Arsip Kategori: Esai Ramadan

Ngalle Barakka’ Ri Katubbayya, Ngalap Berkah Ala Sulawesi Selatan

Aku mulai menjadi khatib Hari Raya ketika masih duduk di bangku Mts DDI Nurussalam. Waktu itu aku masih kelas 3. Karena sudah biasa isi khutbah jumat, Imam Desa memberikan amanah mengisi mimbar Hari Raya Idul Adha 2009 silam. Sekaligus waktu itu adalah peresmian Masjid baru di dusunku.

Seingatku belum ada yang pernah mengisi khutbah hari raya di desaku selain khatib yang telah berumur dan lebih berpengalaman. Yah, tentunya ini adalah pengalamanku, yang masih puber tapi sudah harus tampil di hadapan ratusan jamaah. Oh iya, di desasku, Bontotangnga, Kec. Bontolempangang, Gowa itu hanya memiliki satu lapangan terletak di salah satu ibu kota desa. Seperti kebanyakan muslim Indonesia umumnya, di desaku menggunakan lapangan sebagai tempat pelaksanaan hari raya, yang dilaksanakan sekian dekade sejak diprokamirkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Merupakan beban besar menjadi khatib di desaku karena ada beberapa sara’ (kegiatan-kegiatan tertentu) yang dianggap lebih penting daripada do’a. Sara’ ini sudah mendarahdaging bagi setiap orang di desaku dan mungkin juga di daerah lain. Sara’ ini dilakukan sejak khatib masih di rumah hingga memasuki lapangan/masjid, pada saat akan naik mimbar, sesaat sebelum mengucapkan salam hingga pasca pembacaan khutbah. Khatib dianggap sebagai simbol keberkahan. Olehnya itu di desaku yang bisa menjadi khatib adalah imam rawatib/pegawai sara’, imam dusun, imam desa, dan tokoh agama tertentu yang dianggap mampu mengemban amanah umat. Khatib ini juga sudah harus berkeluarga.

Nah bagaimana dengan Aku? Pengecualian karena mungkin pandangan masyarakat menganggap Aku bisa menjalankan amanah sebagai khatib sekalipun minus karena belum kawin. Eh nikah maksudnya.

Sara’ ini adalah tradisi yang hanya dilakukan oleh pelaksana agama yang dulu disebut Pinati. Pinati setara dengan imam desa untuk ukuran saat ini. Sara’ melebihi do’a. Karena doa hanya sebatas ucapan dan itupun hilang disapu angin. Begitulah kira-kira penjelasan singkat dari zara’. Sedangkan sara’ ini dilakukan dengan penuh khidmat tanpa kata-kata.

Sebelum khatib berangkat dari rumah harus melihat waktu. Sekitar pukul 06:20, khatib harus memastikan bahwa jamaah sudah memasuki lapangan/masjid. Khatib harus ditunggu oleh jamaah. Ini kesan bahwa sang khatib ibarat “juru selamat” yang akan mengucurkan barakka” (berkah ) selama siklus satu tahun ke depan. Pada saat akan berdiri khatib harus menahan nafas sejenak lalu menghembuskannya. Setelah itu keluar rumah dengan mendahulukan kaki kanan. Jarak antara rumahku dengan  lapangan sekitar 300 meter. Aku memilih jalan kaki. Dalam perjalanan tidak boleh menengok kiri dan kanan, pandangan hanya fokus ke depan.  Ketika sudah berada di atas mimbar hal pertama dilakukan adalah menyentuh paling-paling (pundak) setelah itu menyentuh dada. Makna dari gerakan ini adalah ketika khatib menyentuh paling-paling diharapkan masyarakat bisa saling sipammaling-malingi (saling menghargai satu sama lain ).

Makna gerakan kedua saat menyentuh dada adalah harapan agar sepanjang satu tahun ke depan pepohonan bisa menghasilkan buah-buahan yang baik dan bermanfaat serta subur. Ini adalah makna lain dari buah dada. Jadi kedua hal ini, saling menghargai serta suburnya tanaman dianggap sebagai simbol keberkahan di desa. Oleh sebab itu sang khatib harus melakukannya dengan penuh khidmat 2 sara’ tersebut.

