Views: 2,172
Sebuah perjumpaan intelektual antara Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Dr, Diks S. Pasande, Dr. Muhammad Ashar, Dr. Lukman Hakim Hussan, Dr. Syafinuddin Al-Mandary, Affandi Ismail dalam Webinar yang digelar Komisi Intelektualitas dan Peradaban Islam PB HMI MPO dengan tema “Telaah Kritis Marxisme-Komunisme: dari Tinjauan Filsafat hingga Kegagalan Praktik Politik, Sosial, dan Ekonominya di Dunia”
***
Belakangan ini banyak kelompok mencoba memperingatkan bangsa Indonesia akan kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di tanah air. Mereka berdemostrasi di sudut-sudut jalan sembari membakar atribut PKI, melakukan rasia buku kiri, membubarkan kajian-kajian dan nonton bareng berbau Marxisme, dan beberapa menghembuskan hoaks tentang adanya adanya lokasi yang dicurigai sebagai markas PKI.
Tulisan ini disusun sebagai jawaban atas sebuah ketakutan yang ingin ditularkan secara komunal oleh golongan tertentu. Mungkin, jika komunisme dikenal lebih dalam dan perkembangannya di dunia saat ini, maka kepanikan yang ada di kalangan awam tidak akan ditumpangi secara mudah dan murah oleh kelompok tersebut.
Tulisan ini juga merupakan ringkasan pemaparan yang disintesis dari beberapa pembicara dalam webinar Telaah Kritis Maxisme-Komunisme (dari Persfektif Filsafat, hingga Kegagalan Praktik Politik, Sosial, dan Ekonominya di Dunia”, diadakan oleh Komisi Intelektualitas dan Peradaban Islam PB HMI MPO, Minggu, 26 Juli 2020.
Prof. Franz Magnis Suseno : Marxisme, Leninisme, Komunisme
Di awal pemaparan, Prof. Magnis berpendapat bahwa Tap. MPRS No. XXV, tahun 1966 tidak perlu dicabut, sebab pikiran tentang PKI tidak dapat dimusnahkan begitu saja tanpa paksaan dan ancaman. Ini sangat berbahaya dan mustahil dilakukan, kecuali dengan kematian.
Budayawan yang kerap dipanggil Romo ini juga memaparkan bahwa, marxisme tak lain adalah bentuk kritik Marx terhadap kapitalisme, yang secara internal terdapat kontradiksi di dalamnya. Bagi Marx, yang menentukan kemajuan perkembangan umat manusia adalah ekonomi.
Sementara kaum kapitalis kerap melakukan eksploitasi tanpa batas terhadap kaum buruh. Urusan upah tidak akan pernah beres di tangan kapitalis, dan dibutuhkan sebuah revolusi oleh kaum buruh untuk menghentikan dan melenyapkan penindasan kaum Borjuis, sekaligus menghadirkan keadilan dan pemerataannya. Bagi Marx, masyarakat berkeadilan adalah masyarakat tanpa kelas, sehingga dibutuhkan pertentangan kelas di dalamnya.
Pasca 20 tahun kematian Marx, Lenin menafsirkan pandangan sosiologi Marx, mengatakan bahwa kaum buruh tidak akan mampu berjuang sendiri, kecuali mewadahkan diri dan hak-hak mereka dalam kepartaian. Di sini, pandangan sosial Marx berevolusi secara radikal ke ranah politik. Ide Lenin -yang terkenal bengis, membenarkan teror dalam perjuangannya merebut kekuasaan bagi kaum buruh. Di sinilah akar dan bentuk pemberontakan (bahkan revolusi) para aktivis partai komunis.
Guru Besar Emeritus STF Driyakara ini juga memaparkan sebab-sebab keruntuhan Soviet, menuding komunisme sebagai biang, tidak mampu menjamin kesejahteraan masyarakat sosialis secara mandiri. Lenin secara ideal, menolak keterlibatan kaum kapitalis dalam sistem ekonomi negara, bahkan menghilangkannya. Dan ini berbeda dengan penerapan yang dilakukan oleh Deng Xio Ping dalam membangun Cina baru, dengan mengadopsi kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan komunis sebagai ideologi negara.
Menyikapi kebangkitan PKI di Indonesia, Prof. Magnis memaparkan bahwa komunisme merupakan salah satu bentuk sosialisme yang hanya dapat dijalankan secara partai politik dan sistem pemerintahan.
