aktivitas kuliah bisa kembali lancar, Anggun dan lelaki bejat itu bisa berdamai, dan suasana kampus kembali steril, serta  mahasiswanya kembali sibuk mengerjakan banyaknya tugas perkuliahan. Kampus pun tak memberikan hukuman tegas, karena sang lelaki yang cukup terkenal. Menghukumnya akan menimbulkan berbagai pertanyaan kepada pihak kampus, yang membuat birokrasi terus tenggelam dengan masalah tersebut.

Teguran internal diberikan kepada sang lelaki, agar tidak mengulang kesalahannya lagi. Sementara Anggun, diminta bersabar, dan lebih berhati-hati jika beraktifitas di kampus yang telah sunyi.

Seperti banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual lainnya, Anggun juga tidak menerima perlakuan adil. Kampus yang begitu dibanggakannya, berubah menjadi sarang para manusia munafik, busuk, dan terus menyuburkan perilaku keji.

Dilema Perlawanan

Anggun merasa kampus tak kunjung berperilaku adil, dalam menangani kasusnya. Perasaan sakit hati, mendorongnya untuk terus berjuang, mencari keadilan. Ia menginginkan adanya sikap tegas, dari pihak kampus, untuk menghukum mereka yang bersalah.

“Jika tak mendapatkan sikap tegas, maka perilaku seperti ini pasti akan terus berulang,” gumam Anggun.

Baginya, keperawanan yang telah direnggut oleh lelaki itu, tak bisa ternilai dengan apapun. Itu merupakan simbol kesucian dan kemulian seorang perempuan, yang telah dirampas dan dirusak dalam sekejap.

Banyak orang juga berpikir, bahwa seorang perempuan yang tak mampu mempertahankan keperawanannya seperti ini, adalah perempuan jalang yang tak suci dan hilang kemuliaannya.

Namun, alih-alih mendapatkan dukungan dari pihak kampus dan masyarakat. Anggun justru menerima narasi yang menyakitkan, dan membuatnya dilema luar biasa. Disisi lain, ia ingin memperjuangkan haknya, namun bertabrakan dengan martabanya yang terus terancam.

Mudah untuk mengetahui, bahwa masalah kekerasan seksual, adalah hal yang tabu, sekaligus sangat menarik untuk diketahui oleh banyak orang. Kenapa sangat tabu? Karena seksualitas adalah sesuatu yang sangat intim, yang seharusnya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Dan kenapa sangat menarik, karena keperawanan, dianggap sebagai simbol kemuliaan perempuan. Tentu, perempuan yang tidak lagi mulia, akan mudah dianggap sampah, dan orang lain akan berpikiran berkali-kali, jika harus berurusan bahkan menjalin hubungan serius dengan perempuan seperti itu.

Dengan kondisi batin yang masih terus tertekan, Anggun menerima nasihat dari berbagai Dosen di kampusnya, untuk menghentikan persoalan ini, dan kembalilah untuk fokus menyelesaikan kuliah. “kuliah yang benar, dan cepat. Ketika lulus, jadilah perempuan sukses, dan kau bisa berkuasa, untuk menghukum mereka, para predator seksual,” begitu kira-kira, narasi Dosen, saat menasehati Anggun.

Kebimbangan mulai bergelora dengan kuat di dalam dadanya. Jika kasus ini terus diperbesar, maka akan semakin banyak, mahasiswa dan masyarakat mengetahui, bahwa ia adalah korban kekerasan seksual, yang kini tak lagi suci, karena keperawanannya telah hilang. Namanya akan disebut-sebut, sebagai perempuan tanpa kemuliaan, yang tak pantas untuk diikuti oleh orang lain. Bahkan, bisa-bisa harus dijauhi.

Nama Anggun mulai ramai diperbincakangkan, baik oleh mahasiswa dan masyarakat di kampungnya. Ia diketahui, sudah dalam kondisi yang tidak perawan, tidak suci, dan berlumuran dosa dan kehinaan. Anggun pun terus merasa bimbang, sembari batinnya terus bergejolak. Rasa-rasanya, dengan banyaknya tekanan ini, ia tak mampu lagi melawan. Bukan hanya melawan tersangka, dan pihak kampus yang harusnya bertanggung jawab, ia juga tak mampu menahan pandangan buruk dari masyarakat, tentang kesuciannya yang telah hilang dan direnggut oleh lelaki sialan itu.

Terbukannya kasus Anggun secara umum, dapat membuat dirinya didiskriminasi, akibat kehilangan keperawanan, kesucian dan kemuliaan sebagai seorang perempuan. Dimasyarakat kita, kesucian seorang perempuan, sangat lekat dengan tubuh, yang berarti ketika tidak mampu dijaga oleh perempuan itu, maka ia tak lagi memiliki kehormatan sebagai perempuan.

Tentunya, sebagai seorang perempuan, Anggun sangat malu, jika kabar tentang keperawannya yang telah direnggut ini, beredar terus dikalangan mahasiswa dan masyarakat. Pilihan untuk menghentikan penanganan kasus, dan menutup masalah ini, menjadi satu-satunya opsi, yang nampaknya bisa menjaga Anggun, dari pandangan diskriminatif. Langkah seperti ini, nampaknya layak diambil, jika seseorang hidup dalam masyarakat yang cukup awam, dan dikuasai oleh pola pikir patriarki.

