Selama ini saya mengira saya abadi. Atau setidaknya dapat hidup tidak berubah meski waktu bergerak-gerak sampai kesini.
Sudah sejak lama saya menyadari tubuh saya berhenti menjadi lebih tinggi, sama halnya seperti raut muka saya yang tidak menunjukkan indikasi perubahan. Wajah saya seperti berjalan di tempat persis seperti lima, sepuluh, atau dua puluh tahun lalu. Saya seperi sosok highlander, mitologi manusia abadi yang berasal dari ketinggian gunung-gunung di Scotlandia. Tidak akan mati sebelum kepalanya dipenggal. Saya seperti seseorang yang hidup di dalam zaman yang berhenti bergerak saat setiap orang yang saya kenal berubah setiap waktu. Saya tidak mengalami banyak perubahan setelah itu. Itu ciri-ciri keabadian menurutku.
Ada suatu masa karena itu saya ingin menjadi begini-begini saja, yang saat itu berarti hidup menyerupai anak-anak yang melihat kehidupannya dengan cara begini-begini saja pula. Bebas, tanpa beban, dan terutama tidak ada tanggung jawab yang perlu dipikul.
Saya rasa kehidupan seperti dalam cerita Peter Pan di saat ini bukan hanya terjadi dalam dunia fiksi saja.
Di beberapa negara, terutama Jepang kecenderungan sebagian orang memilih model kehidupannya menjadi lebih mudah setelah ia memilih usia yang diinginkan. Selama ini kebebasan yang dimiliki manusia hanya bisa mendorongnya memilih jenis kelamin yang ia harapkan, atau sama sekali tidak memilih satu kepercayaan agama yang terlanjur dipilih banyak orang. Anda jika ingin menjadi seperti seorang anak berusia 14 tahun maka pilihlah itu sebagai usia Anda saat ini. Itulah trans-age, fenomena memilih usia berdasarkan keadaan mental seseorang.
Di Jepang, pria bernama Jackie memilih hidup berdasarkan usia yang ia pilih karena menolak usianya yang telah 39 tahun. Ia selalu menyatakan kepada siapa saja kalau usianya masih 28 tahun dikarenakan menginginkan kebebasan dan keceriaan anak muda yang sudah mulai jarang dialami orang-orang yang memasuki usia kepala empat.
Sama seperti Jackie, saya selama ini menginginkan usia saya berhenti di 24. Karena itu bukan hal yang aneh jika setiap orang memiliki keinginan untuk kehidupan yang lebih lama melebihi seperti kehidupan sekarang.
Tapi, gagasan itu kemudian mulai berubah. Di kepala, saya menemukan beberapa helai rambut memutih. Itu artinya, setiap orang bakal menghadapi usia yang makin panjang, setelah ia disadarkan dari tanda-tanda perubahan seperti yang saya alami beberapa waktu lalu pasca berulang tahun.
Keabadian merupakan gagasan yang telah berumur panjang. Bahkan ia merupakan obsesi yang sampai saat ini berusaha dipecahkan melalui berbagai cara, termasuk sains.
Sejak era Yunani antik di masa Plato, gagasan keabadian dinyatakan melalui keazalian jiwa yang mendiami suatu tatanan metafisis tempat ide-ide universal berada. Semua orang saat itu memiliki sejumlah pengetahuan yang tidak terbatas dikarenakan langsung dapat mengakses ide-ide keabadian yang tidak berubah, pasti, dan menyeluruh. Di kondisi ini, bahkan konsep waktu dan tempat tidak relevan sehingga memungkinkan setiap apa yang ada dapat aktual tanpa melalui suatu proses spasial dan waktu.
Saat ini, sains berusaha merealisasi ide-ide semacam itu, dan ini bukan suatu hal yang mustahil. Setidaknya tampak dari upaya industri kecantikan yang menjual gagasan mengenai konsep awet muda melalui beragam produk dan treatment agar banyak orang kembali seperti kehidupannya 15 tahun lalu.