Komunisme yang bercokol di tubuh PKI, menganut Marxisme-Leninisme yang sedikit banyak berpaham anti Tuhan. Sehingga ketakutan akan kebangkitan kembali PKI di Indonesia adalah ketakutan yang tak beralasan, sebab komunisme sangat bertentangan dengan sila pertama Pancasila, dan terlebih stigma PKI telah hancur oleh rezim orde baru.
Dr. Diks S. Pasande: Marxisme-Komunisme dalam Tinjauan Filsafat
Sejujurnya penulis kehilangan potongan rekaman dari pemaparan Dr. Diks S. Pasande terkait Marxisme-Komunisme dalam tinjauan filsafat. Akan tetapi, untuk kelengkapan tulisan ini, penulis berniat menutupnya dengan sebuah catatan yang tidak menyandarkannya pada pemateri asli.
Kata komunisme terdiri dari dua kata, yaitu commun (masyarakat) dan isme (pahaman). Jadi, komunisme secara bahasa adalah sebuah pahaman tentang masyarakat. Pahaman ini digagas oleh seorang sosiolog-ideolog bernama Karl Marx, seorang filsuf Jerman, sekaligus ekonom masyhur dunia.
Kaum filsuf memahami pandangan Marx, bukan sekadar teori dalam ilmu sosial-ekonomi belaka, melainkan sebuah ideologi menyeluruh dengan segala pandangan filosofisnya, politik, sosial, ekonomi, budaya; yang kesemuanya bersifat integral, menawarkan konsep masyarakat ideal; yaitu masyarakat yang tidak ada lagi pertentangan kelas di dalamnya. Analisa Marx, ketika pertentangan kelas lenyap, maka keadilan dan kesejahteraan sosial akan merata dengan sendirinya.
Tujuan ideal dari teori sosial Marx adalah menciptakan masyarakat berkeadilan sosial dan sejahtera. Jika perlu, maka ditempuh jalan revolusi; yaitu melakukan perombakan menyeluruh ke setiap segmen struktur masyarakat. Perombakan dapat dimulai dengan mengambil alih alat-alat produksi negara dari penguasaan kaum borjuis. Menurut Marx, alat-alat produksi negara sepantasnya dikuasai oleh kelas proletar, sebab mereka adalah pemilik sejati dari alat-alat yang digunakan dan dioperasikan sehari-hari untuk kesejahteraan mereka.
Kaum proletar yang dimaksud Marx adalah kaum tani, nelayan, buruh pabrik, dan lainnya. Bagi Marx, alat-alat produksi suatu negara dapat berupa sawah, cangkul, bibit, pupuk, dan sejenisnya untuk negara agraris; bahan mentah, rumah industri, mesin produksi, dan sejenisnya untuk negara industri; kapal nelayan, jala, lautan, dan sejenisnya untuk negara maritim.
Ketika kaum borjuis (pemilik modal/kapital, stake holder, bahkan negara) merebut kepemilikan alat-alat produksi dan menguasai secara eksploitatif, maka ada sesuatu yang menjadi alat pengikat secara emosional di kalangan kaum proletar untuk bersatu, bangkit dari tekanan psikologis-ekonomis, dan melakukan perlawanan. Inilah yang disebut Marx dengan pertentangan kelas. Hasil akhir dari pertentangan ini adalah masyarakat berkeadilan. Sebab ketika berakhir, maka tak satu kelas sosial pun yang menguasai kekayaan secara dominasi dan timpang. Keadilan sosial pun akan merata.
Pada mulanya, menurut Marx, kaum proletar dan borjuis ini sama-sama eksis dalam masyarakat sosial, kemudian dipertentangkan dan akhirnya kedua-duanya hilang tersistesis menjadi masyarakat hybrid yaitu masyarakat komunis. Ini adalah bentuk implementasi konsep trilogi tesis dalam konsep Dialektika-Hegel yang diadopsi oleh Marx.
Marx membangun pandangan filsafatnya dengan menggabungkan dua pahaman filosofis, yaitu materialisme-Ludwig Feuerbach dan dialektika-Hegel. Jika konsep dialektika mengatakan bahwa tidak ada satu pun kebenaran mewujud di realitas eksternal, maka materialisme adalah sebuah pahaman saintis yang mendudukkan materi sebagai satu-satunya substansi-absolut.
Sebagai tambahan, Marx dalam implementasi trilogi tesis-Hegel berpendapat bahwa, untuk mendapatkan kebenaran-sintesis, maka dibutuhkan pertentangan tesa (A) dengan anti-tesa (-A). Ketika tesa (kapitalisme-boejuis) dipertentangkan dengan anti-tesanya (sosialisme-proletar), maka hilanglah tesa dan antitesa. Keduanya melahirkan satu sintesis baru yaitu keadilan sosial-komunisme.