Dengan penuh tekanan dan ketabahan, Anggun menghentikan dan menutup kasusnya. Ia berharap, kasus ini bisa hilang dari permukaan, dan tak akan banyak yang mengetahui, bahwa keperawanannya telah hilang, dan martabatnya sebagai perempuan, akan tetap terjaga dengan baik.

Sejak saat ini, ia tidak lagi bangga dengan kampusnya, yang ternyata cacat dalam berempati terhadap penderitaan mahasiswanya. Sifat mudah berempati dengan penderitaan seseorang, memang luput diajarkan di ruang-ruang perkuliahan, oleh para Dosen dengan deretan gelar yang dimilikinya. Bahkan, mereka sendiri nampaknya, masih belum mudah bersikap demikian.

Mitos Kesucian

Apa yang dialami oleh Anggun, merupakan potret buruk, yang seringkali menimpa perempuan di negeri ini. Perempuan yang rentan dengan kekerasan seksual, malah harus menerima rasa sakit yang berlapis-lapis, karena ketidakmampuan dirinya untuk melawan, dan dipaksa untuk bersikap baik-baik saja. Padahal, ada dada yang begitu sesak, batin yang begitu hancur, dan harga diri yang sia-sia.

Kasus seperti ini, memang sering terjadi dalam masyarakat yang didominasi oleh pola pikir patriarki. Perempuan kerap kali menjadi obyek kesalahan. Patriarki, memang selalu memposikan perempuan sebagai mahluk kedua, yang jauh dari kesetaraan. Alhasil, jika cara pandang patriarki terus digunakan dalam menyelesaikan sebuah perkara, perempuan akan selalu mendapatkan dalih, untuk disalahkan. Meskipun sebenarnya, ia adalah korban. Namun, bisa dengan mudah, menjadi penyebab, dan pelaku utama dalam setiap kesalahan.

Tubuh perempuan begitu diagungkan, dan disimbolkan sebagai kesucian yang hakiki. Kehilangannya, sama seperti kehilangan kemuliaan sebagai perempuan. Cara pandang seperti ini, membuat perempuan sangat menjaga tubuhnya. Keperawanan adalah sesuatu yang mahal. Kepemilikannya, membuat perempuan punya harga yang tinggi. Jika tidak, maka sebaliknya. Perempuan hanya akan dianggap, sebagai sebuah tubuh tanpa ada kemuliaan.

Menjaga tubuh, tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Tentu banyak alasan, yang membuat perempuan kehilangan keperawanannya. Salah satunya seperti Anggun, yang kehilangan keperawanan, dengan cara yang kejam dan tak direlakannya. Ada juga yang rela kehilangan keperawanan, karena bertarung dengan keperluan hidup. Apakah mereka, tak lagi mulia, karena kehilangan keperawanan?

Perempuan begitu takut, untuk mengungkapkan pelecehan dan kekerasan seksual yang diterimanya. Alasanya tak lain adalah, ketakutan menerima pendangan buruk, dan dianggap kehilangan kesucian, serta mahkota sebagai perempuan. Apalagi, jika diketahui banyak orang. Perempuan akan semakin malu, dan terpuruk. Alhasil, pilihan satu-satunya, adalah memilih diam dan bersabar, dengan tekanan batin yang diterima, kala melihat pelaku kekerasan tersebut, berleha-leha didepan matanya. Sambil berharap, ada balasan dari Tuhan yang maha esa.

Kondisi ini nampaknya menjadi masalah runyam, dan sulit dilihat oleh masyarakat kita. Kesucian perempuan, tidak hanya sekedar tubuh. Ia lebih besar dari lapisan kulit yang merona. Dan lebih mulia, dari segupal daging di dalam celana.

Pemujaan terhadap keperawanan, menjadikan kemuliaan perempuan, bersandar pada sesuatu yang fana. Ia benar, kulit dan keperawanan, adalah raga, yang dalam falsafah penciptaan manusia, ia berasal dari lempur busuk (tanah). Maka sudah sepantasnya, ketika manusia meninggal, kulit yang mulus, serta tubuh yang seksi itu, akan kembali menjadi tanah, seperti sediakala.

Namun sayangnya, perempuan yang telah kehilangan keperawanannya, telah dianggap tak berharga, menjadi sisa, atau sampah dan barang bekas. Mudah untuk kita menemukan, bagaimana para perempuan yang ditinggal suaminya, disebut sebagia janda, yang hina dan rendahan. Mereka menjadi sasaran para istri, yang takut suaminya tergoda. Yah, karena jika suaminya berpindah hati, maka para istri inilah, yang juga akan menjadi barang bekas.

Kenapa seperti itu? Yah lagi-lagi, karena kita menganggap kemuliaan perempuan, hanya sebatas pada keperawanan, yang menjadi simbol kesucian. Maka, ketika tak lagi perawanan, perempuan harus menerima konsekuensi dari pandangan seperti itu. Menyakitkan memang, tapi itulah realitasnya.

Kondisi ini berbeda dengan seorang lelaki. Tak peduli, seberapa banyak ia gonta-ganti pasangan, dan seberapa banyak perempuan yang ditidurinya. Ia tetap spesial, karena kemuliaan dan kesuciannya dianggap tidak terletak pada keperjakaan. Namun pada kerja keras, dan tanggung jawabnya. Berbeda dengan perempuan, sekeras apapun kerja dan kasih sayangnya, ia tetaplah barang sisa, yang kehilangan kesucian. Apapun penyebabnya.

