Arsip Kategori: Fragmen

KLPI Bukan Ruang Pertemuan Pahlawan dan TBPI Bukan Markas Power Rangers

Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI) hadir kembali. Baru saja membuka kelas perdana untuk angkatan ke-5. Peserta sebanyak 37 orang. Di Toko Buku Paradigma Ilmu (TBPI) mereka berkumpul. Menyimak wejangan Kanda Sulhan Yusuf—CEO Paradigma Group—mengenai orientasi KLPI. Ruangannya pengap dan sempit karena dijejali buku-buku. Peserta yang jumlahnya cukup banyak akhirnya berhimpit-himpitan. Tapi percayalah, semangat dan harapan yang membangun komunitas ini seluas galaksi Bima Sakti.

KLPI memang bermula dari semangat untuk menjadi bagian dari kosmologi literasi. Meski hanya sebagai entitas kecil belaka. KLPI juga bergerak atas dorongan harapan akan terciptanya masyarakat berbudaya literasi. Meski sumbangsinya tak banyak, Tapi KLPI percaya, berbuat sesuatu adalah hal yang paling dibutuhkan saat ini daripada saling menyalahkan atas terpuruknya budaya literasi masyarakat.

Ada banyak jalan menuju Roma, kata peribahasa klasik. Harapan terwujudnya masyarakat berbudaya literasi tentu bukan hal mustahil terwujud. Asalkan ada segelintir—dalam bahasa Arnold Toynbee—creative minority yang siap bergerak mewujudkan harapan itu. Buktinya, hanya berawal dari sebaran pamflet sederhana di media sosial. Ajakan berliterasi bisa memantik niat segelintir orang untuk bergabung membenahi diri. 37 anak muda ini akhirnya terpanggil untuk belajar.

Bisa dibayangkan. Jika kegiatan literasi dilakoni secara intensif oleh banyaknya komunitas yang tersebar di berbagai penjuru. Bukan tak mungkin, harapan terwujudnya Makassar menuju kota Literasi, atau Indonesia menuju negara literasi bisa menjadi nyata. Mulanya budaya literasi itu ditanamkan dari individu ke individu melalui ruang diskusi. Seperti biasanya, hanya segelintir saja yang berhasil terprovokasi.

Di antara segelintir ini, ada secuil subjek yang bersedia menanamkan semangat literasi di lingkungan sosialnya. Seterusnya demikian. Perlahan tapi pasti. Mungkin hasilnya belum bisa dipetik pada generasi saat ini. Namun di generasi selanjutnya—entah di generasi ke berapa—budaya literasi bisa saja terwujud secara masif melalui benih-benih dari generasi sebelumnya.

Apa salahnya bermimpi, Bung. Mumpung masih gratis. Lagi pula, mimpi-mimpi kebangkitan masyarakat literasi ini bukan semacam utopia yang tak memiliki referensi di dunia nyata. Dia lebih riil di banding utopia akan tatanan masyarakat tanpa kelas ala Marxisme, atau negara ideal ala Platon, misalnya.

Sebab fenomena kebudayaan literasi itu benar-benar ada. Hanya belum merata. Agar bisa meluas di ranah kehidupan masyarakat, budaya literasi ini tentu perlu diperjuangkan. Memperjuangkan mimpi ini setidaknya lebih bermanfaat daripada terus berkelahi demi mendukung salah satu kandidat presiden, yang belum tentu memikirkan nasib kita.

Tentu KLPI hadir bukan sebagai ruang bertemunya pahlawan sok jago yang ingin memperjuangkan tatanan dunia baru. Dan TBPI bukan sejenis markas Power Ranger. KLPI sadar diri hanya sebagai entitas kecil dari kosmologi literasi. Tapi KLPI punya tekad yang besar menyumbangkan sumbangsi bagi perjuangan tatanan masyarakat literasi meski sejumput saja. Relawan KLPI hanya tahu, literasi itu penting dan memperjuangkannya adalah sebuah kebaikan bernilai berpahala.

Bahkan, relawan dan peserta kadang mencuri sedikit waktu untuk ketawa-ketiwi ketika proses belajar di kelas berlangsung. Karena memang KLPI tak punya tampang untuk bisa disebut sebagai ruang pertemuan para pejuang yang hendak membahas cita-cita revolusi secara serius. KLPI hanya ingin memperjuangkan satu elemen penting dalam masyarakat: literasi. Perjuangan yang tentunya dijalani dengan gembira, banyak bercanda, sambil menikmati hangatnya kopi hitam dan pisang goreng buatan Yunda Mauliah Mulkin.

KLPI telah memasuki angkatan ke-5. Tentu bukanlah perjalanan yang mudah. Kadang semangat melanjutkan kelas ini meredup. Kemudian menyala lagi. Redup lagi. Menyala lagi. Seterusnya demikian. Namun, relawan KLPI kadang tidak tega, jika orang-orang bertanya: “kapan kelas dibuka lagi?”, “Kak Hajir, kabarika kalau mau buka kelas lagi nah!”.

