Arsip Kategori: Esai Kemerdekaan

Bendera Tanpa Tiang

“Kemerdekaan sejati, bebas dari terungku dunia.Pucuknya ada di kewafatan paripurna.” (Sulhan Yusuf, Maksim Daeng Litere)

Seraut wajah murung, berdiri tegap di atas tanah sendu yang meminjamkan punggungnya diinjak dan dibajak. Ia mengendus bau tanah dengan kesedihan yang terpendam, dan sisa-sisa anyir darah yang menyeruak. Di hadapannya terbayang tegak membisu, sebatang bambu yang merelakan diri berpisah dari rumpunnya.

Di kepalanya, berkibar secarik kain merah putih dan sedikit ingatan, teriakan-teriakan “merdeka”. Setelahnya, erangan kesakitan, serapah, dan balada kematian yang memenuhi cakrawala. Sang saka menari-nari di genggaman langit. Berkilau. Bersahaja bak senyum para syuhada yang mati ditembaki kompeni.

Lalu, lelaki itu meresapi bunyi semilir angin, yang berarak mengabarkan cerita-cerita heroik pada anak-anak kecil yang asyik bermain layangan di pesisir pantai. Tempat di mana tanah ini mengerami luka, sebab yang dijanjikan kepadanya belum tunai. “Kemerdekaan!”

Tujuh belas Agustus tempo hari, satu-satunya hari di mana kita merasai kemerdekaan. Paling tidak, menghadirkan semangat kemerdekaan yang diwariskan dari masa ke masa. Sedang, esok hari dan setelahnhya, kita harus kembali mengais-ngais makna kemerdekaan di antara sampah-sampah yang berserak di laut. Mesti menyuling dengan teliti arti merdeka dari limbah-limbah pabrik yang menghias sungai-sungai. Urat nadi tanah ini.

Hari ini dan esok hari, kita masih harus mempertanyakan, bagaimana itu merdeka? Kata orang keadilan masih dilelang di meja-meja hukum. Semakin tinggi jabatanmu, kian banyak duitmu, keadilan akan menjadi milikmu seorang sayang. Sungguh. Percayalah! Peduli lacur dengan benar dan salah. Begitulah di negeri ini, keadilan hanya milik segelintir orang saja.

Ketika kita merayakan tujuh puluh enam tahun usia kemerdekaan, kasus korupsi negeri ini masih melejit. Menggurita melilit tubuh renta tanah ini. Rakyat diam saja. Tak berdaya. Sembari mencoba tetap percaya pada pemerintahnya. Pada wakil-wakilnya. Meski kita semua tahu, banyak dari mereka penipu.

Mahbub Djunaidi pernah bilang dalam buku Kolom Demi Kolom, bagi para pemerintah kita, yang berkuasa, tersedia pilihan-pilihan yang menegangkan. Coba-coba menjadi pahlawan atawa menjadi penipu. Jurusnya berbeda-beda. Yang satu menyemai keuntungan, yang satunya lagi merampok keuntungan. Yang satu bekerja untuk orang, yang lain menggiring orang bekerja untuknya.

Pahlawan kata Mahbub, “Berpegang pada tali kalbunya, bagai tabiat orang Badui. Penipu menyimpan cakar-cakar rahasianya yang sukar diduga, tapi terasa berbisa.” Mahbub mestinya tahu, dewasa ini, penipu-penipu itu punya jurus-jurus menampilkan diri sebagai pahlawan. Mereka bisa tampak saleh. Beragama. Bermoral. Jujur.

Kita terkadang tak bisa membedakan, apakah ia penipu atau bukan. Sebab kata-katanya terlalu manis. Penuh rasa simpati. Pun kadang-kadang meminjam dalil-dalil yang mendukung kepentingannya. Raut wajahnya jua bisa diganti-ganti sekehendak hati, yang penting menutupi wajah bopeng dan culasnya.

Hari ini kita tak lagi bisa berkata pada pejabat kita, seperti yang dilagukan Iwan Fals, “Urus saja moralmu. Urus saja akhlakmu. Pemerintahan yang sehat, yang kami mau.” Sebab kata-kata kita diawasi banyak mata tak terlihat. Dijerat UU. Pembuat mural, “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit, 404 Not Found, Tuhan Aku Lapar”, dicari-cari. Dituduh kurang ajar pada tuan-tuan kita. Mereka buron macam koruptor. Lambat laun bakal dicap teroris. Kalau dipikir-pikir lucu juga. “Tuhan Aku Lapar”, pembuatnya ngeluh sama Tuhan. Lah kok, yang tersinggung bapak-bapak? Jangan-jangan, bapak-bapak ini merasa dirinya Tuhan yah.