Lagi-lagi ini adalah cara pandang patriarki, yang sangat meminggirkan perempuan, sebagai mahluk yang dipilih Tuhan, menjadi kesempurnaan bagi semesta.

Penulis menyebutnya sebagai mitos kesucian. Bagi penulis, kemuliaan seorang perempuan, lebih dari sekedar tubuh dan keperaawanannya. Perempuan dianggap suci, ketika hatinya bersih dan memiliki kesungguhan dalam memberikan kasih sayang. Kesucian ini sangat sempurna, dan lebih dari sekedar kenikmatan tubuhnya.

Perempuan bisa kehilangan keperawanan dengan berbagai cara, tetapi tidak dengan kerelaannya. Ia bisa memberikan keperawanan, dengan tanpa kerelaan. Selain Tuhan, dirinyalah yang tahu, bagaimana semesta berguncang hebat, akibat ketidak relaan ini.

Tubuh dan keperawanan, memanglah sangat penting bagi perempuan. Tetapi mengukur kemuliaan dan kesucian, apalagi martabatnya, tidak cukup jika hanya bersandar pada raga seperti itu. Ia lebih dari sekedar materi, yang selalu erat dengan kepuasan dan kenikmatan nafsu.

Memiliki hati yang bersih, jiwa yang sehat, serta kasih sayang dan ketulusan yang tiada habisnya, adalah kemuliaan dan kesucian perempuan, yang tak akan pernah mampu diukur. Ia lebih dari sekedar perawan atau tidak. Dan ia lebih berharga dari sekedar tubuh, dan berbagai mitos kesuciannya.

Kita menyadari, bahwa menjaga tubuh dan kemurniannya, adalah hal yang harus dilakukan. Tetapi, menjadikannya sebagai standar untuk melihat kesucian dan kemuliaan perempuan, adalah sebuah kedangkalan berpikir. Atau bahkan, kita tak pernah berpikir, bahwa tubuh adalah raga yang fana. Sedangkan suci dan kemuliaan, adalah perwujudan jiwa yang terus melakukan perbaikan.

Perempuan punya hak untuk selalu melawan. Ia selalu punya alasan, untuk dihormati dan membangun kisah yang baru. Kemuliaannya akan bersinar cerah, ketika ia mampu melawan, dan memperjuangkan haknya selayaknya manusia lain. Perempuan tak bisa dibungkam oleh mitos kesucian, yang mengelilinginya. Dan yakinlah, Tuhan tahu benar, tentang itu. Bahwa tubuh, akan kembali ke tanah. Sedangkan jiwa yang bersih, serta hati yang tulus, akan terbang mengarungi semesta, menuju keagunggan Ilahi.

Terimakasih untuk para perempuan yang berani manabrak mitos, merobek tirani, dan melawan pembodohan. Kalian berkontribusi, dalam mencerdaskan dan mendewasakan bangsa ini.  

Tabik.

Cita-Citaku Menjadi Orang Kaya

“Cita-cita kamu apa?”

Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini. Aku jenuh.

Kupikir, selepas menamatkan taman kanak-kanak. Orang-orang sudah mulai tidak menyukai pertanyaan itu. Mungkin mereka akan mengajukan pertanyaan lain. Mungkin pertanyaan tentang cita-cita itu hanya salah satu prosedur bagi guru TK untuk membuka ruang komunikasi antar guru-murid-orang tua. Atau bisa saja pertanyaan itu hanya basa-basi umum seperti menanyakan cuaca atau aktivitas harian kala pertama kali bersemuka dengan seseorang. Rupanya aku keliru. Bahkan, hari pertama ketika aku resmi menjadi murid di sekolah dasar yang jaraknya tiga kali ukuran lapangan lompat jauh itu. Guruku melontarkan pertanyaan tabu itu.

***

Ketika itu. Usiaku baru saja memasuki angka enam. Di saat itu pula, kedua orang tuaku, setelah berembuk dengan kakek dan nenek, memutuskan agar aku dimasukkan di taman kanak-kanak. Katanya, sudah tibalah masa di mana aku harus menuntut ilmu. Seketika aku gentar. Apakah hari-hariku akan kian serius dan tidur pagiku terenggut? Bagaimana nanti aku melalui hari tanpa bermain bersama tetanggaku?

Syukurnya. Realitanya tidak sedemikian monoton seperti yang kuduga. Meski pagi kian cepat menyambutku, tetapi setiap menjelang sore, aku diperkenankan bermain bersama teman sebayaku. Kami memainkan banyak hal. Mulai dari boneka, masak-masak, berakting jadi penjual dan pembeli, saling merias satu dengan yang lainnya, petak umpet, mengerumuni ayam peliharaan adiknya kakekku yang berjejer di kandangnya masing-masing, serta main layangan atau balap sepeda bareng kakak sepupuku. Tentu saja, adegan berkelahi hingga menangis kerap mengisi hari-hari kami. Hidupku sungguh penuh warna sebagai anak TK.

