Arsip Kategori: Fragmen

Perempuan Menulis

Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi oleh hal-hal di luar sana.” Karena saya lebih bisa mengontrol faktor internal dibandingkan faktor eksternal. Sebab lainnya, antusiasme yang menyala bisa menular dan membakar semangat orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan memiliki kemampuan menghipnosis, sanggup mengukuhkan jiwa-jiwa rapuh yang masih berjuang mencari sandaran.

Sungguh saya seperti sedang berbicara dengan diri sendiri. Menyemangati ia yang cukup lama berdiam dan berlindung di balik kesibukan, tanpa berusaha melahirkan satu pun tulisan sebagaimana dulu pernah rutin ia lakukan. Waktu yang terus-menerus dibiarkan berlalu lambat laun akan berpotensi memunculkan rasa kurang percaya diri jika dibiarkan begitu saja. Sudah hampir dua tahun lamanya sejak mulai berencana menerbitkan buku saya yang ketiga. Meski sudah didorong dari kanan dan kiri, depan dan belakang, mood ini seperti mobil mogok. Tidak punya tenaga apalagi semangat yang membara seperti dulu. Apakah ini pertanda telah terjadi gangguan fokus?

Hingga suatu hari saya melihat postingan salah seorang penulis muda berbakat dan penuh potensi di akun Instagramnya. Di sana ia memperlihatkan unggahan buku karya terbarunya, “Lingkaran Falsafah Kolasara”. Dalam hati saya geleng-geleng campur decak kagum, “Benar-benar luar biasa energi yang ia punya.” Tanpa bermaksud membandingkan, namun lebih cenderung ingin menginjeksi diri sendiri, saya berucap dalam hati, “Ayo, bergerak, kembalilah menulis seperti dulu. Dia saja yang sesibuk itu bisa, apatah lagi kamu yang masih punya waktu buat tidur siang. Hahaha…”

Akhirnya, dengan rasa penasaran yang sudah di ubun-ubun, saya mengiriminya pesan, bahwa saya berminat membeli bukunya. Bisa didapat di mana? Tidak lama kemudia ia pun mengirim balasan, “Sepertinya kita perlu duduk-duduk berbincang lagi ini, Kak.” Sekali waktu sebelumnya kami memang sudah pernah ketemu, sekitar setahun lalu dalam acara komunitasnya di sebuah cafe dengan judul “Diskusi Santai, Perempuan Melek Literasi”. Saat itu ia bertindak selaku moderatornya.

Singkat cerita kami saling berkirim pesan, merencanakan kegiatan enam hari kemudian. Bertempat di toko buku kami, Paradigma Ilmu. Singkat, padat, dan jelas waktunya. Tampaknya kami berdua setipe. Tidak suka melakukan pertimbangan lama dalam merencanakan dan memutuskan sesuatu. Selebaran digital pun dibuat oleh anak-anak di rumah dan disebar dua hari sebelum kegiatan berlangsung.   

Peserta yang hadir lumayan banyak, ada sebelas orang dengan saya selaku tuan rumah. Ditambah seorang bayi, satu batita, dan satu lagi anak usia SD. Semuanya perempuan. Entah kenapa tidak ada peserta laki-laki. Namun saat kegiatan tersebut saya siarkan secara langsung di Facebook, yang bertanya tiga orang justru laki-laki semua.    

Acara bincang-bincang ini seharusnya dimulai pukul 16.00 Wita, peserta yang hadir pun sudah ada beberapa. Namun kami memilih untuk menunggu kedatangan teman-teman lain sambil ngobrol pengalaman, berbagi energi positif satu sama lain, sambil menikmati kudapan yang terhidang. Satu jam kemudian kami memutuskan untuk memulainya meski masih ada tiga orang yang sedang dalam perjalanan menuju toko.

Rumah, kantor, kampus, dan laptop

Empat peran yang ia sementara geluti saat ini. Andi Ulfa Wulandari seorang ibu muda, ia juga menjabat sebagai seorang kepala sekolah tingkat Sekolah Dasar di salah satu sekolah swasta di Makassar, sambil berproses menyelesaikan tesisnya, ia pun masih aktif memproduksi buku-buku. Dalam usia pertengahan dua puluhan ia sudah berhasil menulis 27 buku, terdiri dari buku dewasa, remaja, dan anak-anak. Bukan hanya jenis novel, buku pengembangan diri pun ia tulis. Ia mulai menulis pada usia 19 tahun. Jika dihitung-hitung, dalam rentang waktu enam tahun, ia telah memproduksi 27 buku, itu berarti rata-rata setahun ia menghasilkan kurang lebih empat buah buku. Wow, angka yang fantastik.

Dalam penuturannya saat diskusi, ia bahkan pernah menulis novel hanya dalam waktu satu bulan saja. Kami yang hadir kemarin benar-benar merasa termotivasi dan terbakar semangatnya. Begitulah energi bekerja. Ia dikeluarkan dari sumber yang memang memiliki energi sangat besar, lalu memancar dan menyambar siapa pun yang memiliki benih semangat yang sama. Walaupun mungkin kadarnya tidak sebesar si pemancar energi, namun vibrasinya akan sampai pada si penerima yang ada di sekitarnya.

