Arsip Kategori: Singkap

Bagaimana Jika Setiap Saat Krisis Melanda Kita?

Ada beberapa makna krisis dalam kamus bahasa Indonesia, selain menjelaskan keadaan yang berbahaya, kemelut, bisa juga dimaknai sebagai, saat yang menentukan di dalam cerita atau drama ketika situasi menjadi berbahaya dan keputusan harus diambil.

Tahun-tahun sebelumnya kita mengalami krisis, gempa bumi, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, dan pembunuhan massal. Hampir tak ada hari yang tenang untuk bercengkrama dengan keindahan kecuali sesekali kita mengarungi jalan-jalan di pedesaan, menghirup udara segar, dan bercengkrama dengan keindahan kepolosan wajah-wajah yang tulus.

Namun krisis masih tetap berlanjut hingga sekarang ini dan sampai detik ini. Tak ada kata usai dalam menghadapi krisis kehidupan sebab peristiwa krisis yang baru datang menyapa hampir di setiap kesendirian kita. Seolah keseharian yang kita lalui dengan kebahagiaan sebanding dengan krisis yang menerpa kita. Namun ada satu hal yang luput, justru inti persoalannya karena krisis datang setiap saat, datang begitu cepat silih berganti, akhirnya menjadi terbiasa, dan sirna dari pikiran kita.

Artinya krisis sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan kita. Saking biasanya sehingga krisis tak lagi menjadi sebuah krisis. Krisis hanya datang sesaat untuk menyapa dan bersamaan dengan itu pergi dan sirna. Apa masih ada krisis jika sudah menjadi kebiasaan?

Coba lanjutkan krisis-krisis berikut ini, demontrasi, makanan kadaluarsa berisi cacing, korupsi, perbedaan aliran, hoax, terorisme, kebebasan berbicara, politik, perang sipil, tabrakan, travel umrah, dan krisis-krisis lainnya. Bukankah krisis-krisis tersebut sudah menjadi kebiasaan? Dan kalau sudah menjadi ‘biasa’, tak kan disebut lagi sebagai krisis.

Di antara krisis-krisis tersebut, ada krisis yang beruntung sebab ada orang yang meriyawatkannya dan memberitakannya. Tapi tidak semua krisis mendapatkan keberuntungan. Bahkan boleh jadi, cara mengemas suatu peristiwa akan sangat menentukan apakah peristiwa tersebut bisa dianggap sebagai suatu krisis atau bukan. Bahkan sebuah fiksi sekalipun bisa menciptakan krisis sosial hingga mengancam Indonesia bubar.

Jadi manusia kini tidak hanya berhadapan oleh suatu peristiwa krisis tapi juga dihadapkan pada ‘kemasan peristiwa’ yang akan menentukan apakah peristiwa itu dianggap sebagai suatu krisis atau bukan. Bukan hanya itu, dimana ‘kemasan peristiwa’ tersebut akan diproduksi, juga akan sangat menentukan. Jika ‘kemasan peristiwa’ diproduksi di ruang-ruang debat raksasa yang ditonton jutaan pemirsa, peristiwa itu akan benar-benar terlihat sebagai krisis.

Ada dua istilah waktu di alam pemikiran Yunani kuno, waktu kronologi (chronos) dan waktu kairos. Waktu kronologi adalah waktu yang dibagi menjadi jam, menit, dan detik. Kita merencanakan kegiatan keseharian dan rencana-rencana esok hari dengan waktu kronologi. Namun waktu kairos adalah waktu yang datang secara tiba-tiba, tak diperhitungkan, dan tidak dinantikan.

Waktu kairos adalah waktu yang menghentakkan benak kita secara tiba-tiba, menghentikan kebiasaan kita dengan terpaksa, dan memberikan pertanyaan besar yang akan mengubah kebiasaan-kebiasaan kita sebelumnya. Waktu kairos identik dengan saat peristiwa krisis pertama kali menghampiri kehidupan kita.

Jaman ‘internet is everything’ lebih memudahkan setiap orang menciptakan krisis karena ‘kemasan peristiwa’ tidak hanya terkait dengan masa kini tapi sangat memungkinkan peristiwa masa lalu diubah menjadi krisis masa kini. Seolah waktu kairos yang telah dipaparkan ribuan tahun lalu, baru saja dipaparkan belakangan ini.