Menjelang magrib, ibu atau nenek akan meneriakkan namaku. Memanggilku pulang. Aku harus mandi sore dan melalui sepanjang malam di dalam rumah. Aktivitasku tidak membosankan sebenarnya. Aku serumah dengan beberapa orang sepupuku. Sehingga, tiap selesai makan malam. Kami selalu berkumpul bersama. 

Jika mereka tampak sibuk menuntaskan tugas sekolahnya. Sesekali aku suka mengganggui mereka. Namun, dibanyak kesempatan, aku sebenarnya terlampau  sibuk dengan duniaku sendiri. Di saat mereka fokus mengerjakan tugas yang diberikan guru mereka, aku malah asyik menggambar atau mewarnai. Aktivitas mewarnai adalah hal yang paling aku sukai. Diikuti menggambar dan menari. Aku tidak begitu suka menyanyi, yang aku tahu hanyalah berteriak. Kata ibu, sejak berumur 8 bulan, aku lebih gemar berteriak ketimbang menangis. Aku meneriakkan apapun yang ingin kuteriakkan.

Sejak menjadi murid taman kanak-kanak, kesenanganku pada aktivitas mewarnai ini semakin hari semakin dalam saja. Ibu bercerita jika buku mewarnai yang dibelikannya halaman sudah kuwarnai semuanya. Aku akan dengan manja atau merengek, mendesak agar ibu atau nenek segera membelikan buku mewarnai yang baru. Dengan syarat, buku mewarnai yang baru itu tidak boleh sama isinya dengan yang telah aku warnai sebelumnya.

Aku selalu merasa tertantang dengan gambar baru. Aku selalu merasa penasaran dengan motif baru yang kulihat. Aku selalu mengeksplorasi gaya mewarnaiku. Ini belum termasuk dengan rasa penasaranku terhadap sensasi dan hasil dari setiap alat mewarnai yang digunakan. Aku sangat ingin tahu bagaimana menggunakan krayon, pensil warna, dan kuas. Bagaimana alat-alat ini memberi kesan berbeda meski gambar yang digunakan sama.

“Rena boleh minta tolong,” ujarku sembari memberikan selembar gambar yang kurobek dari buku mewarnaiku.

“Apa itu?” respon paman Gunawan mengambil kertas pemberianku.

“Rena mau gambarnya jadi 3,”

“Oh, Rena mau gambarnya disalin jadi 3?” Paman Gunawan memastikan maksud pernyataanku

“Iyaaaaaa,” jawabku bahagia.

Yah, aku pernah melakukannya. Aku meminta paman Gunawan, adik bungsu bapak yang setiap awal bulan mengunjungiku dari kota seberang, menggandakan gambar tersebut. Lantas, pada masing-masing gambar, aku coba menggunakan alat mewarnai yang berbeda. Ahhh, sungguh, itu salah satu pengalaman menyenangkan dalam hidupku.

Melihat kegemaranku pada aktivitas mewarnai ini. Ibu dan bapak pada akhirnya mulai membuat aturan. Aku hanya boleh mewarnai satu lembar saja setiap harinya. Sebab, sebelumnya, aku sanggup melahap habis satu buku mewarnai dalam waktu seminggu saja. Tentu saja ini ditenggarai perkara ekonomi, buku mewarnai tidak murah. Kini, setelah aku dewasa  dan bekerja, aku paham bagaimana harus mengelola gaji untuk memenuhi semua kebutuhan bulanan.  

Buku mewarnai itu juga sukar ditemukan ragamnya di kota kami, berbeda ketika bapak sedang berdinas ke ibukota negara. Di sana, bapak dengan mudah menemukan jenis buku dan alat mewarnai. Di kotaku yang katanya ibukota provinsi ini dan juga kota lainnya, hanya akan memiliki segala sesuatu setelah ibukota negara telah miliki dan mungkin telah bosan mereka miliki.

Jujur saja, aku tidak mempermasalahkan aturan mewarnai yang diberikan ibu dan bapak. Selama aku masih diijinkan untuk terus mewarnai, perkara kuantitas tidak begitu aku ambil pusing. Yang menarik kemudian terjadi. Ibu mencoba mengajakku untuk mengeksplorasi kemampuanku. Peraturan ditambah. Aku hanya boleh memilih kemudian menggunakan sepuluh warna saja per hari. Di mana per dua minggu, jumlahnya menyusut satu. Aku mesti putar kepala untuk menghasilkan warna baru. Memikirkan matang-matang warna yang akan aku pilih. Aku semakin gembira menjalaninya.

Semua kesenanganku itu mendadak berhenti. Kakek dan nenekku memutuskan agar aku fokus belajar. Aku dipaksa untuk mengenali huruf dan angka. Aku harus pintar mengenali-melafalkan-menulis huruf dan angka. Aku merasa sedih luar biasa. Aku merasa tersiksa setiap kali memegang pensil dan menuliskan huruf  atau angka itu. Aku benci menulis. Aku tak suka mengeja.

Menulis dan mengeja telah merenggut kecintaanku. Kata nenek, aku terlampau terlena dengan aktivitas mewarnai itu. Ujar kakek, anak-anak seusiaku sudah pandai mengeja nama orangtuanya dan menuliskannya. Aku bermohon pada bapak dan ibu. Sayangnya, bapak dan ibu lebih memilih di pihak nenek dan kakek. 