Saat sesi dialog, ia menambahkan, pertanyaan yang paling sering diajukan kepadanya saat ada diskusi buku maupun literasi, adalah bagaimana caranya ia mengatur waktu dengan dua anak balita di bawah asuhannya. Pertanyaanku pun sama dengan mereka. Rupanya ia memangkas sebagian waktu istirahatnya di malam hari untuk mengerjakan aktivitas menulisnya. Karena pagi sampai sore sudah ia fokuskan di sekolah. Yang sangat luar biasa juga menurut saya, Ulfa tidak hanya berbicara dan memotivasi anak-anak mahasiswa tetapi juga anak usia SD jenjang kelas 3 hingga kelas 6 SD pun berhasil ia gerakkan untuk menulis dan akhirnya menghasilkan karya buku keroyokan.

Apa resep dan triknya sehingga hingga ia bisa tetap fit, bugar, dan mampu menjaga konsistensinya sedemikian rupa sampai hari ini? Kesenangan dan kecintaannya pada aktivitas literasi dan menulis itu sendirilah booster baginya sehingga bisa tetap kuat dan bersemangat.

Tak Ada Perpustakaan, Musala pun Jadi

Akhir warsa lalu, 19 November 2022, sekolah kami kedatangan buku gratis dari Kemdikbud, sebagai salah satu bentuk dukungan GLN (Gerakan Literasi Nasional). Totalnya enam kardus berisi ratusan buku, jumlah yang banyak untuk sekolah kami.

Saya membuka kardus, memeriksa buku. Isinya ada komik kesukaan anak-anak. Saya memanggil dua murid dan memperlihatkan pagina-pagina buku. Saya lalu menanyakan, apakah mereka ingin membaca atau tidak, yang kemudian disambut dengan anggukan setuju dan binaran mata. Saya silakan mereka duduk di salah satu kursi di ruang guru.

Tak lama berselang, karena penasaran, beberapa rombongan anak pun menyerbu ruang guru. Melihat temannya membaca, mereka lalu menawarkan diri juga, “Mauka juga membaca, Pak.” Hingga kantor penuh dengan puluhan anak-anak. Karena kursi yang terbatas, mereka tak keberatan duduk di lantai, ada pula yang selonjoran di dekat pintu, sisanya memilih berdiri.

Melihat antusiasme anak-anak terhadap buku, saya lalu ingat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Reading dan Literasi Discover Center of Cincinnati’s Children’s Hospital, mereka menemukan fakta melalui pemindaian otak, bahwa membaca meningkatkan perkembangan anak. Ternyata di area otak yang mengatur bahasa dan literasi bersinar merah pada pemindaian saat anak-anak membaca buku. Bahkan screen time, tidak membantu anak-anak meningkatkan otak anak dengan cara yang sama seperti buku.

Saya kemudian memikirkan bagaimana memfasilitasi gairah baca anak-anak yang memuncak. Sedang bangunan perpustakaan tidak memadai. Kondisinya berdebu, atapnya rapuh, dan suasananya remang-remang nan mistis, mengingat bangunan itu delapan tahun lebih tua dari saya. Menaruh buku di situ akan membuat anak enggan masuk membaca.

Saya berdiskusi dengan guru lainnya, meminta masukan dan pendapat. Bagaimana jika sekiranya perpustakaan kita pindahkan ke musala sekolah saja. Mengingat musalanya lapang dan sangat memadai untuk dijadikan perpustakaan.

Musala yang dibangun berkat swadaya masyarakat dan pihak sekolah ini, sangat bisa difungsikan sebagai perpustakaan. Apatahlagi mengingat selama ini, musala hanya digunakan sekali dalam sepekan, yaitu di hari Jumat untuk salat duha, sebab tak ada air yang bisa dipakai berwudu. Dalam pikiran saya, selain digunakan untuk salat, alangkah baik dan bergunanya jika manfanfaatkan pula untuk aktivitas literasi. Saat itu, di kepala saya bahkan sudah ada ide akronim, yaitu Pak Mus (Perpustakaan Musala) SDN 48 Kaloling.

Kala ide itu muncul, kepala sekolah sedang sakit, saya pun menghubungi beliau via telepon, yang langsung disetujui. Saya tidak ingin kehilangan momentum merevitalisasi perpustakaan sekolah. Gairah saya sungguh membara, melihat murid di sekolah antusias membaca.

Ketika izin sudah diperoleh, dibantu oleh guru kelas VI, Pak Ihwanul Muslimin, kami bersama murid-murid sekolah mengeluarkan lemari dari perpustakaan lama, lalu membersihkannya dari debu dan tanah rayap. Kemudian mengangkatnya masuk ke musala. Anak-anak sungguh bersemangat, mereka berlomba membantu.

Besoknya, saya lalu men-stempel dan menginventarisir buku-buku tersebut, membuat buku kunjungan, serta buku peminjaman-pengembalian buku. Hal tersebut dilakukan agar anak-anak bisa meminjam buku sesegera mungkin. Waktu di sekolah terbatas, sehingga mereka hanya bisa membaca di pagi hari sebelum apel, sekira 15 menit, dan di waktu istirahat sekitar 15 menitan pula. Sejauh pengamatan, seringkali mereka masih ingin membaca, tapi karena bel sudah berbunyi, terpaksa buku harus mereka simpan dulu, lalu masuk ke kelas masing-masing.