Puisi ‘Ibu Indonesia’ telah terbit tahun 2006, tapi menjadi peristiwa krisis tahun 2018. Tak ada satu orang pun yang memperkarakan saat itu. Mungkin tak ada yang mengemasnya menjadi suatu peristiwa krisis. Bahkan kesalahan parkir Ratna Surampaet telah berubah menjadi krisis sosial meskipun dalam kemasan yang sederhana namun mendapatkan momentum yang tidak sederhana.

Berbagai fenomena krisis telah mengepung kehidupan keseharian kita. Setiap saat kita dipertemukan dengan krisis-krisis yang baru. Hal yang paling menakutkan karena kemanusiaan kita akan terbiasa dengan krisis sehingga krisis menjadi kebiasaan kita. Dan pada akhirnya kita mulai tak peduli dan acuh atas berbagai krisis.

Kesimpulannya, kemanusiaan kita tak lagi memiliki empati dan tak berempati kepada kemanusiaan kita. Artinya riwayat kemanusiaan kita telah berakhir dan menjadi pemangsa setiap nilai-nilai kemanusiaan. Suatu bentuk kemanusiaan yang hanya mampu melahirkan kebuasan dan keganasan.

Benar kata Leon Trotsky, “bagi mereka yang memilih hidup tenang, seharusnya tidak dilahirkan di abad 20”.

Mengapa Mesti Ada Polisi Tidur?

Tentu ada alasan dan tujuan yang jelas mengapa mesti ada polisi Tidur Pertanyaan-pertanyaan tentang polisi tidur dalam tulisan ini tidak diperuntukkan di mana posisi polisi tidur menjadi satu-satunya alasan terbaik dalam mengontrol laju kecepatan kendaraan, seperti di tempat-tempat lalu lalang anak-anak bermain, di sekolah-sekolah, dan tempat-tempat peribadatan.

Namun saya yakin, kita pernah berada di atas jalan di mana dalam beberapa radius meter ke depan selalu dipertemukan dengan polisi tidur. Setiap orang terpaksa dan dipaksa untuk melewatinya. Dan setiap orang mesti menurunkan kecepatan kendaraannya.

Jadi mungkin pertanyaan ini hadir di dalam benak setiap orang. Mengapa kita terpaksa melewati polisi tidur dan mengapa orang-orang terpaksa membuat polisi tidur? Bukankah lebih baik jika jalan-jalan itu dibangun tanpa dihiasi polisi tidur? Sebenarnya apa hubungan polisi tidur dengan kemanusiaan kita hari ini?

Mengapa kesadaran kita mesti terjaga dengan keterpaksaan? Apakah keterpaksaan menjadi pengendali kemanusiaan kita hari ini? Apakah mesti terpaksa sehingga menjadi orang baik? dan apakah kebaikan adalah sebuah keterpaksaan?

Saya menyangka kemanusiaan kita sedang dikutuk oleh polisi tidur sebab saya merasa selama ini saya mengendarai kendaraan dengan baik dan mengikuti nalar etika berkendara. Bunyi suara kendaraanku tidak keras sehingga tidak memekik telinga-telinga yang mendengarkannya. Apalagi saya mengendarai kendaraanku dalam laju kecepatan yang relatif normal. Lalu mengapa saya mesti dipaksa dan terpaksa melewati polisi tidur?

Namun di sisi lain kita tak mungkin mengingkari bahwa tidak semua orang peduli dengan nalar etika berkendara. Ada orang tertentu yang main klakson seenaknya. Sengaja membesarkan suara kendaraannya dan melaju kendaraannya secepat mungkin. Mereka tak peduli dengan polusi suara yang mengganggu orang-orang yang berpapasan dengannya.

Memang ironi jika logika pembuatan polisi tidur diperuntukkan bagi mereka yang acuh terhadap nalar etika berkendara sebab berdampak secara langsung terhadap orang-orang yang taat terhadap etika berkendaraan. Dalam kata lain, semua orang dipaksa untuk memperlambat laju kendaraannya karena ada sebagian orang yang tidak taat mengikuti nalar etika berkendaraan.