Nah setelah 2 sara’ dilakukan barulah khatib mengucapkan salam sambil melihat seluruh jamaah. Selama pembacaan khutbah sang khatib dilarang menjilat bibirnya. Hal ini biasa lumrah dilakukan dalam keseharian tapi dalam khutbah Ied sangat dilarang. Makna dari pantangan ini adalah diharapkan selama setahun ke depan masyarakat terhindar dari fitnah atau perkara lain yang sumbernya dari mulut.

Jika beberapa sara’ di atas sudah dilakukan sang khatib, maka para tutoa (warga sepuh) memastikan bahwa satu tahun ke depan kehidupan bermasyarakat akan baik. Hal ini sudah terbukti karena sara’ ini dilakukan turun temurun dan itu mempengaruhi siklus kehidupan.

Puncak sara’ ini ketika memasuki khutbah kedua. Sementara khatib memulai khutbah kedua maka sebagian besar masyarakat berbondong-bondong menaiki mimbar sambil menyentuh khatib atau doa yang dibacakan. Setelah itu menyisipkan amplop ke dalam saku khatib sebagai bagian angngalle barakka’ ri katubbayya (mengambil berkah di khutbah kedua Ied).

Ngalle barakka’ pada saat pembacaan khutbah kedua termasuk tradisi yang sudah jarang dilakukan. Hanya beberapa desa di dataran tinggi Gowa yang masih menyuburkan tradisi ini. Secara pribadi Aku belum pernah menanyakan tradisi ini dari mana asal usulnya. Tapi jika melihat kenyataan yang ada ini bisa dipastikan bahwa tradisi ini adalah tabarruk.

Tabarruk sendiri adalah sebuah tindakan mencari keberkahan Tuhan melalui pengaruh orang-orang suci seperti Nabi, wali, orang saleh, kiyai, dan sebagainya yang dengan perantaranya diakui dapat mendatangkan kebaikan.

Objek yang dianggap bisa menjadi perantara kebaikan adalah doa dari khutbah. Kemudian khatib juga dianggap sebagai sumber keberkahan untuk siklus kehidupan selama satu tahun. Jadi seperti yang Aku katakan di bagian sebelumnya bahwa menjadi khatib di hari raya adalah amanah besar dari umat, dan ini beban mental.

Secara subjektif Aku merasakannya. Apalagi  waktu itu Aku masih seorang pelajar yang tidak bisa menghindar dari aktivitas-aktivitas yang mungkin menodai citra sebagai khatib. Good looking lah istilahnya.

Setelah pelaksanaan  Ied maka hari itu masih ada sara’ yang harus dilakukan, yaitu peci sebagai simbol kebaikan dan keberkahan tidak boleh dilepaskan selama sehari kecuali pada saat tidur, atau di dalam kamar mandi.

Tanpa ada pembelajaran khusus tentang tabarruk ternyata masyarakat sudah banyak yang mempraktekkannya. Mungkin jika ditanya alasannya apa maka jawaban tidak jauh dari ungkapan “ini warisan tu riolota (nenek moyang)” tanpa memperdulikan apakah ini boleh atau tidak mengingat tabarruk adalah persoalan khilafiah.

Tapi pada dasarnya angngalle barakka’ ini adalah kearifan lokal (local wisdom) yang mesti tetap dijaga keberlanjutannya. Apalagi tradisi ini sangat dipercaya masyarakat setempat memberi pengaruh berupa barakka’ (keberkahan) selama satu tahun kedepan.

Sungguh, Saya Tidak Sedang Mempersoalkan Kebaikan Anda Sekalian

Tulisan ini bisa saja resisten pada banyak orang, karena akan bergerak menyoal niat pada hati manusia. Kita paham betul, bahwa niat ialah suatu yang abstrak, yang berkelindan hanya di antara si hamba dan Tuhannya. Namun, izinkan saya bertanya satu hal. Apakah salah bila saya menyebut, bahwa Ramadan kita, entah anda setuju atau tidak, masih bergerak pada kebaikan-kebaikan subjektif? Kebaikan-kebaikan individual? Semisal, kita sudah paham betul, bahwa Ramadan ialah bulan yang menjanjikan ganjaran pahala yang jauh berlipat untuk semua tindak kebaikan di dalamnya. Maka dari itu, oleh kita, Ramadan dijadikan bulan yang penuh sesak dengan niatan dan tindakan kebaikan. Aksi berbagi dan bersedekah ialah kebaikan yang paling memenuhi ruang-ruang bermasyarakat kita di masa Ramadan seperti ini.