Di awal, saya hanya membolehkan murid meminjam satu buku, itu pun baru boleh diambil kala istirahat kedua. Sebab, saat itu belum banyak buku yang tersedia, hanya satu kardus buku yang kami buka—isinya sekira 50-an buku. Hal ini dilakukan agar anak lain yang hendak membaca di waktu istirahat pertama, punya lebih banyak opsi buku-buku. Dalam pikiran saya, kalau bukunya langsung diambil, maka anak yang lain tidak akan kebagian kesempatan membaca.

Memang, banyak anak yang bertanya, “Apakah boleh pinjam dua atau tiga buku, Pak?” yang saya sahuti dengan menanyakan alasan mau meminjam sejumlah itu. Katanya, jika hanya meminjam satu buku, seringkali mereka masih mau membaca, tapi bukunya sudah selesai.

Mendengarnya, saya lalu berinisiatif untuk membuka satu kardus buku lagi. Ada ketakutan berdosa jika tidak memfasilitasi anak-anak membaca. Buku kiriman Kemdikbud adalah amanah yang harus disalurkan cepat dan tepat. Apalagi jika melihat rapor pendidikan sekolah kami yang memosisikan kemampuan aspek literasi-numerasi yang masih di bawah rerata. Selama anak-anak mau membaca buku. Maka selama itu pulalah saya akan perjuangkan (hak) mereka mati-matian.

Penelitian yang diterbitkan oleh National Literacy Trust menunjukkan bahwa kaum muda yang menggunakan perpustakaan hampir dua kali lebih mungkin menjadi pembaca di atas rata-rata daripada anak-anak yang tidak. Maka tepatlah jika sedari kecil, saat masih muda belia, anak-anak sudah semestinya diakrabkan dengan buku-buku.

Syahdan, dampak hadirnya perpustakaan bisa disaksikan langsung. Akhir-akhir ini, saya tiba pada simpaian catatan, bahwa kehadiran perpustakaan ternyata bukan hanya perkara minat baca. Saya juga melihat perpustakaan ini menjadi medium anak-anak berlatih memfasihkan bacaan mereka, khususnya mereka yang berada di fase A (Kelas I—II) dan fase B (Kelas III—IV). Hal ini terlihat dari data buku peminjaman, yang mencatat bahwa justru murid-murid yang belum fasih membaca, adalah yang paling rajin berkunjung dan meminjam buku.

Sedang murid yang berada di fase C (kelas V—VI), butuh stimulus dan upaya lebih untuk meningkatkan antusiasme mereka berkunjung ke Pak Mus. Kami sudah merancang beberapa program mingguan dan bulanan, agar kegiatan di perpustakaan menjadi lebih variatif. Supaya perpustakaan menjadi lebih dekat dan akrab dengan kehidupan murid di sekolah, kini dan nanti.

Literasi generasi untuk generasi literasi.

Jawaban Hanyalah Pintu (Sebuah Catatan Bincang Buku dan Pengasuhan)

Sabtu tanggal 15 Agustus 2020 kemarin, merupakan kali kedua saya diundang oleh Perpusupiati yang digawangi oleh Andi Karman untuk menjadi pembicara/bintang tamu pada Live Instagram yang rutin ia selenggarakan setiap pekannya. Jika pada diskusi pertama, saya khusus berbicara soal pengasuhan selama dua jam, maka pada pertemuan kali ini saya diminta mengulik perihal isi buku Metamorfosis Ibu yang merupakan buku kedua saya dengan durasi waktu yang sama.

Sejujurnya saya menerima tawaran tersebut nyaris tanpa persiapan. Dengan pertimbangan pemikiran bahwa saya akan dipandu oleh host sebagai jembatan antara saya dan para peserta yang saat itu berkesempatan mengikuti acara ini. Dalam artian saya hanya menjawab atau menanggapi pertanyaan dan komentar dari pemandu acara maupun para pemirsa instagram. Bagi saya, model diskusi seperti ini cukup menguntungkan, karena tidak perlu membuat persiapan khusus.

Bahkan terkadang saya berkelakar dengan suami, saking menyatunya saya dengan dunia parenting, saya bisa menjawab dan menjelaskan pertanyaan seseorang sekalipun dalam kondisi baru saja terbangun dari tidur. Hal yang saya justru khawatirkan seringkali adalah ketidaksiapan orang yang bertanya atas jawaban yang diberikan.

Berdasarkan pengamatan dan evaluasi yang saya lakukan, bahwa sejauh ini persoalan terbesar dalam kehidupan seseorang justru bukan pada apa yang menjadi jawabannya, melainkan pada kesiapan mereka menerima dan menjalani instruksinya. Jawaban hanyalah pintu, lorong solusi sesungguhnya masih sangat panjang. Kebanyakan orang masih senang bermain-main di ranah jawaban. Enggan bergeser ke wilayah yang lebih luas dan kompleks. Itulah sebab mengapa suatu masalah tak kunjung beranjak pergi. Karena ia tidak diselesaikan hingga ke akar-akarnya.