Tak salah jika saya mengatakan polisi tidur sebagai kutukan bagi kemanusiaan kita. Kehadirannya adalah suatu keterpaksaan yang memaksa kita menurunkan ego laju kecepatan kendaraan. Polisi tidur adalah simbol ketidaksadaran yang mampu memaksa kesadaran egoisme kita. Tapi apa penyebabnya?

Boleh jadi karena kendaraan kita sudah jauh melaju meninggalkan moralitas kemanusiaan yang kita miliki. Petuah-petuah dan nasehat-nasehat sudah kehilangan maknanya sebab mampu dikalahkan oleh keterpaksaan. Keterpaksaan telah menjadi tuan rumah kemanusiaan kita hari ini. Kita terpaksa menjadi apa yang orang-orang katakan terhadap diri kita. Kita terpaksa bermedia sosial. Kita terpaksa memiliki rutinitas. Terpaksa berpolitik dan terpaksa berbicara. Dan pada akhirnya keterpaksaan menjadi rutinitas keseharian kita.

Kesadaran telah lama sirna di dalam kehidupan keseharian kita. Sebab pilihan-pilihan kita adalah keterpaksaan. Kita terpaksa memilih sebab pilihan-pilihan kita sudah diatur sedemikian rupa sehingga kita benar-benar seolah-olah nampak memilih. Tak heran jika saat ini sangat mudah ditemukan orang-orang yang mendadak soleh sebab lingkungan telah memaksa dirinya agar benar-benar nampak soleh.

Memang terlihat mengkhawatirkan sebab ternyata keterpaksaan tidak hanya menyangkut polisi tidur tapi telah merambah ke dalam corak berpikir kita. Keterpaksaan menjadi suatu bangunan pengetahuan tapi tanpa kita sadari. Mungkin karena sudah sejak lama menggerogoti kesadaran pengetahuan kita.

Bukankah belakangan ini kita sering menyaksikan orang-orang yang terpaksa gila sehingga terpaksa melukai? orang-orang yang terpaksa sakit karena terjerat kasus korupsi, orang-orang yang terpaksa berjilbab karena harus menjalani persidangan. Dan orang-orang yang terpaksa hidup dan terpaksa menjalani kehidupan bagaimana pun adanya.

Tapi sampai kapan harus seperti ini? Sampai kapan kita terjerat oleh keterpaksaan? Saya pikir semua orang mesti menjawabnya karena pengendalinya adalah diri kita sendiri. Dan menurut saya jawabannya sangat sederhana yaitu kita mesti kembali ke dalam esensi kemanusiaan kita yang paling sejati sebab hanya di sana akan ditemukan kesadaran yang paling fitrawi.

Tafsir Sufi Alif Lām Mīm

‘Alif Lam Mim; kitab Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa’.

Alif Lām Mīm, sebagian mufassir menyatakan bahwa huruf muqattha’ah ini hanya dipahami oleh Rasulullah saw karena huruf-huruf tersebut adalah simbol dan rahasia antara Allah swt dengan Rasulullah saw. Sebagian mufassir lainnya menafsirkan alif dengan Allah swt, lām dengan ila (kepada) Jibrail as, dan mīm dengan Muhammad saw. Artinya menjelaskan proses wahyu dari Allah swt kepada Rasulullah saw melalui Jibrail as.

Zālikalkitāb la rayba fīh. Zālik (itu) adalah isyarat dalam menunjuk sesuatu yang jauh. Jadi Kitab itu (zālik) adalah kitab yang meliputi seluruh tingkatan kitab, mulai dari kitab ‘ummul kitāb’ atau ‘kitābun mubīn’ yakni di singgasananya yang paling tingggi, sampai pada kitab Qur’anan Arabiyan (Qur’an yang ada ditangan kita saat ini dalam bahasa arab). Dalam semua tingkatan kitab tersebut tak kan ada keraguan sama sekali.

Keraguan itu muncul jika berasal dari sesuatu yang diragukan atau bersumber dari realitas yang di dalamnya bercampur antara kebenaran dan kebatilan. Karena Qur’an berasal dari hakekat mutlak, hakekat kebenaran, dan hakekat kesempurnaan maka Qur’an juga mutlak benar. Apalagi Rasulullah saw dan Jibrail as keduanya adalah suci dan sampurna sehingga Qur’an sampai ke tangan kita pun juga suci. Dan oleh karena kesuciannya terjaga maka tidak ada lagi keraguan didalamnya.