Lalu di mana sisi subjektif dan individualitasnya? Ia terletak pada kealpaan kita seolah kata “lapar”, “miskin” dan “susah” tidak pernah ada di luar bulan Ramadan. Maka patut kita renungi, bahwa bisa saja selama ini, sensitifitas kita pada penderitaan si fakir, selalu hanya dibatasi oleh subjektivitas kita akan ganjaran pahala yang “membludak” di bulan Ramadan. Kita akan melakukan kebaikan, apabila ada implikasinya pada urusan pahala, surga dan neraka kita. Tentu saja ini adalah standar keselamatan yang normatif sesuai koridor agama, namun bukankah sebuah jalan ilahi bila kebaikan-kebaikan kita telah bergerak pada dimensi yang sunyi, yang urusan pahala dan surganya biarlah menjadi hak prerogatif Allah saja.  

Pada soalan yang lain. Gelaran-gelaran kebaikan yang kita lakukan di bulan Ramadan entah mengapa terkesan lebih dipaksakan meriah dibanding berhikmah. Aksi berbagi yang dilakukan hanya sepersekian menit, namun foto-foto dan bentangan spanduk di tengah kemacetan jalan raya  bisa berlangsung jauh lebih lama dan membuat kita para pengguna jalan kadang bingung antara mau terharu atau menggerutu.

Maka, menyoal kebaikan-kebaikan kita yang bisa jadi masih bersifat subjektif, individualis dan “yang penting meriah” itu, maka izinkan saya membincangkan mimpi saya, tentang sesuatu yang saya harapkan hadir di Ramadan kita, di masa depan kelak.

                                                                        ***

Kelak, di suatu Ramadan, kita sudah bisa menyaksikan sore hari yang lengang, tanpa bentangan spanduk “Ramadan Berbagi” dari alumni ini dan itu, komunitas yang di sana dan dan di situ.

Kelak, di suatu Ramadan, timeline media sosial kita tidak perlu lagi dipenuhi foto-foto senyum getir para fakir miskin yang disodorkan sebungkus nasi yang kita bawa. 

Kelak, di suatu Ramadan, kita bisa saja bersepakat untuk reuni dengan para sahabat, berkumpul dengan rekan kerja, komunitas, dan organisasi, namun bukan untuk membahas detail acara berbagi, lokasi jalan raya yang dipilih, format spanduk dan gaya foto yang estetis saat berbagi. Kita membahas aksi berbagi yang kita desain sesunyi mungkin, sesepi mungkin, yang bahkan tangan kiri kita pun tidak mengetahui bahwa tangan kanan kita baru saja memberi.

Kelak, di suatu Ramadan, jalan-jalan di sore hari masih lengang, namun rupanya, di subuh, pagi dan siang hari, semua organisasi dan komunitas itu telah bergerak melancarkan aksi senyapnya untuk bergerilya, menemui tiap rumah dan gubuk yang rapuh, memberi bahan makanan dan sedekah lainnya, berjabat tangan berterima kasih, lalu pulang. Kamera handphone masih mereka simpan di dalam tas, tidak dipergunakan sama sekali dalam kegiatan ini.

Kelak di suatu Ramadan, kita ingin menyaksikan sore yang lengang, dengan para daeng becak, sopir angkutan, petugas kebersihan yang masih tetap bekerja dengan hati yang tenang, karena mereka tahu, bahan makanan di rumah masih senantiasa cukup untuk menambah panjang nafas mereka. Orang-orang baik selalu datang diam-diam, menyodorkan bantuan, lalu pergi begitu saja.

Kelak di suatu Ramadan, para anggota organisasi, ikatan alumni dan komunitas akan bertebaran di mana-mana tanpa dress code tertentu, lalu diam-diam bergerak memasukkan amplop sedekah ke kantong para fakir, lalu berjalan pergi. Hilang ditelan sunyi. Lagi-lagi kamera handphone di mana? Ya, masih di dalam saku dan tas mereka.  