Buku Metamorfosis Ibu bukan berisi tips dan trik bagaimana menjalani hari-hari bersama anak, melainkan mengandung sebuah pesan dan misi mengajak sebanyak mungkin orang dan menggugah siapa pun yang membacanya untuk tergerak melakukan persiapan dan perbaikan sedini mungkin pada wilayah terdekat kita masing-masing. Oleh karenanya, buku ini akan semakin sempurna jika disertai diskusi seputar tulisan-tulisan yang termuat di dalamnya.

Walaupun tema diskusi kemarin sebetulnya diarahkan pada proses kreatif penulisan buku tersebut, akan tetapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul masih dominan mengarah pada muatan isi buku, yakni soal pengasuhan anak. Padahal tema diskusi khusus persoalan ini sudah dibahas pada perbincangan beberapa waktu sebelumnya. Mungkin label praktisi pengasuhan anak lebih kuat bercokol di ingatan orang-orang. Namun rupanya situasi tersebut sudah masuk dalam prediksi host acara. Menurutnya, karena membaca kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka dibuatlah judul diskusi menjadi “Meracik Bumbu Metamorfosis Ibu”. Maksudnya, dalam perbincangan tersebut nantinya, setiap orang bebas ingin bertanya atau berkomentar soal buku ataukah pengasuhan.

Sebagai penulis buku yang terbit tahun 2018 lalu ini, terkadang terselip perasaan bangga, haru, sekaligus agak kurang yakin dengan penerimaan pasar pembacanya. Makanya ia (baca: Buku Metamorfosis Ibu) hanya dicetak sebanyak 500 eksemplar saja. Sebuah angka yang lumayan besar bila dipasarkan sendiri. Alhasil pemasarannya hanya mengandalkan kedua toko kami, Toko Buku Paradigma Ilmu dan Toko Buku Papirus. Selebihnya kami pasarkan dari mulut ke mulut. Ataukah dikemas dalam bentuk diskusi buku atau parenting. Alhamdulillah saat ini–sisa 20-an eksemplar yang masih tersedia di toko kami.

Dalam kacamata saya, buku ini biasa saja. Ia hanya bercerita pengalaman sehari-hari saya berinteraksi dengan anak, keluarga, dan lingkungan masyarakat sekitar. Juga cerita sekilas pengalaman masa kecil sebagai penggambaran, yang kiranya turut memberi sumbangsih pada model kehidupan yang saya lakoni hingga hari ini. Namun sesederhana apa pun pengalaman masa kecil seseorang, semua itu bisa kita belokkan ke arah yang lebih positif dengan menyematkan berbagai unsur pendukung di dalamnya.

Buku ini akan menjadi sangat luar biasa apabila yang membacanya menyiapkan hati dan pikiran yang terbuka, serta kesiapan untuk menjalankan misi pengasuhan yang menjadi salah satu spirit dalam hidupnya. Pemikiran saya ini didasarkan pada hukum ketertarikan atau hukum semesta. Yakni, manakala dua hal yang memiliki muatan vibrasi yang sama saling terkoneksi, maka akan muncul sebuah kekuatan baru yang bernama antusiasme atau spirit. Untuk melanggengkan spirit tersebut ia perlu dikuatkan dengan praktik. Dan manakala praktik yang dilakukan tidak membuahkan hasil, maka diharapkan muncul rasa penasaran dan semangat untuk terus belajar, mencari tahu, dan menggali pengetahuan seputar persoalan yang ia hadapi.

Selanjutnya, dalam ruang-ruang interaksi antarmanusia, kita dapat melihat siapa sajakah orang-orang yang masih setia bertahan berada dalam satu gerbong, mana di antaranya yang sudah menyerah. Tidak ada tim penilai atau juri yang akan mengumumkan nama-nama tersebut. Alat pendeteksi sesungguhnya adalah perasaan nyaman dan bahagia yang dirasakan oleh mereka yang bertahan dalam proses perjalanannya dan berhasil menyelesaikan persoalan demi persoalan dalam etape hidupnya.

Marxisme dan Komunisme dalam Beragam Perspektif

 

Sebuah perjumpaan intelektual antara Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Dr, Diks S. Pasande,  Dr. Muhammad Ashar, Dr. Lukman Hakim Hussan, Dr. Syafinuddin Al-Mandary, Affandi Ismail dalam Webinar yang digelar Komisi Intelektualitas dan Peradaban Islam PB HMI MPO dengan tema “Telaah Kritis Marxisme-Komunisme: dari Tinjauan Filsafat hingga Kegagalan Praktik Politik, Sosial, dan Ekonominya di Dunia”

 ***

Belakangan ini banyak kelompok mencoba memperingatkan bangsa Indonesia akan kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di tanah air. Mereka berdemostrasi di sudut-sudut jalan sembari membakar atribut PKI, melakukan rasia buku kiri, membubarkan kajian-kajian dan nonton bareng berbau Marxisme, dan beberapa menghembuskan hoaks  tentang adanya adanya lokasi yang dicurigai sebagai markas PKI.

Tulisan ini disusun sebagai jawaban atas sebuah ketakutan yang ingin ditularkan secara komunal oleh golongan tertentu. Mungkin, jika komunisme dikenal lebih dalam dan perkembangannya di dunia saat ini, maka kepanikan yang ada di kalangan awam tidak akan ditumpangi secara mudah dan murah oleh kelompok tersebut.