Hudan lilmuttaqin; petunjuk (yakni Qur’an sebagai petunjuk) bagi orang-orang yang bertaqwa. Pada pembahasan surah alfatihah sedikit banyaknya telah kami singgung tentang persoalan hidayah. Ada pertanyaan berkenaan dengan hal ini bahwa jika Qur’an adalah hidayah bagi orang yg bertaqwa, kemudian disisi lain Qur’an menyuruh manusia agar bertaqwa, bukankah ini yang disebut dengan ‘daur’? Maksudnya Qur’an menyuruh manusia untuk bertaqwa namun di sisi lain yang bisa menerima Qur’an adalah orang bertaqwa?

Dalam tafsir surah al-fatihah telah dijelaskan, ada dua jenis hidayah yaitu hidayah internal (di dalam diri manusia yaitu perkara fitrawi; akal dan hati) dan hidayah eksternal (di luar diri manusia yaitu Qur’an dan Nabi). Berdasarkan hal ini kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan hudan lilmuttaqin (petunjuk bagi orang yang bertaqwa) yaitu menjelaskan syarat bahwa untuk mendapatkan cahaya Qur’an disyaratkan adanya kesiapan dalam diri manusia, dan kesiapan itu adalah hidupnya fitrah dalam diri manusia. Maksudnya taqwa didasari pada hidupnya fitrah dalam diri manusia. Jika fitrah ini terjaga, maka dirinya mampu menerima cahaya Qur’an, tentu pada batas keluasan fitrahnya (dalam hal ini hati dan akal).

Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa Qur’an merupakan hidayah bagi semua manusia (hudan linnas). Disini seolah ada pertentangan antara hudan linnas dengan hudan lilmuttaqin. Namun tidak demikian, kedua teks tersebut tidak bertentangan. Adapun maksudnya adalah meskipun Qur’an hidayah bagi semua manusia tanpa terkecuali, namun yang mendapatkan banyak manfaat adalah yang memiliki ketaqwaan, dan ketaqwaan yang dimaksud disini paling minimal, masih ada nilai-nilai fitrawi di dalam dirinya. Contohnya, jika ada seseorang yang sakit hingga mengakibatkan matanya buta, maka pada saat matanya buta, tentu tidak bisa lagi bisa menikmati cahaya matahari. Meskipun cahaya matahari mendatanginya namun ia tak dapat lagi memanfaatkan cahaya tersebut. Begitu juga jika fitrah seseorang telah buta, orang itu tak punya wadah untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari luar dirinya. Meskipun setiap saat petunjuk tersebut datang menghampirinya.

Allazīna yu’minūna bilghayb; (yaitu mereka yang beriman terhadap yang gaib). Salah satu makna iman yaitu diikrarkan dengan lisan, ditashdiq dengan kalbu, dan mengamalkannya dengan tindakan. Maka iman meliputi ketiga unsur tersebut. Mereka yang mengikrarkan iman dengan lisannya tanpa adanya keyakinan pada kalbunya disebut dengan munafiq. Jika kalbunya meyakini namun tidak mau mengikrarkan dengan lisan maka dia menyangsikan (inkar), dan jika mengamalkan sesuatu yang tidak sejalan dengan keyakinan (keimanan) disebut dengan fasiq.

Dalam surah al-Hujurat ayat 14 menunjukkan bahwa kalbu (hati) adalah wadahnya iman. Maksudnya tempatnya iman itu pada hati. Pada ayat ini Rasulullah saw menegur sekelompok orang arab yang mengatakan bahwa diri mereka telah beriman, karena itu Rasulullah saw mengatakan kepada mereka bahwa cukup anda katakan ‘kami berislam’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu.

Memeluk Hujan

Apa ada orang yang tak merindukan hujan? Apalagi pesan setiap hujan tak sama. Hampir setiap hujan menawarkan makna yang berbeda-beda, makna-makna yang menelusuri di setiap keindahan imajinasi setiap orang. Seolah di dalam setiap tetesan hujan terangkum seluruh makna-makna yang dikandungnya; kegalauan, kesepian, kecemasan, keindahan, kebahagiaan, kerinduan, dan bahkan luka derita penderitaan.