Dan tibalah saatnya, kelak, di suatu Ramadan, setiap instansi, organisasi, komunitas, dan ikatan alumni, akan kembali reuni. Bukan untuk membahas niatan berbagi di bulan Ramadan lagi, namun juga niatan memberi dan berbagi di bulan-bulan lainnya. Mereka sadar, ukuran lambung tidak pernah mengecil di luar bulan Ramadan.

Sungguh, tiada maksud hati ingin menggugat semua kebaikan-kebaikan yang telah kita jalankan selama ini, karena diri ini pun juga kadang masih terjebak dan terlarut pada aksi yang mainstream ini. Namun tiada yang salah, bila ini semua berangkat menjadi sebuah ajakan pada diri pribadi dan kita semua, untuk melangkah pada level kebaikan selanjutnya yang lebih mempertimbangkan esensi, bukan publikasi, lebih mengedepankan niat suci, bukan karena ingin dipuji. Sungguh tiada yang meragukan niat baik para tuan dan puan yang dirahmati Allah sekalian. Ini hanyalah ajakan melangkah pada jalan sunyi, yang mungkin kurang puja-puji, namun sungguh diberkahi ilahi.

Bahlul, Rumi, dan Dosa Kambing

Aku tak di rumah, ketika Ramadan bertamu. Padahal sudah berjanji bakal temu. Bisa jadi tak ada tahun-tahun lain, aku dengannya jumpa kembali. Menyambutnya penuh rindu. Menjamunya dengan segenap cinta. 

Itu yang aku bilang padanya. Ketika kubujuk melaui doa-doa yang dikirim embun di kaki langit yang teduh dan biru. Atau di subuh hari lalu yang haru nan kudus. Kini ia akan berlalu dan aku masih sibuk dengan diri sendiri.

Rasa-rasanya, aku hanya pamit sebentar saja pada orang di rumah. Ingin ke toko membeli sedikit kebutuhan di sana. Di perempatan jalan, di mana semua orang kerap lupa jalan pulang.

Aku masih sibuk berbelanja, memuaskan semua ingin, saat orang di rumah menelpon dan menanyakan kapan aku pulang menemui Ramadan. Aku bilang, “Tunggu! Sebentar lagi.” Atawa Sekadar mengiyakan celotehnya, agar tak khawatir dan segera mematikan telepon. Sebab kadang-kadang perasaan muak mencuat, jika ia mulai berceramah. Pun sering-sering, aku pura-pura saja tak mendengar dering dan getar telepon di balik saku bajuku. Jauh di kedalaman dadaku.

Rasanya, aku menginginkan semua-muanya. Mengisi setiap inci perutku dengan dunia, yang terlihat seperti sebotol anggur dan roti dengan selai cokelat di atasnya. Aku mau membeli kenikmatan dan menikmatinya sendirian. 

Aku tahu, aku tenggelam dalam ekstasi. Hilang di balik gemerlap pesona dunia yang memabukkan, dan kehibukan pun membawaku jauh dari diriku sendiri. Riuh bujuk rayu kebendaan dan hasrat yang menggairahkan, menutup pintu masuk ke dalam jiwaku, yang entah. Akhirnya, semu menyuburkan nafsu dan hasrat, mengaburkan rasa malu dan sadar.

***

Dewasa ini, dunia dan semua yang enak-enak yang ditawarkannya, hanya membawa kita untuk sekadar memenuhi keinginan-keinginan dan nafsu. Di mana memberi peluang bagi setiap orang, untuk asyik dengan dirinya sendiri.

Yasraf Amir Piliang telah mengatakannya berulang-ulang, yang diguratnya dalam buku Sebuah Dunia yang Dilipat. Sekarang ini, dunia kita, kehidupan masyarakat kita adalah sebuah kondisi di mana di dalamnya hampir semua energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu. Kita sibuk melayani nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan, dan kesenangan. Sementara,  kita hanya menyisakan sedikit saja ruang bagi penajaman mata hati. Sejengkal saja lahan menumbuhkan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan, dan pencerahan spritiual.