Tulisan ini juga merupakan ringkasan pemaparan yang disintesis dari beberapa pembicara dalam webinar “Telaah Kritis Maxisme-Komunisme (dari Persfektif Filsafat, hingga Kegagalan Praktik Politik, Sosial, dan Ekonominya di Dunia”, diadakan oleh  Komisi Intelektualitas dan Peradaban Islam PB HMI MPO, Minggu, 26 Juli 2020.

Prof. Franz Magnis Suseno : Marxisme, Leninisme, Komunisme

Di awal pemaparan, Prof. Magnis berpendapat bahwa Tap. MPRS No. XXV, tahun 1966 tidak perlu dicabut, sebab pikiran tentang PKI tidak dapat dimusnahkan begitu saja tanpa paksaan dan ancaman. Ini sangat berbahaya dan mustahil dilakukan, kecuali dengan kematian.

Budayawan yang kerap dipanggil Romo ini juga memaparkan bahwa, marxisme tak lain adalah bentuk kritik Marx terhadap kapitalisme, yang secara internal terdapat kontradiksi di dalamnya. Bagi Marx, yang menentukan kemajuan perkembangan umat manusia adalah ekonomi.

Sementara kaum kapitalis kerap melakukan eksploitasi tanpa batas terhadap kaum buruh. Urusan upah tidak akan pernah beres di tangan kapitalis, dan dibutuhkan sebuah revolusi oleh kaum buruh untuk menghentikan dan melenyapkan penindasan kaum Borjuis, sekaligus menghadirkan keadilan dan pemerataannya. Bagi Marx, masyarakat berkeadilan adalah masyarakat tanpa kelas, sehingga dibutuhkan pertentangan kelas di dalamnya.

Pasca 20 tahun kematian Marx, Lenin menafsirkan pandangan sosiologi Marx, mengatakan bahwa kaum buruh tidak akan mampu berjuang sendiri, kecuali mewadahkan diri dan hak-hak mereka dalam kepartaian. Di sini, pandangan sosial Marx berevolusi secara radikal ke ranah politik. Ide Lenin -yang terkenal bengis, membenarkan teror dalam perjuangannya merebut kekuasaan bagi kaum buruh. Di sinilah akar dan bentuk pemberontakan (bahkan revolusi) para aktivis partai komunis.

Guru Besar Emeritus STF Driyakara ini juga memaparkan sebab-sebab keruntuhan Soviet, menuding komunisme sebagai biang, tidak mampu menjamin kesejahteraan masyarakat sosialis secara mandiri. Lenin secara ideal, menolak keterlibatan kaum kapitalis dalam sistem ekonomi negara, bahkan menghilangkannya. Dan ini berbeda dengan penerapan yang dilakukan oleh Deng Xio Ping dalam membangun Cina baru, dengan mengadopsi kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan komunis sebagai ideologi negara.

Menyikapi kebangkitan PKI di Indonesia, Prof. Magnis memaparkan bahwa komunisme merupakan salah satu bentuk sosialisme yang hanya dapat dijalankan secara partai politik dan sistem pemerintahan.

Komunisme yang bercokol di tubuh PKI, menganut Marxisme-Leninisme yang sedikit banyak berpaham anti Tuhan. Sehingga ketakutan akan kebangkitan kembali PKI di Indonesia adalah ketakutan yang tak beralasan, sebab komunisme sangat bertentangan dengan sila pertama Pancasila, dan terlebih stigma PKI telah hancur oleh rezim orde baru.

Dr. Diks S. Pasande: Marxisme-Komunisme dalam Tinjauan Filsafat

Sejujurnya penulis kehilangan potongan rekaman dari pemaparan Dr. Diks S. Pasande terkait Marxisme-Komunisme dalam tinjauan filsafat. Akan tetapi, untuk kelengkapan tulisan ini, penulis berniat menutupnya dengan sebuah catatan yang tidak menyandarkannya pada pemateri asli.

Kata komunisme terdiri dari dua kata, yaitu commun (masyarakat) dan isme (pahaman). Jadi, komunisme secara bahasa adalah sebuah pahaman tentang masyarakat. Pahaman ini digagas oleh seorang sosiolog-ideolog bernama Karl Marx, seorang filsuf Jerman, sekaligus  ekonom masyhur dunia.

Kaum filsuf memahami pandangan Marx, bukan sekadar teori dalam ilmu sosial-ekonomi belaka, melainkan sebuah ideologi menyeluruh dengan segala pandangan filosofisnya, politik, sosial, ekonomi, budaya; yang kesemuanya bersifat integral, menawarkan konsep masyarakat ideal; yaitu masyarakat yang tidak ada lagi pertentangan kelas di dalamnya. Analisa Marx, ketika pertentangan kelas lenyap, maka keadilan dan kesejahteraan sosial akan merata dengan sendirinya.

Tujuan ideal dari teori sosial Marx adalah menciptakan masyarakat berkeadilan sosial dan sejahtera. Jika perlu, maka ditempuh jalan revolusi; yaitu melakukan perombakan menyeluruh ke setiap segmen struktur masyarakat. Perombakan dapat dimulai dengan mengambil alih alat-alat produksi negara dari penguasaan kaum borjuis. Menurut Marx, alat-alat produksi negara sepantasnya dikuasai oleh kelas proletar, sebab mereka adalah pemilik sejati dari alat-alat yang digunakan dan dioperasikan sehari-hari untuk kesejahteraan mereka.