Kita harusnya bangga, bakat kesenian masih diwariskan Tuhan kepada anak-anak bangsa kita. Apa salahnya kalau mereka mengekspresikan kritiknya? “Hampir disemua tradisi Nusantara, pujian itu sifatnya membunuh. Mestinya yang dihapus itu pujian. Karena itu tempat para penjilat, yang belum tentu mencintai NKRI,” kata Sujiwo Tejo ketika menjadi narasumber di TV One. “Justru yang di tempatkan di pelopor kencana, di tempat emas, adalah kritik,” lanjutnya.

Ataukah, tuan dan puan sekarang anti kritik? Otoriter dong. Semoga tidak. Kami masih percaya, kelucuan itu hanya ulah segelintir oknum yang memang tak pernah tuntas di sekolah. Tak pernah belajar berdinamika dan berdialektika di organisasi-organisasi. Sehingga punya ketersinggungan yang cukup kronis.

Padahal kata-kata tersebut, cukup berdasar. Masih banyak orang-orang kelaparan berkeliaran di sudut-sudut negeri kita yang merdeka 76 tahun lamanya. Masih ada orang-orang tua buta tak terurus dinas sosial. Anak-anak mulung putus sekolah. Masih Ada. Masih banyak.

Cobalah tuan dan puan sesekali turun ke jalan. Ke pelosok-pelosok negeri ini. Cari mereka. Sebab kemerdekaan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Tuan jangan duduk saja dengan santai di gedung berpendingin. Menggulir gawai dan mencari cari proyek apa lagi yang bisa disunat.

Esok hari dan lusa nanti, kita harus mencari lagi arti kemerdekaan di celah-celah bulir keringat buruh tani negeri ini. Mereka kerap dibuat bekerja kasar dengan gaji minimum, syukur kalau dibayar. Sedang para pengusaha mulai mendatangkan “tukang sapu” dari negeri asing. Begitulah, lambat laun kita menjadi asing di negeri sendiri. Sawah dan kebun-kebun kita ditanami gedung-gedung, pabrik-pabrik penuh limbah yang merusak lingkungan.

Tanah tanah-tanah kita, masih dihabisi isi perutnya. Dijual pada korporasi asing. Dijual tuan-tuan kita yang licin dan licik. Mereka itu, mengambil banyak sekali dari kita. Hutan kita digunduli. Laut kita diracuni. Sungai kita dimatikan. Tanah kita dirusak. Lalu, bola api kesalahan bakal dilempar kepada rakyat. Kita rakyat, selalu salah di hadapan tuan-tuan itu. Tak lagi dilihat orang, kecuali kita menguntungkan bagi mereka. Di hadapan hukum, kita kecil bagi tuan besar.

Tak perlu kaget, dalam majalah Pitutur yang pernah saya baca, mungkin ini akibat kita terjajah terlalu lama, hingga bertumbuh jiwa marsose kompeni yang suka menjajah rakyat sendiri. Menjadi mentalitas bangsa kita. Ditambah lagi, dengan tulus kita mencaplok mentalitas korup VOC. Jiwa-jiwa bar-bar kompeni.

Benar kata Presiden kita yang pertama, Bung Karno. Hari ini, perjuangan kita bakal lebih sulit. Kita bakal melawan bangsa sendiri. Kadang keluarga sendiri. Melawan teman sendiri. Melawan rekan kerja sendiri. Tetapi, kemerdekaan harus tetap diisi. Harus dilanjutkan. Meski kita hanya merasakan kemerdekaan hanya sehari saja, 17 Agustus tok.

Esok hari dan lusa nanti, kita harus berjuang kembali. Memerdekakan jiwa-jiwa kita dari cengkraman kemiskinan, ketidakadilan, kapitalisme, barbarisme, apatisme, dan semua isme-isme lain yang mengancam negeri ini. Yang mengancam Pancasila. Selama merah putih masih berkibar di kepala tiang-tiang yang terpancang di atas tanah ini, kita harus merdeka. Harus berbahagia. Harus berjuang lebih keras dari sebelumnya.

Lelaki itu, mengorek-ngorek tanah, air matanya jatuh menimpa sehelai rumput yang kering. Ia baru sadar, sedari tadi bendera itu berkibar tanpa tiang. Diterbangkan angin. Ditarik kemana-mana sesuai kepentingan. Tak ada tiang rasa iba dan simpati. Hanya kerakusan yang mencuat. Egoisme yang membatu.

Sejak lama bendera itu berkibar tanpa tiang. Tiang keadilan dilelang. Tiang kebebasan direnggut. Tiang persatuan diremuk. Tiang demokrasi dicabik-cabik. Tersisa satu tiang penyangga negeri ini, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Yang ini pun mulai diacak-acak.

Tiang ini harus dicari. Dijaga. Dipasak dalam jiwa-jiwa kita semua. Agar merdeka yang sebenar-benarnya merdeka dapat diraih. Sebagaimana petuah Daeng Litere di awal, “Kemerdekaan sejati, bebas dari terungku dunia. Pucuknya ada di kewafatan paripurna.”