Semua alat mewarnaiku disita lalu diberikan kepada orang lain. Aku hanya disediakan alat tulis-menulis. Aku belajar menulis dan mengeja saban hari. Tidak di sekolah, pun di rumah. Apa saja kertas yang berisi kata disodorkan padaku. Siapa saja yang kutemui meminta aku melafalkan nama mereka. Aku benci. Apa mereka, orang dewasa ini tak mampu mengeja nama mereka sendiri? Atau tidak dapat membaca kertas yang disodorkannya padaku itu? Kenapa aku selalu direpotkan membaca tulisan yang tentu mereka dapat baca itu?

Semua itu semakin keruh saat seorang guru bertanya padaku. Menanyakan cita-citaku. Jujur saja aku terlampau cinta dengan aktivitas mewarnai. Dan, di kepalaku, yang ada hanya sesuatu yang berkaitan dengan warna. 

“Rena ingin jadi pelukis,” jawabku.

“Oh pelukis,” balasnya.

Responku ini rupanya sampai ke kakek dan nenek, sebelumnya ibu dan bapak mendengarnya dari guru kelasku. Mereka semua kompak menodongku dengan reaksi, “Mau jadi apa kamu nanti, Rena. Pelukis itu tidak punya masa depan.”

Semenjak hari itu. Aku benci ditanya tentang cita-citaku. Sebab, para orang dewasa ini tahunya hanya melarangku. Bukannya mengarahkanku. Mereka tidak mendengarkan dan menolak cita-citaku, serta tidak membuka ruang diskusi. Aku memang masih kecil, tapi aku sudah bisa bicara. Aku benci orang dewasa yang tidak memanusiakan anak-anak. Aku ingat betapa aku menangis terisak selepas mendengar ketidaksetujuaan mereka. 

Aku pikir. Setelah hari itu, aku sudah tak memiliki cita-citaku. Mereka merenggutnya. Mereka menyesuaikan cita-citaku dengan kemauan mereka. Mereka gemar menyuntikkan profesi semacam dokter, aparat negara, dan PNS di telingaku. Katanya, itu cita-cita yang memiliki masa depan. Tapi aku kan tidak suka.

Aku masih ingat, bahkan sampai duduk di bangku SMA pun. Profesi semacam penulis, tukang foto, pembuat film, industri kreatif, dan segala sesuatu yang bukan PNS, dokter, aparat negara masih saja dianggap sebagai cita-cita yang tidak layak. Mengapa preferensi cita-cita mereka terdengar monoton, tidak bervariasi, itu-itu saja. Apa para dokter tidak ingin sesekali membaca sebuah buku yang berkualitas? Atau, apa para aparat sipil negara itu tidak suka menyaksikan sebuah film yang telah memenangkan Oscar?

Ah, aku sebenarnya lebih nyaman dengan jawaban seorang teman sekolah dasarku. Setiap kali ditanya apa cita-citanya, dia selalu menjawab ingin jadi orang kaya. Lantas semua orang tertawa. Dalam hatiku, jawabannya tidak ditolak, semua meresponnya dengan senang. Cerdas juga temanku ini. Hingga akhirnya, aku memilih mengikutinya saja. Memelihara pemikiran ini sampai menyelesaikan SMA. Toh bapak dan ibu selepas melarangku menjadi pelukis, selama aku menuruti mereka, mereka juga bahagia, tepat seperti reaksi orang-orang yang mendengar jawaban ingin jadi orang kaya temanku itu. Aku cukup trauma berhadapan dengan pertanyaan cita-cita.

Sayangnya, ketika menjadi dewasa seperti saat ini. Menjadi kaya bukan perkara mudah, apalagi tanpa orientasi yang jelas.  Jujur saja, selepas kuliah, aku menerima pekerjaan yang pertama datang meminangku. Aku tak sempat menyortirnya. Aku hanya fokus ingin mengumpulkan pundi-pundi uang saja. Menuntaskan misi suciku, menjadi orang kaya. Tahun demi tahu kulalui, nyatanya, aku juga belum kaya. Atau setidaknya belum pantas merasa kaya.

Ada yang salah memang. Aku pernah mendengar kata para motivator ulung, bahwa kita hanya dapat meraih apapun itu, asal targetnya jelas, jalan yang akan ditempuh telah ditentukan. Aku panik. Aku harus merencanakan ulang cita-cita menjadi kayaku ini.

Kemudian, aku pusing, sebab rupanya kaya itu juga bertingkat-tingkat. Aku bisa kaya, tapi sekaligus bisa tidak kaya di hadapan orang yang lebih kaya dari padaku. Brengsek betul.

Seketika aku ingin memiliki mesin waktu. Rasa-rasanya aku ingin kembali ke masa kecilku. Aku ingin bersikeras mempertahankan kegemaranku itu. Sebab, di saat ini, hobi justru bisa jadi pekerjaan. Profesi kini begitu beragam. Jalan untuk mewujudkannya tersedia di mana-mana.

Sumber gambar: id.pinterest.com/pin/33847434693140867/

Teruslah Hidup, Adelio

Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia tidak menyadari apa yang ia alami. Semua itu ia rasakan berjalan begitu saja. Setidaknya, di antara rasa bingungnya itu, cahaya pagi memberi napas baru untuk Adelio.