Nafsu menjadi musuh besar manusia, tapi juga bagian esensial dari makhluk Allah Swt. Adanya nafsu, membuat manusia memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, tidur, dan sebagainya. Namun, nafsu seringkali dimaknai dengan hal-hal yang buruk. Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafsu dimaknai sebagai keinginan, kecenderungan, atawa dorongan hati yang kuat. Pun dapat diartikan sebagai selera atau gairah

Hawa nafsu dalam konsep psikoanalisis Lacan dibedakan dengan kebutuhan kata Yasraf Amir Piliang. “Kebutuhan (need) adalah energi murni organik, seperti dorongan makan, tidur, dan sebagainya. Sedangkan nafsu (desire) adalah energi aktif yang berkaitan dengan proses psikis, seperti dorongan seksual. Nafsu adalah kekuatan pendorong aparatus psikis, yang diarahkan sesuai dengan persepsi tentang sesuatu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang tidak dimiliki oleh kebutuhan.”

Dalam Nanatsu no Taizai – salah satu anime Jepang yang diangkat dari manga Nakaba Suzuki – hawa  nafsu dilambangkan dengan kambing. Nanatsu no Taizai atau The Seven Deadly Sins merupakan anime yang berkisah tentang tujuh kesatria, yang melambangkan tujuh dosa besar.

Dosa kambing atau hawa nafsu, diemban oleh Gowhter. Ia punya kekuatan yang disebut invasion. Kemampuan unik dan spesial yang dapat mempermainkan dan memanipulasi ingatan seseorang. Gowhter sang dosa kambing, dapat menjebak lawannya dengan pikiran mereka sendiri. Yah, begitulah hawa nafsu. Akal dan hati mampu dimanupulasi dan dikuasainya. Manusia yang lebih cenderung mengikuti hawa nafsunya, bakal menampik kata hati dan mengakal-akali segalanya agar masuk akal.

Menariknya, dijadikannya kambing sebagai simbol dosa hawa nafsu dalam Nanatsu no Taizai, senada dengan ungkapan Rumi. Bahwa amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.  Itulah sebabnya nafsu harus diikat sebagaimana kambing. Lihatlah kambing jika dilepaskan begitu saja. Bakal memantik perang dunia ketiga. Sebab tanaman bunga hias ibu-ibu bisa diembatnya. Kalau ibu-ibu sudah marah, kambing tetangga bisa jadi kambing gulai. 

Sebagaimana kambing, kehendak hawa nafsu harus diikat, diperangi, ditundukkan, dan dijinakkan. Melawan hawa nafsu adalah perang besar bagi manusia, kerana harus melawan diri sendiri. Rasulullah saw., telah mengingatkan kita ribuan tahun lalu pasca perang badar. Sang Nabi Agung bersabda, “Kalian telah pulang dari suatu pertempuran kecil menuju pertempuran yang lebih besar.” Para sahabat bertanya, “Apakah perang yang lebih besar itu wahai Rasulullah?” Sang Nabi Agung menjawab, “Perang melawan hawa nafsu.”

Bagaimana cara melawan hawa nafsu? Sebagaimana dilansir NUOnline, dalam memerangi hawa nafsu, agama memberikan dua senjata serupa rasenggan dan cemeti amarasuli yang paling ditakuti Mak Lampir. Pertama, mengurangi tidur, sebab tidur bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Kedua, melalui puasa. Hawa nafsu laksana api yang berkobar, dan makanan menjadi bahan bakarnya. Api akan terus berkobar, jika secara terus-menerus diberi bahan bakar. Olehnya, puasa menjadi piranti menjinakkan hawa nafsu dalam diri manusia.

“Kehidupan semua Nabi dan Rasul Allah penuh dengan kisah-kisah tentang puasa,” kata Emha Ainun Nadjib. “Baik puasa dalam arti harfiah langsung maupun puasa dalam pemaknaannya yang luas. Bukankah segala perkara yang kita alami bersama selama beratus-ratus abad di muka bumi ini dimulai dan disebabkan oleh baginda Adam as., yang mokel (baca: bucok atau membatalkan puasa secara diam-diam), seharusnya menahan diri tak makan buah larangan itu, tapi beliau memakannya?”

Di titik ini, kita semua banyak mengalami kekalahan telak. Sepanjang hari menahan lapar dan dahaga, Namun, ketika tiba waktu buka puasa, perut-perut kita dicekoki kembali makanan sampai kekenyangan. Ketika puasa, bukannya mengurangi tidur, tetapi tidur sepanjang hari. Ketika menjelang hari lebaran, kita ingin membeli semuanya. Sehingga, tanpa disadari nafsu ingin dipuji, nafsu kebendaan, ketenaran, kesenangan, popularitas, dan sebagainya, mencuat kembali. Bebas tak terkendali.