Relawan KLPI merasa bersalah jika tidak menjemput antusiasme orang-orang yang memilih KLPI sebagai ruang membenahi tradisi literasinya. Para relawan tentu bersyukur, jika KLPI dipercayai sebagai—ibarat kawah candradimuka— ruang membenahi diri. Itu artinya, orang-orang mulai melihat KLPI sebagai salah satu gerakan bagi masa depan kemajuan literasi masyarakat.

Selamat bergabung, peserta KLPI Angkatan ke-5. Mari menjadi bagian dari sejarah.

Tiga Hari Dibuai Pendar Literasi

 

Semestinya, hari Sabtu , 5 Mei 2018, saya berada di Kabupaten Bulukumba, guna memenuhi permintaan sekaum perempuan, yang terhimpun dalam Korps HMI-Wati  (KOHATI}, yang menyelenggarakan Latihan Khusus Kohati {LKK) Tingkat Nasional. Tapi, ajakan penyelenggara itu saya tampik, sebab hingga Sabtu malam, saya masih ada acara di Makassar, yang tak kalah pentingnya untuk saya sambangi. Jadi, agar semuanya bisa teraalisir, saya meminta jalan keluar, supaya digeser ke hari Ahad saja, sebab hari Senin, pun saya sudah harus balik ke Makassar, memenuhi  panggilan lainnya. Beginilah resiko “lelaki panggilan”, sejak menabalkan diri selaku pegiat literasi.

Acara yang saya maksud tiada lain, persamuhan Makassar International Writers Festival (MIWF), berlangsung 2-5 Mei 2018, berpusat di Benteng Rotterdam. Festival tahunan ini, sudah memasuki tahun ke-8. Suatu festival literasi berskala international. Dari sekian menu acara yang disodorkan selama festival berlangsung, tidak semua saya bisa hadiri. Maklum saja, saya pun masih harus membajak nafkah, menjaga toko buku, bersemedi di Toko Buku Papirus. Saya  hanya membidik satu mata acara, book launch, peluncuran buku , Semesta Manusia, anggitan Nirwan Arsuka  Arsuka, pendiri Pustaka Bergerak Indonesia.

Sekira pukul 14.00, saya sudah beredar di Benteng Rotterdam. Berputar-putar mengunjungi berbagai stand pameran, baik yang digawangi oleh beberapa komunitas literasi, maupun beberapa penerbit. Sekadar melihat-lihat perkembangan buku yang lagi best seller. Jadwal  peluncuran dan bincang bukunya Nirwan, akan berlangsung pukul 16.00-17.30. Pun, yang menarik bagi saya, sebab kali ini, seorang budayawan, Alwy Rachman akan ikut mempercakapkan buku ini. Dalam benak saya, pastilah sawala ini akan menukik pada kedalaman pengetahuan.

Benar saja adanya. Alwy Rachman mengantar percakapan dengan seikat impresi. Mempertanyakan dan sekaligus menelisik motif, serta memetakan maksud dari hadirnya buku ini. Umpan pengantar tersebut, langsung disambar oleh Nirwan selaku penulis buku. Didedahkannya sekotah latar belakang hadirnya buku ini, senarai isinya, juga obsesi-obsesi pengetahuan yang diimajinasikannya. Ada satu poin yang amat terang kilatannya pada bilik intelektual saya, tatkala Nirwan bicara tentang perkembangan sains dan sastra sebagai medan ilmu pengetahuan.

Sains dan sastra, punya kesamaan. Keduanya bekerja berlapikkan akal budi, waima berbeda dari segi penamaan dan aktivitas. Pengetahuan puncak adalah sastra. Karenanya, sains seharusnya berenang di dalam karya-karya sastra. Sesarinya, karya sastra harus menjadi corong perkembangan sains. Dunia sains, punya batasan-batasan kaidah yang mesti dipatuhi. Sementara, dalam karya sastra imajinasi mendapat ruang jelajah yang tak berujung. Penjelajahan sastra, kredebilitasnya terletak pada koherensi internal sastra itu sendiri.

Ada hal yang menarik dari penabalan Nirwan. Bahwasanya, Perbedaan sains –sastra lama dengan sains-sastra baru. Pada sains-sastra lama, dunia dijelaskan dan digambarkan sebagai sesuatu yang di luar kita. Sementara , perkembangan sains-sastra baru, karya yang mesti lahir, haruslah mengubah dunia.  Singkatnya, karya sastra, mengubah dunia lewat bahasa. Karenanya, mengubah bahasa, berarti mengubah dunia. Karya sastra lama, harus diinterogasi, agar menemukan signifikansinya di era kiwari.

Percakapan atas buku setebal 800-an halaman ini, tak terasa sudah memangsa waktu, sehampir satu setengah jam. Pucuk percakapan pun menyata. Tentulah antara durasi waktu dan ketebalan buku tidak sepadan, buat menuntaskannya. Ada simpulan-simpulan personal dari setiap peserta, yang dibiarkan oleh Alwy Rachman sebagai tanda pikir dari setiap penghadir. Alwy tak ingin menyimpulkan percakapan. Sebab, percakapan adalah sesuatu yang melingkar. Begitu pendakuannya, sembari menutup persamuhan intelektual ini.