Dr. Muhammad Ashar: Tinjauan Sosiologi Komunisme-Marxis
Sosiolog yang mendapatkan gelar doktornya di Universitas Negeri Makassar ini memulai paparannya dengan mengutip satu penyataan yang cukup mengejutkan, In the history of the modern worlds, there has never communist countries. Bahwa sepanjang sejarah negara-negara modern, belum pernah terbentuk negara-negara komunis. Ditafsirkan oleh beliau bahwa, komunis tidak pernah mati, sebab tidak pernah mewujud. Adapun yang merealitas selama ini dan kemudian runtuh, adalah negara-negara sosialis.
Sosialisme-Marx yang dikutip oleh Dr. Ashar, pada hakikatnya adalah negara transisi dari keruntuhan kapitalisme menuju komunisme. Fase komunis belum pernah terwujud sama sekali hingga akhir hidup Marx dan pasca kewafatannya, berdasarkan cita ideal dalam paparan Marx. Di luar dugaan, Dr. Ashar mengutip pandangan para Marxis kontemporer, bahwa terdapat satu negara di Amerika Latin yang menerapkan Komunisme ideal. Akan tetapi menurut kajian sosiologi, implementasi ini hanya pada tingkat meso (intermedite structure), yaitu tataran suku, dan bukan makro (negara, state).
Dr. Ashar juga mengutip sebuah pandangan ilmiah dari Alberto Alesina dan Nicola Fuchs Schündeln, tertuang dalam riset mereka yang berjudul, Good bye Lelin (or not?): The Effect of Communism on Peoples Preferences”, NBER Working Paper no.11.700, menemukan fakta bahwa benar kekalahan komunisme ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin.
Akan tetapi pasca kejatuhannya, masyarakat Jerman Timur (negara bekas sosialis, di bawah pengaruh Soviet) terus menyosialisasikan pahaman-pahaman sosialisme terhadap penduduk Jerman Barat (pengaruh Inggris dan Amerika kuat di sana), juga pemerintah Jerman baru, dan pengaruh merasuk hingga ke parlemen. Ini berarti, ada saja celah bibit sosialime untuk bersemi kembali.
Adapun fenomena sosial yang terjadi di negara-negara Scandinavia, bukanlah seperti yang diduga menerapkan prinsip-prinsip sosialisme, melainkan kapitalisme. Kesejahteraan tercapai di Scandinavia yang ekonominya justru mengimplementasikan prinsip kapitalisme. Ini bisa dilacak dalam bank-bank data dunia, dan bertentangan dengan tesis Marx bahwa kapitalisme tidak akan mampu mewujudkan kesejahteran sosial.
Meski demikian, Dr. Ashar tidak menafikan kekejaman yang dilakukan kapitalisme sebagaimana komunisme. Kapitalisme membunuh ratusan juta masyarakat dunia, ekologi, kelaparan, kekurangan air bersih, lubang ozon, diskriminasi perempuan, dan bencana kemanusian lainnya; dampak dari pembangunan, industrialisasi, dan mekanisasi dunia
Dr. Lukman Hakim Hassan: Tinjauan Ekonomi Marxisme
Sebuah pertanyaan mengawali pemaparan Dr. Lukman Hakim, bahwa apakah komunisme telah gagal sebagai sistem ekonomi? Pertanyaan ini pernah dipertanyakan kepada Joan Violet Robinson (1903-1983), seorang perampuan -calon penerima penghargaan nobel ekomoni, 1970 an, bahwa apakah non market mechanism yang diterapkan di negara-negara komunis berpeluang untuk menciptakan sebuah kesejahteraan sosial? Joan Robinson menjawab, Ya, bisa. Setelah uji intelektual ini, ia batal menerima Nobel yang diprakasai oleh negara-negara kapitalis-Barat.
Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret ini rinci memaparkan pemikiran ekonomi Karl Marx, yang masa hidupnya berada di zaman antroposentris, di mana manusia adalah pusat sistem, dan bukan Tuhan sebagaimana diyakini oleh paham teosentrisme. Tapi, dalam pandangannya, Karl Marx justru meyakini bahwa ekonomi adalah pusat sistem (ekosentris). Bahkan secara ekstrim, segala produk pikiran manusia (politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya), adalah bermotif ekonomi.