Benar! Hujan tak pernah menitipkan makna yang sama. Hujan tetap dinanti walau di musim penghujan sebab di musim kemarau tak lagi dinantikan, tapi dicari dan berusaha menemukannya. Dan memang seperti itulah cara hujan memainkan perasaan kita dan berdialog dengan kita. Kita harus pandai-pandai menjamu hujan saat ia datang menawarkan maknanya. Karena ia datang begitu saja. Hampir-hampir tak pernah tahu kapan ia benar-benar datang dan benar-benar pergi.

Amat disayangkan, berkali-kali kita hanya mampu mempermainkan hujan. Seolah hujan berafiliasi kepada kepentingan tertentu. Seolah hujan berpihak pada agama tertentu dan punya kepentingan. Bukan kali ini saja, tapi kemarin-kemarin juga begitu, hanya mampu mempermainkan makna-maknanya saja. Padahal hujan turun karena kerinduannya ingin memeluk seluruh penduduk bumi. Dan hujan pun tak ingin dijamu bak seorang Raja, yang akan menyibukkan setiap orang untuk menyambut kedatangannya.

Tugas kita hanya menerima hujan apa adanya. Membirkannya mengalir begitu saja atau mempersiapkan lorong atau kanal khusus agar tepat di kanal itulah air hujan menelusuri makna-makna yang diiginkannya. Sebab hujan sampai kapan pun akan tetap diam dan membisu. Manusialah yang harus aktif memaknainya. Tugas hujan hanya memberi dan tugas kita adalah menerimanya dan menangkap makna-maknanya.

Ada yang berbeda kali ini setiap kali hujan turun. Karena makna keindahan hujan hampir punah, sebab hujan hanya dimaknai sebagai ancaman, terutama saat hujan turun di kota-kota besar. Ibarat monster yang datang dengan giginya yang tajam dan raut wajah menakutkan, siap menerkam keangkuhan para pemilik kota. Dan memang benar, bukan musim penghujan kali ini, musim penghujan kemarin, hujan tetap saja menyisakan korban, tanah longsor, banjir, dan ketenggelaman.

Tugas kita bukan menolak hujan. Tapi menyiapkan kolam raksasa agar air hujan bisa menari-nari di dalam kolam itu. Mungkin akan menghabiskan miliyaran, bahkan triliyunan dalam mewujudkan kolam raksasa itu. Biaya untuk merubuhkan gedung-gedung yang dibangun di atas tangan-tangan indah keangkuhan para pemilik kota. Biaya untuk memaksakan agar orang-orang terpaksa pindah. Dan biaya untuk membangun kolam raksasa yang megah, yang akan memanjakan mata dan hati para penduduk kota agar tidak berlarut-larut dalam tekanan hidup yang mencekam.

Bukankah ini lebih baik karena uang triluyanan itu membuat jutaan orang bahagia. Dan membuat kita semua bisa tidur pulas dalam menyambut air hujan dengan senyuman indah di setiap musim penghujan datang! Bukankah akan lebih indah jika di kota-kota besar orang-orang bisa menyaksikan kolam raksasa agar dengan leluasa mereka bisa membuang ego-ego keangkuhan ke dalam air kebijaksanaan itu! Bukankah kita bahagia, anak-anak kota bisa bermain-main dan berlari-lari di atas kolam raksasa! Bukankah akan nampak lebih indah jika orang-orang kota bisa mancing ikan persis di tengah-tengah kota!

Kali ini hujan benar-benar mengajak nurani kemanusiaan kita. Mencoba mengoyak-ngoyak keangkuhan yang tak berarti. Dan selalu bertanya, “sampai kapan kita akan membiarkan air hujan merenggut nyawa!” apakah kita masih belum bisa belajar dari setiap musim penghujan yang akan menjebak kita dalam kecemasan!

Kali ini kita butuh pembangunan yang berbasis lingkungan. Butuh sistem politik dan politisi yang berbasis lingkungan. Bahkan memaknai kembali kemanusiaan kita berbasis lingkungan. Sebab hanya dengan cara ini kita bisa memeluk semesta dan hujan. Terutama memeluk kemanusiaan kita yang semakin rapuh.

 


sumber gambar: www.apakabardunia.com

 

Tafakur Melahirkan Penderitaan?