Melalui pendekatan yang lebih canggih, tekhnik pembekuan sel-sel dari diri seseorang agar ia bisa dibangkitkan di masa depan sudah makin populer, terutama di beberapa tempat negara barat. Pembekuan otak menggunakan nitrogen cair merupakan tekhnik medis saat ini yang bisa memberikan harapan bagi orang yang percaya bahwa di masa depan ia bisa hidup kembali meski telah berganti tubuh.
Keyakinan semacam ini tidak ada salahnya dikarenakan obsesi hidup kekal sudah merupakan keinginan yang tertanam di setiap jiwa manusia. Cara-cara seperti ini bukan sesuatu yang baru dikarenakan di masa lalu, bahkan seorang raja seperti Firaun telah menggunakan tekhnik pembalseman untuk mempertahankan dirinya agar terus dapat awet, sementara jiwanya melanjutkan perjalanan ke alam baka tanpa perlu khawatir kehabisan harta.
Terkait harta, banyak orang kaya memiliki gagasan kebadian dengan cara membeli segala hal yang dapat ia beli. Selama ia memiliki banyak uang, keabadian dapat ia miliki dengan memperbanyak koleksi mobil mewah, perhiasan, tas mahal, atau bahkan mengoleksi jam tangan branded seakan-akan setiap jarum jam yang berputar di dalamnya akan menambah waktu menjadi dua kali lipat lebih lama. Tapi memang, jiwa yang telah tenggelam di dalam keberlimpahan materi sering menganggap semua yang ia miliki bakal bertahan selamanya.
Mungkin karena itu konsep keabadian tidak selamanya pantas untuk kehidupan manapun. Terutama jika gagasan itu berkaitan dengan keberadaan sesuatu di dalam ruang dan waktu. Bahkan ketika Anda memiliki kekuasaan, yang kerap membuat sifat seseorang cepat berubah menjadi seratus delapan puluh derajat sehingga menghendaki agar ia menjadi pemimpin selamanya.
Tidak bisa dibayangkan jika di masa sekarang semua orang dapat hidup lebih lama dan tidak sekalipun ajal menghampirinya. Membuat kekayaannya abadi, jabatannya abadi, dan semuanya serba bertahan lama. Itu artinya di sisi lain ada kemiskinan yang abadi, bawahan yang abadi, serta struktur yang tidak bisa berubah pun selama-lamanya. Sudah pasti dengan semua keabadian itu akan mempertahankan ketidakadilan, ketimpangan, dan penindasan selama manusia bisa membayangkannya. Imbasnya, kehidupan ini akan terjerumus di dalam nihilisme, kepadatan, mengalami krisis multidimensi, dan kebosanan mulai melanda yang akan mendorong satu dua orang akan berani memikirkan ide tentang bagaimana caranya mengakhiri hidupnya.
Itulah sebabnya, kehidupan abadi di satu sisi adalah kutukan, sama seperti si Iblis atau Sisipus yang dikutuk Dewa Zeus untuk hidup selamanya hanya demi melakukan hukuman tanpa henti sampai ia sendiri kehilangan kepercayaan atas nilai-nilai. Kutukan Sisipus mesti mengangkat batu di pagi hari sampai ia melihatnya jatuh dari atas bukit setelah malam tiba. Begitu seterusnya yang ia lakukan seumur hidup, selama-lamanya.
Saat ini, menurut saya, meski tidak hidup abadi, hampir semua orang hidup dengan kutukannya sendiri-sendiri. Ada yang mesti menanggung hidup melarat pasca habis-habisan di atas meja judi, mengalami nasib sial berupa perceraian setelah melanggar perjanjian pernikahan, atau bernasib malang setelah biaya hidup berubah drastis akibat kesalahan kebijakan ekonomi-politik. Ya, yang namanya kutukan merupakan nasib buruk, kemalangan, dan nahas imbas dari kesalahan melakukan sesuatu, seperti misal menyerahkan semua urusan hidup kita kepada sistem atau orang yang salah.
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).