Lelaki itu, memandang langit. Melintasi bintang-bintang. Memandang ke laut, mengarungi samudera tempat perahu Gajah Mada berlayar di masa lalu. Memandang ke tanah, melihat tulang-tulang yang berserak. Tubuh-tubuh yang terkubur. Memandang ke dalam dirinya. “Ke mana lagi aku mencari arti kemerdekaan? Kebebasan yang mengorbankan 4 sampai 5 ribu jiwa?”

Ilustrasi: Masvian.com

Merdeka Tanpa Korona

”Korona masih bisa kita kalahkan bersama”, begitu seseorang mengatakannya, melalui iklan masyarakat persis saat kalimat ini dibuat. Telinga saya menangkapnya begitu saja dari televisi, dan saya kira itu kalimat yang optimis untuk membuka tulisan ini. Ya, sebentar lagi kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia ke-76, dan salah satu kontekstualisasi arti kemerdekaan mutkahir saat ini adalah kemerdekaan dari pandemi covid-19.

Selama ini, ada metafora menyesatkan yang membuat salah pengertian di hampir semua level masyarakat, menyangkut kedudukan para tenaga medis sebagai garda terdepan dalam menghadapi serangan korona. Dari awal hingga sampai munculnya strain covid terbaru, tenaga medis diposisikan sebagai satu-satunya elemen terdepan, mengenyampingkan dan mengabaikan profesi lain yang paling serius menangani korban korona. Padahal jika pandemi korona dinarasikan sebagai perang, tenaga medis adalah kekuatan terakhir di belakang barak-barak pertahanan. Mereka, secara kebutuhan, tidak diperkenankan berperang langsung di medan pertempuran selain dari para prajurit yang memang dilatih untuk itu.

Lalu, siapakah para prajurit sebenarnya, yang paling berkewajiban dan mesti awas diri saat menghadapi agresi korona? Tiada lain tiada bukan adalah masyarakat sendiri, yang sehari-hari hidup dan beraktivitas meski dalam keadaan sosial baru. Masyarakatlah yang sebenarnya sedang berada di garda paling depan, yang karena itu setiap saat mesti awas dan disiplin mengantisipasi agar tidak menembus benteng pertahanan imunitas.

Berdasarkan data, grafik korban korona kian meninggi, apalagi sejak ditemukannya varian delta yang lebih berbahaya dan mudah penyebarannya. Beberapa lama, rumah sakit, gedung isoman, atau bahkan tenda-tenda tambahan penuh sesak, membuat semua pihak mesti gercep jika tidak ingin dibuat ambyar. Keadaan tidak akan makin membaik jika logika siapa sebenarnya garda terdepan mulai hari ini diubah, bahwa warga mesti mengambil posisi sebagai prajurit front terdepan, lebih disiplin, mawas masker, dan lebih berhati-hati sebagai orang yang sedang berhadapan-hadapan langsung dengan virus ini.

Kepemimpinan Elite

Di masa-masa genting, kepemimpinan elite sangat dibutuhkan untuk mengangkat moral masyarakat. Kepemimpinan elite, bukan berarti menafikan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatur dirinya sendiri, melainkan sebagai pemberi semangat setelah menjalankan siasat demi siasat untuk mencapai tujuan bebas korona. PPKM, PSBB, social distancing, atau bahkan lockdown, tidak akan efektif jika tidak ada kepemimpinan elite yang menyertainya.

Kepemimpinan elite dalam hal ini tidak sekadar gimmick di depan kamera, atau  hanya deretan indah nama-nama program yang tidak tajam di lapangan, melainkan suatu kepemimpinan laku ril disiplin, visioner, dan asketik yang menunjukkan keberpihakkan kepada masyarakat saat ini yang sedang dihimpit kesusahan efek langung korona dan pembatasan aktivitas.

Jadi, makna garda terdepan sebenarnya, di atas masyarakat adalah para pemimpinnya, bukan tim medis, yang secara moral dan politik menunjukkan keinginan kuat untuk menjalankan agenda-agenda pencegahan penularan korona. Sesat pikir siapa garda terdepan dan menganggapnya hanya para tenaga kesehatan, secara politik menyamarkan peran-peran kebijakan strategis dan langsung dari pemimpin elite yang sebenarnya bertanggung jawab besar meminimalisir korban korona.

Bukan seperti misal saat masyarakat diimbau tinggal di rumah, pemimpinnya justru membuat hajatan keluarga besar-besaran. Bukan saat masyarakat kekurangan pendapatan, pejabatnya menggelontorkan uang demi baliho pencitraan politik.