Adelio menggerakkan tangannya untuk mendayung tubuhnya yang terasa berat. Seketika ia melihat daratan tidak jauh dari keberadaannya. Aneh, ini begitu aneh. Ia menemukan sebuah sampan tepat di sebelahnya lengkap dengan dayung yang kelihatannya baru saja digunakan seseorang. Ia melihat ke kiri dan ke kanan namun tidak mendapati siapapun selain dirinya di sana. Hanya ada sayup-sayup suara ombak yang pecah diterpa angin sebelum sampai ke bibir pantai. Lantas, ia segera menaiki sampan itu dan segera menuju daratan yang ia lihat tadi.

Sungguh, Adelio terbelalak ketika ia baru saja menambatkan sampan itu di sebuah dermaga kecil dengan langkah yang terseok dan menemukan kekasihnya sedang melambaikan tangan ke arahnya. Senyum perempuan itu terukir di wajahnya yang berseri. Bibirnya yang tipis terbuka memanggil nama Adelio dari kejauhan.

“Lekaslah ke daratan. Tubuhmu begitu lemah,” ucap kekasih Adelio. Lembut.

Adelio masih tidak dapat berkata apapun. Kekasihnya berinisiatif mengeringkan tubuh Adelio yang sebagian sudah kering diterpa angin laut pagi.

Ia ingat, sebelum berada di sana, ia sedang duduk bersama kekasihnya di teras supermarket di tengah Kota Kendari. Saat itu, Adelio membuat janji temu dengan kekasihnya selepas pulang dari rutinitas bekerja yang melelahkan. Energi Adelio habis tersedot di kantor. Selama perjalanan pulang itu, raut wajahnya tidak pernah berseri. Saat berkendara adalah waktu yang tepat bagi Adelio untuk berterus terang. Ia mendapati dirinya yang lain sebagai sosok pendengar yang baik bagi dirinya yang saat ini. Itulah rahasia Adelio. Selama terjaga di depan komputer dan tumpukan berkas, ia merasa sel-sel dalam tubuhnya seakan-akan berserakan. Benar-benar tak ada jejak.

Obrolan mereka malam itu memanjang. Adelio barangkali tertekan. Ia meminta kekasihnya untuk hidup bersama dengannya. Namun, permintaannya aneh. Ia mengatakan akan mengajak kekasihnya itu untuk membangun rumah di sebuah padang tak berpenghuni lalu menetap di sana. Hanya ada mereka kelak.

“Bukankah ini rumah yang waktu itu, kau berandai ingin hidup bersamaku di sana? Lekaslah, anak-anak kita menantimu sedari petang kemarin.”

Kekasihnya menuntun tubuhnya hingga ke tengah pulau. Tengkuknya terasa dingin saat udara berembus. Ia berkeringat usai berjalan sekitar satu kilo jauhnya. Di sana, ia menemukan sebuah hamparan padang yang luas disertai sepoi angin yang menyejukkan. Dua anak kecil, laki-laki dan perempuan berusia sekitar tujuh tahunan itu sedang lari-larian di antara pematang perkebunan sawi. Sementara tidak jauh dari kedua anak itu, ia mendapati bangunan rumah dari kayu yang tidak terlalu besar, lengkap dengan perkebunan sayur yang mengelilinginya.

“Mereka bahagia, bukan? Kau tahu? Mereka tumbuh dengan baik. Kau pasti mengakuinya juga.”

Adelio diam sejenak. Bagaimanapun, pemandangan itu sesuai dengan apa yang diinginkan Adelio jauh-jauh hari.

“Di duniaku dulu, aku sama sekali tidak memiliki pilihan lain selain menguras diri untuk dapat bertahan hidup. Untuk memenuhi keinginan saja, rasanya sudah seperti memerah susu dari kambing jantan tua,” Adelio memecah keheningan.

Ia menarik napas panjang, memandangi wajah kekasihnya perlahan, “Belakangan ini aku sering menertawakan diri sendiri atas banyak hal yang aku alami sepanjang hidupku. Pernah suatu waktu aku membaca memoar Viktor Frankl, seseorang yang selamat dari tragedi Holocaust. Ia mengatakan bahwa humor adalah senjata jiwa.” Penjelasan Adelio terhenti sejenak. “Apa kau sepakat dengan itu? Aku sendiri kadang mengiyakan ucapannya. Bagaimanapun, walau hanya hitungan beberapa detik saja, humor dapat mengatasi apa pun itu. Komedi memang menjadi puncak sebuah tragedi. Sebuah energi tiba-tiba muncul dan seakan-akan membisikkanmu bahwa ada hal yang pantas untuk ditertawakan.”

“Aku tahu, humor membantuku untuk bertahan dari kesuraman,” Adelio menarik napas panjang.

Adelio teringat dengan kehidupannya yang memuakkan. Ia mesti bangun pagi untuk berangkat bekerja lalu pulang dan tidur. Setelahnya, dalam hitungan beberapa jam ia akan melakukan hal serupa itu lagi. Setiap hari. Berulang kali ia harus mencela rutinitas semu itu. Yang ada di pikiran Adelio adalah bagaimana cara ia bisa meninggalkan kota ini dan hidup mengembara tanpa tujuan. Bebas.

Adelio selalu merasa heran dengan standar kebahagiaan dilihat dari seberapa banyak harta yang mereka kumpulkan. Sementara di waktu-waktu sendiri, kadang ia mendapati sebagian dari mereka mengumpat rutinitas untuk mengejar kekayaan itu.