Kaum proletar yang dimaksud Marx adalah kaum tani, nelayan, buruh pabrik, dan lainnya. Bagi Marx, alat-alat produksi suatu negara dapat berupa sawah, cangkul, bibit, pupuk, dan sejenisnya untuk negara agraris; bahan mentah, rumah industri, mesin produksi, dan sejenisnya untuk negara industri; kapal nelayan, jala, lautan, dan sejenisnya untuk negara maritim.

Ketika kaum borjuis (pemilik modal/kapital, stake holder, bahkan negara) merebut kepemilikan alat-alat produksi dan menguasai secara eksploitatif, maka ada sesuatu yang menjadi alat pengikat secara emosional di kalangan kaum proletar untuk bersatu, bangkit dari tekanan psikologis-ekonomis, dan melakukan perlawanan. Inilah yang disebut Marx dengan pertentangan kelas. Hasil akhir dari pertentangan ini adalah masyarakat berkeadilan. Sebab ketika berakhir, maka tak satu kelas sosial pun yang menguasai kekayaan secara dominasi dan timpang. Keadilan sosial pun akan merata.

Pada mulanya, menurut Marx, kaum proletar dan borjuis ini sama-sama eksis dalam masyarakat sosial, kemudian dipertentangkan dan akhirnya kedua-duanya hilang tersistesis menjadi masyarakat hybrid yaitu masyarakat komunis. Ini adalah bentuk implementasi konsep trilogi tesis dalam konsep Dialektika-Hegel yang diadopsi oleh Marx.

Marx membangun pandangan filsafatnya dengan menggabungkan dua pahaman filosofis, yaitu materialisme-Ludwig Feuerbach dan dialektika-Hegel. Jika konsep dialektika mengatakan bahwa tidak ada satu pun kebenaran mewujud di realitas eksternal, maka materialisme adalah sebuah pahaman saintis yang mendudukkan materi sebagai satu-satunya substansi-absolut.

Sebagai tambahan, Marx dalam implementasi trilogi tesis-Hegel berpendapat bahwa, untuk mendapatkan kebenaran-sintesis, maka dibutuhkan pertentangan tesa (A) dengan anti-tesa (-A). Ketika tesa (kapitalisme-boejuis) dipertentangkan dengan anti-tesanya (sosialisme-proletar), maka hilanglah tesa dan antitesa. Keduanya melahirkan satu sintesis baru yaitu keadilan sosial-komunisme.

Dr. Muhammad Ashar: Tinjauan Sosiologi Komunisme-Marxis

Sosiolog yang mendapatkan gelar doktornya di Universitas Negeri Makassar ini memulai paparannya dengan mengutip satu penyataan yang cukup mengejutkan, “In the history of the modern worlds, there has never communist countries.” Bahwa sepanjang sejarah negara-negara modern, belum pernah terbentuk negara-negara komunis. Ditafsirkan oleh beliau bahwa, komunis tidak pernah mati, sebab tidak pernah mewujud. Adapun yang merealitas selama ini dan kemudian runtuh, adalah negara-negara sosialis.

Sosialisme-Marx yang dikutip oleh Dr. Ashar, pada hakikatnya adalah negara transisi dari keruntuhan kapitalisme menuju komunisme. Fase komunis belum pernah terwujud sama sekali hingga akhir hidup Marx dan pasca kewafatannya, berdasarkan cita ideal dalam paparan Marx. Di luar dugaan, Dr. Ashar mengutip  pandangan para Marxis kontemporer, bahwa terdapat satu negara di Amerika Latin yang menerapkan Komunisme ideal. Akan tetapi menurut kajian sosiologi, implementasi ini hanya pada tingkat meso (intermedite structure), yaitu tataran suku, dan bukan makro (negara, state).

Dr. Ashar juga mengutip sebuah pandangan ilmiah dari Alberto Alesina dan Nicola Fuchs Schündeln, tertuang dalam riset mereka yang berjudul, “Good bye Lelin (or not?): The Effect of Communism on People’s Preferences”, NBER Working Paper no.11.700, menemukan fakta bahwa benar kekalahan komunisme ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin.

Akan tetapi pasca kejatuhannya, masyarakat Jerman Timur (negara bekas sosialis, di bawah pengaruh Soviet) terus menyosialisasikan pahaman-pahaman sosialisme terhadap penduduk Jerman Barat (pengaruh Inggris dan Amerika kuat di sana), juga pemerintah Jerman baru, dan pengaruh merasuk hingga ke parlemen. Ini berarti, ada saja celah bibit sosialime untuk bersemi kembali.

Adapun fenomena sosial yang terjadi di negara-negara Scandinavia, bukanlah seperti yang diduga menerapkan prinsip-prinsip sosialisme, melainkan kapitalisme. Kesejahteraan tercapai di Scandinavia yang ekonominya justru mengimplementasikan prinsip kapitalisme. Ini bisa dilacak dalam bank-bank data dunia, dan bertentangan dengan tesis Marx bahwa kapitalisme tidak akan mampu mewujudkan kesejahteran sosial.