Ternyata, perbalahan berlanjut  ke sudut lain, masih dalam kawasan Benteng Rotterdam. Pun masih melibatkan beberapa penghadir yang ikut percakapan di ruang diskusi buku tadi. Bintangnya masih Alwy Rachman dan Nirwan Arsuka. Ditambah bintang-bintang lainnya. Sudut ruang persamuhan ini memang agak gelap, tapi pendar-pendar pikiran yang saling melintas di antara para pencakap, menerangkan banyak hal, seputaran semesta manusia. Yah, memang manusia tak habis dipercakapkan oleh manusia itu sendiri. Percakapan pun berakhir, benar-benar berakhir pada pukul 23.00. Saya pun langsung pulang, sebab esoknya, akan ke Bulukumba.

Ahad pagi, baskara baru semenjana teriknya. Tetiba saja, seorang kisanak, Muhary Wahyu Nurba,  menelpon saya. Semalam ia mencari saya di lokasi MIWF. Saya ceritakanlah kronologis semalam, seperti yang saya tuliskan. Di pucuk pertelponan, saya bilang mau ke Bulukumba, saya harus segera bersiap, sebab mobil langganan saya di terminal sedang menanti. Sisa saya selaku penumpang yang ditunggu. Setiba diterminal, saya buka pesan  masuk di WA saya, ada kalimat begini dari Muhary, “salamaki ri lampata, sudah terisi nutrisi semalam, jadi silakan bertarung lagi”.

Pesan Muhary ini, bagi seorang pegiat literasi, semisal saya, sungguh merupakan suplemen penyemangat. Dan, suplemen kata-kata inilah yang menghiduku hingga tiba di Bantaeng, jelang siang. Istirahat kurang lebih enam puluh menit, saya langsung saja mengontak seorang kawan, Dion Syaif Saen, buat pinjam motor, guna saya pakai ke Bulukumba. Jarak tempuhnya sekira tiga puluh kilometer. Jadwal manggung saya di pelatihan LKK Tingkat Nasional itu, pukul 15.00-17.00. Begitu menyata di lokasi, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Bulukumba, beberapa menit kemudian, saya langsung tancap perbincangan, bertopik, “Membumikan Budaya Literasi: Peluang atau Tantangan Bagi Perempuan?”

Usai mengisi materi perbincangan, saya lagsung balik lagi ke Bantaeng. Jeda sejenak, lalu sekira pukul 20.00, saya ke Teras Baca Lembang-Lembang, markasnya Dion dan kawan-kawan. Mengembalikan motor, plus bercakap-cakap seputaran gerakan literasi, khususnya even literasi yang baru saja usai, perhelatan MIWF. Khusyuk dalam perbincangan, tetiba seorang kisanak menelpon ke Dion. Ternyata, yang menelpon itu adalah seorang kawan pegiat literasi, Denassa, pendiri Rumah Hijau Denassa. Rupanya, malam mini, Denassa akan ke Bulukumba untuk kegiatan yang ada juga kaitannya dengan item literasi. Tapi, setiba di Bantaeng, mobilnya ngadat. Tak bisa melanjutkan perjalanan.

Nginaplah Denassa dan seorang kawannya. Saya dan Dion mengantar ke sebuah wisma, yang tak jauh dari lokasi mobilnya. Di lobi wisma, saya terlibat percakapan intim dengan Denassa. Ada banyak program yang akan disinergikan, yang kesemuanya dalam bingkai gerakan literasi.Mulai dari beberapa even literasi yangakan digelar oleh Rumah Hijau Denassa, program residensi untuk penulis, dan festival komunitas literasi bergandengan dengan program literasi sekolah, kampung literasi, dan aneka topik lainnya, yang saling menguatkan gerakan literasi antar komunitas. Pukul 23.30, saya pamit, lalu menyilakan Denassa istirahat, sekaligus saya mohon maaf tidak bisa temani esok pagi, sebab subuhnya, saya harus balik ke Makassar. Apa pasal? Siangnya, pada hari Senin, pukul 13.00-15.00, saya menjadi pembicara pada suatu pelatihan, dan salah satu materi sajiannya terkait gerakan literasi.

Mendekati waktu yang ditetapkan, saya sudah berada di lokasi pelatihan yang digagas oleh sekelompok anak muda, tergabung dalam Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrengpulu (HPMM) Kabupaten Enrekang. Saya didapuk untuk mengantarkan satu topik pembicaraan, “Membangun Gerakan Literasi”. Bertempat di Aula Balai Diklat PUPR Wilayah Makassar, saya merasa menari, dengan tarian gerakan literasi. Memprovokasi sekaum anak muda ini, agar membangun tradisi literasinya secara personal, agar bisa ikut bergumul membangun gerakan literasi. Pendar-pendar literasi saya berondongkan dari arsenal pikiran dan pengalaman saya dalam bergulat di gerakan litarasi. Hingga batas waktu yang dipatutkan pada saya, persuaan pun berakhir, dengan satu janji, bahwa kita akan bersua lagi dalam momen perjumpaan literasi lainnya.

