Arsip Kategori: Singkap

Dunia Sekarang dan Kemarin

Saat kita bertanya apa itu modernitas? Sebagian orang akan menjawab pertanyaan ini dengan menunjukkan produk dan aksesori modernitas. Mereka akan menjawab dunia modern adalah pesawat, internet, teknologi, bank, kereta api, bom kimia, rumah sakit yang megah, dan hal-hal lainnya yang tak kita temukan pada periode sebelumnya. Karena sebagian orang menganggap modernitas sebagai fenomena yang baru, sebelumnya tak ada, lalu muncul kemudian pada periode saat ini.

Tapi benar, tak mudah menganalisa dan menjelaskan bagaimana sebenarnya modernitas itu muncul. Kita lebih senang menyederhanakan masalah dan menjelaskan fenomena modernitas melalui produk dan assesoris yang nampak di permukaan. Tapi yang pasti kita tak kan pernah menganggap pepohonan, tumbuh-tumbuhan, langit, dan bumi sebagai bagian dari modernitas.

Karena boleh jadi hal itu dianggap sebagai bagian yang terkait dengan kemarin dan masa lalu.

Pertanyaan selanjutnya, jika modernitas dianggap sebagai fenomena yang baru yang tak ditemukan pada periode sebelumnya, tapi mengapa fenomena yang baru tersebut tak muncul pada periode sebelumnya tapi justru muncul pada periode saat ini? Mengapa periode sebelumnya belum ada komputer dan internet?

Namun jika kita bertanya lebih dalam lagi, apa landasan dan dasar kehadiran fenomena kebaruan itu yang kita sebut sebagai modernitas? Mengapa fenomena itu muncul? Mungkin kita akan mengatakan, modernitas muncul karena perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sains. Bisa diperkirakan awal kemunculannya kurang lebih tiga atau empat abad sebelumnya. Dan jika kita menyadari bahwa teknologi adalah hasil dari kemajuan ilmu-ilmu sains, kita pun akan mudah memahami bahwa karekteristik modernitas adalah pengetahuan sains.

Tapi bagaimana jika kita kembali bertanya, mengapa pengetahuan sains tidak muncul di periode sebelumnya? apakah fenomena ini hadir secara kebetulan? Apakah internet hadir secara kebetulan? Apakah modernitas dengan segala fenomenanya adalah sebuah fakta kebetulan? Namun jika hanya sebuah fakta yang bersifat kebetulan, lalu mengapa kebetulan ini tidak terjadi para periode Plato dan Sokrates? Apakah pikiran orang-orang sebelumnya tidak mampu memikirkan hal ini?

Belum lagi jika kita bertanya, rahasia apa yang ada dibalik kemunculan seluruh fenomena modernitas ini? Namun kita tak perlu memaksa menjawabnya. Para filosof dan ilmuan juga kebingungan dalam menjawab persoalan ini. Sebab tak mudah menemukan titik garis pemisah yang jelas antara masa lalu dan masa kini.

Namun yang jelas hampir semua orang menyepakati bahwa salah satu penyebab kehadiran modernitas dengan segala jenis produk dan assesoris yang tidak ditemukan pada periode sebelumnya adalah dikarenakan perkembangan pengetahuan empiris yang sangat cepat. Dan kita bisa menambahkan perkembangan ilmu teknik dan industri sebagai bahagian dari faktor tersebut. Dalam kata lain kita bisa mengatakan, dimana ada modernitas tentu disana ada pengetahuan, teknologi, dan industri. Sebab kita mesti mengakui, kehidupan saat ini tanpa ketiga hal itu sudah tak mungkin lagi.

Namun ada satu hal yang terlupakan, kita hampir luput membicarakan perkembangan ilmu-ilmu sosial. Sebab bukankah dahulu juga tak ditemukan perkembangan ilmu sosial seperti yang kita lihat saat ini, seperti sosiologi, ekonomi, psikologi, bahkan filsafat agama. Mungkin ada yang mengatakan ilmu sosiologi telah ada sejak dahulu dan Ibnu Khaldun dianggap sebagai pendiri ilmu Sosiologi Islam. Namun satu sisi kita mesti mengakui bahwa ilmu sosial yang hadir saat ini adalah benar-benar nampak sebagai pengetahuan yang baru yang sama sekali berbeda dengan periode sebelumnya.

Oleh karena itu, jika kita menyepakati ilmu modern sebagai karekteristik dunia baru, kita pun harus menambahkan ilmu sosial sebagai karekteristik dunia baru selain pengetahuan empiris dan sains. Bahkan bisa dikatakan, rangkaian dari keseluruhan pengetahuan itulah yang telah membentuk eksistensi dunia modern dan dunia baru.