Lebih jauh, komitmen politik pemimpin elite bisa ditunjukkan seperti misal, pemotongan gaji untuk sumbangan bagi lapisan masyarakat akar rumput. Nah, kalau ini siapa berani?  

Kekuatan lama

Dalam konteks kepribadian bangsa, kepemimpinan elite bertujuan membangkitkan kembali kekuatan lama berupa komunalisme, yang selama ini telah ada dalam jiwa masing-masing masyarakat Indonesia. Bahkan, dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Bung Karno, mengambil inti sari komunalisme menjadi semangat gotong royong, yang disebutnya merupakan juga substansi dari Pancasila.

Selama ini, semangat gotong royong mulai tumbuh berupa munculnya gerakan sosial urun dana, dapur warga, pembagian sembako gratis, dan bentuk-bentuk bantuan lainnya, yang diinisiasi warga sendiri atau komunitas. Meski demikian, gerakan ini hanya bisa menjangkau jauh lebih kecil terdampak korona karena tidak mendapatkan sokongan moral dan komitmen politik dari pemimpin elite di atas.

Seandainya, semangat gotong royong ini ditafsirkan sebagai keinginan politik yang kuat dalam bentuk kebijakan, apalagi dalam masa krisis seperti sekarang ini, dan diikuti sampai tingkat paling bawah, mungkin saja dapat memaksimalkan atau menutupi penderitaan masyarakat yang kolaps secara ekonomi belakangan ini.

Kepemimpinan elite selain itu juga mesti menjadi keberpihakan kepada komunitas profesional, tidak saja kepada tenaga kesehatan yang mati-matian merawat korban covid-19, tapi juga profesi ilmuwan baik sosial maupun sains, untuk dapat mengambil pandangan-pandangan ahli dari bagian upaya preventif mencegah logika penyebaran korona. Dalam hal ini, kepemimpinan elite tidak bekerja setelah mendapatkan masalah, melainkan mencegah sebelum masalah itu datang dengan mendasarkan kebijakannya kepada pendapat para ahli.

”Korona masih bisa kita kalahkan bersama”, seperti dalam iklan layanan masyarakat di atas, karena itu bukan kalimat biasa, melainkan suatu teks hidup yang sebenarnya berkekuatan kolektif tinggal bagaimana ia dibimbing dan diatur di bawah siasat kepemimpinan elite yang komit terhadap pemberantasan korona. Hanya dengan kebersamaan itulah kelak jalan merdeka dari korona makin lapang.

Sumber gambar: https://insight.kontan.co.id/news/inilah-10-negara-dengan-kematian-pasien-corona-terbesar-sepekan-indonesia-teratas

Seni, Teknologi, dan Kemerdekaan

 

Semangat perayaan kemerdekaan rakyat Indonesia semenjak proklamasi 17 Agustus tahun 1945 tidak pernah pudar hingga kini, meski tengah dijajah oleh bala tentara Covid-19, atau dikenal dengan istilah corona virus diseases. Pasukan penjajah tanpa pandang bulu. Kaya, miskin, penguasa, bahkan kaum melarat pun tak luput dari bidasannya. Tidak hanya itu, mereka juga melumpuhkan berbagai sektor kehidupan terutama perekonomian dunia. Lantas bidang manakah yang tak goyah dari serangan tersebut? Salah satu bidang ilmu yang tetap eksis di tengah dunia yang sedang terpuruk adalah seni dan teknologi. Kedua bidang ilmu ini memiliki korelasi yang besar dan mampu mengubah tatanan kehidupan bangsa bahkan dunia.

Korelasi seni dan teknologi menjadi penyambung lidah masyarakat meneriakkan gemuruh sukaria kemerdekaan. Twibbon, pamflet, dan stiker sebagai medium presentasi perayaan secara visual. Konsep visual menjadi salah satu opsi yang lasuh untuk mengekspresikan diri dalam semarak perayaan 17-an. Sebab yang menjadi substansi dalam perayaan kemerdekaan adalah peran masyarakat/patisipasi publik menstimulasi jiwa nasionalisme.

Selain itu, eksistensi seni juga tidak sebatas di media sosial, melainkan juga teraktualisasi di lingkungan masyarakat secara luas. Beberapa di antaranya berupa pernak-pernik guntingan kain merah putih di lorong-lorong kota, mural, serta  cat tembok memantas pagar yang antar ragam sebagai emblem semarak DIRGAHAYU NKRI ke-75. Hal tersebut tidak lain sebagai konkretisasi simbol-simbol kebangsaan yang estetis dan historiologi.

Perayaan HUT-RI ke-75 tahun in nampaknya terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Perayaan yang didominasi oleh lomba-lomba kini hampir tak lagi dijumpai. Antusiasme masyarakat dalam mengambil peran beraneka ragam. Di antara yang paling mencolok adalah mekarnya budaya pengibaran bendara merah putih sebagai identitas bangsa. Selain itu, karya-karya seni pun tidak luput mengambil peran.