Usai acara di HPMM ini, saya langsung balik ke mukim. Sesampai di mukim, saya langsung diberitahu, bahwa ada seorang karib yang ingin bertemu. Mau berdiskusi, sekaligus ingin menyerahkan bukunya, buat wakaf buku di Bank Buku Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Saya pun, meminta agar mengontaknya, bikin janjian sesudah waktu Isya, biar lebih nyaman. Janji waktu pun tiba, muncullah sang kawan, seorang mantan aktivis mahasiswa, Muhammad Farid, kini melanjutkan studinya di Taiwan, program S3, program doktor bidang teknik otomotif. Hampir sejam saya bercakap, tentang banyak hal, termasuk perkembangan gerakan literasi, yang ia coba kawal di kalangan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Taiwan. Sederet geliat didedahkan, pendar literasi berkilau di sana. Pun, perjumpaan mesti diusaikan, dengan sebuah penanda, mewakafkan dua eksamplar buku karangannya, berjudul, Ruang Kontemplasi.

Saya tidak langsung tidur usai perbincanagn dengan Farid, tapi mencoba merekap aktivitas saya selama tiga hari belakangan ini, Sabtu, Ahad, dan Senin. Rasa-rasanya, saya terlempar pada seruang terungku tarian literasi. Saya melata dari peristiwa literasi ke hajatan literasi lainnya. Saya seperti dibui oleh gerakan literasi ini, waima sesungguhnya saya lebih banyak terbuai oleh pendar-pendar literasi ini. Setidaknya, tiga hari dibuai oleh pendar literasi. Dan, barulah paginya, saya sadar, bahwa buaian pendar literasi ini, harus saya tulis. Begitulah, semestinya.

 

Menulis untuk Hidup dan Hidup untuk Menulis

 

Mereka adalah sekaum anak muda, mahasiswa, dan pelajar. Para pewaris ideologis Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa. Guru dari Soekarno, Kartosoewirjo, dan Semaoen. Kelak ketiga murid ini, bertarung menawarkan pikirannya untuk bangsa, bentuk negara buat bangsa Indonesia. Soekarno menyodorkan Nasionalisme Indonesia, Republik Indonesia. Kartosoewrjo mengemukakan Islamisme, Negara Islam Indonesia (NII). Dan, Semaoen mengedepankan Komunisme bagi Indonesia.

Tapi, pewaris yang saya hadapi kali ini, bukanlah titisan Soekarno, Kartosoewirjo, dan Semaoen. Melainkan, sekaum cicit ideologis dari Tjokroaminoto yang tergabung dalam Pergerakan Pemuda Syarikat Islam Indonesia, terdiri dari Serikat Pelajar Muslimin Indonesia {SEPMI), Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI), dan Pemuda Muslimin Indonesia (PEMUDA MUSLIM). Mereka menyelenggarakan Intermediate Training Nasional, dengan tema: “Membangun Ideologi Progresif dalam Bingkai Gerakan Revolusioner Menuju Kemerdekaan Sejati”, 28 April – 6 Mei 2018, bertempat di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Saya diundang untuk ikut menabuh gendang pemikiran training ini. Tabuhan gendang saya bertajuk, “Falsafah Menulis”. Arti penting materi ini dijadikan salah satu topik bahasan, saya coba raba, dari alam pikiran penghelat, karena soal menulis adalah soal terdepan dalam kejuangan Tjokroaminoto dan segenap muridnya. Sosok Tjokroaminoto adalah sosok penulis. Buah pikirannya, lewat tulisan-tulisan dan bukunya, masih bisa dibaca hingga kini. Tradisi literasi Tjokroaminoto sangat kuat. Pun, makin dikuatkan oleh para pengikutnya. Mereka menjadikan tulisan sebagai senjata perjuangan. Dan, saya pun memulai menggendang pikiran para peserta dengan pantikan dari tradisi literasi pendiri dan generasi awal Syarikat Islam.

Selanjutnya, saya pun mulai menggebuk pikiran peserta. Pertanyaan dan sekaligus jawaban  saya ajukan guna merangsang birahi ingin tahu mereka. Bahwasanya, tatkala kita bicara falsafah menulis, sesungguhnya kita tiba pada, paling tidak, tiga subjek fundamental, yakni: Apa hakikat menulis? Bagaimana menulis? Dan, tujuan menulis? Pertanyaan-pertanyaan itu, merupakan pertanyaan filosofis dari kegiatan menulis.

Hakikat menulis adalah mengeluarkan olahan jiwa. Agar hasil kerja ruhani ini memadai adanya, maka terlebih dahulu mestilah membaca sebanyak mungkin. Sebab, penulis yang baik, pastilah dia seorang pembaca yang rakus. Membaca, ibaratnya memberi asupan gizi pada jiwa. Dan, gizi bacaan ini, diolah oleh perangkat intelektualitas, menjadi energi ruhani, yang salah satu bentuknya berupa tulisan. Makin bergizi asupan bacaan, makin berenergi pula suatu tulisan. Jika bacaannya kurang bergizi, bahkan mengandung racun, semisal hoaks, akan merusak jiwa. Dengan begitu, tulisan yang dihasilkan pun tak berenergi, malah menyebarkan racun buat jiwa orang lain.