***

“Puasa itu adalah upacara korban, ia adalah kehidupan bagi jiwamu, Bahlul. Marilah korbankan badanmu, karena jiwa telah datang menjadi tamunya.” Senandung Rumi di sela-sela relung renung, akhirnya membangunkanku dari lamunan. Barulah kusadari lelah mulai menjarah raga dan sukmaku. Aku lalu menepi di sudut toko yang sepi, mengais-ngais kelesah yang entah. Duduk seperti gelandangan memangku bimbang dan sesal. Bersandar membasuh peluh di hadapan cermin jiwa yang keruh.

Aku duduk sejenak, meraba-raba benak. Merenungi jejak. Membuka pagina kenangan di relung sadar yang tersisa. Dan, tetiba kau datang, Ramadan. Menemuiku di sini yang seperti gembel tak tahu arah. Ingin rasanya aku menghambur dalam pelukmu. Tapi ragu dan malu berdesakan menyesaki dadaku. 

Hening. Suara hiruk pikuk menghilang. Kau pun diam. Menatapku iba. Lalu, mememulukku erat, sembari berbisik lirih, “Aku pulang!”

Bulan Ramadan dan Guncangan Ruhani

“ Dahulu kita saling menyatu, tatkala cinta dunia, kita saling melupakan,

Dahulu kita saling menjaga, tatkala keserakahan, kita saling berbalah,

Dahulu kita saling mencinta, tatkala kepongahan, kita saling membenci,

Dahulu kita saling menyapa, tatkala berbeda pilihan, melirik pun enggan,

Akankah Ramadan menghapus gulma-gulma diri? 

Dan, kita kembali seperti dulu.”

Memasuki hari-hari terakhir bulan Ramadan, dikeheningan malam, aku membatin sejadi-jadinya, apakah Ramadan tahun ini akan berlalu nirmakna? Bukankah puasa Ramadan bagaikan tungku perapian untuk membakar kerak-kerak keburukan. 

Entah sudah berapa kali kita melewati tempaan madrasah nan agung ini, rasanya, baru kemarin sore engkau mendekap, kini hendak berlalu lagi . Apakah kali ini tempaan madrasamu akan biasa-biasa saja, seperti hari-hari kemarin? Dulu, setiap engkau pergi, kami pun melupakanmu, sungguh engkau  setia mendatangi kami, dan kami sangat bodoh menyia-nyiakanmu.  

Hidup ibarat perjalanan pulang menuju kampung abadi, dalam perjalanan hidup, kita sering alpa akan tujuan pulang. Madrasah Ramadan datang mengetuk kesadaran kita, tentang tujuan asali. Kemana tujuan kita berjalan? Di semadya perjalanan, manusia sering lupa akan tujuan hidupnya. Keegoan, keserakahan, kepongahan dan cinta dunia menjadi gulma diri, menutupi cahaya jiwa sebagai petunjuk jalan pulang ke kampung abadi.

Menjalani safar kehidupan bukanlah hal yang mudah, butuh perjuangan mengerahkan seluruh potensi yang diberikan oleh sang Abadi. untuk menjadi insan terbaik, kehidupan niscaya membutuhkan tempaan dan guncangan. Madarasah Ramadan salah satu momentum tempaan, hingga mengalami guncangan lahir dan batin. Sebagaimana kutipan tulisan Ilya Prigogyne, seorang pemenang hadiah nobel, “Sistem akan berkembang ke arah lebih baik bila ia di guncangkan oleh perubahan. Ia naik ke arah struktur yang lebih canggih bila ia dihadapkan pada gejolak (disturbances). Sebelum mencapai keteraturan yang baru, sistem harus mengalami ketidakteraturan. Alam semesta adalah sebuah sistem yang terus memperbaharui dirinya (self renewing system). Dengan apa? dengan guncangan, kemelut, ketidakteraturan, kekacauan, taufan, dan badai.

Tempaan madrasah Ramadan sebagai guncangan yang kita alami satu bulan lamanya. Siang hari, fisik dipaksa menahan lapar dan dahaga, malam harinya mengisi dengan  berbagai ibadah ritual. Pada kondisi seperti itu, jika dilakukan secara simultan, maka secara natural tubuh dan jiwa akan mengalami guncangan, dengan sendirinya seseorang akan mengalami perubahan dari kondisi sebelumnya. 