Adelio pertama kali bertemu kekasihnya di sebuah perpustakaan kota. Saat itu ia memilih membolos kerja dan mematikan ponselnya, alih-alih agar tidak dihubungi oleh bos atau paling tidak rekan sekantornya. Kejadian itu adalah pertama kalinya bagi Adelio kembali merasakan jatuh cinta melalui pandangan pertama. Sebenarnya ia pernah merasakan hal serupa sewaktu masih duduk di bangku SMA dulu. Namun, ia menganggapnya hanya sebuah rasa penasaran saja.

Perempuan itu menyambutnya dengan lembut melalui senyumnya yang merekah saat Adelio sengaja menanyakan bacaan apa yang bagus untuk seorang pekerja yang habis-habisan bekerja untuk memperkaya seseorang. Adelio tersenyum licik. Merasa usahanya mendekati perempuan itu akan berhasil.

“Mungkin kau butuh membaca buku-buku yang memuat pemikiran seputar kapitalisme,” jawabnya.

Adelio mengangguk, memberi isyarat bahwa dirinya tertarik dan menyimak jawaban yang diberikan perempuan itu. Padahal ia sendiri telah mengetahui jawabannya.

“Para filsuf biasanya hanya berupaya menafsirkan dunia melalui berbagai cara, bukan? Padahal yang terpenting adalah bagaimana cara kita mengubahnya.” Perempuan itu melanjutkan, “Ubahlah jika hal itu mengusik kebebasanmu.”

Kini ia berada di sebuah pulau yang tak ia kenali bersama kekasihnya. Selama di pulau itu, perasaan Adelio seakan-akan terbagi dua. Penglihatannya sesekali dihantui dengan sosok besar namun tak berwujud jelas dari tiap tepi pulau yang membuat Adelio terus-terusan was-was. Sementara di sisi lain ia merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sama sekali.

“Kau tahu? Manusia kerap diperhadapkan dengan persoalan-persoalan yang membuat hatinya suram,” kata Adelio.

“Aku mendengar bahwa setiap orang berupaya untuk tetap bertahan. Sewaktu kuliah dulu, aku pernah menemukan frasa Ernest Hemingway melalui buku-buku yang pernah kutemui di toko buku kecil sekitaran kampus mengatakan bahwa di atas segalanya manusia memang harus bertahan. Dengan cara apa pun itu, aku tidak tahu pasti.”

Keduanya terdiam. Bungkam.

Sementara kedua anak itu masih asik bermain, sesekali memanggil kekasih Adelio dengan sebutan ibu dan ayah untuk Adelio.

Dedaunan kelapa menari diembus angin. Suara kicau burung memenuhi telinga mereka. Adelio mengirup napas panjang memeluk kekasihnya. Keduanya saling menatap, memberi senyum terbaik mereka. Hingga akhirnya tenggelam dalam suasana tenang. Memejam mata. Berciuman.

Selang berapa menit, terdengar suara yang mengejutkan. “Duarr!” Adelio terkejut. Suara ledakan ada di mana-mana. Raksasa tak berbentuk itu muncul dari segala sisi. Pulau yang menenangkan itu dalam sekejap saja telah membelah diri dan mengeluarkan asap hitam. Kekasihnya, seketika berubah wujud, membesar dan menyerupai raksasa sama seperti yang lain. Di tengah ketidakjelasan itu Adelio berteriak namun sama sekali tak mendengar suaranya sendiri. Perlahan tubuhnya memudar menyatu dengan udara, terbang dan menghilang. Setelah itu, ia tak tahu apa yang terjadi.

Adelio membuka mata, terbangun dan menyadari ia sedang berbaring di sebuah trotoar di jalanan yang sepi.

“Sialan!”

Ini keduanya kalinya Adelio menabrak marka jalan saat berkendara akibat melamun sepanjang jalan.

Lelaki Labu

Seorang lelaki yang telah lama hidup sendiri sangat gemar memakan labu kuning. Aneka jenis hidangan selalu ada unsur labu yang ia masukkan. Seperti sayur, sup, jus, kue maupun roti. Suatu waktu ia harus meninggalkan rumahnya di desa dan memulai hidup baru di kota seberang. Harta yang ia miliki hanyalah rumah dan labu-labunya. Rumahnya pun sudah terlampau tua bahkan nyaris ambruk, namun untuk merenovasi rumah tersebut ia tak mampu. Maka ia pun meninggalkan rumahnya itu. Sebagai rasa terima kasih kepada desanya, pekan berikutnya ia sudah memanen seluruh labu di kebunnya, dan membagikan kepada para penduduk desa. Dan yang ia bawa ke kota hanyalah biji labu, sebagai bekal kehidupannya yang baru.

Setibanya di kota seberang, lelaki tersebut mencari lahan yang bisa ia huni sekaligus bisa dipakai untuk menanam biji-biji labunya. Lucunya, labu kuning itu bisa beraneka rasa. Tergantung bagaimana emosi lelaki itu. Jika saat ditanam dengan perasaan gembira, maka akan manis hasilnya. 