Lalu, bagaimana caranya menulis? Memulai menulis bergantung pada kapasitas awal yang dimiliki seseorang. Ada penegasan yang saya ajukan sebagai langkah yang paling mula, bagi seorang yang kesulitan menulis. Menulislah diary, serupa catatan harian tentang apa saja yang mampu dituliskan. Tujuan menulis ala catatan harian ini, amat berguna untuk melatih otot-otot kepenulisan. Membiasakan diri menulis setiap saatnya, akan mempermahir diri. Ala bisa karena biasa, begitu kata pepatah. Dan, dari kebiasaan ini, sudah memungkinkan  jadi modal untuk melakukan aktivitas lanjutan dalam menulis dengan cara menulis bebas, free writing.

Saya pun harus merekomendasikan satu buku bergizi tinggi untuk keperluan ini, sebuah buku anggitan dari Hernowo Hasim, Free Writing, selain buku lainnya, Quantum Reading, dan Quantum Writing, serta Mengikat Makna. Sesungguhnya, masih banyak buku karangan Hernowo yang dapat membantu untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Pun, jangan lupa buku lainnya, yang cukup melimpah ruah, dan amat mudah mendapatkannya.

Berikutnya, tujuan menulis. Buat apa menulis? Setidaknya, ada dua tujuan menulis. Ada tujuan individual dan sosial. Sebagai tujuan individual, aktivitas menulis itu dapat dijadikan terapi bagi jiwa. Boleh pula sebagai sarana untuk mendapatkan nafkah. Menjadi penulis professional. Sedangkan tujuan sosialnya, bergantung pada posisi seorang penulis, sebab ada penulis sekadar ingin memasarkan gagasannya, buat berkontribusi pada perubahan sosial. Namun, tidak sedikit pula tulisan-tulisan itu dihadirkan untuk mendinamisir keinginan masyarakat. Jadi, ada yang menulis karena kebutuhan jiwa, ada pula yang menulis sebab keinginan masyarakat

Pada penghujung persamuhan, seorang peserta minta penjelasan tentang pernyataan yang ia pernah dengar. Begini kalimatnya, “menulis hidup untuk dan hidup menulis untuk ”. Saya pun memberikan penjelasan ringkas, bahwa maksud dari kalimat itu, “menulis  untuk hidup”, bahwasanya, seseorang melakukan kegiatan menulis sebagai upaya mencari nafkah. Menjadi penulis professional. Memilih jalan kepenulisan agar bisa bertahan hidup. Tidak sedikit penulis yang hidup sejahtera karena tulisan-tulisannya.

Adapun kalimat, “hidup untuk menulis”, adalah orang-orang yang menjadikan aktifitas menulis sebagai jalan untuk berbakti buat sesama. Menulis adalah jalan juang. Apa yang dicontohkan oleh Tjokroaminoto, dan ketiga muridnya, Soekarno, Kartosoewirjo, dan Semaoen adalah insan-insan yang menjadikan kepenulisan sebagai jalan perjuangannya. Berusaha berkontribusi bagi orang lain, dengan menawarkan pikiran-pikirannya. Kesemua buah pikiran mereka untuk kepentingan bangsa. Bukankah tulisan-tulisan mereka, hingga diwaktu kiwari ini masih disantap, sebagai bacaan bergizi bagi anak bangsa yang ingin memahami perjalanan kebangsaan kita?

Di sisa waktu yang tersedia, saya mengunci pernyataan saya dihadapan cicit ideologis Tjokroaminoto itu, bahwa, “menulis untuk hidup” adalah sah adanya sebagai bekal melata di atas bumi ini. Pun, demikian dengan pilihan, “hidup untuk menulis”, merupakan kualitas diri yang dinubuatkan buat berguna bagi kehayatan di semesta. Para professional, menulislah untuk hidup. Kaum muda di pergerakan, hiduplah untuk menulis.

 

Badaruddin Amir: Esai itu Tulisan yang Genit

Esai itu tulisan yang genit. Dia diibaratkan seseorang yang datang dan mencubit pipimu dan kemudian pergi. Begitulah esai di mata Badaruddin Amir. Pendakuan ini ia sampaikan saat menyampaikan materi dalam pelatihan menulis esai bagi Guru-Guru Bahasa se-Kabupaten Sidrap beberapa waktu lalu.

Badaruddin Amir seorang sastrawan Sulsel. Dia tangkas menghidupkan suasana forum. Sebelumnya, forum ibarat ruang tunggu yang sepi lantaran materi yang cenderung teoritis. Kaku. Dan mungkin membosankan.

Sebelum Pak Badar, begitu ia disapa, eike yang berkesempatan pertama kali memberikan materi. Begitulah, semenjak Pak Badar mendapatkan giliran, dengan pengalamannya yang segudang mengampu pelatihan-pelatihan menulis, forum berubah 180 derajat.