Selain itu, dalam konteks keislaman kita mengenal istilah Iffah. Iffah secara leksikal merupakan keutamaan manusia ketika ia mampu mengendalikan syahwat dengan akal sehatnya. Nabi Saw bersabda, “ barangsiapa mau menjaminkan kepadaku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua pahanya, maka aku jaminkan surga baginya.”

Syahwat sesuatu yang inheren dalam diri manusia, keduanya tidak boleh dihilangkan sama sekali. Apabila syahwat berlebihan, maka,  kerakusan akan mengusai diri. Jika segalanya berlebihan dalam makan, minum dan seks. Pada akhirnya, kita akan melakukan kejahatan demi memenuhi syahwat yang tidak terkendali itu.

Kang Jalal, panggilan akrab K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, menuliskan dalam bukunya, Halaman Akhir. “Puasa adalah latihan iffah- dimulai dengan mengendalikan keduanya. Bukan saja kita mengurangi makan-minum dan seks, kita juga menentukan waktunya sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam berpuasa, kita bukan saja dilarang memakan yang haram, kita juga dilarang memakan yang halal, bila saatnya belum tiba. Puasa tidak menghilangkan syahwat sama sekali, puasa hanya menempatkan kekuatan syahwat di tingkat yang benar”. 

Walhasil, puasa melatih seseorang mengendalikan hawa nafsunya, menundukkan dirinya kepada kehendak ilahi, dan akhirnya mencintai tuhan dengan mencintai sesama manusia. Ketikan Nabi Saw melihat seseorang mencaci-maki sahayanya, beliau berkata, “makanlah” Ia menjawab, “Aku berpuasa.” Beliau berkata. “ mana mungkin engkau berpauasa, padahal engkau telah memaki sahayamu? Puasa bukan hanya menahan makan dan minum.”

Wahai orang-orang yang berpuasa, anda sedang ditempa dengan rasa lapar dan dahaga, untuk menyucikan diri anda, jadikankanlah Ramadan sebagai madrasah ruhani yang menampakkan rasa empati dan welas kasih kepada sesama dan membawa kebaikan pada pengendalian diri.

Buka Puasa Bukan Balas Dendam

“Entah kenapa,  dua hari terakhir ini jadi rajin berwudu. Apakah ini tanda kalau aku tidak kuat puasa?” Ngintip status teman di whattsapp, kemarin, menjelang hari kedua puasa Ramadan. Mau komentari, tapi tiba-tiba ngerem “Puasa…puasa…puasa”. Takut panjang kali lebar.

Suasana puasa tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi masih maraknya pandemi yang belum usai. Jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, mematuhi protokol kesehatan, bukan lagi yang menghantui masyarakat dengan vaksin booster. Walaupun demikian, nyatanya buka bareng, ngabuburit. Masih.

Buka puasa adalah hal yang dinanti-nanti. Layaknya bait lagu Nikita Willy, “Ku akan menanti, mesti harus penantian panjang, ku akan tetap setia menuggumu, ku tahu kau hanya untukku”. Bagaimana tidak? Dari terbit fajar hingga terbenam matahari, menahan. 

Berbagai hidangan yang disediakan untuk pa’buka. Tapi faktanya, ada yang berbuka dengan segelas air, cukup. Sisanya, nanti. Ada juga dia santap semua menu yang tersedia. Balas dendam, sebut saja. Hingga kasoneang. Teringat dengan penggalan sabda Nabi, “Tiada tempat paling buruk yang dipenuhi oleh manusia, daripada perutnya. Cukup bagi anak Adam beberapa suap saja untuk menegakkan tulang belakangnya. Jika tidak, maka sepertiga (dari perutnya) untuk makannya, sepertiga lagi untuk air minumnya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya”. Intinya tidak berlebihan. 

Sembari menafakurkan sabda Nabi, sambil menunggu buka puasa, saya bergumam menghitung buku yang tersusun di lemari. Ya, sekitar seratus enam puluhan buah. Tatapan saya tertuju pada buku bersampul dasar putih dengan embel kekuning-kekuningan.  Anggitan Ali Muhammad Al-‘Imran, judul bukunya, Al-Musyawwiq Ilaa Al-Qiraa’ah Wa Thalab Al-‘Ilm. 