Apabila berkaca pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tentunya seni memiliki andil besar dalam memperjuangkan  hak kemerdekaan bangsa Indonesia . Perjuangan para seniman diejawantahkan dalam bentuk karya ekspresi diri dan pernyataan sikap melalui kritik kebijakan pemerintah.

Menyoal perkara momentum 17-an, tidak lain berbicara tentang  kemerdekaan parsial yang dinamis. Kemerdekaan parsial dalam arti merdeka dalam segala hal tanpa terkecuali individu maupun kelompok, sedang dinamis menunjukkan bahwa kemerdekaan yang terus berevolusi berteraskan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Selayaknya salah satu yang diagihkan aleh Sutan sjahrir bahwa “Kemerdekaan nasional bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.” Sebab, dengan kebebasan berkarnya maka melahirkan sejuta produk bangsa yang kreatif, inofatif dan bernilai terapan bahkan bernilai ekonomi.

Setiap individu memiliki hak dan ruangnya tersendiri untuk berekspresi, berjuang dan berkarya. Dari pernyataan tersebut sangatlah jelas bahwa setiap orang punya hak untuk berkontribusi bagi bangsa dan negaranya, baik dari segi pemikiran/gagasan dan tindakan berdasarkan bidangnya. Sebagai seorang seniman sejak era era kolonialisme berdalih dengan isyarat bahwa berjuang untuk kemerdekaan tidaklah selamanya harus mengankat senjata layaknya seorang prajurit.Tetapi, entitas perjuangan seorang seniman dielaborasikan dalam bentuk semangat riuh dan suara batin yang lantang juga tulus.

Lukisan Memanah karya Henk Ngantung merupakan salah satu dari sekian banyak karya lukis yang menginspirasi semangat perjuangan kemerdekaan. Lukisan dengan judul Memanah, lukisan yang besar pengaruhnya bagi tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, Bung karno dalam merevitalisai pergerakannya. Karya tersebut memberi kesan awal kepada Bung Karno sebagai simbol pergerakan bangsa Indonesia yang terus maju. Bung Karno kemudian melantaskan keinginannya untuk membeli karya tersebut yang belum rampung lantaran perihal model. Tanpa ayal Bung Karno pun menawarkan dirinya sebagai model, hal itu tak ditampikan Henk Ngantung. Seusai digarap, karya ini kemudian dijadikan koleksi oleh Bung Karno di Istana Kepresidenan.

Menelisik sejarah sosok seniman Henk Ngantung kelahiran 1 Maret 1921 Manado, Sulawesi Utara. Seorang yang dikenal sebagai seniman otodidak, seniman yang banyak melahirkan sketsa-sketsa perjuangan di antaranya sketsa tentang Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville, dan Perundingan Kaliurang serta sketsa monumental lainnya. Tidak hanya sebatas berkarya, ia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” yang menghimpun seniman-seniman 45 termasuk Khairil Anwar, Haruddin M.S., Mochtar Apin, Basuki Resobowo, Asrul Sani, dan lainnya. Kemudian pada agustus 1948, Henk Ngantung dan kawan-kawan aktif menggelar pameran keliling di indonesia ditengah situasi perang.

Usut punya usut, kedekatan Henk Ngantung dengan Bung Karno tidak sebatas motif karya seni melainkan adanya implikasi struktural pemerintahan. Henk Ngantung Seorang seniman sekaligus  wakil gubernur DKI Jakarta periode 1960-1964. Selepas menjabat sebagai wakil gubernur 1964, ia kembali diangkat oleh Bung Karno menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965. Pengangkatan tersebut dilakukan Soekarno dengan dalih ingin menjadikan Jakarta kota budaya, karena dinilainya memiliki bakat artistik. Meski dalam pengangkatannya menuai banyak protes dari berbagai pihak. Selepas menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, kebiasan berkarya Henk Ngantung tidak pernah dinafikannya hingga akhir hayat.

 


Sumber gambar: https://lukisanku.id/lukisan-memanah-henk-ngantung/

Suara Sumbang untuk Negeri Kolam Susu

 

Entah kapan dan mengapa saya mulai doyan mendengarkan lagu Koes Plus, terutama lagu berjudul “Kolam Susu“. Apakah nilai kritiknya atau pasal kata susu yang sejatinya enak dan memang digemari kebanyakan lelaki dan perempuan. Entahlah! Saya memang tidak berminat mempertanyakannya. Sebab bertanya berarti harus memutar rekam jejak masa lalu. Dan di sana, banyak berserak kenangan pahit, manis, dan lucu macam kamu.