Sebenarnya slide-slide materi yang disampaikan Pak Badar tidak jauh berbeda dari apa yang sudah eike sampaikan. Tapi, dari cara penyampaian, dan beragamnya contoh pengalaman yang ia ajukan, membuatnya menjadi bintang forum. Ya, semenjak mengetahui akan dipanel dengan beliau, dari awal eike sudah memosisikan diri sebagai peserta kesekian yang kebetulan duduk di sebelah Pak Badar.

Kalau mau jujur, selama ini Badaruddin Amir tidak familiar di telinga eike. Ini bukan karena Pak Badar tidak tenar dalam dunia kesusastraan maupun literasi di Sulawesi Selatan, melainkan lingkaran pergaulan eike yang masih selebar daun kelor. Juga jelajah bacaan eike yang tidak meningkat-meningkat sehingga belum sempat membaca tulisan-tulisannya.

Nama Badaruddin Amir pertama kali eike temukan di dunia maya. Secara tidak sengaja eike melihat postingan cerpen beliau yang kebetulan nongol di beranda Fb. Karena merasa ganjil, kala itu eike memberanikan diri mengomentari beberapa kata dalam cerpennya. Tidak disangka komentar itu memancing pendiskusian yang lumayan panjang. Bahkan mengundang orang-orang dekat Pak Badar turut berkomentar.  Akibat saling kritik, eike mencoba mengintip-intip dinding Pak Badar. Setelah beberapa saat, rasa-rasanya beliau ini bukan orang biasa.

Tak disangka kami dipertemukan dalam kegiatan yang sama.

“Rival saya ini,” canda Pak Badar sambil menyalami eike ketika pertama kali bertemu. Sebelum forum dibuka kami sempat terlibat diskusi ringan. Pak Jamal selaku pihak yang mengundang heran. Dia mengira kami sama sekali belum saling mengetahui. Ternyata aksi “kritik-mengkritik” di Fb beberapa waktu lalu cukup berkesan bagi Pak Badar. Dia tidak semata-mata lupa dengan eike.

“Dulu di Pedoman Rakyat tradisi kritik diapresiasi. Saling kritik itu baik, yang penting tidak membawa personalitas di dalamnya” begitu seingat eike perkataan Pak Badar ketika kami duduk berdiskusi ringan. Dia juga menerangkan posisinya terkait “polemik” yang ditimbulkan Denny JA yang belakangan booming. Bahkan dia menilai usaha Denny JA dalam memperkenalkan  “puisi esai-nya” sudah tidak wajar.

“Di Sulawesi Selatan saya yang pertama kali dihubungi Denny JA untuk ikut mengapresiasi puisi esainya,” ucap Pak Badar di saat mengatakan penolakannya. “Dampak-dampaknya kelak berbahaya,” sambungnya.  Apa yang dikatakan Pak Badar ini jelas merujuk kepada upaya yang dilakukan Denny JA menghimpun sastrawan-sastrawan di seluruh daerah Tanah Air dengan memberikan bayaran sebanyak lima juta dengan catatan mau menulis puisi-esai dalam rangka ikut mempromosikannya.

Bahkan kalau tidak salah ingat, ia juga sempat mengatakan sudah menulis beberapa pandangannya tentang puisi-esai dalam esai yang diikutkan dalam kelompok penulis yang tidak sepakat dengan sepak terjang Denny JA.

Di siang itu forum berjalan lancar-lancar saja. Walaupun sebelumnya eike mesti bergegas dari Makassar semenjak Subuh agar sampai di lokasi kegiatan pukul 8 pagi. Langit yang tidak berubah cerah dan hujan yang awet ikut menemani selama perjalanan.

Apa boleh buat, keadaan tidak bisa dilawan sepenuhnya. Eike tiba pukul delapan lewat. Hampir pukul sembilan, bahkan.

Ketika naik ke lokasi kegiatan di lantai dua, sepintas eike melihat seorang pria paruh baya duduk mengenakan topi hitam melalui celah pintu. Tidak langsung masuk, eike memilih duduk sebentar di bagian depan sambil mengatur napas. Dengan terkejut eike bertemu seorang senior semasa di kampus. Sekarang ia menjadi seorang guru sejarah. Ternyata ia salah satu peserta di kegiatan ini. Tak dinyana, sekarang eike yang bergantian memberikan materi seperti yang pernah ia lakukan di masa masih mahasiswa dulu. Ah, begitulah, dunia bekerja.

Pria paruh baya itulah Pak Badaruddin Amir. Ia datang lebih awal dengan menggunakan topi dan duduk sembari menengok layar gawainya. Nampaknya Pak Badar lumayan aktif di dunia maya. Cerpen maupun esainya, sering ia posting di sana.

“Tulisan yang kamu komentari itu sebelumnya sudah saya kirim di Fajar, tapi saya enggan memotongnya menjadi lebih pendek,” ungkap Pak Badar. Ia nampaknya tidak setuju jika karya tulisnya mesti dipermak sampai harus memenuhi kolom “sempit” yang disediakan koran-koran selama ini. Itulah sebabnya ia lebih memilih memostingnya di dunia maya yang jauh lebih banyak memberikan ruang bagi karya tulis yang panjang.