Ali Muhammad menceritakan bagaimana kisah gila baca ala ulama. Diantaranya, Ibnu Jauzi berkata menceritakan dirinya, “Saya tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang saya belum pernah saya lihat, maka saya seolah-olah mendapatkan harta karun. Saya pernah melihat katalog buku-buku wakaf di madrasah an-Nidhamiyyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Saya  juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Saya pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya. Saya pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang saya masih terus mencari ilmu”. Ya, layaknya tak pernah kenyang. 

Sama-sama lahap, hanya orientasi berbeda, otak dan perut. Olah jiwa dan olah raga. Jika membaca merawat jiwa, maka berbuka puasa merawat raga. Puasa menjadikan lapar ragawi untuk mematangkan jiwa. Mengambil tindakan ragawi dengan membaca buku, sama halnya merawat jiwa. Jadi, berpuasa membenahi urusan jiwa dan raga. Sebagaimana pujangga Romawi, Decimus Lunius Juvenalis, menggaungkan “Mens sana in corpore sano”, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

Buka puasa bukan semata memenuhi nafsu makan, kenyang. Sudah. Melainkan buka puasa berimplikasi terbentuknya mental pengendalian hawa nafsu, yang termanifestasi pada rasa syukur. Buka puasa adalah suatu kewajiban. Berbeda dengan sahur yang sifatnya adalah anjuran. Sedang, sebaik-baik sahur adalah yang diperlambat atau dekat dengan waktu menahan (imsak). Supaya apa? Agar bisa ikut jamaah subuh, misalkan.  Begitu juga menyegerakan buka puasa, lebih baik. laiknya menikah, harus disegerakan.

Menyegerakan, bukan berarti waktunya balas dendam. Karena sudah kelaparan, maka balasannya harus kenyang. Hingga kekenyangan.  Tidak masalah, namun ada batasnya. Karena sesuatu yang baik jika berlebihan, maka tidak baik.  Memaknai esensi dari buka puasa adalah tidak makan dan minum berlebihan sebagai bentuk pembalasannya, karena seharian telah menahan lapar dan haus. Layaknya orang tidak mampu, merasakan. Sehingga perilaku-perilaku berlebihan saat berbuka puasa tidak merefleksikan makna puasa yang menggambarkan tentang keprihatinan, dan kelemahan kita sebagai makhluk. 

Mendengar cerita salah seorang tetangga kemarin, dia bercerita, “Bangun, makan sahur, kantuk tak bisa kompromi, akhirnya tidur, hingga kebablasan. Tidak salat subuh. Tak ada yang membangunkan. Bangun-bangun sudah magrib. Bentar lagi buka puasa. Senikmat itu puasa. Tanpa merasakan lapar. Hanya jarak tidur dan bangun. Buka. Sambil ketawa ceria. Semoga tidurnya berkualitas, canda teman”. Teringat, psikolog Michael J Breus Ph.D dalam Psychology Today, menjelaskan ketika jam biologis itu diperkuat dan tersinkronisasi, maka akan berpengaruh dominan pada kemudahan dan kualitas tidur seseorang. 

Bermacam-macam orang mengekspresikan puasa. Ada juga hanya diniati untuk menggugurkan kewajiban semata. Namun, tak banyak di antaranya juga diselipkan niat agar berat badannya bisa turun. Karena suka makan, ngemil, tidur berlebihan, tidak diimbangi olahraga. Capek menanggung beban hidup (kelebihan lemak), atau karena ingin memiliki tubuh ideal. 

Sebagaimana Defrizal Siregar dan Juriani, telah melakukan penelitian terkait dengan kondisi fisik orang yang berpuasa. Disimpulkan, bahwa berpuasa tidak memberikan pengaruh buruk terhadap glukosa darah. Sebaliknya, berpuasa dengan kerja fisik tetap memberikan kestabilan pada kadar glukosa darah normal, menjaga daya tubuh, sehingga tubuh ideal yang diinginkan dapat tercapai. Didukung juga dalam sabdanya “Berpuasalah maka engkau sehat”.

Hemat saya: Menikmati, sederhana, dan tidak berlebihan.