Lagi pula saya merasa tidak perlu mempertanyakannya dan tidak perlu khawatir tentang waktu yang lalu, lantaran Aan Mansyur menodongkan kata, “Masa lalu itu tidak pernah hilang. Ia ada tetapi tidak tahu jalan pulang. Untuk itu ia menitipkan surat, kadang kepada sesuatu yang tidak kita duga. Kita menyebutnya kenangan.”

Jelasnya, saya suka saja lagu itu tanpa tahu mengapa. Titik! Saya mendengarkannya ketika sedang membaca buku dan di mana pun saya bernafsu mendengarkan musik. Termasuk ketika memanjat pohon cengkih tempo hari, saya memutar lagu tersebut. Ingat Robin Sharma? Penulis buku Who Will Cry When You Die  tersebut dalam bukunya menyarankan kita untuk mendengar musik setiap hari. Katanya mendengarkan musik selama beberapa menit setiap hari merupakan cara sederhana – dan pastinya murah – namun kuat untuk menata suasana hati.

Selain mendengar musik, saya juga selalu ingin bernyanyi. Sungguh. Meski saya tahu tidak berbakat menyanyi dan tidak terlahir dengan suara merdu macam Fildan atau Judika. Tak heran, seorang junior dengan lancang berkata,Suaranya kakak fals, jadi tidak usah kirim pesan audio. Tapi sekali lagi saya juga tidak merasa perlu mempermasalahkan dan mempertanyakan, mengapa tidak berbakat menyanyi tapi konyolnya saya ingin bernyanyi.

Apa yang dikatakan Robin Sharma dalam buku di atas cukup mewakili, bahwa musik dapat membuat kita tersenyum kembali dan menambah kualitas hidup kita dalam jumlah yang tak terbatas. Rasa-rasanya memang begitu. Musik bisa membuat kita tenang atawa tertawa, termasuk menertawai suara sendiri yang aduhai. Musik juga membikin perasaan tiba-tiba plong. Walaupun terkadang mendadak nelangsa, jika sampai pada lirik lagu yang datang membawa kenangan mantan atau orang-orang yang kita cintai.

Musik bak mantra yang memiliki daya magis luar biasa. Di sana kekuatan kata-kata bersemayam mencari bentuknya. Bahkan filsuf cemerlang seperti Plato mendaulat musik sebagai hukum moral. Katanya musik memberi jiwa ke alam semesta, sayap bagi pikiran terbang ke imajinasi, pesona dan keceriaan untuk hidup kita.

Sebagai hukum moral, musik – saya tambahkan puisi, pas sekali dijadikan alat perlawanan kepada segala yang dianggap ingkar dari kebenaran. Kritik pedas nan elegan. Macam melempari seseorang bunga lengkap dengan potnya.

Negeri ini, dengan segala kekusutannya telah melahirkan penyair dan musisi martir semacam W.S. Rendra, Chairil Anwar, Widji Thukul dan masih banyak lagi. Puisi mereka menjelma godam yang mengentakkan ketidakbenaran. Suara-suara mereka menggema melintasi masa. Berbisik pada singa-singa tidur disetiap generasi, “Bangunlah! Bangkitlah melawan atau tidak sama sekali!”

Dan tetaplah terus bergumam. Sebab gumam adalah mantra dari dewa-dewa. Gumam mengandung ribuan makna. Apabila gumam sudah menyatu dengan jiwa raga. Maka gumam akan berubah menjadi teriakan-teriakan. Yang nantinya akan berubah menjadi gelombang salju yang besar. Yang nantinya akan mampu merobohkan istana yang penuh kepalsuan. Gedung-gedung yang dihuni kaum munafik. (Pesan Sang Ibu, puisi Widji Tukul).

Kata-kata mereka yang indah itu, membuat rakyat seperti anak dalam pelukan ibunya. Merasa diperhatikan dan dicintai. Tapi menjelma belati yang siap mengebiri para “jagal, pembegal, pelakor, dan pelacur” berdasi yang bergentayangan di gedung-gedung pemerintahan.

Tersebutlah nama Iwan Fals, Slank, dan Koes Plus tentunya sebagai kelompok musisi yang memiliki lagu-lagu menohok dan menggugah. Mereka terus bernyanyi menghibur rakyat yang gundah dan selalu bertanya-tanya, “Kenapa negeriku dijajah orang sendiri? Kapan derita sirna di atas perut bumi pertiwi yang sedang mengandung anak bernama makmur dan damai?”

Maka saya kedepankan lagu Koes Plus sebagai tanya, bukankah orang bilang tanah kita tanah surga? Kayu dan batu bisa jadi tanaman? Tapi yang banyak bertumbuh justru jiwa-jiwa kerdil para penguasa yang korup. Mentalitas inlander masih subur, menjulur seperti akar menjalari hati anak-anak negeri. Menggerogoti hingga ke bagian terdalam dan termiskin negeri ini. Mereka menjelma tulang dalam daging. Gunting dalam lipatan. Dan menjelmalah orang-orang itu kutu-kutu busuk garuda Pancasila yang perkasa.