Meski demikian, Dr. Ashar tidak menafikan kekejaman yang dilakukan kapitalisme sebagaimana komunisme. Kapitalisme membunuh ratusan juta masyarakat dunia, ekologi, kelaparan, kekurangan air bersih, lubang ozon, diskriminasi perempuan, dan bencana kemanusian lainnya; dampak dari pembangunan, industrialisasi, dan mekanisasi dunia

Dr. Lukman Hakim Hassan: Tinjauan Ekonomi Marxisme

Sebuah pertanyaan mengawali pemaparan Dr. Lukman Hakim, bahwa apakah komunisme telah gagal sebagai sistem ekonomi? Pertanyaan ini pernah dipertanyakan kepada Joan Violet Robinson (1903-1983), seorang perampuan -calon penerima penghargaan nobel ekomoni, 1970 an, bahwa apakah non market mechanism yang diterapkan di negara-negara komunis berpeluang untuk menciptakan sebuah kesejahteraan sosial? Joan Robinson menjawab, “Ya, bisa.” Setelah uji intelektual ini, ia batal menerima Nobel yang diprakasai oleh negara-negara kapitalis-Barat.

Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret ini rinci memaparkan pemikiran ekonomi Karl Marx, yang masa hidupnya berada di zaman antroposentris, di mana manusia adalah pusat sistem, dan bukan Tuhan sebagaimana diyakini oleh paham teosentrisme. Tapi, dalam pandangannya, Karl Marx justru meyakini bahwa ekonomi adalah pusat sistem (ekosentris). Bahkan secara ekstrim, segala produk pikiran manusia (politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya), adalah bermotif ekonomi.

Di banding ekonom dunia lainnya, seperti Adam Smith dan J. M. Keynes, Marx mampu membuktikan secara empiris melalui data dan angka, bahwa eksploitasi yang dilakukan kapitalisme terhadap kaum buruh cukup mencengangkan, dengan menerapkan jam kerja paksa pada buruh tanpa gaji.

Marx menilai dan membuktikan bahwa hubungan antara majikan dan buruh terdapat nilai lebih yang menindas, disebut surplus value dalam Sosialisme Ilmiah. Kritik Marx ini memaksa kapitalisme Eropa mengubah wajahnya lebih lembut dan balance, dengan melakukan banyak perubahan seperti perbaikan upah buruh, penerapan jam kerja, dispensasi lembur diterapkan, dan sebagainya. Ini peran terbesar Karl Marx mengubah wajah ekonomi dunia saat ini.

Pasca wafat Marx, Lenin merevolusi pikiran-pikiran Marxisme secara radikal, dan mengabaikan mekanisme pasar (non market mechanism), dan memaksakan sistem ekonomi terpusat di mana mekanisme dan harga pasar sepenuhnya ditentukan oleh negara. Tapi konsep Lenin ini dianggap tidak masuk akal, sehingga turut menjadi sebab runtuhnya Soviet. Sama dengan kondisi yang terjadi di negara komunis China di masa Mao Zedong. Akibatnya, kondisi ekonomi China ambruk saat itu. Berbeda dengan Deng Xio Ping yang menganut mekanisme pasar, atau pemerintah pro terhadap pasar dengan menganut kapitalisme-negara.

Di akhir pemaparan, Dr. Lukman Hakim mengatakan bahwa komunisme-marxisme-leninisme selain telah gagal secara ekonomi, juga sekaligus pelaku kejahatan ekonomi dan kemanusiaan itu sendiri. Tak jauh beda dengan kapitalisme!

Dr. Syafinuddin al Mandari: Komunisme dalam Pandangan Khittah Perjuangan HMI MPO

Syafinuddin al Mandari, Ketua STI Madinatul Ilmi, Depok, memapar Khittah Perjuangan HMI MPO terkait wawasan ilmu (prinsip-prinsip epistemologi) dan wawasan sosial (setiap individu memiliki spirit sosial/jiwa kemasyarakatan). Sehingga setiap manusia, terkhusus kader HMI MPO tidak patut untuk berlepas diri dari permasalahan sosial di mana ia berada, termasuk menyikapi marxisme-komunisme ini.

Alumni HMI MPO ini juga menegaskan bahwa, ketakutan terhadap kebangkitan kembali PKI saat ini adalah tidak beralasan. Beliau memapar bahwa stigma ini telah mati atau sulit untuk hidup lagi. Satu per satu negara sosioalis telah runtuh. Negara komunis yang eksis saat ini, yaitu Thiongkok justru membangun sistem kapitalisme negara di dalam negara untuk kestabilan ekonominya. Sementara Korea Utara cukup terseok mempertahankan keberadaannya.

Terakhir, pesan senior HMI MPO ini fokus pada gerakan intelektual, yang mesti terus dijunjung tinggi oleh seluruh kader, bersikap terbuka, dan tidak malah ikut kelompok-kelompok yang cenderung mematikan gerak intelektualitas, dengan melakukan rasia-rasia buku berbau kiri, membubarkan kajian-kajian Marxisme, dan senadanya.