Seperti salah satu kisah antara ia dan labunya, ia mendapat yang manis. Betapa beruntungnya! Karena labu tersebut ditanam ketika ia sangat gembira merayakan hari lahirnya. Waktu itu hujan turun dengan lebat, setelah berhari-hari tidak turun hujan. Segera ia menyambut hujan yang turun dengan menyiapkan bak-bak penampungan airnya untuk penyiram tanamannya nanti. Ia kemudian membuat teh hangat di tungku sembari mengambil roti kering di lemarinya. Aroma tanah, udara yang dingin, suara gemuruh hujan dan hangatnya tungku membuat hatinya sangat gembira. Setelah hujan reda, barulah ia menanam biji labunya.

Begitu pun ditanam dengan perasaan yang bersungut-sungut, ketika ia kehilangan arloji kesayangannya, ia mencoba mengalihkan perasaan dongkolnya dengan menanam labu. Namun apa yang terjadi? Rasanya pahit seperti tidak sengaja menggigit biji buah!

Dan ketika ia meratapi kepergian anjingnya, sambil menanam labu, rasanya bisa asin seperti air mata jika ditanam dengan perasaan duka.

Mungkin suatu waktu nanti ia akan menemukan rasa baru pada labunya.

Yang membuat lelaki tersebut kebingungan, ia tidak bisa mengetahui mana labu yang rasanya manis, asin dan pahit.

Seakan bisa membaca pikirannya, seekor monyet hitam muncul dan menawarkan bantuan. Ia megatakan, bahwa ia memiliki kawan yang ahli akan labu. Lelaki itu pun menanyakan imbalan dan monyet hitam hanya menginginkan topi kebun miliknya. Lelaki tersebut heran, ia tak menyangka topi kebun miliknya yang telah usang akan berharga. Monyet hitam itu berjanji akan kembali bersama kawan-kawannya yang lain untuk membantunya. 

Keesokan harinya monyet hitam sudah ada bersama dengan kawannya, kuskus dan burung pelikan. Siap dengan atribut kerja mereka — ember, keranjang dan sekop kecil. Mereka berbagi tugas. Kuskus mendeteksi rasa-rasa labu, burung pelikan akan menyirami kebun dari tampungan air di paruhnya. Dan monyet hitam menanam biji-biji labu. 

Tiba-tiba, alangkah terkejutnya ia ketika menemukan labu yang amat sangat besar — seukuran balon udara — tumbuh di pekarangan lelaki itu. Ketika dibelah labu itu berisikan anak-anak labu. Anak-anak labu itu melompat ke sana kemari. Lelaki itu bertepuk tangan kegirangan seperti melihat pertunjukan, monyet hitam, kuskus dan burung pelikan menari serta berjingkrak-jingkrak. Namun pertunjukan tersebut hanya berlangsung setengah hari, sebelum anak-anak labu tergeletak kembali. 

Dengan cepat kabar mengenai lelaki itu tersebar ke penjuru kota. Tanpa butuh waktu lama ia pun mendapati julukan ‘Lelaki Labu’. Saat Lelaki Labu ke kota berbelanja kebutuhan harian, semua penduduk kota menyapanya. Oh, tentu saja mereka melakukan itu karena berharap diberi dan bisa mencicipi kelezatan labu miliknya. Bahkan terselip di hati mereka ingin melihat pertunjukan anak-anak labu yang menari. Penduduk kota bahkan memberi tawaran bahwa labu bisa ditukar dengan jualan mereka.

Namun tanpa penduduk kota minta pun, Lelaki Labu dengan murah hati akan membagikannya kepada mereka. Ia hanya perlu waktu beberapa hari untuk memotong-motong labu raksasa tersebut. Bahkan monyet hitam, kuskus dan burung pelikan sudah bekerja keras. Anehnya, dengan begitu cepat labu raksasa tersebut akan tumbuh kembali keesokan harinya. 

Maka karena berlimpah ruah, pada awal bulan berikutnya dibuatlah festival labu oleh walikota. Aneka jajanan, pertunjukan dan pameran seni yang bahan utamanya —  tentu labu — dijejerkan di sepanjang jalan kota. Semua mengelu-elukan akan Lelaki Labu, ia bahkan digadang-gadang oleh penduduk kota sebagai walikota selanjutnya. 

Namun sayang, pada musim tahun berikutnya badai memorak-perandakan kebun labu miliknya. Hingga yang tersisa hanyalah cerita dari mulut ke mulut penduduk kota bahwa labu terbesar pernah ada di kota itu. 

“Ah, sedih sekali kita sudah tak punya kebun yang bisa kita garap” ungkap Lelaki Labu.

“Apa kau ingin tinggal bersama kami?” Tawar monyet hitam. “Mengingat kau sudah tak punya tempat tinggal”.

“Kau bisa tidur di tempatku” kuskus menimpali.

“Dan bisa memancing bersamaku di danau” sambung burung pelikan. “Aku juga masih menyimpan sekeping biji labu. Jadi kita bisa berkebun di dalam hutan!”

“Hebat!” Mereka bersorak-sorai

Mata Lelaki Labu berbinar-binar mendengar tawaran monyet hitam, kuskus dan burung pelikan. Tanpa pikir panjang, Lelaki Labu lalu ikut masuk ke hutan bersama kuskus serta burung pelikan. Dan tak pernah kembali ke kota lagi. Jika kau melihat labu berukuran balon udara terbang dari arah hutan, itu berarti Lelaki Labu mengadakan festival kecil bersama kawan-kawannya.