Yudi Latif pun turut bersenandung pilu dalam bukunya Revolusi Pancasila. Katanya orang bilang tanah kita tanah surga. Negeri kita kaya sumber daya, indah permai bagai untaian zamrud yang melilit khatulistiwa. Namun di taman nirwana dunia timur ini, kelimpahan mata air kehidupan mudah berubah menjadi air mata.

Tetapi kata-kata mereka.. kata-kata mereka pada setiap generasi semua masa, akhirnya hanya sekadar lagu dan puisi sendu yang dinyanyikan rakyat menjelang tidur. Nyanyian pilu saat mengamen anak-anak jalanan putus sekolah di trotoar dan lampu merah. Sekadar suara suara sumbang di panggung-panggung pementasan. Toh mereka yang dialamatkan kata-kata itu, orang-orang tuli dan mati rasa.

Usia negeri kita 75 tahun kini. Dan masih begini-begini saja. Pendidikan merdeka dan berkarakter katanya, tapi masih banyak kaum terdidik tak ada akhlak. Anak-anak mengeluh tak sanggup beli data dan merasa disesaki oleh tugas yang menumpuk. Semua karena masih suburnya praktik-praktik yang lebih mengedepankan aspek formal dan administratif. Masih mengorbitnya paradigma pendidikan yang pragmatis dan materialistik. Semua ini terjadi, secara samar atau terang-terangan, bahkan disamar-samarkan.

Revolusi mental katanya, tetapi ayo korupsi, kolusi, dan nepotisme masih lebih populer tinimbang ajakan ayo ke masjid atawa ayo membaca. Kecil atau besar, suara-suara para kuruptor senantiasa terhubung satu sama lain, “mabar yuk!” Dan jika perilaku menyimpang demikian masih dianggap biasa-biasa saja, lambat atau cepat ambyarlah negeri yang kita cintai ini.

Selain korupsi yang statistiknya masih menanjak, di tengah pandemi harga pupuk tak terjangkau, sedang harga hasil tani justru kian melorot. Rayat kita masih ada saja yang kelaparan. Menderita berkepanjangan. Tak heran mereka rela menyabung nyawa, vis-a-vis dengan virus mematikan. Dan dalam getir itu mereka masih terus percaya, di negeri ini pemerintah hadir untuk melayani rakyatnya. Angka 75 semestinya mendewasakan kita, dan mulai hijrah dari segala perilaku egois dan binal yang mencederai negeri ini.

Olehnya, kepada siapa pun yang mencintai Indonesia, mari kita bernyanyi lagu Indonesia raya atawa berpuisi untuk negeri ini. Meski suara-suara kita sumbang dan fals, teruslah berharap semoga tersentuh perasaan mereka. Bergetarlah jiwa raganya. Tumpah air matanya di atas perut ibu pertiwi. Lalu mereka akan bangun dan melihat di usianya yang 75 tahun, negeri kita masih berdiri tegap. Mantap arahnya. Meski bajunya koyak dan lusuh diterjang badai. Diamuk anak sendiri. Indonesia masih berjalan, terpincang-pincang melewati tujuh samudera, tujuh gunung, tujuh gurun, dan tujuh hutan belantara demi meraih buah yang dijanjikan, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Merdeka Dalam Seni

Suatu ketika saya berdiskusi dengan sesama praktisi seni. Dalam diskusi tersebut menyoal perkara melarik embrio ide, gagasan dan tantangan praktisi seni dalam lingkup sosial masyarakat. Beberapa di antaranya yang menjadi substansial adalah independensi pemikiran terkait ide dan gagasan  yang kemudian diekspresikan secara visual di bidang dua dan tiga dimensi. Independensi dalam arti kebebasan berimajinasi, berkreasi, berinovasi, berkreatifitas bahkan kebebasan berpenampilan sebagai hal lumrah.

Penampilan  unik dan rambut gondrong yang kadang dianggap tabu di kalangan masyakat umum menjadi ciri khas. Cara berpakaian yang menjadi keunikan itu, tidak lain merupakan bentuk eksistensi gagasan estetis meski kadang dianggap lusuh bahkan latah. Mengapa saya katakan sebagai ciri khas sebab, penampilan yang ruwet dan rambut gondrong di kalangan praktisi seni ibarat jas dan atribut dalam meramu aktivitas keseharian dalam berkarya..

Tidak hanya itu, kebebasan juga ditunjukkan melalui penciptaan dari hasil ide dan gagasan nalar maupun di luar nalar. Hal-hal abstrak salah satunya bahkan menyentuh hal-hal yang bersifat mistik. Karya-karya absrak yang ditorehkan seorang seniman dari pengalaman hidup, ceritra dan bahkan keniscayaan alam semesta (adikodrati) merupakan bentuk mawas diri dengan sang pencipta Yang Esa.