Pandangan Affandi Ismail Mengenai Marxisme-Komunisme

Ketua terpilih PB. HMI MPO, Affandi Ismail dalam paparannya lebih banyak membahas sejarah dan perkembangan marxisme-komunisme dalam tinjauan filsafat. Juga berkeyakinan bahwa fenomena PKI di Indonesia adalah sudah usang, sudah lama mati, dan sulit untuk bangkit lagi. Kecuali dalam bentuk neo-komunisme seperti yang dicemaskan oleh Dr. Mastur Thoyyib, seorang sepuh HMI MPO yang turut dimintai pandangannya. Mereka yang masih bercita ingin menghidupkan kembali ideologi komunisme di Indonesia di anggapan Affandi adalah seorang intelektual, atau ideologi, atau aktivis yang belum kelar kajian filsafatnya.

Akhirnya, kajian berdurasi panjang yang berjalan hampir selama empat jam ini, ditutup dengan sesi tanya jawab dan closing statement oleh masing-masing pemateri.

Ulik Buku, Program Baru Paradigma Institute

Paradigma Institute punya program baru: Ulik Buku. Program perdana kami di tahun 2020. Program ini diformat dalam bentuk diskusi santai yang dibuka secara umum. Mulanya program ini dirancang dalam bentuk diskusi terbatas dan ekslusif untuk jajaran redaksi  kalaliterasi.com dan pegiat Paradigma Institute saja. Akhir tahun 2019 lalu,  kami berkumpul untuk merayakan terwujudnya Liblitera—penerbitan asuhan Alto Makmuralto— menjadi CV.

Di situ sekaligus dibicarakan mengenai pertemuan mingguan jajaran redaksi kalaliterasi.com dan pegiat Paradigma Institute dalam rangka mendiskusikan buku-buku bertema futuristik. Namun, rencana ini tak kunjung berjalan. Hingga diputuskan, ide ini dilanjutkan dengan tajuk “Ulik Buku” yang dibuka secara umum.  Ditujukan untuk mengulik buku-buku dengan tema unik dan sudah jarang dibicarakan di forum-forum ilmiah. Tak menutup kemungkinan juga, Ulik Buku ini jadi ruang diskusi untuk mengulas buku-buku teranyar, meski tak menjadi prioritas.

Ulik Buku sudah dua kali dilaksanakan. Yang pertama, membedah buku Putih: Warna kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional karya L Ayu Saraswati. Sayangnya, gelaran perdana ini gagal. Tak ada peserta yang datang.  Mungkin pembicaranya, saya sendiri, tak menarik. Atau mungkin isu yang diajukan oleh buku tak diganrungi. Entahlah. Waktu itu cuaca memang buruk: hujan deras. Cuaca seperti itu memang biasa dinikmati dengan malas-malasan di rumah daripada harus basah-basahan ke Toko Buku Paradigma Ilmu, tempat Ulik Buku digelar.

Lagi pula, minat literasi warga yang saat ini makin susut, membuat forum-forum literasi selalu sepi. Itulah mengapa di kegiatan Ulik Buku ke-2, kami tak memasang ekspektasi tinggi mengenai jumlah peserta. Minimal fungsionaris Paradigma Institute bisa hadir, sudah lebih dari cukup. Namun Tuhan memberkati forum ini. Peserta lumayan banyak—setidaknya bagi ukuran kami. Sekitar 12 orang. Sepertinya daya tarik Bahrul Amsal, pembicara dalam Ulik Buku ke-2 ini menjadi penyebabnya.  Iya lah. Pemateri kondang plus cerdas gitu lho.

Buku yang dibedahnya pun sangat menarik: Kierkegaard dan Pergulatan Mejadi Diri Sendiri karya Thomas Hidya Tjaya.  Buku yang mengkaji pemikiran seorang eksistensialis yang hidupnya penuh drama eksistensial.  Bahrul Amsal mengulik  beberapa pemikiran inti Kierkegaard dalam buku tersebut. Mulai dari konsep “diri yang otentik” hingga mengenai “eksistensialisme religius”.

Yang juga menarik adalah pandangan Kierkegaard filsafat. Sebagaimana yang dijelaskan Bahrul Amsal, Kierkegaard menganggap filsafat tak seharusnya dijadikan cara untuk sekadar merancang pemikiran abstrak saja, namun harus mampu menyelesaikan persoalan konkret manusia. Itulah mengapa Kierkegaard mengkritik filsafat Hegel yang dianggap terlalu mujarad dan spekulatif, sehingga dianggap tak berguna bagi keputusan-keputusan eksistensial mansia yang khas dan unik.

Dan masih banyak hal yang dijelaskan oleh Bahrul Amsal mengenai isi buku tersebut. Bagi yang tidak datang, Anda bisa membaca resensi buku tersebut di sini. Artikel tersebut ditulis oleh Bahrul Amsal sendiri. Pasca kegiatan ini, kami sudah putuskan, untuk kembali mengadakan Ulik Buku ke-3 dua minggu akan datang. Sembari mempersiapkan untuk membuka Kelas Menulis angkatan ke-7. Melalui esai ini saya mengundang kawan-kawan sekalian untuk bergabung di Ulik Buku selanjutnya. Sekali-kali weekend Anda diisi dengan kegiatan literasi. Biar liburanmu terkesan anti-mainstream. Sampai jumpa.