Saya tak tahu, apakah penderitaan yang memaksa kita berpikir atau tafakur yang membuat kita begitu bersedih?,” begitu kata Charles Bukowsky. Benar! Tapi sebenarnya tafakkur seperti apa yang akan membuat kita bersedih dan penderitaan seperti apa yang memaksa kita bertafakur? Pertanyaan Charles Bukowsky adalah pertanyaan kunci untuk memahami lebih jauh antara tafakur dan kesedihan serta penderitaan.

Sepanjang hidup yang kita jalani, saya yakin, kita pernah mendapatkan masalah besar. Waktu itu, kita tak tahu, bagaimana seharusnya memutuskan solusi terbaik agar bisa terbebas dari masalah itu. Tak ada satu pun manusia di dunia ini yang tak memiliki masalah dan cobaan. Dunia adalah ruang kita untuk mengoyak-ngoyak masalah demi mencapai tujuan tertentu. Tafakur adalah jembatan dalam menemukan solusi terbaik. Apakah derita keseharian yang dimaksud yang akan memaksa kita melakukan tafakur? Tentu bukan derita ini yang dimaksud karena derita keseharian adalah suatu keniscayaan setiap orang dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Hanya derita kesejatian yang akan melahirkan tafakur atau memaksa seseorang melakukan proses tafakur, bukan derita lapar, pekerjaan, lalu lintas, atau derita-derita lainnya yang tidak terkait dengan hakikat manusia. Tafakur yang melahirkan derita adalah derita yang seolah tak akan pernah ada akhirnya seperti ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan bentuk-bentuk kesedihan. Kesedihan yang dimaksud seperti kesedihan dalam kesepian, keterpisahan, dan mengalami akhir kehidupan, kesedihan karena tak menemukan kebebasan, kesedihan mengapa kita harus menjalani penderitaan di dunia ini, derita atas keinginan-keinginan dan ketidakmampuan, dan derita atas apa yang disaksikan atas apa yang tak bisa disaksikan.

Seolah di dalam kehidupan ini ada luka-luka yang tak pernah kita sadari. Luka-luka itu perlahan membuat ruh kita tak menemukan makna. Namun tak semua orang memiliki kasadaran atas luka-luka ini. Sebab hampir semua orang terbiasa dengan luka-luka itu. Mereka hidup bersama derita sehingga tak lagi nampak sebagai suatu penderitaan. Bahkan saat datang seseorang yang mencoba menyadarkan penderitaan itu, mereka justru menjawabnya dengan tawa dan menertawakan seolah tak pernah terjadi apa pun kepada mereka.

Memang benar, karena derita terbesar manusia seolah tak mampu lagi untuk diungkapkan apalagi mencoba untuk melukiskannya. Oleh karena derita-derita itu adalah derita kesejatian yang berakar di dalam diri manusia. Mungkin selama ini mereka selalu berfikir bahwa segalanya akan selesai dengan aspek material, sebab mereka hanya memahami bahagia dan derita yang bersifat temporal. Mereka lupa bahwa sebenarnya mereka sedang mengejar ketenangan yang abadi.

Kata Maulana Rumi;

Jadi, Ketahuilah Wahai Pencari Hakikat!

Pahamilah Kaidah ini!

Siapa saja yang menderita, ia beraroma tawanan!

Maksud kata ‘tawanan’ dalam bait syair Rumi adalah makrifat dan hakikat. Sebab konteks pembicaraannya terkait dengan makrifat dan hakikat. Maksudnya seseorang yang sedang mengalami derita pengetahuan adalah kunci untuk mengantarkannya ke dalam pintu hakikat. Derita batin bisa menjadi kekuatan yang cukup kuat dalam menyingkap hakikat. Man Thalaba Wa Jadda Wajada, siapa yang mencari dan berusaha dalam pencariannya, maka ia akan menemukan sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Misalnya seseorang yang memiliki derita cinta, kesadarannya terhadap kekasih tentu melebih dari yang lain.

Sebab itu kata Maulana Rumi;

Siapa yang lebih terjaga, ia lebih menderita,

Siapa yang lebih memiliki kesadaran, wajahnya semakin pucat.

Tentu saja, seseorang yang memiliki hakikat yang lebih dibandingkan yang lain maka penderitaannya pun semakin dalam karena ia mampu menyaksikan kekurangan dan kehampaan yang dimilliki seseorang.