Namun puisi dan sastra adalah fenomena yang berbeda dari apa yang telah disampaikan sebelumnya. Puisi seolah tak mengenal periode sekarang dan kemarin. Meskipun sebuah puisi telah hadir ratusan tahun sebelumnya akan tetapi selalu ada ruang untuk hadir pada periode sekarang ini, bahkan kembali bisa dianggap sebagai sesuatu yang baru. Rahasianya karena manusia tak bisa hidup tanpa kehadiran sastra dan seni. Jika teknologi selalu hadir menawarkan hal yang baru kemudian membuat manusia terasing dengan dirinya sendiri, namun sastra dan seni datang memberikan spirit baru dalam menemukan kesejatian eksistensi diri manusia.

 


sumber gambar: www.criterion.com

Socrates: “Kehidupan tanpa ujian adalah bentuk kehidupan yang tak berarti”

Kalimat di atas telah dipraktekkan oleh Sokrates dan telah menjadi bagian dari ritus kehidupannya. Namun makna apa kira-kira yang mungkin terkait dengan kehidupan kita. Bukankah setiap hari kita selalu mendapatkan dan merasakan ujian itu? Bukankah derita yang kita alami di dalam keseharian kita tanda bahwa kita sedang mendapatkan ujian?

Namun bagi Sokrates, hidup adalah pemaknaan dan dari pemaknaan itu kita akan memperoleh suatu bentuk justifikasi atas apa yang kita lakukan. Hampir sebagian besar dari kita dalam menjalani kehidupan, tak tahu apa yang sedang kita lakukan. Tak paham atas apa yang sedang kita kerjakan karena tak pernah menyertainya dengan sebuah perenungan. Padahal dari perenungan itulah akan lahir sebuah makna. Artinya bahkan dalam kehidupan keseharian pun kita bertaklid pada seseorang, pada lingkungan, atau kepada produk-produk iklan.

Bagi Sokrates, seseorang yang menjalani kehidupan ini dengan bertaklid berarti orang tersebut telah kehilangan entitas kebenarannya dan tak menemukan justifikasi dalam melakukan perbuatannya. Setiap insan mesti merdeka dan menemukan kemerdekaannya. Tak selayaknya seseorang memilih hidup di bawah bayang-bayang orang lain.

Setiap insan harus mampu membangun nalar atas tindakan yang dia lakukan. Tak perlu risau jika nalar dan argumentasinya tak sempurna. Argumentasi yang tak sempurna bagi Sokrates lebih mulia daripada tak punya dalil sama sekali dalam membenarkan tindakannya.

Pernah suatu ketika Sokrates berpidato di depan orang-orang Atena, “jika saya mengajukan satu pertanyaan yang sangat sederhana saja kalian tak mampu menjawabnya, tak heran jika suatu saat nanti kalian rela menumpahkan darah namun pada saat yang sama kalian tak paham apa makna keadilan?”

Setiap hari kita mengatakan, ‘bunga itu indah’, atau ‘orang itu pemberani atau berbudiluhur’, namun kita tak memahami apa makna indah, berani, dan berbudiluhur. Tugas Sokrates pada waktu itu adalah menggerakkan orang-orang yang malas berpikir agar berupaya dan berusaha untuk berpikir.

Tak heran jika Sokrates selalu menyebut dirinya, ‘pekerjaanku seperti pekerjaan seorang ibu’. Bedanya karena seorang Ibu akan melahirkan anak dari perutnya dan saya (Sokrates) akan melahirkan pikiran dari benak-benak kalian. Pada saat itu kalian akan memahami, ada sesuatu yang kalian yakini namun selama ini tak pernah anda ketahui.

Bukan itu saja, Sokrates telah mengajarkan kepada kita cara bagaimana memperoleh makna. Dialektika adalah cara terbaik dalam meraih makna. Berdialektika bagi Sokrates yakni berdialog dengan siapa saja dan memulai dengan pertanyaan yang sangat sederhana. Berfilsafat dan berdialektika adalah mengawali dialog dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Dan dari pertanyaan sederhana itu secara perlahan-lahan akan membawa kita kepada pertanyaan inti.

Mulai sekarang kita tak perlu takut bertanya dan tak perlu risih dengan pertanyaan sederhana yang kita ajukan. Sebab tujuan dari semua ini adalah agar hidup kita memiliki arti dan bermakna. Banyak peristiwa yang terjadi dalam keseharian kita namun kita tak pernah menanyakannya dan akhirnya berlalu begitu saja tanpa kita pernah tahu apa maknanya. Bahkan boleh jadi peristiwa tersebut kembali berulang. Dan saya sangat yakin kita akan menemukan keajaiban saat kita mulai bertanya.

Sokrates telah berusaha menunjukkan aspek keawaman kita agar kita tak selalu dalam posisi awam. Agar kita paham apa yang sedang kita lakukan. Sebab di luar sana ada orang-orang yang selalu memanfaatkan aspek keawaman kita. Bukankah orang itu layak disebut sebagai orang bodoh jika orang itu berteriak di jalanan namun tak pernah paham untuk apa dan mengapa dia harus berteriak?!