Berbicara merdeka tidak lepas dari persoalan kebebasan baik individu maupun kelompok masyarakat. Kebebasan yang dimaksud adalah bebasan dari belenggu segala perbudakan ideologi kepentingan. Sebab seniman memiliki ideologinya sendiri sehingga mampu berdikari. Menurut Heru Maryono Msn, selaku praktisi seni asal Medan mengatakan bahwa seniman atau praktisi seni merupakan antitesa melawan kemapanan serta kaum penguasaan yang menindas dan anti kritik. Seni lahir bukan sebagai produk kapitalis melainkan sebagai wujud kekaguman terhadap nilai-nilai estetis ciptaan Tuhan.

Membahas tentang seni dan kemerdekaan, sontak dalam pikiran saya timbul simulasi  tentang intensitas kemerdekaan di negeri ini. Kita merdeka layaknya kerajaan seni dengan segala kebebasan berekspresi berdasarkan nalar, rasio, dan tunduk kepada Yang Esa. Di sisi lain  seni sebagai representasi media dalam mengkritisasi fenomena sosial dan pemerintah. Sebab keberadaan seni juga tidak lepas dari representasi kondisi alam sekitar baik secara fisik maupun emosional. Melalui seni seorang praktisi seni menyampaikan suara batin, aspirasi rakyat, dan kritik publik secara visualisasi

Salah satu jargon sakral yang terpatri di bibir kaum-kaum pribumi nusantara yang tertindas sejak masa reformasi adalah kalimat “MERDEKA”. Sejak era reformasi seni dan sastra sebagai presensi medium perlawanan terhadap penindasan HAM, terkhusus pada kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir, dan kebebasan berpendapat sebagai esensi dari sebuah kemerdekaan.

Memasuki akhir orde baru tahun 90-an, seni banyak mengulas fenomena moralitas sebagai reaksi kegelisahan masyarakat terhadap para wakil rakyat. Di era Orde Baru kehadiran pemerintah dianggap tidak lagi bermoral. Akibat dari kegelisahan tersebut memicu timbulnya gerakan-gerakan karya seni dan sastra yang berpihak terhadap kemanusian. Menyoal perkara moralitas pemerintah dan kebijakan rezim otoriter.

Seorang guru besar filsafat dan dosen Seni Rupa ITB, Bambang Sugiharto dari lensa kacamata seni mengungkapkan bahwa,”seni umumnya akan terus menerus menjadi penjaga yang akan mengamati keadaan masyarakat. Setiap ada kebebasan yang terancam, dunia seni selalu bisa menjadi seperti lampu kuning untuk memperingatkan masyarakat. Inilah yang saya katakan bahwa seni adalah nurani dari kultur”.

Nirwan Dewanto seorang sastrawan, kurator, dan aktor nasional yang juga turut menanggapi fenomena kebebasan berfikir dan berpendapat adalah salah satu hak asasi manusia. Hak sebagai wujud masyarakat yang sehat, peran seni dan sastra sebagai produk kebudayaan dalam sejarah umat manusia. sejarah kemajuan peradaban yang dipertajam oleh seni dan karya tulis sebagai wujud privilese.

Seni sebagai cerminan nilai-nilai estetis dalam masyarakat yang diregenerasi berdasarkan zaman. Melalui kebebasan berkesenian, maka  nilai-nilai estetis ini ditransformasi dalam berbagai sektor ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan seni adalah dua hal yang memiliki korelasi yang besar. Sebagaimana yang di ungkap oleh Dr. G. R. Lono Lastoro Simatupang, M.A bahwa “seni tidak akan pernah mampu mengubah dunia secara sendirian karena seni pada hakikatnya merupakan proses mediasi yang terikat ruang dan waktu“. Hal in mengindikasikan bahwa seni dan ilmu pengetahuan saling melengkapi satu dengan yang lain, ibarat kemerdekanya sebuah negeri dari hasil korelasi antar suku dan bangsa untuk melawan kaum penjajah.

Eksistensi seni di berbagai sektor ilmu pengetahuan ibarat gula dalam secangkir kopi. Seni menjadi sesuatu yang berpengaruh namun tak banyak diungkap. Tak hanya itu, seni juga merupakan salah satu unsur kebudayaan yang senantiasa terus berevolusi, sebab dengan kebebasan berkesenian berarti seorang seniman senantiasa membatu kemajuan peradaban dan kebudayaan yang sedang berlangsung. Meski demikian, istilah seni sering kali dijadikan pengantar untuk mendefinisikan berbagai peristiwa atau tindakan, meski itu hanya sebatas artifisial . Istilah politik salah satunya yang didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk memperoleh kekuasaan secara konstitusional maupun non-konstitusional.