Di tengah pemaparan materi memang ada sedikit pembahasan tentang apa yang dimaksudkan “pendek” ketika mengartikan cerpen. Apakah ia ditentukan oleh faktor internal semisal jumlah karakter? Atau jalan cerita yang sekali dibaca sudah dapat menangkap karakter tokohnya? Atau memang lebih ditentukan oleh faktor eksternal semisal medium cerita itu diterbitkan, yang dalam hal ini sangat ditentukan oleh space yang ada pada setiap koran, majalah, atau junal?

Pertanyaan ini akan makin membingungkan jika tradisi kepenulisan cerpen dikaitkan dengan tradisi tulis menulis di luar negeri. Pengalaman Eka Kurniawan ketika menerjemahkan karya-karya cerpennya ke bahasa asing  misalnya, menggambarkan ternyata cerpen-cerpen yang ditulis penulis-penulis luar negeri jauh lebih panjang dari apa yang dituliskan cerpenis-cerpenis dalam negeri. Kala itu seperti yang dituliskan Eka melalui blognya, editor yang menerbitkan tulisannya sempat membandingkan cerpen-cerpennya yang lebih pendek dari cerpen-cerpen yang pernah diterbitkan.

Menurut Eka, cerpen-cerpen yang ditulis di Tanah Air selama ini lebih banyak ditentukan oleh kolom yang disediakan media cetak. Sehingga ikut memengaruhi cara bercerita cerpenis ketika membangun narasinya. Menurut eike, efek paling membahayakan bagi pembaca adalah batas kemampuan membaca yang akhirnya tidak tahan membaca narasi yang panjang. Kata “pendek” dengan kata lain sudah pertama kali mendikte pembaca sehingga sulit memiliki energi lebih ketika berhadapan dengan narasi yang lumayan panjang.

Salah satu yang menarik selama pemaparan, menulis diibaratkan Pak Badar seperti berenang. Semua orang tahu seluruh gaya berenang, mereka tahu perbedaan di antara gaya kupu-kupu dengan gaya punggung, tapi itu hanya sebatas pengetahuan. Berenang yang sesungguhnya adalah ketika seseorang sudah di dalam air. Ketika dia sudah berpraktik. Sudah mau melakukannya. Begitulah yang dimaksudkan Pak Badar, menulis hanya disebut menulis ketika dia dilakukan.

Sebelumnya, eike sempat malu sendiri. Pasalnya tidak ada tandamata berupa buku yang eike hadiahkan kepada Pak Badar. Sebaliknya, sebagai pamungkas dan tanda karya, eike diberikan buku kumcer beliau Latopajoko & Anjing Kasmaran. Di sini kelihatan kan, siapa sebenarnya penulis?

 

Teknologi, Hoax dan Perlawanan Literasi

Kita tahu bersama, manusia telah berjalan melawati puluhan juta tahun untuk sampai di era sekarang. Sudah banyak yang pergi dan datang. Kita juga tahu bersama,bahwa pada puluhan juta tahun yang lalu, manusia pernah hidup dengan berkoloni dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Manusia kala itu, memiliki pengetahuan yang kompleks dan holistik tentang alam semesta. Literasinya tidak pada lembaran-lembaran buku. Tapi pada alam semesta yang penuh misteri. Manusia purba demikian para antropolog menamainya hidup damai bersama alam semesta. Mereka mengambil seadanya dari alam, sekadar untuk hidup. Nalar mereka adalah nalar kebutuhan bukan keserakahan.

Laju sejarah tak tertahan. Setelah ribuan tahun manusia menganut hidup seadanya dari alam dan tak bermukim pada satu tempat, sekitar 10.000 tahun yang silam, sebuah revolusi besar terjadi. Manusia mulai mencurahkan seluruh waktunya untuk memanipulasi kehidupan sepsis hewan dan tumbuhan. Mulai dari terbit hingga matahari terbenam manusia menabur biji, menyirami tanaman, mencabuti gulma dari ladang dan menggiring domba-domba ke padang subur. Pekerjaan itu, di pikir bisa menyediakan lebih banyak buah, padi-padian, dan daging. Di sinilah awal terjadi revolusi cara hidup manusia—Revolusi pertanian.[1]

Mungkin kita hampir semua berada pada pengetahuan yang sama bahwa revolusi pertanian yang ditemukan oleh manusia adalah sebuah kemajuan. Sebuah terobosan yang menghadirkan kebahagiaan pada manusia. Tapi faktanya, menurut Yuval Noah Harari, justru itu adalah kemunduran manusia. Di sana manusia mengalami ancaman gagal panen. Busung lapar menghinggapi manusia. Menjadi penyakit yang tercipta akibat perubahan itu. Tak hanya itu, manusia semakin mempersulit dirinya. Tenaga mereka keluar dua kali lipat dari pada  peradaban sebelumnya.

Waktu tak mungkin kembali, situasi alam telah berubah. Sudah banyak spesis hewan dan tumbuhan yang telah punah. Kini manusia semakin di ambang krisis. Dengan perjalanan waktu dengan segala lakon negatifnya, sepertinya pertanian tak lagi memadai hasrat manusia. Pada situasi seperti itu, manusia juga tak pernah berhenti. Tak pernah menyerah. Imajinasi tentang hidup yang simpel dan mudah menggerakanya untuk menemukan hal baru. Dan hal yang baru ditemukan selanjutnya adalah sains. Revolusi sains tercipta.

Sains bukanlah pengetahuan akan tetapi ketidaktahuan. Sains lahir dari pertanyaan-pertanyaan atas sisi misterius yang tersisa dari alam semesta. Lahir dari jawaban teks agama yang dianggap tidak memadai menjawab kosmos. Lalu berangkat dari pertanyaan-pertanyaan atas kosmos, sains modern berkembang hingga peradaban baru lahir mengubur peradaban sebelumnya. Peradaban modern—begitu kita semua menamainya. Di peradaban ini, sains menjadi agamanya. Kemajuan sains modern akhirnya memicu hadirnya teknologi. Kita semua menyambutnya secara suka cita seolah tanpa cacat.

Kehadiran teknologi telah menjadi budaya sebab ia berubah menjadi cara hidup. Secara tidak sadar menyetir cara kita merasa, berpikir dan berharap. [2] Saat ini, hampir seluruhnya teknologi menjadi pengelola hidup kita. Lewat teknologi, manusia diberi imajinasi bisa mengembangkan dirinya secara cepat dan tak terbatas secara kuantitatif. Manusia yang tenggelam dalam arus mencari yang lebih cepat, lebih canggih dan selalu lebih melimpah. Larut dalam keragaman tanpa fokus. Bukannya kita menemukan diri, arus yang serba cepat membuat kita tersesat di antara banyak hal yang melingkupi kita. Dan dalam hasrat merangkul semuanya, kita malah tak menjadi apa pun dan kehilangan diri sendiri. [3] Barangkali di sinilah kebenaran Heidegger bahwa era teknologi hanya membawa manusia pada nihilis. Teknologi diciptakan sebagai upaya untuk mengemansipasi diri justru berakibat pada kehilangan diri sendiri.

Teknologi sebagai wujud kemajuan dari peradaban justru tak hadir memberi kebahagiaan sepenuhnya. Di balik kecanggihan teknologi ternyata menyisahkan kecemasan. Dengan teknologi, eksistensi kita sebagai manusia terancam. Sebab bukan lagi kita yang mengontrol teknologi. Malah sebaliknya, teknologi yang telah mengontrol diri kita. Bukan lagi teknologi yang tergantung kepada diri kita, akan tetapi kitalah yang tergantung kepada teknologi. Kita pada akhirnya menjadi budak dari teknologi. Menjadi budak dari apa yang kita ciptakan sendiri. Dalam situasi kebudayaan teknologi saat ini, kita tidak seharusnya berdiri pada sisi menolak teknologi sebab ia sudah menjadi fakta sosial. Yang terpenting adalah menyadari kunci terdalam teknologi yakni manusia yang merdeka dan kreatif.

Budaya teknologi minus kreativitas, nihil independensi atau kemerdekaan akan berpuncak pada budaya copy paste. Tanpa kreativitas dan independensi melalui gawai (handphone) kita dengan gampangnya menyebarkan hoax. Menyebarkan berita bohong—tanpa fakta. Menyebarkan info yang direkayasa untuk tujuan tertentu secara masif guna mengubur info yang benar. Dengan menyebarkan hoax, kita akhirnya masuk dalam lingkaran kepentingan uang dan kekuasaan tanpa disadari. Kita akhirnya seperti robot-robot tanpa kesadaran dan daya kritis untuk memferivikasi kebenaran info yang hadir. Dengan wajah demikian, kita sebenarnya tak lebih baik dari manusia purba. Bisa jadi kita adalah evolusi kemunduran dari manusia-manusia sebelumnya. Manusia yang hidup puluhan juta tahun silam.

Akhirnya tak ada pilihan lain untuk melawan maraknya fenomena penyebaran hoax. Kita harus berdiri tegak dengan gagah berani digerakan literasi. Kita perlu bergerak bersama mendorong sebanyak mungkin orang untuk mencintai literasi. Saatnya kita bergandeng tangan—tanpa harus melihat, kita dari latar belakang mana untuk menyebarkan virus membaca dan menulis. Sebab dengan lakon literasi akal sehat dapat terjaga. Daya kritis akan tumbuh. Dengan literasi kita akan memiliki imun terhadap info-info yang tak benar. Kita akan mawas diri dari kebohongan yang sengaja disebar. Saatnya semua elemen berdiri bersama mengulurkan tangan. Menarik orang di sekitar untuk mulai membuka lembaran-lembaran papirus yang bernama buku untuk mengejanya. Kita harus mulai menghadirkan perpustakaan di rumah masing-masing dengan itu budaya literasi tumbuh dari rumah.

# Di sampaikan pada Orasi Ilmiah Palopo Festival Literasi 6 Maret 2018 di Taman Baca
[1] Yuval Noah Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: KPG. Hlm: 93-94
[2] Setyo Wibowo. Paideia: Filsafat Pendidikan Politik Platon. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 21
[3] Ibid, Hlm: 21

# Gambar bersumber Google