Di banding ekonom dunia lainnya, seperti Adam Smith dan J. M. Keynes, Marx mampu membuktikan secara empiris melalui data dan angka, bahwa eksploitasi yang dilakukan kapitalisme terhadap kaum buruh cukup mencengangkan, dengan menerapkan jam kerja paksa pada buruh tanpa gaji.
Marx menilai dan membuktikan bahwa hubungan antara majikan dan buruh terdapat nilai lebih yang menindas, disebut surplus value dalam Sosialisme Ilmiah. Kritik Marx ini memaksa kapitalisme Eropa mengubah wajahnya lebih lembut dan balance, dengan melakukan banyak perubahan seperti perbaikan upah buruh, penerapan jam kerja, dispensasi lembur diterapkan, dan sebagainya. Ini peran terbesar Karl Marx mengubah wajah ekonomi dunia saat ini.
Pasca wafat Marx, Lenin merevolusi pikiran-pikiran Marxisme secara radikal, dan mengabaikan mekanisme pasar (non market mechanism), dan memaksakan sistem ekonomi terpusat di mana mekanisme dan harga pasar sepenuhnya ditentukan oleh negara. Tapi konsep Lenin ini dianggap tidak masuk akal, sehingga turut menjadi sebab runtuhnya Soviet. Sama dengan kondisi yang terjadi di negara komunis China di masa Mao Zedong. Akibatnya, kondisi ekonomi China ambruk saat itu. Berbeda dengan Deng Xio Ping yang menganut mekanisme pasar, atau pemerintah pro terhadap pasar dengan menganut kapitalisme-negara.
Di akhir pemaparan, Dr. Lukman Hakim mengatakan bahwa komunisme-marxisme-leninisme selain telah gagal secara ekonomi, juga sekaligus pelaku kejahatan ekonomi dan kemanusiaan itu sendiri. Tak jauh beda dengan kapitalisme!
Dr. Syafinuddin al Mandari: Komunisme dalam Pandangan Khittah Perjuangan HMI MPO
Syafinuddin al Mandari, Ketua STI Madinatul Ilmi, Depok, memapar Khittah Perjuangan HMI MPO terkait wawasan ilmu (prinsip-prinsip epistemologi) dan wawasan sosial (setiap individu memiliki spirit sosial/jiwa kemasyarakatan). Sehingga setiap manusia, terkhusus kader HMI MPO tidak patut untuk berlepas diri dari permasalahan sosial di mana ia berada, termasuk menyikapi marxisme-komunisme ini.
Alumni HMI MPO ini juga menegaskan bahwa, ketakutan terhadap kebangkitan kembali PKI saat ini adalah tidak beralasan. Beliau memapar bahwa stigma ini telah mati atau sulit untuk hidup lagi. Satu per satu negara sosioalis telah runtuh. Negara komunis yang eksis saat ini, yaitu Thiongkok justru membangun sistem kapitalisme negara di dalam negara untuk kestabilan ekonominya. Sementara Korea Utara cukup terseok mempertahankan keberadaannya.
Terakhir, pesan senior HMI MPO ini fokus pada gerakan intelektual, yang mesti terus dijunjung tinggi oleh seluruh kader, bersikap terbuka, dan tidak malah ikut kelompok-kelompok yang cenderung mematikan gerak intelektualitas, dengan melakukan rasia-rasia buku berbau kiri, membubarkan kajian-kajian Marxisme, dan senadanya.
Pandangan Affandi Ismail Mengenai Marxisme-Komunisme
Ketua terpilih PB. HMI MPO, Affandi Ismail dalam paparannya lebih banyak membahas sejarah dan perkembangan marxisme-komunisme dalam tinjauan filsafat. Juga berkeyakinan bahwa fenomena PKI di Indonesia adalah sudah usang, sudah lama mati, dan sulit untuk bangkit lagi. Kecuali dalam bentuk neo-komunisme seperti yang dicemaskan oleh Dr. Mastur Thoyyib, seorang sepuh HMI MPO yang turut dimintai pandangannya. Mereka yang masih bercita ingin menghidupkan kembali ideologi komunisme di Indonesia di anggapan Affandi adalah seorang intelektual, atau ideologi, atau aktivis yang belum kelar kajian filsafatnya.
Akhirnya, kajian berdurasi panjang yang berjalan hampir selama empat jam ini, ditutup dengan sesi tanya jawab dan closing statement oleh masing-masing pemateri.
S. R. Siola, seorang pecinta ilmu dan hikmah. Kecenderungannya terhadap dunia literasi telah terpupuk sejak kecil. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Iran, bidang Filsafat dan Theologi Islam, dan Master Pendidikan di Indonesia. Saat ini menetap di Iran, menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis.